alt/text gambar

Senin, 25 April 2022

Topik Pilihan: , , , , ,

REUNI, PUASA, IDUL FITRI, DAN TRADISI HALALBIHALAL

  

Oleh: Nani Efendi

 

Kata “reuni” berasal dari bahasa Inggris “reunification” (penyatuan kembali). Jadi, bisa kita katakan, “reuni” adalah penyingkatan dari kata “reunifikasi” (penyatuan kembali). Jika kita merujuk ke Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “reuni” diartikan sebagai “pertemuan kembali" (bekas teman sekolah, kawan seperjuangan, dsb). Istilah reuni berasal dari dua kata: “re” artinya “kembali”, dan “uni” artinya “menyatukan; penyatuan; persatuan”.

Banyak kata “re” yang diartikan sebagai “kembali”. Misalnya: reinterpretasi (menafsirkan kembali), reedukasi (mendidik kembali), reformasi (memformat kembali), reintegrasi (menyatukan kembali), reaksi (aksi kembali), dan lain-lain. Kata “uni” berarti “persatuan”; “ikatan”. Misalnya: Uni Eropa: persatuan Eropa.

“Reuni” berarti “menyatukan kembali”. Dalam penggunaannya, kata ini, diartikan sebagai menyatukan kembali sesuatu yang dulunya pernah bersatu. Tapi, kata yang punya arti luas dan umum ini, sekarang, sering disempitkan sebagai nama sebuah kegiatan “temu kangen” antar sahabat yang telah lama berpisah. Padahal, bukan itu pengertian yang sebenarnya.

Dalam salah satu tulisan di Kompasiana, yang berjudul, “Jika Tak Kaya, Jangan Reuni!”, dijelaskan: lazimnya yang datang ke acara reuni adalah mereka yang memiliki waktu, sumber daya, dan kesuksesan tertentu. Tulisan itu intinya mengkritik pelaksanaan reuni yang sering dilaksanakan oleh beberapa kelompok masyarakat. Acara reuni sering dijadikan ajang pamer harta dan status sosial. Maka tak heran tak semua (anggota kelompok) mau hadir di acara reuni. 

Ini yang perlu diubah dalam acara reuni. Acara reuni itu sebaiknya dibuat sederhana dan penuh keakraban. Terlebih jika acara reuni dilaksanakan pada momen Idul Fitri. Reuni itu sejatinya mengenang masa lalu, bukan sibuk menceritakan masa kini.

Reuni mempunyai sisi positif, tapi juga ada negatifnya. Yang harus kita petik adalah manfaat positif dari reuni. Beberapa manfaat positif itu misalnya: dapat mempererat tali silaturrahmi,[1] dapat berjumpa kawan lama, bertukar pikiran, berbagi pengalaman dan informasi penting, dan membantu rekan-rekan yang mungkin mengalami kesulitan, baik moril maupun materil.  

Puasa

Sekarang kita bahas lagi tentang puasa. Profesor Nurcholish Madjid, dalam bukunya Dialog Ramadlan bersama Cak Nur, menjelaskan, tradisi puasa itu sudah ada sebelum Nabi Muhammad. Dan itu memang diterangkan dalam al Qur’an. Tapi, cara berpuasa sebelum Nabi Muhammad itu bermacam-macam. Ibu Nabi Isa, misalnya, karena terancam fitnah keji lantaran melahirkan anak tanpa ayah, maka Allah memerintahkan ia puasa (shawm) dengan cara tidak berbicara kepada siapa pun (Qs. 19:26). Ada juga umat lain, kata Cak Nur, berpuasa dengan menghindari beberapa jenis makanan atau minuman tertentu. Namun, bentuk puasa yang paling umum itu, jelas Cak Nur, selalu berupa sikap menahan diri dari makan dan minum serta dari pemenuhan kebutuhan bilogis.

Bulan puasa sering juga disebut bulan latihan. Tapi latihan yang dimaksud bukanlah latihan fisik atau jasmani, melainkan latihan jiwa, spiritual, atau keruhanian. Ada juga yang mengatakan, puasa adalah latihan jasmani untuk penyempurnaan ruhani. Terlepas dari perbedaan itu, yang jelas inti puasa adalah keruhanian, bukan ujian ketahanan fisik atau jasmani. Ibadah puasa, jelas Nurcholis Madjid, sangat berkaitan dengan ide latihan atau riyadlah (exercise), yaitu latihan keruhanian.

Jadi, puasa, terutama puasa Ramadhan, dalam Islam bukanlah hanya sebatas menahan lapar dan dahaga. Tapi yang lebih utama adalah menahan dan mengendalikan keinginan hawa nafsu terhadap hal-hal yang dilarang oleh Allah. Jadi, menahan makan dan minum bukanlah tujuan puasa, tapi itu sekedar cara atau metode saja dari Allah untuk melatih manusia agar mampu mengekang keinginan hawa nafsunya. Karena itulah jika ada orang makan dan minum dalam keadaan puasa disebabkan lupa, maka puasanya tidak batal. Seseorang lupa berarti bukan diperintahkan oleh hawa nafsunya. Karena itulah puasanya tidak batal.

Ada yang mengatakan menggosok gigi di siang hari puasa itu makruh. Alasannya, nanti takut tertelan air. Ya, saya bilang kalau tertelan berarti tidak sengaja ya tidak apa-apa. Dan itu tidak dapat membatalkan puasa karena bukan disengaja. Bukan ada niat. Tapi jika sudah ada niat atau terbersit niat dalam hati untuk minum, maka sedikit pun air yang masuk ke kerongkongan, puasa bisa batal. Mengapa? Karena di situ ada niat untuk minum. Dan itu berarti kita tidak mampu mengendalikan hawa nafsu yang menjadi tujuan hakiki dari puasa.

Puasa dalam Islam berbeda dengan puasa yang diperintahkan oleh dokter pada pasiennya ketika akan melakukan operasi. Puasa oleh dokter itu memang bertujuan agar orang yang akan dioperasi benar-benar tidak makan dan minum sebelum operasi. Artinya, puasa dalam konteks itu hanya bersifat fisik semata. Jika pasien makan atau minum sebelum operasi, baik sengaja maupun tidak, maka dapat dipastikan akan berdampak fatal terhadap pasien. Puasa dalam Islam tidaklah seperti itu. Tujuan puasa dalam Islam bukan untuk fisik, tapi untuk latihan ruhani. Walaupun ia juga mempunyai manfaat bagi kesehatan fisik.

Nah, bukti lain substansi puasa bukan sekedar tidak makan dan minum adalah kita dianjurkan untuk makan sahur. Bahkan makan sahur dianjurkan oleh Rasulullah di akhir waktu. Mengapa? Agar manusia yang berpuasa tidak tersiksa secara fisik. Dengan makan di akhir waktu, maka ada energi bagi fisik untuk bertahan sampai waktu berbuka. Artinya, rentang waktu perut kosong tidak terlalu lama.

Dan mengapa pula ketika waktu berbuka telah masuk kita dianjurkan untuk segera berbuka? Tujuannya agar tubuh tidak terlalu lama tersiksa. Itu intinya. Allah tidak memerintahkan kita menyiksa tubuh kita sendiri. Dan, dianjurkan lagi berbuka dengan yang manis-manis. Mengapa? Karena makanan yang manis dapat menormalkan kembali metabolisme tubuh dengan cepat.

Cak Nur, merujuk Syaikh Muhammad ‘Abduh, menjelaskan adanya kenyataan bahwa orang-orang kafir penyembah berhala melakukan puasa (menurut cara mereka masing-masing) dengan tujuan utama “membujuk” dewa-dewa agar jangan marah kepada mereka atau agar senang kepada mereka dan “memihak” mereka dalam urusan hidup di dunia ini. Ini sejalan dengan kepercayaan mereka bahwa dewa-dewa itu akan mudah dibujuk dengan jalan penyiksaan diri sendiri dan tindakan mematikan hasrat jasmani.[2]

Cara pandang kaum musyrik itu, lanjut Cak Nur, merupakan konsekuensi paham mereka tentang Tuhan sebagai yang harus didekati dengan sesajen, berupa makanan atau lainnya (termasuk manusia sendiri) yang “disajikan” kepada Tuhan. Altar di kuil-kuil bangsa Inca di Amerika Selatan, umpanya, menunjukkan adanya praktek ibadah mendekati Tuhan dengan sesajen berupa korban manusia. Demikian pula, kata Cak Nur, pada bangsa-bangsa Mesir Kuno, Romawi, Yunani, India, dan lain-lain.[3]

Cara itulah yang menyalahi agama tauhid. Agama tauhid mengajarkan manusia untuk tunduk, patuh, dan pasrah sepenuhnya (islam) kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam agama tauhid, Tuhan tidak didekati dengan sesajen, melainkan dengan amal perbuatan yang baik. Dalam Islam juga ada istilah ibadah korban. Tapi motifnya berbeda dengan korban dalam agama kaum musyrik.

Binatang korban dalam ibadah korban hanyalah sarana, bukan merupakan bentuk sesajen yang diberikan kepada Tuhan. Sesuai dengan nama ibadah itu, korban (Arab: qurbah), adalah tindakan mendekatkan diri kepada Tuhan. Pendekatan itu dilakukan bukan dengan cara memberikan “materi korban”, dalam arti sesajen, kepada Tuhan, melainkan karena motif taqwa dalam jiwa pelakunya untuk membantu anggota masyarakat yang kurang beruntung. Jadi, dalam Islam, materi korban hanya sarana saja, bukan tujuan. Tujuannya: sikap taqwa untuk membantu sesama. Oleh karena itu, Allah berfirman, “Tidaklah bakal sampai darah dan daging binatang korban itu kepada Allah, melainkan yang bakal sampai itu ialah taqwa dari kamu.” (Qs. 22:37)

Sebagaimana substansi ibadah korban, dan juga ibadah-ibadah lainnya dalam Islam, demikian jugalah dengan ibadah puasa. Allah tidak butuh lapar dan dahaga dari orang yang berpuasa. Yang diinginkan Allah ialah agar yang berpuasa berlatih mengendalikan hawa nafsunya. Menahan lapar dan dahaga hanya cara atau metode latihan saja. Oleh karena itu, Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta malah mengamalkannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan.” (HR. Bukhari no. 1903).

Jadi, puasa itu bukanlah sekedar menahan lapar dan haus saja, tapi yang lebih penting: bagaimana mempuasakan seluruh tubuh kita (jasmani maupun ruhani) dari hal-hal yang dilarang oleh Allah. Rasulullah bersabda, “Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan sesuatu dari puasanya kecuali lapar dan dahaga.” (HR. An-Nasa’i). Hadits ini menunjukkan bahwa puasa bukanlah sekedar menahan diri dari tidak makan dan minum. Tapi lebih dari itu: puasa berarti menahan diri kita dari melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Allah.

Selama sebulan, kita dilatih untuk mengendalikan hawa nafsu kita dari melakukan hal-hal yang dilarang oleh Allah dan melaksanakan hal-hal yang diperintahkan oleh Allah. Jika kita berhasil mendidik atau melatih diri kita melalui metode puasa—yakni berhasil menahan diri dari yang dilarang Allah dan melaksanakan perintah-perintah Allah—maka kita sudah tergolong kepada manusia yang bertakwa.

Menjadikan manusia bertakwa itulah tujuan hakiki dari puasa. Pengertian sederhana dari "taqwa", menurut saya, adalah selalu mencintai kebenaran dan membenci kejahatan dan keburukan, atau senantiasa mengikuti perintah Allah dan menghindari segala yang dilarang-Nya. Saling memaafkan antar sesama adalah salah satu wujud nyata dari perilaku manusia yang bertaqwa. Dan saling memaafkan dalam suasana Idul Fitri adalah bentuk manifestasi dari hasil latihan ruhani di bulan Ramadhan.

Idul Fitri

Untuk memahami pengertian Idul Fitri, saya merujuk Nurcholish Madjid (Dialog Ramadlan Bersama Cak Nur, h.128). Kita harus lihat dari makna asal kata “id al-fithr” dalam bahasa Arab. Kata ‘id adalah dari akar kata yang sama dengan kata-kata ‘awdah atau ‘awdatun,adah atau ‘adat-un dan isti’adat-un. Semua kata-kata itu mengandung makna asal “kembali” atau “terulang” (perkataan Indonesia “adat-istiadat” adalah pinjaman dari bahasa Arab ‘adat-un wa isti-‘adatun, yang berarti sesuatu yang selalu akan terulang. Adat ialah sesuatu yang menjadi kebiasaan karena selalu diulang. Maka disebut “adat kebiasaan”).

Makna asal kata “fitri” kiranya sudah jelas, karena satu akar dengan “fitrah”, “kejadian asal yang suci”, atau “kesucian asal”. Manusia diciptakan dalam kesucian asal yang disebut fitrah. Kesucian asal inilah yang membuat manusia berkecenderungan suci (cenderung pada kebenaran dan kebaikan), yang disebut hanif. Tempat bersemayamnya kesucian asal itu ialah pusat kedirian manusia yang disebut “nurani” (bersifat nur/cahaya; bersifat terang).

Sifat hanif itu terbentuk dari perjanjian primordial manusia dengan Tuhan, ketika akan ditiupkan ruh ke dalam diri manusia, sebagaimana dijelaskan dalam al Qur’an surat Al A’raf/7: 172. “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)."

Dalam perjanjian primordial itu, manusia (dalam alam ruhani) menyatakan kesediaan untuk mengakui Allah sebagai Tuhan dengan sikap penuh ketaatan, tunduk, patuh, dan berserah diri yang sempurna (islam).[4] Itulah sebabnya manusia, suka kebaikan dan kebenaran. Kalau manusia ditanya, ia suka baik atau buruk, pasti suka yang baik. Suka yang benar atau yang salah, pasti suka yang benar. Adil atau tidak, pasti suka yang adil. Kebaikan yang diakui oleh nurani manusia yang hanif itulah yang disebut sebagai kebajikan kemanusiaan universal, kearifan abadi (al hikmat al khalidah; sophia perennis).[5]

Tapi, walaupun manusia pada dasarnya adalah hanif, manusia juga diciptakan sebagai makhluk yang lemah (Qs. 4:28). Salah satu kelemahannya ialah bersifat tergesa-gesa (Qs. 21:37 dan Qs. 17:11). Karena kelemahannya itu, maka manusia cenderung berpandangan pendek, mementingkan hal-hal segera, dan mengabaikan hal-hal jangka panjang (Qs. 75:20 dan 76:27). Itu semua membuat manusia rawan terhadap kesalahan dan kekeliruan.[6]

Jadi, sejatinya, manusia itu bersifat hanif (cenderung pada kebenaran). Murni dan terangnya hati nurani akan membisikkan pada manusia apa yang baik dan buruk, yang benar dan palsu. Tapi, karena kelemahan manusia seperti disebutkan di atas, manusia tidak selalu dapat mendengar hati nuraninya. Atau karena hati sudah kehilangan cahayanya, sehingga tak lagi bersifat terang (nurani). Yang membuat hati kehilangan cahaya adalah dosa dan kejahatan yang dilakukan. Karena itu, dosa—dalam al Qur’an—disebut zhulm yang berarti “gelap”, dan orang yang berbuat dosa disebut “zhalim” (orang yang melakukan kegelapan). 

Nah, agar manusia tetap dalam fitrahnya, maka manusia diberi petunjuk dan perintah oleh Allah melalui firmannya yang disampaikan kepada para nabi. Salah satu perintah Allah kepada manusia—agar ia selalu menjadi manusia yang baik—ialah mengerjakan puasa Ramadhan.

Puasa bertujuan agar manusia menemukan kembali fitrahnya dan hidup sesuai dengan fitrah, yakni selalu mencintai kebenaran dan kesucian. Bersikap hanif, tunduk patuh, dan pasrah pada Tuhan (islam).[7]

Puasa adalah proses pensucian ruhani, melalui latihan menahan diri. Puasa Ramadhan, kata Cak Nur, bertujuan menanamkan sikap takwa atau kesadaran akan hidup dalam pengawasan Tuhan (Tuhan beserta kita, immanu-El). Puasa, lanjut Cak Nur, membimbing manusia mendapatkan fitrah dan kesucian primordialnya. Jadi, itulah sebabnya, “id al-fitri” (kembalinya fitrah) menjadi nama hari bahagia di akhir bulan puasa.[8] Zakat fitrah, dan perbuatan saling memaafkan (menyambungkan tali silaturrahmi, yang di Indonesia diberi istilah “halabihalal”), adalah manifestasi dari hasil puasa seseorang di bulan Ramadhan.

Kata Cak Nur, dari makna yang serba ruhani sebagai kelanjutan dan buah olah-ruhani selama Ramadhan, Idul Fitri melimpahkan hikmahnya kepada segi-segi kehidupan sosial yang luas dan sangat bermakna. Sejak dari simbolisme zakat fitrah yang merupakan bukti rasa setia kepada sesama manusia dan kemanusiaan, sampai tradisi maaf-memaafkan, halalbihalal, dan mudik untuk menyatu kembali dengan keluarga, Idul Fitri memberikan bekal keruhanian baru kepada masyarakat untuk menempuh hidup selama setahun mendatang.[9]

Tapi, di samping itu, menurut Cak Nur, ada makna lain dan sederhana dari idul fitri, yakni “Hari Raya Makan dan Minum”. Mengapa? Karena makan dan minum secara wajar adalah bentuk pemenuhan kebutuhan fitrah manusia itu sendiri. Karena itu, berbuka puasa atau “kembali makan dan minum” disebut “ifthar”, yang secara harfiah dapat dimaknai “memenuhi fitrah” yang suci dan baik.[10] Berbuka, dalam bahasa Arab disebut afthara. Kalau kita kembalikan ke akar bahasanya, jelas Cak Nur, afthara itu artinya “memenuhi fitrah”. Jadi, makan dan minum itu fitrah. Mengingkari makan dan minum itu tidak sesuai fitrah, kecuali dimaksudkan untuk latihan dalam batas-batas tertentu, seperti puasa.[11]

Tradisi halalbihalal di Indonesia

Merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tulisan kata yang benarnya adalah “halalbihalal” (tanpa spasi). Istilah “halalbihalal” tidak kita temukan dalam al Quran maupun hadits. Mengapa? Karena istilah ini diciptakan oleh orang Indonesia dan kegiatan ini pun juga khas Indonesia. Di negara lain, tak ada tradisi halalbihalal seperti di Indonesia. Meski diambil dari bahasa Arab, istilah halalbihalal tak pernah dikenal dalam kosa kata di negara-negara Arab. Bahkan tak lazim digunakan, apalagi dipahami sebagai “ajaran” untuk saling memaafkan di saat lebaran. Di Arab tak kita temukan tradisi halalbihalal. Di Arab, Idul Fitri dirayakan dengan berkumpul bersama keluarga, bersilaturrahmi, dan saling mendoakan (lihat Idham Cholid, “Tradisi Halalbihalal yang Mesti Dipahami”, kolom.tempo.co, 27 Mei 2021).

Lantas, darimana munculnya tradisi halalbihalal di Indonesia? Mengutip laman tirto.id, yang mereka juga mengutip dari laman Suara Muhammadiyah, bahwa dalam kamus Jawa-Belanda karya Theodoor Gautier Thomas Pigeaud (1938) terdapat kata “ala behala” yang mempunyai arti "acara saling-memaafkan ketika Hari Raya". Selain itu, masih dari tirto.id, di dalam Majalah Suara Muhammadiyah (1926) edisi menjelang bulan 1 Syawal 1344 H, termuat adanya kata “alal bahalal”. Keterangan itu menunjukkan bahwa pada awal Abad 20 sudah ada penyebutan khusus buat tradisi saling memaafkan pada momentum Lebaran di Indonesia, meski tidak sama persis dengan istilah yang dikenal sekarang.

Namun, istilah halalbihalal baru populer setelah Kemerdekaan Republik Indonesia. Tradisi ini ternyata bermula dari perpecahan politik di Indonesia. Mengutip dari artikel Fathoni Ahmad yang berjudul “Makna Historis dan Filosofis Halal Bihalal" di laman nu.or.id, setelah Kemerdekaan Republik Indonesia diproklamirkan pada 1945, ancaman pemberontakan dan disintegrasi bangsa muncul di mana-mana, antara lain pemberontakan yang dilakukan DI/TII (awal tahun 1948) dan PKI di Madiun pada tahun 1948.

Oleh karena itu, di pertengahan bulan Ramadhan, di tahun 1948, lanjut Fathoni, Bung Karno memanggil KH Wahab Chasbullah ke Istana Negara untuk dimintai pendapat dan sarannya untuk mengatasi situasi politik Indonesia yang tidak sehat. Kiai Wahab, tulis Fathoni, memberi saran kepada Bung Karno untuk menyelenggarakan acara silaturrahim, sebab sebentar lagi Hari Raya Idul Fitri, di mana seluruh umat Islam disunahkan bersilaturrahim.

Lalu, Bung Karno menjawab, "Silaturrahim kan biasa. Saya ingin istilah yang lain." Jawab Kiai Wahab, "Itu gampang. Begini, para elit politik tidak mau bersatu, itu karena mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu kan dosa. Dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga silaturrahim nanti kita pakai istilah 'halalbihalal'.”

Nah, dari saran Kiai Wahab itulah, kemudian Bung Karno pada Hari Raya Idul Fitri (Juli) 1948, itu, mengundang semua tokoh politik untuk datang ke Istana Negara untuk menghadiri silaturrahim yang diberi judul “halalbihalal” dan akhirnya mereka bisa duduk dalam satu meja, sebagai babak baru untuk menyusun kekuatan dan persatuan bangsa. Sejak saat itulah istilah "halalbihalal" populer di Indonesia sebagai tradisi setelah Lebaran. Dikutip dari laman nasional.okezone.com, “Sejurus kemudian, instansi-instansi pemerintah menyelenggarakan halalbihal juga yang kemudian diikuti oleh warga masyarakat secara luas. Buya Hamka diakui salah satu tokoh yang sangat berpengaruh dalam mempopulerkan halalbihalal ke masyarakat.”

Tapi, lepas dari itu, hikmah yang paling penting dari tradisi ini yang harus kita petik adalah kegiatan bersilaturrahmi atau saling memaafkan antar sesama sehabis Lebaran, sebagai wujud atau manifestasi hasil latihan ruhani di bulan Ramadhan. Dan yang paling penting dipahami, saling memaafkan itu tidak terbatas dalam suasana Lebaran saja. Saling memaafkan adalah perintah Allah yang mesti kita lakukan kapan dan di mana saja.

NANI EFENDI, Alumnus HMI

  



[1] Dari Anas ibn Malik: bahwa Rasulullah bersabda: Barang siapa yang ingin dilapangkan (pintu) rizki untuknya dan dipanjangkan umurnya, hendaknya ia menyambung tali silaturrahim. (Hadits Sahih Riwayat al-Bukhari: 5527)

[2] Lihat Nurcholish Madjid, Dialog Ramadlan bersama Cak Nur, Jakarta: Penerbit Paramadina, 2000, h. 12.

[3] Ibid., h. 12-13.

[4] Ibid., h. 129. Baca juga surat Ar Rum/30:30. Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”

[5] Ibid., h.134

[6] Lihat Nurcholish Madjid, Islam: Doktrin dan Peradaban, h. 716.

[7] Lihat Nurcholish Madjid, Dialog, Op.Cit. h 129-131. Tentang "zhulm", lihat h. 135.

[8] Ibid., h 143.

[9] Ibid., 137.

[10] Ibid, h. 128-129. Dari sudut pandang ini, kita mengerti, jelas Cak Nur, mengapa Islam tidak membenarkan usaha manusia menempuh hidup suci dengan cara meninggalkan hal-hal yang lumrah seperti makan, minum, berumah tangga, dan seterusnya.

[11] Ibid, h. 44.



0 komentar:

Posting Komentar