Yusril Ihza Mahendra mencontohkan "etika kepantasan" dan "etika substansial". Etika kepantasan tidak jelas batasan-batasannya. Semestinya, norma hukum yang bertentangan dengan etika substansial, dianggap norma yang tidak berlaku.
Menurut Yusril, norma etika kepantasan yang disebut-sebut Prof Jimly tidak lebih dari norma sopan santun yang bersifat relatif dan sama sekali bukan norma fundamental dan absolut sebagaimana dalam norma etik. Soal etika substansial, Yusril menyebut norma fundamental yang dibahas Immanuel Kant atau Thomas Aquinas dalam Summa Theologia atau dalam tulisan-tulisan Al Ghazali.
Yusril kemudian memisalkan ketika ada orang Batak bertamu ke rumah orang Sunda dan dia menyodorkan tangan untuk bersalaman dengan tuan rumah.
Yusril mencontohkan, gaya, tata cara, dan bersalaman tamu orang Batak itu mungkin tidak sesuai dengan etika kepantasan orang Sunda. Namun, tamu orang Batak itu bukan orang jahat. Lain halnya jika tamu itu pulang, sendok garpu tuan rumah dikantongi diam-diam. Pencurian adalah pelanggaran norma etika (seperti disebut dalam Ten Commandements dan Mo Limo dalam falsafah Jawa).
Menurut Yusril, soal etika kepantasan bukan hal fundamental. Norma sopan santun itu konvensional, bahkan kadang tergantung selera untuk mengatakan pantas atau tidak pantas.
Lihat: (https://fajar.co.id/2021/10/02/sindir-balik-prof-jimly-yusril-apa-pantas-mahkamah-konstitusi-menguji-uu-mk/?page=all)
0 komentar:
Posting Komentar