"Hukum itu adalah kontrak atau kesepakatan masyarakat. Karena itulah maka konstitusi disebut sebagai 'kontrak sosial'." --Jimly Asshiddiqie
"When injustice become law, resistence become duty; ketika ketidakadilan menjadi hukum, maka perlawanan menjadi kewajiban." --Bertolt Brecht
"Pemerintah bisa saja ada tanpa hukum. Tapi, hukum tak mungkin ada tanpa pemerintah." (Filsuf Inggris, Bertrand Russell). Maksud dari filsuf Bertrand Rusell adalah: hukum tak akan bisa berfungsi apa-apa jika tak ada kekuatan (politik) yang bisa memaksakan berlakunya. Maka, ada pepatah dalam hukum, "Kekuasaan tanpa hukum adalah kesewenang-wenangan. Hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan."
"Summum Iuis Sumka Iniuria, kata para ahli hukum sejak berabad-abad. Jikalau orang ingin menerapkan hukum secara ekstrem, justru dia praktis melakukan ketidakadilan yang paling ekstrem juga."
--YB. Mangunwijaya, Gerundelan Orang Republik, h.71
"Tanpa etika, manusia itu tidak punya masa depan. Etika-lah yang menentukan pilihan-pilihan terhadap tindakan kita. Dan mengarahkan kita kepada prioritas-prioritas yang sulit." --John Berger, penulis Inggris
"Bukan kebijaksanaan, tapi kekuasaanlah yang membuat hukum dan undang-undang." Thomas Hobbes, filsuf Inggris
"Salus populi suprema est lex; kemaslahatan masyarakat adalah hukum yang tertinggi." (Marcus Tullius Cicero, 53-52 SM), dikutip oleh Al. Andang L. Binawan, "Kesucian Hukum di Ruang Publik", dalam F. Budi Hardiman (ed.), Ruang Publik, h. 349.
"Tidak ada tirani yang lebih besar daripada yang dilakukan di bawah perlindungan hukum dan atas nama keadilan."
--Montesquieu, filsuf Prancis
MORAL DAN HUKUM
Kata 'moral' selalu mengacu pada baik-buruknya manusia sebagai manusia. Bukan mengenai baik buruknya begitu saja, misalnya sebagai dosen, tukang masak, pemain catur, atau pejabat, melainkan sebagai manusia. Bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia. Norma-norma moral adalah tolok ukur untuk menentukan betul-salahnya sikap dan tindakan manusia dilihat dari segi baik-buruknya sebagai manusia dan bukan sebagai pelaku peran tertentu dan terbatas. Sedangkan norma hukum adalah norma-norma yang dituntut dengan tegas oleh masyarakat karena dianggap perlu demi keselamatan dan kesejahteraan umum. Norma hukum tidak sama dengan norma moral. Bisa terjadi demi tuntutan suara hati, demi kesadaran moral, orang harus melanggar hukum. Kalaupun orang itu kemudian dihukum, hal itu tidak berarti bahwa orang itu buruk. Hukum tidak dipakai untuk mengukur baik-buruknya seseorang sebagai manusia, melainkan untuk menjamin ketertiban umum. (Lihat Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral, Yogyakarta: Kanisius, 1987, h. 19)
"Dalam 'hukum', seseorang bersalah adalah ketika ia melanggar hak orang lain. Sedangkan dalam 'etika', orang bersalah meski hanya berpikir untuk melakukannya." --Immanuel Kant
Hukum vs. Moral
"...hukum tidak identik dengan moralitas, melainkan hasil konsensus yang dapat dilampaui kesadaran moral. Marthin Luther King, misalnya, menegaskan perlunya melanggar hukum yang tidak adil demi moralitas itu sendiri." (catatan kaki dalam F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas, Yogyakarta: Kanisius, 2003, h. 128) Baca juga: http://www.secapramana.com/artikel/hukum_moral_dlm_masyarakat_majemuk.htm
Prinsip dasar hubungan hukum dan moral:
Apa yang diperintahkan oleh hukum itu haruslah berupa kebaikan dan apa yang dilarang oleh hukum harus berupa kejahatan. Jadi, janganlah hukum itu memerintahkan kejahatan. Itu prinsip hubungan hukum dengan moral. Contoh hukum yang tidak didasari moral: hukum di zaman Nazi untuk melegalkan pemusnahan etnis Yahudi.
DUA JENIS KEJAHATAN DALAM KAJIAN FILSAFAT HUKUM
1. Malum prohibitum (kejahatan yang dilarang oleh hukum)
2. Malum in se (kejahatan karena dalam dirinya sendiri memang buruk [jahat])(lihat Andrea Ata Ujan, Filsafat Hukum: Membangun Hukum, Membela Keadilan, Yogyakarta, Kanisius, 2009, h. 102)
ANDI HAMZAH TENTANG GELAR "S.H."
Kata Andi Hamzah, pakar hukum pidana, orang Belanda meledek gelar S.H. di Indonesia sebagai "Stomme Hond", yang berarti "anjing blo on". Oleh karenanya, ia tidak mencantumkan gelarnya pada buku karangannya. Misalnya, gelar Prof. Dr sekalipun. Yang ada gelar pada nama penulisnya, orang Belanda sana tidak mau baca. "Namun, buku saya yang tidak saya cantumkan gelar, dibaca oleh orang-orang di Belanda," kata Andi Hamzah. "Jadi," lanjut Andi pada Karni Ilyas, "tidak usah mencantumkan gelar." Kata Karni Ilyas: ya saya dari tahun 80-an tidak pernah mencantumkan gelar S.H. di belakang nama saya. (Sumber: Andy Hamzah dalam ILC, judul: Robohnya Mahkamah Kita, 31 Mei 2016, https://youtu.be/aoJ6wIYI-MI)
HUKUM ATAU UNDANG-UNDANG
HARUS JELAS
Agar hukum dapat dilaksanakan dengan pasti, hukum harus jelas. Hukum harus demikian jelas sehingga masyarakat dan hakim dapat berpedoman padanya. Itu berarti bahwa setiap istilah dalam hukum harus dirumuskan dengan terang dan tegas sehingga tak ada keragu-raguan tentang tindakan apa yang dimaksud. Suatu aturan hukum yang kabur atau terlalu umum adalah buruk. Apabila misalnya tindak subversi dijadikan tindak kriminal, tetapi tidak dirumuskan tindakan yang macam apa yang disebut tindak subversi itu, maka orang tidak tahu apa yang tidak boleh dilakukan itu. Norma macam itu tidak mendidik karena orang tidak tahu kelakuan apa yang harus dijauhi. Sekaligus itikad baik penguasa akan dicurigai karena kekaburan perumusan menyediakan kemungkinan baginya untuk seenaknya mencap sebagai kriminal suatu sikap yang tidak disenangi. Begitu pula aturan-aturan hukum harus dirumuskan dengan ketat dan sempit agar keputusan dalam perkara pengadilan tidak dapat menurut tafsiran subyektif dan selera pribadi hakim (Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1987, h. 80)
HUKUM HARUS
ADIL
Biasanya kalau kita bicara
tentang keadilan hukum, maksud kita adalah keadilan dalam arti materil: isi
hukum harus adil. Mewujudkan tatanan kehidupan bersama yang adil termasuk
hakikat hukum sendiri. Yang diperlukan dan diakui masyarakat bukan sembarang
tatanan normatif, melainkan suatu tatanan yang menunjang kehidupan bersama
berdasarkan apa yang dinilai baik dan wajar (Franz Magnis-Suseno, Etika
Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1987, h. 82)
Hukum Kodrat
vs Positivisme Hukum
Hukum kodrat di Indonesia
sering diistilahkan dengan hukum alam. Padahal, menurut Prof Franz
Magnis-Suseno, istilah "hukum alam" untuk menyebut hukum kodrat tidak
tepat. Hukum alam ialah sunatullah yang terjadi dalam alam. Sedangkan hukum
kodrat berarti hukum moral. Postivisme hukum adalah hukum yang dibuat oleh
manusia, atau "hukum manusia", yang dalam bahasa kita disebut hukum
positif. Atas dasar paham Hukum Kodrat, Thomas Aquinas dapat menentukan batas
dan wewenang hukum positif. Hukum positif buatan manusia yang bertentangan
dengan hukum kodrat (fitrah manusia; nurani; sikap hanief, NE), dengan
sendirinya tidak mempunyai hak dan daya ikat sama sekali (lebih jelas, lihat
Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan
Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1987, h. 87, 92). Ctt:
Dalam Islam, hukum kodrat
yang berlaku pada manusia itu dinamakan fitrah. Sebagaimana yang sering dibahas
oleh Cak Nur tentang peranjian primordial sebagaimana tertera dalam al Quran
surat Al A'raaf ayat 172.
FUNGSI
HUKUM
Hukum mempunyai fungsi untuk memanusiakan penggunaan
kekuasaan. Karena adanya hukum, kehidupan bersama masyarakat tidak ditentukan
semata-mata oleh kepentingan mereka yang kuat, melainkan oleh suatu aturan
rasional yang seoptimal mungkin menjamin kepentingan semua pihak. Tetapi, hukum
hanya dapat menjalankan fungsi ini apabila aturan yang ditetapkan memang baik.
Dengan kata lain, hukum harus adil (Franz Magnis-Suseno, Etika Politik:
Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1987, h. 85)
Kepastian dan Keadilan Hukum
Ternyata, antara tuntutan kepastian hukum dan tuntutan agar
hukum sesuai dengan perasaan keadilan masyarakat, terdapat ketegangan.
Ketegangan itu termasuk hakikat hukum sendiri seperti pertentangan antara Teori
Hukum Kodrat dan Positisme Hukum. Hukum memang harus pasti (tidak bisa
ditafsirkan dan diterapkan seenaknya, NE). Kepastian adalah dasar hukum. Tanpa
kepastian, keadilan pun tidak dapat terlaksana. Tetapi, kepastian tidak boleh
dimutlakkan. Agar hukum tetap adil, perlu ada keluwesan (Franz Magnis-Suseno,
Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1987, h. 84)
TENTANG SUBSTANSI HUKUM SEBAGAI
DASAR LEGITIMASI
"Legalitas tidak mungkin merupakan tolok ukur paling
fundamental bagi kebsahan wewenang politis. Karena legalitas hanya dapat
memperbandingkan suatu tindakan dengan hukum yang berlaku, maka selalu sudah
diandaikan keabsahan hukum. Tetapi, bagaimana hukum sendiri dapat dicek
legalitasnya? Barangkali dengan cara mengecek apakah norma hukum kongkret yang
mendasari penilaian tentang legalitas tindakan kekuasaan tadi ditetapkan sesuai
dengan bagian hukum yang menentukan prosedur pembuatan hukum. Tetapi, lalu
timbul pertanyaan apakah bagian hukum yang mengenai cara pembuatan itu sendiri
legal atau 'sesuai dengan hukum' yang berlaku. Barangkali kita masih dapat
mengacu pada undang-undang dasar negara itu, tetapi paling lambat di situ kita
tidak dapat bertanya terus. Pendasaran wewenang politik pada legalitas akhirnya
merupakan 'regressus ad infinitum'
(mundur tanpa akhir) karena hukum positif yang mendasari legalitas selalu harus
berdasarkan suatu hukum positif lagi. Dengan kata lain, legitimasi paling
fundamental tidak dapat didasarkan pada penetapan hukum positif. Secara
historis, kenyataan logis itu diilustrasikan oleh fakta bahwa kekuasaan negara
tidak pernah seluruhnya dapat dikembalikan pada suatu asal usul yang legal.
Pada permulaan setiap negara, kita tidak menemukan kesesuaian dengan suatu
hukum, melainkan kekuatan keberhasilan: yang menentukan ialah bahwa suatu
sistem kekuasaan tertentu berhasil untuk mempertahankan diri dan memperoleh
eksistensi politis. Pada permulaan tatanan politik, kita akan menemukan suatu
kehendak yang berhasil memaksakan diri sebagai penguasa yang harus diakui. Hal
itu berlaku juga bagi segenap negara yang tercipta dalam suatu wilayah yang
berhasil untuk memisahkan diri dari suatu negara, yang lahir dari pemberontakan
bangsa yang dijajah terhadap penjajah dan dari perombakan total sistem
kenegaraan sebagai akibat suatu revolusi. (Franz Magnis-Suseno,
Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1987, h. 59-60)
Thomas Aquinas:
Kedaulatan Hukum Kodrat
Teori hukum kodrat Thomas Aquinas telah saya bahas. Hukum
kodrat adalah hukum dasar moral yang mencerminkan hukum kebijaksanaan Ilahi.
Hukum positif sebagai hukum buatan manusia hanyalah sah sejauh berdasarkan
hukum kodrat. Jadi, tindakan legislatif negara hanya legitimit asal sesuai
dengan norma-norma moral. Kesimpulannya ialah, bahwa suatu penetapan negara
yang tidak berdasarkan hukum kodrat, yang bertentangan dengan norma-norma moral
dasar, tidaklah sah. Tindakan di luar batas-batas hukum kodrat tidak lebih dari
suatu pemaksaan belaka dan tidak mempunyai daya ikat. Fakta kekuasaan tidak
memberikan hak apa-apa. Bahwa seseorang atau sebuah lembaga memiliki kekuasaan
untuk memaksakan kehendaknya pada masyarakat, tidak memberikan suatu hak apa
pun untuk menuntut ketaatan (Franz Magnis-Suseno, Etika Politik:
Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1987, h. 196)
LEGITIMASI
ETIS DAN
HUKUM (LEGALITAS)
Legalitas semata-mata
tidak dapat menjamin legitimasi etis. Alasannya sederhana saja: legalitas hanya
memakai hukum yang berlaku sebagai kriteria keabsahan. Padahal, hukum yang
berlaku belum tentu dapat dibenarkan secara etis. Kesesuaian wewenang negara dengan
sembarang hukum belum dapat menghasilkan dasar yang mencukupi bagi keabsahan
etis. Tidak sembarang hukum dapat dibenarkan. Hukum yang berlaku harus adil.
Dari situ kita dapat menarik suatu kesimpulan yang mempunyai konsekuensi moral
yang jauh. Walaupun negara harus bertindak sesuai dengan hukum, namun itu baru
berupa prasyarat. Penggunaan kekuasaan negara belum tentu legitimit secara etis
kalau hanya didasarkan dengan hukum. Penggunaan kekuasaan harus juga sesuai
dengan kriteria-kriteria prapositif keadilan, seperti misalnya dengan hak-hak
asasi manusia. Karena undang-undang merupakan hasil kegiatan (legislatif)
negara sendiri, tak mungkin negara dapat mendasarkan keabsahannya semata-mata
pada kesesuaian tindakan-tindakannya dengan undang-undang itu. Maka negara
tidak dapat membenarkan segala tindakan segala tindakan hanya dengan mengatakan
bahwa tindakan itu sesuai dengan hukum yang berlaku. Kalau hukum itu tidak
memadai, kalau segi-segi keutuhan manusia yang penting tidak diberi
perlindungan atau kalau ada undang-undang dan peraturan-peraturan yang dengan
sengaja dibuat kabur dan luas (multitafsir, NE) untuk memberikan legalitas bagi
tindakan-tindakan negara yang meragukan, jangan dikira bahwa dengan demikian
tindakan negara yang memanfaatkan hukum semacam itu, secara moral lantas dapat
dibenarkan. Legalitas belum menjamin moralitas negara. (Catatan dari saya NE:
misalnya apa yang dikatakan Jimly Asshiddiqie tentang rezim Orde Baru yang
melegalkan tindakan korupsi dengan cara, misalnya, mengeluarkan Keppres. Maka
ia mengistilahkan dengan government by Keppres. Saat ini pun juga banyak
contohnya, misalnya, Perda yang dibuat untuk menindak PKL. Atau UU yang dibuat
sedemikian rupa yang nyata-nyata tidak adil. Buktinya banyak UU yang dibatalkan
oleh MK). (lebih jelas, lihat Franz Magnis-Suseno, Etika Politik:
Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1987, h. 64)
LEGITIMASI ETIS
DAN LEGITIMASI
SOSIOLOGIS
Adalah tugas etika untuk
mempertanyakan keabsahan pandangan-pandangan dan norma-norma moral yang de facto
ditemukan dari segi prinsip-prinsip. Etika tidak dapat mendasarkan diri pada
pandangan-pandangan moral yang de facto dianut dalam suatu masyarakat,
melainkan sebaliknya bertugas untuk mempertanyakannya secara kritis. Jadi
legitimasi etis wewenang negara tidak tergantung dari apa yang dipikirkan
orang. Meskipun kebanyakan anggota masyarakat setuju dengan tatanan dan pola
tindakan suatu negara, namun masalah kita tetap belum terjawab: apakah tatanan
dan pola tindakan itu memang dapat dibenarkan? Apakah kita memang wajib
menaatinya?
Dari pertimbangan ini kita
dapat menarik beberapa kesimpulan. Satu kesimpulan adalah bahwa suatu
faktisitas (fakta) normatif selalu dapat, dan karena itu harus, dipertanyakan
secara etis. Fakta bahwa ada sistem norma-norma dan hirarki pemerintahan
tertentu tidak dengan sendirinya menjamin keabsahannya dengan demikian
tuntutannya agar kita taat kepadanya tidak dengan sendirinya harus ditaati.
Jadi pertanyaan tentang apa yang wajib kita lakukan tidak dapat kita jawab
begitu saja dengan menunjuk pada apa yang oleh kebanyakan orang dianggap
sebagai kewajiban dalam wilayah yang bersangkutan. Mungkin saja bahwa
orang-orang itu keliru. Jumlah orang yang menganut suatu pendapat moral tidak
menentukan apakah pendapat mereka benar atau tidak. Dan, satu kesimpulan yang
lebih kongkret: dukungan mayoritas bagi kebijakan kekuasaan politik belum
menjamin harkat moral kebijakan itu.
akan keabsahan
pandangan-pandangan dan norma-norma moral yang de facto ditemukan dari segi
prinsip-prinsip. Etika tidak dapat mendasarkan diri pada pandangan-pandangan
moral yang de facto dianut dalam suatu masyarakat, melainkan sebaliknya
bertugas untuk mempertanyakannya secara kritis. Jadi legitimasi etis wewenang
negara tidak tergantung dari apa yang dipikirkan orang. Meskipun kebanyakan
anggota masyarakat setuju dengan tatanan dan pola tindakan suatu negara, namun
masalah kita tetap belum terjawab: apakah tatanan dan pola tindakan itu memang
dapat dibenarkan? Apakah kita memang wajib menaatinya?
Dari pertimbangan ini kita
dapat menarik beberapa kesimpulan. Satu kesimpulan adalah bahwa suatu
faktisitas (fakta) normatif selalu dapat, dan karena itu harus, dipertanyakan
secara etis. Fakta bahwa ada sistem norma-norma dan hirarki pemerintahan
tertentu tidak dengan sendirinya menjamin keabsahannya dengan demikian
tuntutannya agar kita taat kepadanya tidak dengan sendirinya harus ditaati.
Jadi pertanyaan tentang apa yang wajib kita lakukan tidak dapat kita jawab
begitu saja dengan menunjuk pada apa yang oleh kebanyakan orang dianggap
sebagai kewajiban dalam wilayah yang bersangkutan. Mungkin saja bahwa
orang-orang itu keliru. Jumlah orang yang menganut suatu pendapat moral tidak
menentukan apakah pendapat mereka benar atau tidak. Dan, satu kesimpulan yang
lebih kongkret: dukungan mayoritas bagi kebijakan kekuasaan politik belum
menjamin harkat moral kebijakan itu (lihat Franz Magnis-Suseno, Etika Politik:
Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1987, h. 65-66)
TIGA NILAI-NILAI DASAR HUKUM
1. Keadilan
2. Kebebasan
3. Solidaritas sosial (kebersamaan) (Franz Magnis-Suseno, Etika
Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1987, h. 120)
DELIBERASI PUBLIK
"Proses menimbang-nimbang bersama masyarakat dalam
teori politik kontemporer dikenal sebagai 'deliberasi publik'." (F. Budi Hardiman)
"Summa justitia, summa iniuria; keadilan yang
tertinggi adalah ketidakadilan yang terbesar." (Cicero, dikutip Magnis,
dalam Etika Politik, h. 83)
ETIKA POLITIK YUNANI: PLATO DAN ARISTOTELES
a. Plato: Negara dan Keadilan
Plato menulis pada zaman masyarakat Yunani mengalami
perubahan-perubahan yang mendalam. Athena, pusat kebudayaan Yunani semakin
merosot dalam semua bidang sebagai akibat kekalahannya dalam perang Pelopones.
Pemerintahan negara menjadi rebutan orang-orang yang tidak memenuhi syarat,
tetapi berambisi. Dalam situasi itu, Plato menggagas pola kehidupan negara yang
baik. Kehidupan itu akan tercapai apabila masyarakat ditata menurut cita-cita keadilan.
Keadilan dipahami sebagai tatanan seluruh masyarakat yang selaras dan seimbang.
Plato membangun suatu model negara. Dalam negara terdapat tiga golongan:
1. Penjamin makanan, yang bekerja agar kebutuhan manusia
dapat tersedia: petani, pedagang, tukang, buruh, pengemudi kereta, dan pelaut;
2. Para penjaga, golongan yang mengabdi pada kepentingan
umum. Mereka perlu diberi pendidikan intensif di bidang filsafat, gimnastik,
dan musik;
3. Para pemimpin. Mereka diambil dari antara para penjaga,
yang paling mendalami filsafat. Itulah paham termasyhur Plato tentang
raja-filosof. Filosof adalah orang yang sanggup untuk melihat idea-idea atau
hakikat-hakikat rohani di belakang bayang-bayang alam indrawi yang
berubah-ubah. Hal itu mungkin karena ia telah mengatasi keterikatan pada nafsu
dan indera dan dengan demikian bebas dari pamrih.
b. Aristoteles: Kebahagiaan
Aristoteles membahas polis dalam rangka permasalahan tujuan
manusia. Tujuan terakhir manusia adalah kebahagiaan (eudaimonia). Untuk hidup
dengan baik, sebagai manusia beradab, yang dapat mengembangkan
potensi-potensinya, ia membutuhkan negara sebagai tatanan kehidupan bersama
manusia dalam satu masyarakat. Dari situ, Aristoteles mengambil kesimpulan
bahwa tujuan negara adalah sama dengan tujuan manusia: agar manusia mencapai
kebahagiaan. Maka negara bertugas untuk mengusahakan kebahagiaan para warganya.
Dengan melawan Plato, Aristoteles tidak menyerahkan
kepemimpinan negara kepada seorang filosof. Baginya, filsafat sibuk dengan
hal-hal abadi yang tak berubah, sedangkan politik menyangkut manusia yang
selamanya berubah-ubah. Yang dibutuhkan oleh seorang pemimpin masyarakat adalah
kebijaksanaan dalam pergaulan dan keutamaan-keutamaan etis. Sikap-sikap itu
tidak merupakan objek pengetahuan filosofis, melainkan tumbuh dalam keakraban
dengan yang baik, dalam berulang-ulang melakukannya (Franz Magnis-Suseno, Etika
Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1987, h. 186-189)
GAGASAN DASAR
NEGARA HUKUM
Paham negara hukum berdasarkan keyakinan bahwa kekuasaan
negara harus dijalankan atas dasar hukum yang baik dan adil. Ada dua unsur
dalam paham negara hukum: pertama bahwa hubungan antara yang memerintah dan
yang diperintah tidak berdasarkan kekuasaan, melainkan berdasarkan suatu norma
objektif yang juga mengikat pihak yang memerintah. Dan kedua, bahwa norma
objentif itu, hukum, memenuhi syarat bukan hanya secara formal, melainkan dapat
dipertahankan berhadapan dengan idea hukum. Hukum menjadi landasan segenap
tindakan negara; dan hukum itu sendiri harus baik dan adil. Baik karena sesuai
dengan apa yang diharapkan masyarakat dari hukum, dan adil karena maksud dasar
segenap hukum adalah keadilan (Franz Magnis-Suseno, Etika Politik:
Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1987, h. 295)
Hukum dan Legitimasi Demokratis
Legitimasi demokratis adalah tuntutan agar penggunaan kekuasaan harus
berdasarkan persetujuan para warga negara itu sendiri dan senantiasa berada di
bawah kontrol mereka. Hal ini mengandung tuntutan agar kekuasaan negara
dijalankan berdasarkan dan dalam batas-batas hukum. Kontrol demokratis negara
secara langsung mengenai kekuasaan legislatif. Semua undang-undang harus
disetujui oleh parlemen yang dipilih oleh para warga negara (Franz
Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern,
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1987, h. 296)
NEGARA HUKUM DAN MORAL
Negara hanya dapat disebut negara hukum apabila hukum yang
diikutinya adalah hukum yang baik dan adil. Artinya, hukum sendiri secara moral
harus dapat dipertanggungjawabkan. Dan itu berarti bahwa hukum harus sesuai
dengan paham keadilan masyarakat dan menjamin hak-hak asasi manusia. Cukup kiranya di sini untuk digarisbawahi bahwa
kesesuaian penggunaan kekuasaan negara dengan hukum yang berlaku merupakan
syarat perlu (necessary condition), tetapi belum tentu syarat yang mencukupi
(sufficient condition) agar kita dapat bicara tentang negara hukum. Hukum dapat
saja merupakan alat dalam tangan penguasa untuk melegitimasi tujuan-tujuan yang
tidak wajar. Penguasa dapat menciptakan hukum sendiri, sesuai dengan
kepentingan-kepentingannya. Maka di bawah topeng legalitas, kesewenangan
kekuasaan dapat merajalela dengan bebas. Adilnya hukum dan jaminan terhadap
hak-hak asasi manusia merupakan bagian integral negara hukum(Franz
Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern,
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1987, h. 300). Tentang hal ini baca juga
tentang Teori Hukum Kodrat dan Aliran Positivisme Hukum, dalam buku yang sama.
Contoh hukum yang tidak berdasarkan moral: Di zaman Nazi
Hitler, ada undang-undang antisemit atau anti Yahudi, yaitu undang-undang yang
memperlakukan warga Yahudi dengan tidak manusiawi. Undang-undang itu dikenal
dengan Undang-Undang Nuremberg. Jadi, Hitler pun memerintah juga menggunakan
hukum. Namun, hukum yang seperti apa? Dan bisakah Nazi Jerman disebut negara
hukum? Tentu sulit untuk mengatakan demikian. Mengenai Undang-Undang Nuremberg,
baca: "Undang-Undang Nuremberg", di internet. Di situ juga ada
contoh-contoh pasal yang tidak manusiawi, tidak masuk akal, dan bertentangan
dengan hak asasi manusia.
Ciri-ciri Negara Hukum
1.
Kekuasaan
dijalankan sesuai dengan hukum positif yang berlaku. Artinya, alat-alat negara
menjalankan kekuasaan berdasarkan hukum yang berlaku dan dengan cara yang
ditentukan dalam hukum itu. Dalam negara hukum, tidaklah cukup bahwa instansi
negara, misalnya pemerintah, berpendapat bahwa suatu tindakan perlu diambil
demi kepentingan umum, melainkan tindakan itu hanya boleh diambil apabila tidak
bertentangan dengan undang-undang;
2.
Kegiatan
negara berada di bawah kontrol kekuasaan kehakiman yang efektif;
3.
Berdasarkan
sebuah undang-undang dasar yang menjamin hak-hak asasi manusia. Negara hanya
dapat disebut negara hukum apabila hukum yang diikutinya adalah hukum yang baik
dan adil. Artinya, hukum sendiri secara moral harus dapat
dipertanggungjawabkan. Dan itu berarti bahwa hukum harus sesuai dengan paham
keadilan masyarakat dan menjamin hak-hak asasi manusia. Cukup kiranya di sini untuk digarisbawahi bahwa
kesesuaian penggunaan kekuasaan negara dengan hukum yang berlaku merupakan
syarat perlu (necessary condition), tetapi belum tentu syarat yang mencukupi
(sufficient condition) agar kita dapat bicara tentang negara hukum. Hukum dapat
saja merupakan alat dalam tangan penguasa untuk melegitimasi tujuan-tujuan yang
tidak wajar. Penguasa dapat menciptakan hukum sendiri, sesuai dengan
kepentingan-kepentingannya. Maka di bawah topeng legalitas, kesewenangan
kekuasaan dapat merajalela dengan bebas. Adilnya hukum dan jaminan terhadap
hak-hak asasi manusia merupakan bagian integral negara hukum.
4.
Menurut
pembagian kekuasaan. Tujuannya adalah untuk menghindarkan pemusatan kekuatan.
Misalnya, legislatif, eksekutif, dan yudikatif (Franz Magnis-Suseno, Etika
Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1987)
Hukum Bertujuan Membatasi?
Tatanan hukum membatasi kelakuan para warga masyarakat.
Tetapi, hukum tidak diciptakan demi pembatasan-pembatasan itu sendiri,
melainkan demi nilai-nilai yang mau direalisasikan melalui hukum itu. Nilai
kebebasan terletak dalam penolakan terhadap kesewenangan kekuasaan. Pembatasan
terhadap hak kita untuk bertindak, yang merupakan hakikat hukum, justru
menjamin kebebasan kita dari pembatasan-pembatasan yang sewenang-wenang, yang
tidak dipertanggungjawabkan, yang tidak berdasarkan pengakuan fundamental kita
sendiri terhadap adanya tatanan sosial, jadi yang hanya berdasarkan kekuatan
pihak yang berkuasa saja. Hukum justru menjamin kebebasan setiap orang dan
kelompok orang untuk mengurus diri sendiri lepas dari paksaan pihak-pihak yang
tidak berhak. Nilai kebebasan memuat pengakuan bahwa pembatasannya tidak boleh
sewenang-wenang (Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral
Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1987, h. 304)
Tujuan Negara dalam
Perspektif
Etika Politik
Apabila kita bertolak dari tugas negara untuk mendukung dan
melengkapkan usaha masyarakat untuk membangun suatu kehidupan yang sejahtera,
di mana masyarakat dapat hidup dengan sebaik dan seadil mungkin, maka tujuan
negara adalah penyelenggaraan kesejahteraan umum.
Kapan seseorang merasa sejahtera? Jawabannya harus
dirumuskan baik secara negatif maupun secara positif. Secara negatif, manusia
disebut sejahtera apabila ia bebas dari perasaan lapar dan dari kemiskinan,
dari kecemasan akan hari esok, bebas dari perasaan takut, dari penindasan,
apabila ia tidak merasa diperlakukan dengan tidak adil. Secara positif, manusia
dapat disebut sejahtera apabila ia merasa aman, tentram, selamat, apabila ia
dapat hidup sesuai dengan cita-cita dan nilai-nilainya sendiri, apabila ia
merasa bebas untuk mewujudkan kehidupan individual dan sosialnya sesuai dengan
aspirasi-aspirasi serta kemungkinan-kemungkinan yang tersedia baginya. Apabila
kemampuan dan kreativitasnya, meskipun terbatas, bisa dikembangkannya, apabila
ia merasa tenang dan bebas. Perumusan ini menunjukkan sesuatu yang menurut
hemat saya sangat penting: kesejahteraan seseorang bukanlah sesuatu yang dapat
ditentukan secara dogmatis atau ideologis ataupun secara pragmatis dari atas,
melainkan terletak dalam perasaan orang yang bersangkutan. Bukan kitalah yang dapat
menentukan kapan seseorang bebas dari perasaan cemas, kapan ia merasa tenteram
dan bahagia. Kita hanya dapat menanyakan pada dia sendiri. Di sini
maksud-maksud dan kegiatan negara berhadapan dengan sebuah batas. Negara dapat
mengusahakan kondisi-kondisi kesejahteraan para anggota masyarakat, tetapi
tidak dapat membuat mereka merasa sejahtera. Negara tidak langsung dapat
menciptakan kesejahteraan seseorang. Kalau negara langsung mau membuat para
anggota masyarakat menjadi sejahtera, negara jatuh ke dalam totalitarisme.
Kesejahteraan seseorang atau sekelompok orang bersama terwujud dalam perasaan
mereka masing-masing. Bagaimana perasaan masing-masing anggota masyarakat
adalah kenyataan yang berada di luar kemampuan negara untuk menentukannya. Yang
diciptakan negara adalah prasyarat-prasyarat objektif yang perlu tersedia agar
kesejahteraan masing-masing anggota masyarakat dapat terwujud. Negara bertugas
untuk menciptakan prasarana-prasarana yang diperlukan masyarakat agar dapat
merasa sejahtera, tetapi yang tidak dapat dijamin oleh masyarakat sendiri.
Sebagai contoh: kesejahteraan seseorang juga tergantung dari kemampuannya untuk
bekerja dengan keras. Tetapi, pekerjaan keras pun tidak berguna, kalau
struktur-struktur ekonomi bersifat eksploitatif, karena dalam struktur-struktur
eksploitatif berlaku bahwa semakin keras ia bekerja, semakin kaya majikannya
sedangkan ia sendiri tetap miskin saja. Negara bertugas untuk menciptakan
struktur-struktur ekonomi agar siapa saja yang mau bekerja keras, dapat
menghasilkan cukup agar ia dapat hidup dengan sejahtera bersama
keluarganya (Franz Magnis-Suseno, Etika
Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1987, h. 315-316)
ANDI HAMZAH TENTANG GELAR
Kata Andi Hamzah, pakar hukum pidana, orang Belanda meledek
gelar S.H. di Indonesia sebagai Stomme
Hond, yang berarti "anjing blo
on". Oleh karenanya, ia tidak mencantumkan gelarnya pada buku karangannya.
Misalnya, gelar Prof. Dr sekalipun. Yang
ada gelar pada nama penulisnya, orang Belanda sana tidak mau baca. "Namun,
buku saya yang tidak saya cantumkan gelar, dibaca oleh orang-orang di
Belanda," kata Andi Hamzah. "Jadi," lanjut Andi pada Karni
Ilyas, "tidak usah mencantumkan
gelar." Kata Karni Ilyas: ya saya dari tahun 80-an tidak pernah
mencantumkan gelar S.H. di belakang nama saya. (Sumber: ILC, 31 Mei 2016)
"Apabila negara itu buruk, maka orang yang baik sebagai warga negara, yang dalam segala-galanya hidup sesuai dengan aturan negara yang buruk itu, adalah buruk, bahkan jahat, sebagai manusia." (Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1987, h. 15)
"Dan sebaliknya, dalam negara yang buruk, manusia yang baik sebagai manusia, seseorang yang betul-betul bertanggung jawab, akan buruk sebagai warga negara, karena tidak dapat hidup sesuai dengan aturan buruk negara itu." (Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1987, h. 15)
Etika politik mempertanyakan tanggung jawab dan kewajiban manusia sebagai manusia--bukan hanya sebagai warga negara--terhadap negara, hukum yang berlaku, dan lain sebagainya." (Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1987, h. 14)
"Cara untuk menentang pikiran yang dianggap salah bukanlah dengan membungkamkannya secara paksa, melainkan melalui konfrontasi dalam dialog atau debat yang tetap menjamin kebebasan setiap peserta untuk membela pendapatnya." (Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1987, h. 151)
"...mengapa yang satu, bidang produksi, dianggap basis yang menentukan, sedangkan dua bidang lain, institusi-institusi dan kepercayaan dan nilai-nilai dianggap bangunan atas? Marx bertolak dari pengandaian bahwa institusi-institusi, agama, moralitas, dan sebagainya ditentukan oleh struktur kelas dalam masyarakat. Menurut Marx, negara selalu mendukung kelas-kelas atas, dan agama serta sistem nilai lainnya memberikan legitimasi kepada kekuasaan kelas-kelas atas itu.
Untuk memahami apa yang dimaksud Marx, kita perlu memperhatikan bahwa hubungan-hubungan produksi dalam basis selalu berupa struktur-struktur kekuasaan, tepatnya struktur kekuasaan ekonomi. Hubungan-hubungan produksi ditandai oleh kenyataan bahwa bidang produksi dikuasai oleh para pemilik. Teori tentang basis dan bangunan atas berarti bahwa struktur-struktur kekuasaan politis dan ideologis ditentukan oleh struktur hubungan hak milik, jadi oleh struktur kekuasaan di bidang ekonomi. Itulah inti konsepsi Marx tentang basis dan bangunan atas. Kita sudah melihat arti kaitan ini. Yang menguasai bidang ekonomi, pada umumnya para pemilik, juga menguasai negara, sehingga kekuasaan negara selalu mendukung kepentingan mereka. Begitu pula kepercayaan-kepercayaan dan sistem-sistem nilai berfungsi memberi legitimasi kepada kekuasaan kelas-kelas atas. Dalam arti ini struktur kekuasaan politik dan spiritual dalam masyarakat selalu mencerminkan struktur kekuasaan kelas-kelas atas terhadap kelas-kelas bawah dalam bidang ekonomi." (Franz Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1999)
"Habermas beranggapan bahwa kekuasaan semestinya tidak hanya dilegitimasikan, melainkan juga dirasionalisasikan. Rasionalisasi di sini tidak dimengerti dalam paradigma kerja, melainkan dalam paradigma komunikasi. Yang dimaksud adalah bahwa kekuasaan harus dicerahi dengan diskusi rasional yang bersifat publik agar para anggota masyarakat dapat berpartisipasi aktif dalam menentukan perkembangan politis, termasuk mengarahkan kemajuan teknis masyarakat. (F. Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif, Yogyakarta: Kanisius, 1993, h. 22)
Menurut Marx dan Engels, bukanlah kesadaran manusia yang menentukan keadaan mereka, tetapi sebaliknya, penghidupan sosial mereka yang menentukan kesadarannya (Listiyono Santoso dkk, Epistemologi Kiri, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2015, h. 43). Maksud dari Marx di atas adalah yang berkenaan dengan basis dan bangunan atas (suprastruktur)
"Negara adalah alat untuk menjamin kedudukan kelas atas yang fungsinya secara politik meredam usaha-usaha kelas bawah untuk membebaskan diri dari penghisapan kelas atas. Sedangkan 'superstruktur ideologis'--istilah Marxis bagi pandangan moral, filsafat, hukum, agama, estetika, dan lain sebagainya--berfungsi untuk memberikan legitimasi pada hubungan kekuasaan itu. Pendekatan ini disebut juga sebagai determinisme ekonomis, yang intinya: bukan kesadaran yang menentukan eksistensi sosial, tetapi eksistensi sosial yang menentukan kesadaran.(Listiyono Santoso dkk, Epistemologi Kiri, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2015, h. 82).
Demokrasi deliberative diartikan oleh F. Budi Hardiman (2009: 129): "bukanlah jumlah kehendak individual dan juga bukan sebuah 'kehendak umum' yang merupakan sumber legitimitas, melainkan sumber legitimitas itu adalah proses deliberatif, argumentatif-diskursif suatu keputusan sementara yang ditimbang bersama-sama yang senantiasa bersifat sementara dan terbuka atas revisi."
"Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (Q.s. Al Maidah/5: 8)
Tentang Basis dan Superstruktur
Orang pertama yang menghidupkan kembali wawasan dialektika Hegel dalam Marxisme adalah seorang aktivis Partai Komunis Hongaria, Georg Lukacs (1885-1971). Dalam bukunya yang termashur, Geschichte und Klassenbewusstein (Sejarah dan Kesadaran Kelas, 1923), ia menolak determinisme ekonomis dari kalangan penganut Marxisme ortodoks. Dalam buku itu, ia menekankan peranan kesadaran kelas ploretariat sebagai subjek dialektika sejarah. Penekanan atas proses kesadaran pada manusia dalam masyarakat dan sejarah memberi kemungkinan pada Lukacs dan para pemikir kritis lainnya untuk mengarahkan diri pada fenomen superstruktur, yaitu pengetahuan dan ideologi. Fenomen superstruktur ini di kalangan Marxisme ortodoks dan dalam pandangan Marx sendiri kurang diminati karena dipandang sebagai ungkapan dari basis ekonomi belaka (F. Budi Hardiman, Kritik Ideologi, Yogyakarta: Kanisius, 1991, h. 43)
"Marx memandang proses kehidupan sosial manusia sebagai dua faktor yang memiliki hubungan searah, yaitu faktor ekonomi sebagai basis dan faktor kesadaran manusia yang terwujud dalam politik, ideologi, agama, ilmu, filsafat, (termasuk hukum, pendidikan, media massa. NE), dsb, sebagai superstrukturnya. Basis itu menentukan superstruktur sehingga perubahan dalam struktur ekonomi akan mengakibatkan perubahan dalam struktur kesadaran, tetapi tidak sebaliknya. Berdasarkan anggapan ini, kaum Marxis ortodoks mengabaikan gejala superstruktur dan memusatkan diri pada analisis ekonomi (catatan kaki dalam F. Budi Hardiman, Kritik Ideologi, Yogyakarta: Kanisius, 1991, h. 43)
Secara ekonomi, baik fasisme maupun Stalinisme menandai suatu peralihan dari kapitalisme liberal menuju kapitalisme monopolis yang ditangani langsung oleh negara penindas. Dengan kata lain, baik fasisme maupun Stalinisme yang bermaksud mewujudkan masyarakat sosialis itu tak lain dari perkembangan lebih lanjut dari kapitalisme yang disebut kapitalisme negara. Komunisme berusaha membenarkan penindasannya dengan mitos sosialisme, dan fasisme justru menolak komunisme dalam hal pendekatan "rasional"-nya untuk membenarkan praktik totaliternya. Tanpa tedeng aling-aling, fasisme atau lebih khusus lagi Nazisme memanipulasi emosi, kebencian, dan irasionalitas masyarakat melalui ideologi-ideologi ras untuk memusnahkan ras lawan. Bagi Horkhiemer, kritik terhadap sistem kapitalis menyangkut juga kritik terhadap ideologi fasis dan komunis. Horkheimer berkata, "Ia yang tak ingin membicarakan kapitalisme juga akan menutup mulut mengenai fasisme." Dalam konteks fasisme dan komunisme ini, Teori Kritis lahir dengan maksud membuka seluruh selubung ideologis dan irasionalisme yang telah melenyapkan kebebasan dan kejernihan berpikir manusia modern. Adorno dan rekan-rekan menyebut situasi penindasan total terhadap manusia di bawah rezim fasis sebagai Herrschaft (dominasi total). Dalam pandangan mereka, tugas dari Kritik atau teori kritis sebagai teori emansipatoris adalah menelanjangi Herrschaft ini. Dan karena bagi mereka, Herrschaft dimungkinkan oleh ideologi, dan ideologi dapat meliputi segala bidang, baik praxis politis maupun teoritis ilmiah, Teori Kritis tak lain dari Kritik Ideologi. Melalui kritik ideologi, mereka mengharapkan munculnya manusia yang sadar akan penindasan sosial atas diri mereka dan mau bergerak membebaskan diri. Dalam konteks ini pula mereka melahirkan konsep Kritik: kritik atas metodologi dan kritik atas pencerahan budi (F. Budi Hardiman, Kritik Ideologi, Yogyakarta: Kanisius, 1991, h. 48-49)
KONSEP KEBENARAN MENURUT NIETZSCHE
"Nietzsche menolak pandangan positivisme Auguste Comte. Menurut Comte, subjek mampu menangkap fakta kebenaran, sejauh hal itu faktual, dapat diindera, positif, dan eksak. Menurut Nietzsche, manusia tidak dapat menangkap fakta. Apa yang dilakukan manusia untuk menangkap objek itu hanyalah sekedar interpretasi. Fakta kebenaran 'pada dirinya' tidak ada. Yang ada hanyalah interpretasi dan perspektif. Maka dengan sendirinya tidak ada kebenaran dunia yang tunggal. Penafsiran itu tidak menghasilkan makna final, yang ada hanyalah pluralitas. Tidak dapat disangkal lagi bahwa dalam interpretasi, setiap orang mempunyai sudut pandang dan perspektifnya sendiri-sendiri. Pemahaman akan berbeda jika ia berpindah tempat mengganti sudut pandangnya itu. Demikian juga dengan masalah kebenaran. Dalam perspektif subjek-subjek tertentu sesuatu bisa dianggap benar, namun bisa jadi keliru bagi perspektif subjek lain. Bagi Nietzsche, kebenaran adalah sesuatu kekeliruan yang berguna untuk mempertahankan arus hidup. Kebenaran sama dengan kekeliruan. Gagasan kebenaran dan kekeliruan dapat digunakan secara bergantian. Dari pandangan semacam itu dapat dipahami bahwa Nietzsche tidak memberi tempat dalam filsafatnya suatu pemikiran absolutisme dalam kebenaran pengetahuan. Selain itu, ia juga tidak menerima kebenaran sebagai suatu homologi, namun sebagai paralogi. Kebenaran itu tidak satu, melainkan banyak. Pada intinya, Nietzsche tidak beranggapan bahwa apa yang dikatakan itu tidak benar, tetapi apa yang dikatakan mungkin salah." (Listiyono Santoso dkk, Epistemologi Kiri, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2015, h. 66-67)
PERTANYAAN MENDASAR
DALAM POLITIK
"Berbicara mengenai "politik", demikian lazimnya anggapan orang, adalah berbicara mengenai naluri kekuasaan yang dibenarkan secara sosial. Politik dalam arti yang seluas-luasnya adalah dimensi kekuasaan yang mengatur dan mengarahkan kehidupan sosial sebagai keseluruhan. Persoalan yang terus muncul di sini adalah siapakah yang berhak mengatur atau mengarahkan kehidupan sosial itu, dan bagaimana pengaturan dan pengarahan itu dilaksanakan. Secara lebih mendasar, persoalannya adalah manakah politik yang diterima oleh semua pihak dalam sebuah masyarakat. Ini menyangkut soal legitimasi. Sebuah kekuasaan harus dilegitimasikan agar efektif pada semua pihak." (F. Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif, Yogyakarta: Kanisius, 1993, h. 143)
"Dalam pengertian klasiknya, menurut Aristoteles, politik berhubungan dengan etika, yakni sebagai ajaran tentang hidup yang baik dan adil dalam polis atau masyarakat." (F. Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif, Yogyakarta: Kanisius, 1993, h. 156)
Beda Etika dan Moral
Menurut Magnis, ajaran moral langsung mengajarkan bagaimana orang harus hidup. Ajaran moral adalah rumusan sistematik terhadap anggapan-anggapan tentang apa yang bernilai serta kewajiban-kewajiban manusia. Misalnya, surat Wulangreh mau menjelaskan jalan untuk menjadi manusia yang baik. Sedangkan etika merupakan ilmu tentang norma-norma, nilai-nilai dan ajaran-ajaran moral. Etika tidak pertama-tama mau menjawab pertanyaan 'bagaimana manusia harus hidup?', melainkan tentang cara yang rasional (dapat dipertanggungjawabkan di hadapan akal budi) untuk menjawab pertanyaan itu. Ajaran moral misalnya mengajar bahwa manusia harus selalu berlaku jujur. Etika akan mempertanyakan apa itu jujur dan apakah tuntutan kejujuran tidak pernah dapat disaingi oleh tuntutan moral lain, misalnya kebaikan hati yang mau menutupi keburukan orang lain dengan sedikit bohong. Kita akan melihat bahwa garis pemisah antara etika sebagai ilmu di satu pihak dan ajaran moral sebagai ungkapan pendapat-pendapat moral di lain pihak tidak mutlak, tetapi sebagai titik tolak dua-duanya perlu dibedakan." (Franz Magnis-Suseno, Filsafat sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta: Kanisius, 1992, h. 31-32)
"Demokrasi bertolak dari manusia... Manusia bukan demi hukum, melainkan hukum demi manusia." (Karl Marx)-- lihat: Franz Magnis-Suseno, Filsafat sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta: Kanisius, 1992, h. 122.
PERBEDAAN ANARKISME DAN PERLAWANAN
TERHADAP NEGARA
Menurut Franz Magnis-Suseno, dalam bukunya Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, perlawanan tidak sama dengan anarkisme. Anarkisme secara prinsipil menolak hak eksistensi kekuasaan negara. Sebaliknya, hak perlawanan justru mengakui perlu adanya tatanan hukum dan kekuasaan yang menjamin keberlakuannya. Perlawanan hanya dibenarkan dalam keadaan ekstrem di mana kekuasaan negara mendukung ketidakadilan yang justru bertentangan dengan citra hukum yang paling fundamental. Hak perlawanan selalu hanya dibenarkan, kalau terpenuhi dua syarat: pertama, tindakan-tindakan penguasa secara kasar bertentangan dengan keadilan. Dan kedua, semua sarana dan jalan hukum yang tersedia untuk menentang ketidakadilan itu sudah dicoba dan tidak berhasil, termasuk protes-protes politis biasa. Tetapi, apakah hak perlawanan dapat dibenarkan? Jelaslah bahwa pertanyaan ini bersifat moral dan bukan hukum. Tidak mungkin ada hak hukum atas perlawanan, karena, perlawanan dengan sendirinya melawan hukum. Jadi, pertanyaan kita termasuk etika, bukan teori hukum.
Artinya, perlawanan dapat dibenarkan secara etika, walaupun itu secara legalistik (hukum positif) tidak sah. Perlawanan yang dibenarkan itu tentulah dalam keadaan ekstrem di mana kekuasaan negara mendukung tindakan ketidakadilan yang justru bertentangan dengan citra hukum yang paling fundamental.
Apabila negara menutup segala kemungkinan masyarakat untuk menyuarakan protes, negara sendirilah yang harus dipersalahkan kalau masyarakat mengambil jalan kekerasan. Professor Coing menulis: "Perlawanan aktif yang mengambil jalan kekerasan secara moral tidaklah wajib, tetapi dari segi hukum kodrat (hukum moral) halal dan sah berhadapan dengan suatu pemerintah yang kriminal, yang secara sadar bertindak melawan hukum kodrat. Perlawanan aktif itu dapat dibenarkan tidak hanya dari segi hak manusia untuk membela diri, melainkan, sama dengan hak hukum untuk memaksa pada umumnya, dari kodrat manusia yang tidak mengizinkan pemeliharaan tatanan umum tanpa pemakaian kekerasan dan paksaan, jadi akhirnya karena hukum kodrat diarahkan pada pewujudan tatanan umum. Dari lain pihak, hakikat hukum sebagai tatanan mengimplikasikan bahwa perlawanan aktif hanya dapat dibenarkan dalam kasus-kasus ekstrem."
Bahwa secara prinsipil warga negara berhak untuk melawan tindakan kekuasaan negara yang secara kasar bertentangan dengan keadilan, tidak dapat disangkal dan memang tidak disangkal dalam pustaka etika hukum dan politik. Hak negara untuk menuntut ketaatan secara prinsipil terbatas oleh tujuan negara, kesejahteraan umum, dan dalam paham kesejahteraan umum termasuk pula keadilan. Apabila negara menetapkan peraturan yang tidak lagi sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan yang paling fundamental, penetapan ini tidak memiliki hak lagi dan warga negara tidak wajib untuk menaatinya. Begitu pula kekuasaan negara hanya boleh dipergunakan untuk menunjang tatanan negara yang adil. Maka suatu tindakan kekuasaan yang secara kasar bertentangan dengan keadilan, boleh dilawan. Perlawanan itu dipandang sebagai semacam hak darurat untuk membela diri terhadap serangan yang tidak adil hak mana dimiliki oleh setiap orang. Bukan hanya perampok yang boleh dilawan apabila mau merampas harta dan hak kita, tetapi juga negara apabila telah menjadi perampok (lebih jelas, lihat Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1987, h. 156-168; lihat juga catatan kaki h. 158)
TIGA NILAI DASAR HUKUM
1. Kesamaan (keadilan)
2. Kebebasan
3. Solidaritas
(Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1987, h. 114-118)
DUA JENIS KEJAHATAN DALAM KAJIAN FILSAFAT HUKUM
1. Malum prohibitum (kejahatan yang dilarang oleh hukum)
2. Malum in se (kejahatan karena dalam dirinya sendiri memang buruk [jahat])
(lihat Andrea Ata Ujan, Filsafat Hukum: Membangun Hukum, Membela Keadilan, Yogyakarta, Kanisius, 2009, h. 102)
APAKAH HAK BERPENDAPAT ITU HANYA ADA PADA
KALANGAN AKADEMISI ATAU ILMUWAN?
Refly Harun, pakar Hukum Tata Negara, menjelaskan, "Atas nama konstitusi dan kebebasan, setiap orang bisa menyampaikan opini, baik secara lisan maupun tulisan. Dan itu dijamin oleh Konstitusi, terutama dalam Pasal 28 UUD 1945: hak untuk berserikat, berkumpul, mengeluarkan pendapat, baik secara lisan dan tulisan." (lihat Refli Harun, https://youtu.be/rYkvf05vkMg, menit 10:40)
*******"""
Kata Immanuel Kant, "Dalam 'hukum', seseorang bersalah adalah ketika ia melanggar hak orang lain. Sedangkan dalam 'etika', orang bersalah meski hanya berpikir untuk melakukannya." Oleh karena itu kata Pram, "Seorang terpelajar harus berlaku adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan."
++++++
"Orang baik tidak memerlukan hukum untuk bertindak secara bertanggungjawab, sementara orang jahat selalu mencari celah dalam hukum." - Plato
Versi lain:
"Orang baik tidak perlu hukum untuk memberitahu mereka agar bertindak secara bertanggung jawab, sementara orang jahat akan menemukan jalan di sekitar undang-undang." Plato
0 komentar:
Posting Komentar