.
Oleh: Setyo Budiantoro
Mengingat masa kelam Orde Baru yang sering disebut orde pembangunan, membuat pedih. Timbul pertanyaan mengganjal, apakah pembangunan akan selalu membawa destabilisasi? Sebuah proses yang mengakibatkan disparitas sosial-ekonomi membesar akibat laju modernisasi dan industrialisasi, serta menguntungkan sebagian kecil masyarakat? Timbul pula pertanyaan yang menggelisahkan, apakah sebuah ketakterhindaran (inevitability) historis, pembangunan selalu mengorbankan kebebasan manusia?
Rasanya masih seperti kemarin, jargon
pembangunan begitu suci sehingga atas namanya menjadi sahih merampas hak-hak
asasi manusia. Tentu belum kering dari ingatan, berbagai kasus yang mentorpedo
rasa keadilan seperti Kedung Ombo, Nipah, Jenggawah, dan berbagai penggusuran
yang mengatasnamakan pembangunan. Berkecamuk pertanyaan, apakah untuk mencapai
kesejahteraan harus selalu ada tumbal (jer basuki mawa bea)?
Sayup-sayup, kini terdengar suara lain dan
mulai terdengar nyaring. Suara tersebut antara lain dari Amartya Sen, peraih
Nobel Ekonomi tahun 1998. Menurutnya pembangunan bukanlah proses yang dingin
dan menakutkan dengan mengorbankan darah, keringat serta air mata, at all cost.
Pembangunan, ujar Sen, adalah sesuatu yang "bersahabat". Pembangunan,
seharusnya merupakan proses yang memfasilitasi manusia mengembangkan hidup
sesuai dengan pilihannya (development as a process of expanding the real
freedoms that people enjoy).
Asumsi dari pemikiran Sen, bila manusia
mampu mengoptimalkan potensinya, maka akan bisa maksimal pula kontribusinya
untuk kesejahteraan bersama. Dengan demikian, kemakmuran sebuah bangsa dicapai
berbasiskan kekuatan rakyat yang berdaya dan menghidupinya. Menurut Sen,
penyebab dari langgengnya kemiskinan, ketidakberdayaan, maupun keterbelakangan
adalah persoalan aksesibilitas.
Diakibatkan keterbatasan akses, ujar Sen,
manusia mempunyai keterbatasan (bahkan tak ada) pilihan untuk mengembangkan
hidupnya. Akibatnya, manusia hanya menjalankan apa yang terpaksa dapat
di-lakukan (bukan apa yang seharusnya bisa dilakukan). Dengan demikian, potensi
manusia mengembangkan hidup menjadi terhambat dan kontribusinya pada
kesejahteraan bersama menjadi lebih kecil. Aksesibilitas yang dimaksud Sen
adalah terfasilitasinya kebebasan politik, kesempatan ekonomi, kesempatan sosial
(pendidikan, kesehatan, dan lain-lain), transparansi, serta adanya jaring
pengaman sosial.
Temuan lapangan di Indonesia, tak jauh
berbeda dengan apa yang dikemukakan Amartya Sen. Lesson learned yang diperoleh
dari Yayasan Pemulihan Keberdayaan Masyarakat (konsorsium 27 ja-ringan dan
ornop besar yang membantu masyarakat keluar dari krisis), menyimpulkan,
penyebab kemiskinan adalah akibat ketiadaan akses yang dapat menunjang
pemenuhan kehidupan manusiawi. Pada dimensi ekonomi, akibat distribusi akses sumber
daya ekonomi yang tak merata menyebabkan rakyat miskin tak dapat mengembangkan
usaha produktifnya. Pada dimensi politik, akibat rakyat miskin sangat sulit
mengakses dan terlibat berbagai kebijakan publik, maka kebijakan tersebut tak
menguntungkan mereka.
Tesis yang dikemukakan Sen agar tercapainya
kesejahteraan, yaitu melalui kebebasan sebagai cara dan tujuan (Development as
Freedom). Hal itu, tak jauh berbeda dengan apa yang dikemukakan Soedjatmoko
(Development and Freedom). Freedom menurut Soedjatmoko merupakan kebebasan dari
rasa tak berdaya, rasa ketergantungan, rasa cemas, rasa keharusan untuk
mempertanyakan apakah tindakan-tindakan mereka diizinkan atau tidak diizinkan
oleh yang lebih tinggi ataupun adat kebiasaan (misalnya: patriarki, sikap nrimo,
dan lain-lainnya).
Untuk memecahkan hal tersebut, diperlukan
aspek emansipatoris. Yaitu aspek pembebasan masyarakat dari struktur-struktur
yang menghambat, sehingga memungkinkan masyarakat memperkembangkan kemampuan
atas dasar kekuatan sendiri (self reliance). Dengan demikian, terfasilitasilah
kemanusiaan yang penuh dan sanggup mengungkapkan diri (humanitas expleta et
eloquens).
Pembangunan, dengan demikian berarti
merangsang suatu masyarakat sehingga gerak majunya menjadi otonom, berakar dari
dinamik sendiri dan dapat bergerak atas kekuatan sendiri. Tidak ada model
pembangunan yang berlaku universal. Dalam jangka panjang, suatu pembangunan tak
akan berhasil dan bertahan, jika pembangunan tersebut bertentangan dengan
nilai-nilai dasar yang dianut masyarakat.
Selama Orde Baru, secara sadar maupun tak
sadar, telah terjadi kesalahan besar yang dibuat bersama-sama. Dari tahun ke
tahun, lembaran buku GBHN dan Pelita yang dicanangkan pemerintah makin tebal.
Masyarakat profesi, para pakar maupun berbagai organisasi masyarakat,
berlomba-lomba merumuskan berbagai persoalan, lalu diserahkan pada pemerintah.
Dengan demikian, masyarakat telah menyerahkan
kemandirian yang dimiliki, sehingga pemerintah semakin memiliki kekuatan,
legitimasi, dan kedaulatan untuk melakukan berbagai hal (bahkan menjadi
leviathan). Tragisnya, masyarakat merasa lega karena tak mengerjakan apa-apa,
sebab semuanya telah diserahkan pada pemerintah. Meski sebenarnya, telah
melumpuhkan diri sendiri.
Pemerintah yang makin percaya diri, lalu
merumuskan berbagai program dan proyek untuk dikerjakan. Feasibility studies
(baca: penelitian pesanan) lalu dikerjakan oleh para intelektual tukang maupun
konsultan asing, untuk mengkreasi dan menjustifikasi urgensi adanya berbagai
proyek. Lalu, utang pun digelontorkan. Berbagai proyek tiba-tiba bertebaran.
Masyarakat pun melalui desas-desus akhirnya mengetahui dan mahfum, siapa di
balik proyek. Tentu, tak jauh dari lingkaran kekuasaan.
Sebagai sebuah proyek, tentu mempunyai batas
waktu. Dan akhirnya, dengan berakhirnya berbagai proyek dan usailah sudah
semuanya. Dalam waktu singkat, berbagai proyek yang ada terbengkalai. Rakyat
yang tak dilibatkan dalam proses, meski proyek tersebut ditujukan untuk mereka,
namun akibat tak ada rasa memiliki, rakyat pun tak peduli.
Begitulah, secara umum kondisi rakyat
Indonesia menjadi lemah, terlemahkan, dan dilemahkan. Keberdayaan rakyat (civil
society), lalu tertinggal. Namun, apakah rakyat benar-benar mengalami
kelumpuhan sepenuhnya? Agaknya tidak. Krisis ekonomi, justru menunjukkan
kedigdayaan rakyat.
Pukulan krisis, membuat pertumbuhan ekonomi
merosot -13,7% (1998), padahal tahun sebelumnya tumbuh +4,9%. Dengan kata lain,
dalam satu tahun ekonomi Indonesia anjlok -18,6%. Namun dua tahun kemudian,
ekonomi nasional telah tumbuh 4,8% (Seda, 2002). Anehnya, pada masa itu sedang
terjadi capital flight sekitar $ 10 miliar per tahun, usaha-usaha besar ambruk,
sedangkan investasi asing tak mau masuk akibat situasi sosial politik yang
belum menentu.
Fenomena ini tentu membingungkan penganut
ekonomi ortodoks, sebab dalam hitungan makro ekonomi mereka, hal ini tak
mungkin terjadi. Dan akhirnya disadari, usaha-usaha ekonomi rakyat yang sering
disebut usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) ternyata telah menyelamatkan
Indonesia dari keterpurukan krisis. Investasi ekonomi rakyat (underground
economy) yang kerap dipandang dengan sebelah mata, ternyata justru menunjukkan
kekuatannya.
***
Babakan sejarah yang pahit itu, kini secara
berangsur telah ditinggalkan. Setidaknya, babakan itu menyadarkan bahwa
orientasi production centered development yang menekankan pertumbuhan,
investasi asing dan haus akan utang luar negeri, ternyata memiliki banyak
kelemahan. Kue pembangunan ternyata hanya dikuasai sebagian kecil masyarakat,
sementara kesenjangan melebar, dan pembangunan pun rapuh tak berakar (bubble economy).
Tujuan pembangunan adalah tercapainya
kesejahteraan bersama, maka cara untuk mencapainya pun seharusnya melalui
upaya-upaya pencapaian kesejahteraan bersama. Cara sudah seharusnya konsisten
dengan tujuan yang ingin dicapai. Untuk mencapai demokrasi, tak ada jalan lain
kecuali memakai cara-cara yang demokratis. Demikian pula, untuk mencapai
kehidupan yang manusiawi, tentu harus dicapai dengan cara yang manusiawi pula.
Memfokuskan diri pada kesejahteraan rakyat,
tentunya harus melalui jalan dari pembangkitan kekuatan rakyat itu sendiri atau
dalam terminologi Korten disebut people centered development. Produksi juga
merupakan bagian penting dalam pendekatan ini, namun bukan tujuan utama. Ikhwal
menetapkan tujuan utama (goal), merupakan hal strategis yang tidak netral dan
bebas nilai, sebab akan mempengaruhi paradigma (mindset) berpikir, metodologi
dan pengorganisasian pencapaian tujuan. Pendekatan people centered development,
menekankan pertumbuhan manusia (aktualisasi potensi manusia), pemerataan,
keberlanjutan (sustainability), dan semangat kemandirian masyarakat sendiri.
Agenda ke depan
Kini kita menghadapi persoalan konkret.
Usaha-usaha besar, karena mendapat berbagai privilese tumbuh dengan cepat,
namun kemudian ambruk. Usaha-usaha ekonomi rakyat, memang terbukti mampu
menyelamatkan ekonomi Indonesia dari krisis, namun tetap berjalan
tertatih-tatih karena keterbatasan akses. Begitulah, dengan segala kekuatan dan
kelemahannya, setidaknya kedua modal itulah yang kini kita miliki.
Menyadari adanya dua modal tersebut, perlu
ada transformasi agar kedua sektor usaha tersebut bisa berkembang (dual track),
yaitu melalui pemberian akses dan peluang yang sama pada kedua sektor usaha
tersebut. Dengan cara demikian, sektor usaha besar yang hidup dari kronisme,
rente ekonomi dan fasilitas, mau tak mau harus berkompetisi secara sehat, sebab
bila tidak akan jatuh. Sementara usaha besar yang berusaha secara wajar dan
kompetitif, akan bisa terus berkembang. Sedangkan untuk usaha mikro, kecil dan
menengah (UMKM), agar bisa memanfaatkan berbagai akses dan peluang yang ada,
diperlukan pula adanya upaya peningkatan kapasitas (capacity building).
Dan perlu disadari, akibat adanya dualisme
ekonomi sektor kecil ini tak memiliki kemampuan untuk memanfaatkan berbagai
institusi modern. Bahkan seringkali, sektor modern justru makin meminggirkan
mereka. Salah satu institusi modern yang sangat sulit diakses oleh UMKM, adalah
perbankan.
Meski
memobilisasi tabungan dari masyarakat luas, namun pelayanan pembiayaan bank
lebih dimanfaatkan sektor besar. Akibatnya, acapkali institusi modern ini
justru meningkatkan adanya kesenjangan. Oleh sebab itu, perlu dikembangkan
berbagai institusi modern yang dimodifikasi sedemikian rupa, sehingga dapat
kompatibel dengan nilai-nilai dan budaya setempat agar dapat dimanfaatkan oleh
masyarakat secara luas.
Demikianlah, dengan berbagai keterbukaan dan
peluang, di mana masyarakat mempunyai kebebasan untuk memilih, maka masyarakat
dapat mengembangkan berbagai potensi produktif mereka. Dengan demikian,
pembangunan akan berkembang secara dinamik berdasar kekuatan masyarakat
sendiri. Bila masyarakat telah tumbuh dan berdaya, maka pembangunan akan
berurat berakar (rooted) pada rakyat, sehingga makin kuat dan kokoh menyangga
bangsa ini.
Setyo
Budiantoro ---Direktur Kajian
Ekonomi dan Pembangunan Center for Humanity and Civilization Studies (CHOICES)
dan staf Ketua LSM Bina Swadaya.
(Dimuat di Sinar Harapan, 29 April 2003)
0 komentar:
Posting Komentar