Dalam rangka mengatasi kompleksitas pada masyarakat modern yang memiliki kemajemukan gaya hidup dan orientasi nilai, Habermas mempunyai keyakinan bahwa melalui tindakan komunikatif masyarakat modern dengan segala kompleksitasnya dapat diintegrasikan. Tindakan komunikatif adalah tindakan yang mengarahkan diri pada konsensus.[1] Artinya, setiap tindakan menjadi tindakan rasional yang berorientasi kepada kesepahaman, persetujuan dan rasa saling mengerti. Konsensus semacam itu, bagi Habermas, hanya dapat dicapai melalui diskursus praktis yang tidak lain adalah prosedur komunikasi. Diskursus praktis adalah suatu prosedur (cara) masyarakat untuk saling berkomunikasi secara rasional dengan pemahaman intersubjektif. Dalam tipe diskursus ini anggota masyarakat mempersoalkan klaim ketepatan dari norma-norma yang mengatur tindakan mereka.[2] Untuk mencapai konsensus rasional yang diterima umum, Habermas mengajukan tiga prasyarat komunikasi sebagai berikut: Pertama keikutsertaan di dalam sebuah diskursus hanya mungkin, jika orang mempergunakan bahasa yang sama dan secara konsisten mematuhi aturan-aturan logis dan semantis dari bahasa tersebut. Kedua, kesamaan dalam memperoleh kesempatan dalam diskursus hanya dapat terwujud, jika setiap peserta memiliki maksud untuk mencapai konsensus yang tidak memihak dan memandang para peserta lainnya sebagai pribadi-pribadi otonom yang tulus, bertanggungjawab sejajar dan tidak menganggap mereka ini hanya sebagai sarana belaka. Ketiga, harus ada aturan-aturan yang dipatuhi secara umum yang mengamankan proses diskursus dari tekanan dan diskriminasi. Aturan-aturan tersebut harus memastikan bahwa orang mencapai konsensus berkat “paksaan tidak memaksa dari argumen yang lebih baik”.[3] Melalui diskursus praktis dengan prosedur komunikasi yang rasional, Habermas yakin bahwa risiko ketidaksepakatan yang menggiring masyarakat pada disintegrasi dapat dibendung. Bagi Habermas, pluralitas yang banyak dipahami masyarakat sebagai sumber perpecahan justru berfungsi sebagai kontribusi dalam proses pembentukan opini dan aspirasi publik. Komunikasi politis pada diskursus praktis dengan argumen rasional dapat menghasilkan hukum yang legitim. Masyarakat yang membudayakan proses legislasi hukum secara demokratis akan dirangsang untuk memobilisasi solidaritas sosial yang makin meninggalkan perspektif etnosentris para anggotanya, karena dalam setiap komunikasi autentik para partisipan dapat mencapai saling pemahaman dengan cara mengambil alih perspektif partner komunikasinya. Teori tentang demokrasi deliberatif adalah suatu upaya untuk merekonstruksi proses komunikasi dalam konteks negara hukum demokratis.[4] Demokrasi Deliberatif Kata deliberatif berasal dari kata Latin deliberatio atau deliberasi (Indonesia) yang artinya konsultasi, musyawarah, atau menimbang-nimbang. Demokrasi bersifat deliberatif jika proses pemberian alasan atas suatu kandidat kebijakan publik diuji lebih dahulu lewat konsultasi publik, atau diskursus publik. Demokrasi deliberatif ingin meningkatkan intensitas partisipasi warga negara dalam proses pebentukan aspirasi dan opini agar kebijakan-kebijakan dan undang-undang yang dihasilkan oleh pihak yang memerintah semakin mendekati harapan pihak yang diperintah. Intensifikasi proses deliberasi lewat diskursus publik ini merupakan jalan untuk merealisasikan konsep demokrasi, Regierung der Regierten (pemerintahan oleh yang diperintah).[5] Demokrasi deliberatif memiliki makna tersirat yaitu diskursus praktis, formasi opini dan aspirasi politik, serta kedaulatan rakyat sebagai prosedur.[6] Menurut Reiner Forst, “Demokrasi deliberatif berarti bahwa bukan jumlah kehendak perseorangan dan juga bukan kehendak umum yang menjadi sumber legitimasi, melainkan proses pembentukan keputusan politis yang selalu terbuka terhadap revisi secara deliberatif dan diskursif-argumentatif.”[7] Dengan demikian, demokrasi deliberatif dapat dipahami sebagai proseduralisme dalam hukum dan politik. Demokrasi deliberatif merupakan suatu proses perolehan legitimitas melalui diskursivitas.[8] Agar proses deliberasi (musyawarah) berjalan fair, terlebih dahulu diperlukan pengujian secara publik dan diskursif. Habermas menekankan adanya pembentukan produk hukum dengan cara yang fair agar dapat mencapai legitimitas. Dalam demokrasi deliberatif, keputusan mayoritas dapat dikontrol melalui kedaulatan rakyat. Masyarakat dapat mengkritisi keputusan-keputusan yang dibuat oleh para pemegang mandat. Jika masyarakat sudah berani mengkritisi kebijakan pemerintah, maka secara tidak langsung mereka sudah menjadi masyarakat rasional, bukan lagi masyarakat irasional. Opini publik atau aspirasi berfungsi untuk mengendalikan politik formal atau kebijakan-kebijakan politik. Jika tidak ada keberanian untuk mengkritik kebijakan politik, maka masyarakat sudah tunduk patuh terhadap sistem.[9] Ruang Publik Habermas menegaskan bahwa ruang publik memberikan peran yang penting dalam proses demokrasi. Ruang publik merupakan ruang demokratis atau wahana diskursus masyarakat, yang mana warga negara dapat menyatakan opini-opini, kepentingan-kepentingan dan kebutuhan-kebutuhan mereka secara diskursif.[10] Ruang publik harus bersifat otonom, tanpa intervensi dari pemerintah. Ruang publik merupakan sarana warga berkomunikasi, berdiskusi, berargumen, dan menyatakan sikap terhadap problematika politik. Ruang publik tidak hanya sebagai institusi atau organisasi yang legal, melainkan adalah komunikasi antar warga itu sendiri. Habermas membagi-bagi ruang publik, tempat para aktor-aktor masyarakat warga membangun ruang publik, sebagai pluralitas (keluarga, kelompok-kelompok informal, organisasi-organisasi sukarela, dst.), publisitas (media massa, institusi-institusi kultural, dst.), keprivatan (wilayah perkembangan individu dan moral), dan legalitas (struktur-struktur hukum umum dan hak-hak dasar).[11] Dengan demikian, maka ruang publik begitu banyak terdapat ditengah-tengah masyarakat warga. Ruang publik tidak dapat dibatasi. Dimana ada masyarakat yang berkomunikasi, berdiskusi tentang tema-tema yang relevan, maka disitulah akan hadir ruang publik. Ruang publik berifat bebas dan tidak terbatas.
Add caption |
[1] F. Budi Hardiman, Teori Diskursus dan Demokrasi, (makalah), STF Driyarkara: Diskursus.com, 2008, Hlm. 10. [2] F. Budi Hardiman, Etika Politik Habermas, (Makalah), Jakarta: Salihara, 2010, Hlm. 5. [3] Ibid., Hlm. 5. [4] F. Budi Hardiman, Filsafat Fragmentaris, Yogyakarta: Kansius, 2007, Hlm. 126. [5] Ibid., Hlm. 126. [6] F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif, Yogyakarta: Kanisius, 2009, Hlm. 128. [7] Reiner Forst, Kontexte der Gerechtigkeit, Frankfrurt a.M., 1994, Hlm. 192. [8] F. Budi Hardiman, Filsafat Fragmentaris, Yogyakarta: Kansius, 2007, Hlm. 127. [9] F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif, Yogyakarta: Kanisius, 2009, Hlm. 128. [10] Ibid., Hlm. 128. [11] Ibid., Hlm. 128. [12] F. Budi Hardiman, Filsafat Fragmentaris, Yogyakarta: Kansius, 2007, Hlm. 129. [13] Ibid., Hlm. 129.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/taurahida/jurgen-habermas-demokrasi-deliberatif-dan-ruang-publik_550d50348133115922b1e277
0 komentar:
Posting Komentar