/1/Perjumpaan Gus Dur dengan Marxisme-Leninisme
PERJUMPAAN Gus Dur dengan Marxisme, bisa kita baca dalam biografi yang ditulis oleh Greg Barton. Sebagaimana pengakuannya sendiri ketika remaja di Yogyakarta menjadi santri Kiai Ali Maksum Krapyak, ia telah membaca Das Capital karya Marx dan What Is To Be Done? karya Lenin. Gus Dur juga tertarik pada ide Lenin tentang keterlibatan sosial secara radikal, seperti dalam Infantile Communism dan dalam Little Red Book nya Mao (kutipan kata-kata Ketua Mao).[1] Digambarkan bahwa di satu sisi ia menemukan banyak ide menarik dalam pikiran-pikiran kaum Marxis, tetapi ia juga terganggu oleh antagonisme Marxisme dengan agama.[2] Meski demikian, Gus Dur masih tetap berharap bahwa dalam Islam ia dapat memperoleh jawaban bagi masalah-masalah ketidakadilan, kemiskinan, dan penindasan yang menjadi tema utama dan mengemuka dalam Marxisme-Leninisme.
Dari situ kita tahu bahwa Gus Dur bersentuhan dengan Marxisme-Leninisme sejak masa remaja. Meski demikian, tidak mudah bagi siapapun untuk mengetahui sejauh mana pemahaman dan pengaruh Maxisme atas pemikirannya, karena Gus Dur tak pernah menerbitkan atau menuliskan hasil bacaannya. Dari semua esainya, setahu penulis, hanya ada satu esai Gus Dur yang secara spesifik memberi komentar atas Marxisme yaitu Pandangan Islam Terhadap Marxisme dan Leninisme yang dimuat pertamakali dalam Persepsi No. 1 1982.[3] Bertolak dari esai tersebut, kita akan tahu bagaimana kesan dan ekspektasi Gus Dur atas Marxisme-Leninisme.
Bagi pembaca Gus Dur yang baik, tak
akan heran dengan sikap terbuka Gus Dur terhadap Marxisme karena Gus Dur sejak
semula membuktikan dirinya tidak pernah canggung dengan berbagai khasanah
pengetahuan yang berada di luar garis kulturalnya. Sikap terbuka ini,
kemungkinan besar diterimanya dari lingkungan kosmopolit yang ditanamkan oleh
ayahnya, Wahid Hasyim, dimana sebagai politisi muda pada masanya kiai Wahid
biasa bergaul dengan banyak tokoh-tokoh pergerakan dari berbagai latar
ideologi. Bahkan bersahabat dengan seorang pejuang Revolusioner Tan Malaka yang
berhaluan Komunis.
Di sini muncul pertanyaan. Gus Dur
yang pada masa remajanya telah membaca Marxisme-Leninisme, –setidaknya telah
memahami dasar-dasar pemikiran Marx— kenapa Gus Dur tidak tertarik untuk
mengkaji Marxisme secara lebih serius dan teoritis? Pertanyaan tersebut juga
bisa berlaku secara umum. Kenapa intelektual Islam Indonesia di era orde baru
enggan untuk mengkaji Marxisme di era itu? Pertanyaan ini relevan untuk
diajukan dimuka, sebelum kita masuk ke esai Gus Dur. Karena secara umum, dalam
esai tersebut Gus Dur sadar betul akan pentingnya Marxisme-Leninisme bagi
pemikiran Islam.
Setidaknya, ada beberapa hal yang
menghambat kajian Marx di era orde baru. Pertama, Secara historis kaum
muslim Indonesia mempunyai pengalaman sejarah kelam yang memposisikan Islam dan
Marxisme secara berhadap-hadapan di tahun 1948 dan 1965. Kedua, para
intelektual Islam Indonesia yang mekar di era tahun 1980an – 1990an, hidup
dalam suasana pembangunanisme yang tengah dicanangkan oleh rezim orde baru.
Sehingga mudah ditemukan di era itu, intelektual Islam Indonesia disibukkan
oleh upaya mencari kesesuaian Islam dan Developmentalism. Nalar
instrumental yang dibawa serta oleh developmentalism tak pelak menyeret
intelektual Islam Indonesia masuk pada narasi: ‘apakah kontribusi Islam
terhadap pembangunan Indonesia menuju negara maju sebagaimana proyek orde
baru’. Karena bagi para intelektual Islam di masa itu, adalah menjadi kebutuhan
penting dan mendesak untuk segera memberi sumbangsih argumentasi teologis dan
historis bahwa Islam kompatibel dengan pembangunan. Ketiga, politik
anti-komunisme orde baru yang melarang Marxisme-Leninisme diajarkan. Konjungtur
politik semacam itulah yang menjadi penyebab utama minusnya kajian Marx dan
Marxisme oleh intelektual Islam Indonesia.
Dengan demikian, Marxisme di era
orde baru berada di tepian kajian humaniora di Indonesia. Ini berbeda dengan di
era Zaman Bergerak atau masa awal perjuangan Indonesia, dimana Marxisme bisa
dikatakan satu-satunya ilmu sosial yang menjadi primadona dan memberi pengaruh
besar bagi kaum pergerakan pada masanya. Bahkan ketika Tan Ling Djie, seorang
Marxis tulen dari Partai Komunis Indonesia (PKI) menyebut Muhammad Hatta
sebagai Marxis gadungan, Marxis “borjuis” yang pemahamannya tentang Marxologie
sangat terbatas dan dangkal, Hatta menyangkalnya. Ia mengaku seorang marxis
yang memakai materialisme sebagai teori bukan dogma. Ia menyebut dirinya
sebagai seorang Marxis dan juga bukan Marxis sekaligus, sebagaimana Marx
sendiri mengatakan tentang dirinya, “Ich bin kein Marxist”, “saya bukan
seorang Marxis”.[4]
Pernyataan Hatta itu akan sulit ditemukan di kalangan intelektual Islam saat
ini.
/2/ Perlunya Mencari Kesesuaian
Islam dan Marxisme
Secara umum, esai Gus Dur yang
berjudul Pandangan Islam Terhadap Marxisme dan Leninisme berisi pesan
perlunya sebuah upaya teoritis mencari kesesuaian Islam dan Marxisme. Berbeda
dengan kebanyakan tokoh Islam pada masanya, yang sebagian besar anti terhadap
komunisme yang merupakan imbas dari propaganda Soeharto, Gus Dur justru melihat
perlunya proses akulturasi pengetahuan antara Islam dan Marxisme. Ia tak khawatir
akan terjadi erosi ajaran Islam atas akulturasi gagasan tersebut. Sebaliknya,
ia melihat adanya peluang terjadinya penguatan ajaran-ajaran Islam melalui
“penyerapan sebagai alat analisis” yang dipinjam dari Marxisme-Leninisme
tersebut. Di sinilah Gus Dur menghendaki adanya kajian lebih mendalam tentang
hubungan Islam dan Marxisme-Leninisme, yang akan membawa pada pemahaman yang
lebih terinci dan pengertian lebih konkret akan adanya titik-titik persamaan
yang dapat digali antara Islam sebagai ajaran kemasyarakatan, dan
Marxisme-Leninisme sebagai ideologi politik. Pemahaman dan pengertian seperti
itu akan memungkinkan antisipasi terhadap peluang bagi terjadinya “titik
sambung” keduanya di negeri ini pasca 65.
Lebih jauh, Gus Dur mengkritik sikap
kaum muslimin Indonesia yang menolak kehadiran Marxisme-Leninisme melalui
ketetapan MPR sebagai sebuah anomali, karena penolakan tersebut lebih bersifat
politis, bukan ideologis. Lebih-lebih, menurut Gus Dur, kaum muslimin Indonesia
sudah tidak lagi memiliki aspirasi mereka sendiri di bidang ideologi, tetapi
meleburkannya ke dalam ideologi “umum” bangsa, yaitu Pancasila. Gus Dur
menyayangkan kenyataan selama ini bahwa tinjauan atas hubungan Islam dan
Marxisme-Leninisme sering kali bersifat dangkal, sangat formal dan melihat dari
satu sisi saja. Anehnya, selama ini Marxisme-Leninisme, meski tidak diakui
secara formal di kalangan gerakan-gerakan Islam, namun diam-diam diterima dalam
praktik.
Bagi Gus Dur menjadi penting dalam
konteks Indonesia kedepan adanya upaya meramu unsur Marxisme-Leninisme dan
Islam, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh sejumlah pemikir muslim semacam
Abdel Malek Bennabi dan Ali Syariati. Bahkan Gus Dur mengungkapkan adanya
sebuah gerakan Islam Mojaheddin el-Khalq yang bergerak dari Paris, menggunakan
analisis perjuangan kelas yang mengikuti acuan Marxisme-Leninisme. Yang lebih
mencengangkan, Gus Dur menganjurkan adanya kajian atas ayat-ayat Al-Qur’an,
ucapan Nabi dalam hadits dan penjelasan ulama dalam karya-karya mereka
diperiksa kembali “wawasan kelas”-nya, agar dimungkinkan adanya penafsiran
kembali atas “pemahaman salah” akan sumber-sumber ajaran agama yang selama ini
ditafsir. Gus Dur sadar akan pentingnya pendekatan struktural dalam menafsirkan
kembali ajaran agama itu bagaimanapun akan membawa kepada kesadaran akan
pentingnya analisis perjuangan kelas untuk menegakkan struktur masyarakat yang
benar-benar adil dalam pandangan Islam.
Ada yang lebih mengharukan dari esai
tersebut,– ingat esai tersebut ditulis di tahun 1982 dimasa kuat-kuatnya orde
baru—yaitu apresiasi Gus Dur terhadap semakin berkembangnya pemahaman “humanis”
atas Marxisme-Leninisme, sebagimana dilakukan Partai Komunis Italia yang
membawa apresiasi lebih dalam lagi tentang pentingnya wawasan keagamaan
ditampung dalam perjuangan kaum Maxis-Leninis untuk menumbangkan struktur
kapitalis secara global. Satu kritik Gus Dur terhadap Marxisme, yaitu
penempatan agama sebagai superstruktur atau struktur atas bukan basis
struktur atau struktur bawah yang merupakan basis teoritis Marxisme. Inilah
yang luput dari Gur Dur, ia tak melihat dimensi revolusiner dari filsafat Marx
yaitu penemuannya atas tendesi ekonomis atas segala hal di dunia ini secara
ilmiah. Sebagaimana diungkapkan Engels dalam Speech at the Graveside of Marx[5]
bahwa: “Marx menemukan… fakta yang sederhana… bahwa umat manusia pertama-tama
harus makan, minum, memiliki tempat berteduh, dan berpakaian, sebelum ia dapat
mengejar politik, sains, seni dan agama.”
/3/Relevansi Islam dan Marxisme
Menuju Another World is Possible
Dalam esainya, Gus Dur sangat
terkesan dengan sisi humanis dari Partai Komunis Italia yang salah satunya
dimotori oleh Antonio Gramsci. Kita tahu di Eropa, teori Gramsci menjadi sangat
terkenal pasca Perang Dunia II. Berbeda dengan Lenin yang percaya sosialisme
via revolusi dengan membangun Partai Pelopor, mengikuti Engels, Gramsci lebih
percaya jalan sosialisme melalui demokrasi.
Tambahan untuk ekspektasi Gus Dur.
Percobaan intelektual dan politik Marxisme yang berkembang jauh dari apa yang
selama ini diduga banyak pihak. Pasca kendaraan runtuhnya Tembok Berlin dimana
semua pihak memperkirakan Marxisme sudah terbukti gagal dan segera
ditinggalkan, Fredric Jameson[6],
seorang kritikus sastra dan teoritisi politik Marxis, malah mengatakan bahwa
Marxisme makin diperkuat dan diremajakan oleh keterbebasannya dari tradisi
Soviet yang monolitik. Dengan adanya Revolusi Cina dan Kuba, Kiri Baru Amerika,
peristiwa Mei 1968 di Prancis, Marxisme telah lepas dari kebekuan Stalinisme
dan menjadi suatu aliran pemikiran dan aksi baru yang kreatif dan pluralistik.
Sementara, jika kita melihat
konfigurasi politik abad dua satu, banyak pemimpin sosialis-kiri radikal yang
pernah memimpin, khususnya di Amerika Latin, di antaranya: Michelle Bachelet,
mantan tahanan politik perempuan, yang menjadi presiden Chili; Evo Morales,
tokoh gerakan petani suku Indian, presiden Bolivia; Hugo Chavez, Presiden
Venezuela; Lula Da Silva, presiden Brazil; Netro Kirchner, presiden Argentina;
dan Daniel Ortega, presiden Nikaragua. Para pemimpin tersebut bersekutu dengan
presiden Kuba Fidel Castro, yang telah lama menjadi musuh utama AS di benua
Amerika.
Jadi di abad ini, percobaan
sosialisme via demokrasi, yang dimulai oleh Salvador Allende, seorang presiden
Marxis pertama yang terpilih secara demokratis pada tahun 1970 di Chile dan
deretan nama pemimpin kiri di Amerika Latin dan suksesnya Podemos di Spanyol,
memberi sinyal pada kita bahwa Marxisme masih mungkin. Sayangnya, Via
Chilena (jalan Chili) menuju sosialisme yang dicanangkan Allende melalui
pidato pelantikannya yang sangat terkenal: “…Sekarang rakyat telah berhasil
merebut kekuasaan atas nasib mereka sendiri, untuk berderap maju menuju
sosialisme melalui jalan demokratis” pada tahun 1973, digulingkan secara brutal
oleh militer Chilieatas perintah Amerika, dalam sebuah operasi militer yang
diberi nama “Operasi Jakarta”. Kudeta tersebut telah merenggut nyawa Allende
berikut kira-kira 30.000 orang dari negeri yang berpenduduk sepuluh juta jiwa
itu.
Penulis percaya dengan apa yang
diungkapkan oleh Samir Amin, direktur Third World Forum yang mencetuskan teori Centre-Periphery
(Pusat dan Pinggiran), yang menggambarkan ketimpangan hubungan antara negara
maju di Utara dan negara-negara miskin di Selatan bahwa ketimpangan ini akan
terus dilanggengkan. Bagi Samir Amin, ada pertukaran yang tidak adil (unequal
exchange). Konsep ini menunjukkan bagaimana terjadinya peralihan surplus
dari negara-negara miskin atau Dunia Ketiga yang disebutnya “periphery”
(negara-negara pinggiran) ke negara-negara maju yang disbutnya ”centre”
(negara-negara pusat).[7]
Dari kolonialisme berupa penjajahan politik hingga neo-kolonialisme berupa
penjajahan ekonomi sebagaimana saat ini, percayalah negara-negara Dunia Ketiga
atau negara periphery, selamanya hanya diposisikan sebagai tempat
penanaman modal asing, sumber bahan mentah, sumber buruh murah, dan tempat
pemasaran hasil produksi negara maju.
/4/Penutup
Kita patut bersyukur mempunyai
agawaman sekaligus pemimpin semacam Gus Dur yang tak pernah dogmatis dan selalu
terbuka dengan segala kemungkinan bagi jalannya perubahan. Penulis baru sadar
bahwa kengototan presiden Gus Dur untuk mecabut TAP MPRS No. 25 tahun 1966,
ternyata berakar pada esainya di tahun 1982 tersebut, dimana ia mengkritik
sikap anomali kaum muslim Indonesia yang menolak Marxisme-Leninisme. Gus Dur
tidak bergeser setitikpun dengan konsistensi sikap politiknya.
Terakhir, agar prasangka atas
komunisme di negeri bisa kita sudahi. Jangan lupa, setitikpun jangan!. Nelson
Mandela atau yang akrab dipanggil Madiba juga seorang Marxis. Sahed Baghat
Singh, seorang pejuang kemerdekaan India seorang Marxis. Dan anehnya, semoga
tidak sedang bercanda, seorang Dalai Lama mentahbiskan dirinya sebagai Marxis.
Bahkan Pancasila dengan jujur dikatakan oleh Soekarno sebagai Kiri. Berikut
kutipan lengkapnya:
“Oleh karena itu saya berkata tempo
hari, Pancasila adalah kiri. Oleh karena apa? Terutama sekali karena di dalam
Pancasila ada unsur Keadilan Sosial. Pancasila adalah anti-Kapitalisme.
Pancasila adalah Anti “explotation de’l home par l’homme”. Pacasila
adalah Anti “exploitation de nation par nation”. Karena itulah Pancasila
kiri”[8]
Kenapa kita yang begitu bersemangat
dengan kemanusiaan, demokrasi dan toleransi tak siap menerima kenyataan ini.
Siapakah sesungguhnya yang tak manusiawi, demokratis dan toleran? Sepertinya
hanya Allah yang tahu.***
Penulis adalah guru ngaji, aktivis Federasi Buruh Lintas Pabrik dan
aktif di Litbang Front Nahdliyin Untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam. Penulis
bisa diubungi melalui roy.murtadho@gmail.com.
Poin-poin utama esai ini merupakan
bahan awal dari materi tambahan atau suplemen untuk “Pondok Mahasiswa” di
Purwokerto.
————-
[1] Greg Barton, Biografi Gus Dur The Authorized Biography
of Abdurrahman Wahid, (Yogyakarta: LkiS, 2003), hlm. 53.
[2] Ibid., 54.
[3] Abdurrahman Wahid, “Pandangan Islam Terhadap Marxisme
dan Leninisme”, dalam Aula, September (1988). Sebelumnya pernah dimuat
dalam Persepsi, No. 1, (1982), dan kini dibukukan dalam Kacung Marijan dan
Al-Brebesy (ed.), Mengurai Hubungan Agama dan Negara, (Jakarta: Grasindo,
1999), dan menjadi prolog dalam buku karya Syamsul Bakri, Gerakan Komunisme
Islam Surakarta 1914-1942 (Yogyakarta: LkiS, 2015). Dan dimuat dalam
website NU online.
[4] Lih. Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan Dalam
Negara Orde Baru, (Jakarta: Gramedia, 2003). Catatan kaki No. 203, hlm.
690-691.
[5] Lih. Frededich Engels, “Speech at the Graveside of Marx,”
dalam Karl Marx and Engels: Selected Works, diterjemahkan dan disunting
oleh Marx-Engels-Lenin Institute, vol 2. (Moscow 1951), 2:153.
[6] Frederic Jameson dalam Pendahuluan atas karya Henri Arvon, Estetika
Marxis, (Yogyakarta: Resist Book, 2010).
[7] Untuk menilik pemikiran Samir Amin lebih lanjut lih. Samir
Amin, Imperialism and Unequal Development, (New York: Monthly Review
Press, 1978). Unequal Development, (New York: Monthly Review Press.
1976). Capitalism in the Age on Globalization, 1997.
[8] Lih. Bonnie Triyana dan Budi Setiyono: Revolusi Belum
Selesai: Kumpulan Pidato Presiden Soekarno 30 September 1965 – Pelengkap
Nawaksara (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2005), hlm. 63
0 komentar:
Posting Komentar