A. Latar Belakang
Sebagai negara demokrasi yang mempunyai dasarnya dalam sila ke 4 Pancasila, Indonesia ternyata dapat dikatakan mempunyai cita-cita untuk mewujudkan negara kekeluargaan. Semua persoalan dan permasalahan diperdebatkan dengan musyawarah, sedangkan voting (pemungutan suara) adalah jalan terakhir untuk dilakukan saat semua daya dan upaya telah dilakukan. Namun sebelum itu semua proses permusyawaratan harus dijalankan secara rasional dan kekeluargaan untuk menghasilkan solusi yang terbaik. Hasil permusyawaratan itu nantinya bukan untuk memenangkan pihak tertentu, tetapi menjadi solusi terbaik untuk semuanya[1].
Jika melihat cita-cita yang ingin dicapai itu, sepertinya akan cukup berguna dan mungkin akan menjadi penting untuk melihat pemikiran Habermas mengenai Komunikasi yang ideal. Karena demokrasi yang dicita-citakan oleh founding fathers kita ternyata hampir sama dan mendahului dengan apa yang dipikirkan Habermas sebagai demokrasi deliberatif. Di mana untuk menciptakan demokrasi deliberatif itu, orang-orang harus mencapai syarat-syarat tertentu sehingga apa yang mereka lakukan dapat dikatakan sebagai tindakan komunikatif, “yaitu sebuah tindakan untuk mencapai persetujuan dan kesalingpemahaman antara dua aktor atau lebih tentang sesuatu yang ada di dunia”[2].
Awalnya pemikiran Habermas ini lahir sebagai usaha untuk mengatasi kebuntuan atau keputusasaan pemikiran terhadap proyek pencerahan dan modernitas. Proyek Pencerahan yang dimulai oleh Immanuel Kant dengan berbagai kritiknya terhadap rasio manusia, dan dilanjutkan oleh filsuf-filsuf besar lainnya seperti Hegel, dan Marx terbukti mengalami jalan buntu. Para pemikir itu belum bisa menciptakan sebuah teori yang emansipatoris (membebaskan manusia).
Alih-alih membebaskan, pencerahan justru malah membelenggu manusia dengan pemikiran yang monologal. Yang dimaksud dengan monologal adalah pemikiran-pemikiran yang diandaikan sendiri oleh seorang individu. Hasil dari pengenalan yang diperoleh secara monologal ini lalau diklaim sebagai hakiki. Sehingga kebenaran dari pengetahuan yang diperoleh oleh subjek yang monologal ini dianggap legitim untuk semua mahluk rasional. Hal ini dicurigai adalah benih-benih dari totaliter dan absolutis sehingga sulit diterima dalam filsafat dewasa ini[3]. Melihat fenomena itu berbeda dengan para pemikir post-modern yang malah meninggalkan pencerahan atau modernitas, Habermas berpendapat bahwa modernitas perlu untuk dipertahankan dan direkonseptualisasikan [4]. Caranya adalah dengan menambahakan aspek komunikatif yang dapat mengatasi monologal pencerahan.
Tulisan ini mencoba untuk memaparkan pemikiran Habermas yang mengatasi kebuntuan-kebuntuan pencerahan tersebut tersebut dengan teori tindakan komunikatif-nya. Karena itu tulisan ini diawal akan mencoba memaparkan dasar pemikiran Habermas untuk melanjutkan proyek Modernitas (B) lalu mencoba memaparkan filsafat komunikasi Habermas dari teori tindakan komunikatifnya sebagai jalan keluar terhadap kebuntuan yang terjadi dalam pencerahan dan modernitas (C). Terakhir akan diakhiri dengan sedikit kesimpulan (D).
B. Modernitas Tidak Perlu Disingkirkan
a. Teori Kritis
Saya menulis sub-bab ini karena saya rasa memang cocok sebagai pengantar untuk menggambarkan tujuan Habermas secara keseluruhan. Habermas ingin melanjutkan proyek modernitas. Sebelum itu marilah kita melihat dahulu lawan dari kata-kata ini, mengapa modernitas ingin disingkirkan. Jawabannya adalah karena Modernitas (yang saya maksud dengan modernitas di sini adalah pemikiran-pemikiran yang lahir dan berkembang dari zaman yang disebut zaman modern[5]) dirasa tidak berhasil untuk membebaskan manusia dari pemikiran-pemikiran irasional sebagaimana yang dicita-citakan oleh para pelopornya.
Banyak argumen yang menunjukkan kegagalan modernitas (di sini saya hanya menuliskan hal-hal yang berhubungan erat dengan Habermas) terlebih oleh para pemikir post-strukturalis. Namun salah satu argumen terbesar adalah yang dilontarkan oleh Mazhab Fraknfurt, tempat Habermas bekerja sendiri, yaitu bahwa modernitas justru melahirkan ilmu pengetahuan yang malah menjadikannya sebuah mitos yang irrasional.
Bagi Mazhab Frankfurt hal itu terwujud karena ilmu yang lahir dalam masa pencerahan yang pada mulanya menginginkan mewujudkan sebuah teori yang emansipatoris, untuk membebaskan, malah terjebak menjadi ilmu yang ideologis. Ilmu yang ideologis ini terlihat dari ciri-ciri ilmu yang pada waktu itu berkembang, yaitu bersifat ahistoris, netral dan memisahkan teori dan praxis. Guru-guru Habermas yang tergabung dalam Mazhab Franfurt periode pertama menyebutnya dengan teori tradisional[6]. Teori tradisional ini memang cocok untuk ilmu-ilmu kealaman namun sangatlah tidak cocok bagi ilmu-ilmu kemanusiaan (humaniora). Teori tradisional yang dikritik oleh generasi awal Mazhab Frankfurt ini adalah aliran positivisme.
Ilmu-ilmu humaniora harus bisa memberikan teori yang emansipatoris, dan mazhab Frankfurt memberikan usulan yang bernama teori kritis. Tujuan teori kritis ini adalah memberikan kesadaran untuk membebaskan manusia dari masyarakat irasional dan dengan demikian memberikan pula kesadaran untuk pembangunan masyarkat rasional tempat manusia dapat memuaskan kebutuhan dan kemampuannya. Horkheimer percaya bahwa teori kritis ini akan menjadi teori yang emansipatoris. Ciri-ciri dari teori kritis ini adalah kritis, historis dan tidak memisahkan teori dengan praxis[7].
Namun dalam perkembangannya, Mazhab Fraknfurt periode pertama mengalami kebuntuan dengan teori ini. Hal itu tergambar jelas dalam karya Horkheimer dan Adorno, Dialectic of Enlightenment. Menurut mereka teori tradisional pada awalnya adalah untuk menggantikan mitos-mitos yang terbentuk sebelumnya, dan teori tradisional berhasil. Dia telah mengganti mitos dengan teori tradisional. Tetapi dengan ciri-ciri yang dipunyai oleh teori tradisional, justru kemudian teori tradisional mengkuhkuhkan dirinya sendiri menjadi mitos baru. Akhirnya dengan teori kritis, posisi teori tradisional dapat digantikan, namun dengan bergulirnya waktu teori kritis pun akan menjadi mitos, sehingga alurnya akan berulang lagi. Itulah dilema dari usaha manusia rasional. Teori kritis pun ternyata tidak mampu untuk membuat manusia menghilangkan sisi irrasionalitasnya. Proyek rasionalitas pencerahan untuk membebaskan manusia dari mitos dan irrasionalitas adalah usaha yang sia-sia[8]. Kebuntuan inilah yang nantinya akan diberikan jalan keluar oleh Habermas.
b. Pembaharuan Habermas
Sebagai generasi kedua Mazhab Frankfurt tentunya Habermas melanjutkan teori kritis yang dibangun oleh para pendahulunya. Namun tidak berhenti di sana, Habermas juga menunjukkan jalan buntu yang dilalui pendahulunya dan memberikan solusi untuk keluar dari kebuntuan itu.
Menurut habermas kebuntuan itu adalah karena para pendahulunya masih menggunakan modus filsafat kesadaran yang bersifat monologal. Filsafat kesadaran ini dimulai dari Descartes dan digunakan oleh hampir semua filsuf pencerahan. Dan kebuntuan para pendahulu Habermas dikarenakan mereka menggunakan modus yang sama untuk mengkritik filsafat pencerahan. Yaitu sama-sama dengan ideologi[9] (padahal itu adalah hal yang ditolak oleh Mazhab Frankfurt)
Ada unsur pemaksaan saat seseorang menggunakan filsafat kesadaran yang monologal untuk melihat dan mengkaji sesuatu. Karena monologal berarti beridalog sendiri, maka metode seperti itu cenderung membuat seseorang memaksakan apa yang mereka inginkan kepada apa yang dilihatnya. Tak kaget jika para pemikir postmodern mengatakan bahwa pemikiran seperti itu adalah sumber dari totalitarian dan absolutisme. Dan karena itu harus ditinggalkan.
Namun menurut Habermas, hal itu adalah hal yang tidak mungkin. Yang diinginkan para postmodernis adalah keluar dari rasio yang berpusat pada subjek. Namun bagiaman bisa melancarkan kritik seperti itu tanpa tidak tergelincir pada rasio yang berpusat pada subjek itu sendiri. Karena itu bagi Habermas, Modernitas adalah proyek yang tidak pernah selesai. Jalan keluarnya adalah bukan dengan meninggalkannya melainkan dengan membenahi cacat-cacatnya[10]. Jalan keluar untuk membenahi cacat-cacat itu menurut Habermas adalah dengan teori tindakan komunikatif. Yang dapat menghadapi kebuntuan modus filsafat monologal menjadi dialogal. Artinya ada dialog yang terjadi. Dan disanlah kita dapat melihat filsafat komunikasi dari Habermas yang akan dijelaskan di bab berikutnya.
C. Filsafat Komunikasi Jurgen Habermas
Kebuntuan yang dialami para pendahulunya tidak membuat Habermas meninggalkan semua tradisi dari Mazhab Frankfurt. Habermas malah menlanjutkannya. Sebagai pewaris yang melanjutkan tradisi Mazhab Frankfurt, ia menegaskan bahwa : teori kritis dapat menjadi ideologiekritik (kritik ideologi), yaitu suatu refleksi diri untuk membebaskan pengetahuan manusia bila pengetahuan itu jatuh dan membeku menjadi ideologi[11], sama seperti para pendahulunya. Yang berbeda dari para pendahulunya, Habermas tanpa meninggalkan keprihatinan pendahulunya merumuskan keprihatinan itu secara baru. Yaitu bahwa transformasi sosial tidak dilakukan dengan cara yang revolusioner, tetapi dengan “dialog eminsipatoris”, Dengan komunikasi yang tanpa penguasaan[12]. Karena luasnya perbincangan Habermas tentang tindakan komunikatifnya, selanjutnya tulisan ini dikhususkan hanya mendalami wacana Habermas yang berkaitan dengan filsafat komunikasi.
a. Mencari Jawaban yang Intersubjektif
Kembali kepada apa yang ingin dilakukan Habermas, yaitu menghadapi kebuntuan dari filsafat kesadaran yang monologal. Bagi Habermas cara untuk mengatasi deadlock itu adalah dengan mengubah rasio praktis –rasio yang dihasilkan dari cara berpikir monologal (rasio praktis adalah konsep yang diberikan oleh Immanuel Kant sebagai pengejawantahan rasio murni untuk memutuskan jawaban-jawaban yang berhubungan dengan tindakan praktis secara universal[13])–yang berpusat pada subjek menjadi rasio prosedural yang dapat “menggugat dirinya sendiri”. Artinya selalu dapat diperbarui dan diperbarui, dan tidak menjadi sebuah rasio atau pemikiran yang memberku menjadi ideologi dan irrasional.
Hal yang penting dari rasio prosedural bukanlah kemasukakalan dari tatanan dunia yang dirancang oleh seorang subjek secara monologal, melainkan prosedur yang diakui secara intersubjektif (antara subjek)[14]. Sesuatu yang dianggap rasional adalah sesuatu yang memperoleh kesahihannya lewat komunikasi untuk mencapai konsensus. Mengapa lewat komunikasi? Karena lewat komunikasi itulah manusia dapat mencapai kesaling pemahaman. Dan karena itulah adalah penting untuk merencanakan masa depan, yang baik, dan yang benar dengan komunikasi. Habermas menemukan bahwa sifat dasar bahasa sebagai sarana komunikasi terdapat dalam pengertian bahwa baik pembicara maupun pendengar suatu percakapan secara apriori berminat untuk saling memahami[15]. Tetapi komunikasi yang seperti apa?
Menjawabab hal itu, Habermas secara garis besar membagi orientasi tindakan manusia menjadi dua. Pertama adalah tindakan komunikatif dan kedua adalah tindakan rasional bertujuan. Tindakan rasional bertujuan ini masih dibagi menjadi dua bagian lagi yaitu tindakan instrumental dan tindakan strategis. Tindakan instrumental adalah tindakan yang bertujuan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang berhubungan dengan dunia fisik dengan tujuan untuk mencapai efisiensi yang bersifat teknis. Sedangakan tindakan strategis adalah tindakan untuk mempengaruhi orang lain demi mencapai beberapa tujuan yang bersifat partikular[16].
Menurut Habermas dalam mencapai kesaling-pemahaman dengan orang lain tidak baik kita menggunakan tindakan rasional bertujuan yang instrumental ataupun yang strategis. Mengapa? karena saat kita berkomunikasi untuk mendapatkan kesalingpemahan, hal itu tidak akan terjadi saat menggunakan tindakan tersebut. Bisa kita melakukannya tetapi yang tidak akan terjadi konsensus yang membuatn semuanya lega. Atau bahasa jawanya “lego kabeh”. Karena dalam tindakan strategis orang menggunakan bahasa untuk memaksakan kehendak. Sehingga konsensus tersebut tidak diakui[17]. Mungkin inilah mengapa banyak keputusan-keputusan yang dihasilkan oleh rapat-rapat besar tidak diterima dan mengundang kegaduhan kekacauan. Karena para aktornya menggunakan tindakan strategis.
Jalan keluar ini oleh Habermas disebut dengan tindakan komunikatif. Yang mengarahkan manusia untuk mencapai konsensus bersama dalam memcahkan suatu masalah atau untuk merumuskan masa depan. Konsensus ini dapat dianggap rasional, jika para aktor yang mengikuti proses komunikasi tersebut menyatakan pendapatnya secara bebas dan tanpa paksaan. Ada empat klaim komunikasi ini dapat berjalan dengan ideal. Klaim itu adalah kejelasan, kebenaran, kejujuran, dan ketepatan[18]. Hal itulah yang harus dilakukan agar komunikasi dapat mencapai konsensus yang saling memahami.
Namun, bukankah manusia tidak akan lepas dari yang namanya kepentingan dan kebutuhan? Bagaimana mungkin bisa menyatukan banyaknya kepentingan tersebut? Bagi Habermas, justru karena banyaknya kepentingan yang ditabrakan dalam komunikasi, kepentingan masing-masing kelompok itu akan menjadi kepentingan bersama. Karena dalam proses komunikasi juga bersifat hermeneutis (penafsiran). Bahasa dalam komunikasi membuat manusia untuk terlibat dalam interpretasi pada setiap tataran, dan dari sini meningkatkan pemahaman diri setiap peserta akibat interaksi dengan lawan bicaranya[19]. Dapat dikatakan komunikasi yang berhasil akhirnya dapat membuat orang yang pada awalnya berkata “saya”, harus keluar dari kata sayanya sehingga berkata “kami”, kemudian harus keluar lagi untuk berkata “kita”. Akhirnya komunikasi ini akan berkahir dengan persetujuan rasional yang intersubjektif. Bukan diandaikan dan dimonopoli oleh satu orang, tetapi banyak orang.
Namun sebelum mencapai kondisi dimana tindakan komunikatif yang berusaha untuk kesalingpemahan, harus ada dahulu prasyarat-prasayat yang bisa membuat konsensu menjadi legitim. Terlebih jika pembicaraan sudah menuju pembicaraan yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Ada tiga syarat yang harus dipenuhi. Pertama keikutsertaan di dalam sebuah diskursus hanya mungkin, jika orang mempergunakan bahasa yang sama dan secara konsisten mematuhi aturan-aturan logis dan semantis dari bahasa tersebut. Kedua, kesamaan dalam memperoleh kesempatan dalam diskurusu hanya dapat terwujud, jika setiap peserta memiliki maksud untuk mencapai consensus yang tidak memihak dan memandang para peserta lainnya sebagai pribadi-pribadi otonom yang tulus, bertanggungjawab dan sejajar dan tidak menganggap mereka ini hanya saran belaka. Ketiga, harus ada aturan-aturan yang dipatuhi secara umum yang mengamankan proses diskursus dari tekanan dan diskriminasi. Aturan-aturan tersebut harus memastikan bahwa orang mencapai consensus berka “paksaan tak memaksa dari argumen yang lebih baik”[20].
b. Menuju Masyarakat Komunikatif
Melihat pemikiran Habermas tentang komunikasi ini memperlihatkan bahwa Habermas sebenarnya masih memperjuangkan cita-cita dari Karl Marx. Tetapi bedanya Habermas mengganti perjuangan kelas dalam artian Marxian menjadi sebuah perbincangan rasional. Perjuangan kelas tidak lagi merupakan praxis revolusioner untuk menyingkirkan suatu kelas oleh kelas yang lain, melainkan berusaha menciptakan situasi-situasi yang saling berargumentasi secara dialogal dan komunikatif di antara kekuatan-kekuatan politis yang ada untuk mencapa konsensus[21].
Dengan ini juga terlihat bahwa sebenarnya Habermas tidak memberika suatu tatanan ideal yang normatif. Habermas memberikan caranya dengan teori komunikatifnya. Tentunya teori komunikasi yang dijelaskan oleh Habermas lebih kaya dari yang tulisan ini sajikan. Tetapi cukuplah jika tulisan ini sudah mengatakan pokok-pokoknya. Terakhir yang ingin saya berikan adalah bagaimana jawaban Habermas terkait pendasaran tindakan komunikatif yang menghasilkan konsensus ini bisa dipertahankan? Sebelumnya marilah saya perlihatkan dua prinsip etika diskurus Habermas. Prinsip itu adalah prinsip penguniversalisasian “U” dan prinisip etika diskursus “D”. dua prinisip ini adalah prinsip argumentasi dalam konsensus untuk mencapai kesepakatan.
Prinsip Penguniversailan U berbunyi seperti ini :
Sebuah norma moral hanya boleh dianggap sah kalau “akibat-akibat dan efek-efek sampingan yang diperkirakan akan mempengaruhi pemuasan kepentingan siapa saja andaikata norma itu ditaati secara umum, dapat disetujui oleh semua orang[22].
Sedangkan prinsip etika diskursus D berbunyi seperti ini :
Hanya norma-norma yang disetujui (atau dapat disetujui) oleh semua orang yang bersangkutan sebagai peserta sebuah diskurusus praktis boleh dianggap sah[23].
Prinsip yang pertama sebenarnya bisa dikatakan adalah turunan dari imperatif kategorinya Immanuel Kant tetapi yang dilakukan secara dialogal, bersama-sama, dan intersubjektif. Sebagai contoh jika yang dipersoalkan adalah apakah seks bebas dapat dibenarkan atau tidak. Prinsip U harus benar-benar mempertimbangkan secara bersama apakah seks bebas dapat dibenarkan atau tidak. Lalu dengan prinsip D berarti saat semua orang setuju dan mufakat dengan apa yang diputuskan, maka keputusan itulah yang bisa dikatakan benar dan rasional.
Habermas juga memberikan landasan agar dua prinisp ini dapat bertahan keberlakuannya[24]. Pertama adalah Habermas menolak anggapan bahwa pernyataan moral (kita dapat mengatakan bahwa komunikasi yang dihasilkan dari konsensus mengikat secara moral) hanyalah perasaan. Maka sebuah kebodohan besar jika mengatakan pernyataan moral dapat dipertanggungjawabkan secara rasional seperti dalam konsensus. Habermas menjawabnya dengan bertolak dari kesadaran moral P.F. Strawson. Pernyataan moral sebenarnya bukan hanya pernyataan perasaan tetapi juga mempunyai dimensi sah dan berlaku umum-normatif. Seperti kata-kata “hari ini hujan” yang memuat klaim kebenaran bahwa” hari ini hujan dan itu benar”, kata-kata seperti “seks-bebas itu dilarang” juga mengandaikan bahwa “seks-bebas itu tidak dapat dibenarkan dimana pun dan oleh siapapun”. Dengan demikian anggapan bahwa pernyataan moral hanyalah perasaan tidak dapat dibenarkan.
Kedua, Habermas menolak bahwa prinsip U tidak dapat dibuktikan keabsahannya. Justru pertanyaan itu yang tidak bisa diuji keabsahannya. Karena saat orang menyangkal prinsip U sebenarnya dia juga mengakui prinsip U. Dan terakhir Habermas mengatakan bahwa tindakan komunikatifnya dalam diskursus untuk mencapai konsensus bukan untuk memproduksi norma-norma moral tetapi untuk memeriksa klaim norma-norma moral yang dipersoalkan. Jadi dengan itu Habermas menghindari konflik dengan norma-norma moral yang terbentuk dari agama dan adat-istiadat. Dengan itu semua Habermas bercita-cita dapat mewujudkan sebuah masyarakat rasional yang komunikatif. Ini juga memperlihatkan bahwa Habermas memberikan inti teori sosial, bahwa proses belajar teknis dapat menguasai alam dan peningkatan produktifitas kerja, proses belajar komunikatif menghasilkan perbaikan kualitas komunikatif dan relasi-relasi di antara manusia[25].
Inti dari filsafat komunikasi Habermas adalah pada saling kepemamahan. Dari kepemahan itu lahirlah saling pengertian. Komunikasi adalah untuk itu, menabrakan berbagai kepentingan agar kita dapat meraih Konsensus bersama. Komunikasi dapat membuat kita keluar dari kukungan ideologis dan irrasionalitas yang menjadi mitos seperti yang dikatakan oleh Horkheimer dan Adorno. Karena berbentuk diskurus artinya sesuatu dapat digantikan jika sesuatu yang dianggap benar ini secara rasional dapat dipatahkan dan dengan kesepakatan yang intersubjektif yang benar akan sesalu dapat diperbaharui. Menuju kesempurnaan.
D. Kesimpulan
Dari sedikit pembahasan yang telah dilakukan kiranya saya dapat menyimpulkan beberapa hal penting dari tulisan ini. Pertama, Habermas sebagai pembaharu Mazhab Frankfurt yang dengan teori kritisnya ingin menciptakan sebuah teori yang emansipatoris dapat mengatasi kebuntuan antara rasionalitas dan irrasionalitas yang terjadi pada para pendahulunya dengan teori tindakan komunikatif. Dengan teori ini juga Habermas merasa bahwa semangat pencerahan dan modernitas tidaklah perlu untuk dijelaskan tetapi cukup untuk diperbaiki cacat-cacatnya.
Kedua, Filsafat komunikasi Habermas menekankan perlunya kesaling pemahaman antara manusia untuk mencapai konsenus. Dan itu hanya bisa terjadi dengan tindakan komunikatif. Tindakan strategis dan instrumental yang membuat seseorang memaksakan sesuatu pada seseorang – yang juga sebagai ciri-ciri filsafat monologal yang dikritik sebagai cacat pencerahan – tidak dapat membuat hal itu terjadi. Kalaupun konsensus itu terjadi maka yang terjadi adalah consensus yang tidak legitim. Yang juga berarti konsensus itu justru mengekang manusia bukannya membebaskan.
Ketiga, Filsafat komunikasi Habermas ini memperlihatkan pada kita cita-cita besar Habermas. Bahwa dia sebenarnya masih melanjutkan perjuangan kelas khas Marxian tetapi dengan cara yang berbeda. Yaitu dengan cara dialog rasional untuk mencapai konsesus. Untuk mendukung pernyataannya itu, Habermas dengan tegas menolak berbagai sanggahan yang menolak dua prinsip etika diskursusnya.
Saya yakin filsafat komunikasi Habermas lebih kaya dari ini. Namun dengan ini saja saya dapat melihat bahwa Habermas mempunyai cita-cita yang tinggi untuk membebaskan manusia dari tempurung irrasionalitas. Habermas telah berhasil memabangun sebuah teori yang prosedural dengan bukan mengatakan apakah yang ideal tetapi bagaimana caranya menjadi ideal. Dan itu adalah dengan komunikasi. Bukan hanya komunikasi tetapi komunikasi yang saling memahami (hermeneutis). Yang mempunyai empat syarat mutlak, benar, jujur, tepat, dan ikhlas.
DAFTAR PUSTAKA
Hardiman, F.B. 2007. Kritik Ideologi; Menyingkap Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan Bersama Jurgen Habermas. Yogyakarta: Kanisius
_______, 2009a. Demokrasi Deliberatif; Menimbang ‘Negara Hukum’ dan ‘Ruang Publik’ dalam Teori Diskursus Jurgen Habermas. Yogyakarta: Kanisius
_______, 2009b. Menuju Masyarakat Komunikatif; Ilmu, Masyarakat, Politik dan Postmodernisme menurut Jurgen Habermas. Yogyakarta: Kanisius
_______, 2011. Pemikiran-Pemikiran yang Membentuk Dunia Modern. Jakarta: Erlangga
Kant, Immanuel. 2005. Kritik atas Akal Budi Praktis. Terjemahan Nurhadi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Lechte, John. 2004. 50 Filsuf Kontemporer. Terjemahan A. G. Admiranto. Yogyakarta: Kanisius
Magnis-Suseno, F. 2009. 12 Tokoh Etika Abad Ke-20. Yogyakarta: Kanisius
Munir, Misnal. 2008. Aliran-aliran Utama Filsafat Barat Kontemporer. Yogyakarta: Lima
Nugroho, Hastanty Widy. 2011. Pengantar Filsafat Komunikasi. Yogyakarta: Fakultas Filsafat UGm
Rundell, J. 2005. “Jurgen Habermas”. Dalam P. Beilharz (ed.) Teori-Teori Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sindhunata. 1983. Dilema Usaha Manusia Rasional; Kritik Masyarakat Modern oleh Max Horkheimer dalam Rangka Sekolah Frankfurt. Jakarta: Gramedia
Sudjito. 2013. Hukum Sebagai sarana Pembudayaan pancasila. makalah dalam Kongres Pancasila V. Yogyakarta: UGM
Santoso, Listiyono dan I K. Wisarja. 2007. “Epistemologi Jurgen Habermas”. Dalam Listiyono santoso (Ed.) Epistemologi Kiri. Yogyakarta: Ar-Ruz Media
Watimena, R.A.A. 2007. Melampaui Negara Hukum Klasik; Locke-Roueseau-Habermas. Yogyakarta: Kanisius.
[1] Lih. Sudjito. 2013. Hukum Sebagai saran Pembudayaan pancasila. makalah dalam Kongres Pancasila V. Yogyakarta: UGM
[2] Lih. R.A.A. Watimena. 2007. Melampaui Negara Hukum Klasik. Yogyakarta: Kanisius. 103
[3] Lih. F.B. Hardiman. 2009a. Demokrasi Deliberatif. Yogyakarta: Kanisius. 30-31
[4] Lih. J. Rundell. 2005. “Jurgen Habermas”. Dalam P. Beilharz (ed.) Teori-Teori Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 212
[5] Lih. F.B. Hardiman. 2011. Pemikiran-Pemikiran yang Membentuk Dunia Modern. Jakarta: Erlangga
[6] Lebih Lengkap Lih. Sindhunata. 1983. Dilema Usaha Manusia Rasional. Jakarta: Gramedia. 72-79
[7] Ibid. 79-92
[8] Ibid. 145
[9] Lih. F.B. Hardiman. Demokrasi Deliberatif. Op. Cit. 27
[10] Lih. F.B. Hardiman. 2009b. Menuju Masyarakat Komunikatif. Yogyakarta: Kanisius. 251
[11] Lih. F.B. Hardiman. 2007. Kritik Ideologi. Yogyakarta: Kanisius. 33
[12] Ibid. 34-35
[13] Lih. I. Kant. 2005. Kritik atas Akal Budi Praktis. Terjemahan Nurhadi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 52
[14] Lih. F.B. Hardiman. Demokrasi Deliberatif. Op. Cit. 33
[15] Lih. J. Lechte. 2004. 50 Filsuf Kontemporer. Terjemahan A. G. Admiranto. Yogyakarta: Kanisius. 287
[16] Lih. R.A.A. Watimena. Melampaui Negara Hukum Klasik. Op. Cit. 102
[17] Lih. F.B. Hardiman. Demokrasi Deliberatif. Op. Cit. 36
[18] Lih. H. W. Nugroho. 2011. Pengantar Filsafat Komunikasi. Yogyakarta: Fakultas Filsafat UGM. 41
[19] Lih. J. Lechte. Loc. Cit.
[20] Lih. F. B. Hardiman. Op. Cit. 48-49
[21] Lih. L. Santoso dan I K. Wisarja. 2007. “Epistemologi Jurgen Habermas”. Dalam Listiyono santoso (Ed.) Epistemologi Kiri. Yogyakarta: Ar-Ruz Media. 241
[22] Lih. F.Magnis-Suseno. 2009. 12 Tokoh Etika Abad Ke-20. Yogyakarta: Kanisius. 236
[23] Ibid
[24] Sistematisasi ini saya mengikuti uraian F. Magnis-Suseno. Ibid 227-231
[25] Lih. M. Munir. 2008. Aliran-aliran Utama Fislafat Barat Kontemporer. Yogyakarta: Lima. 81
Sumber: http://www.philosophyresearcher.com/2014/01/habermas-tentang-komunikasi-konsensus.html
0 komentar:
Posting Komentar