Oleh:
Nani Efendi
Kata “reuni” berasal
dari bahasa Inggris “reunification” (penyatuan kembali). Jadi, bisa kita
katakan, “reuni” adalah penyingkatan dari kata “reunifikasi” (penyatuan
kembali). Jika kita merujuk ke Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata
“reuni” diartikan sebagai “pertemuan kembali" (bekas teman sekolah, kawan
seperjuangan, dsb). Istilah reuni berasal dari dua kata: “re” artinya
“kembali”, dan “uni” artinya “menyatukan; penyatuan; persatuan”.
Banyak kata “re” yang
diartikan sebagai “kembali”. Misalnya: reinterpretasi (menafsirkan kembali),
reedukasi (mendidik kembali), reformasi (memformat kembali), reintegrasi
(menyatukan kembali), reaksi (aksi kembali), dan lain-lain. Kata “uni” berarti “persatuan”;
“ikatan”. Misalnya: Uni Eropa: persatuan Eropa.
“Reuni” berarti
“menyatukan kembali”. Dalam penggunaannya, kata ini, diartikan sebagai
menyatukan kembali sesuatu yang dulunya pernah bersatu. Tapi, kata yang punya
arti luas dan umum ini, sekarang, sering disempitkan sebagai nama sebuah
kegiatan “temu kangen” antar sahabat yang telah lama berpisah. Padahal, bukan
itu pengertian yang sebenarnya.
Dalam salah satu tulisan di Kompasiana, yang berjudul, “Jika Tak Kaya, Jangan Reuni!”, dijelaskan: lazimnya yang datang ke acara reuni adalah mereka yang memiliki waktu, sumber daya, dan kesuksesan tertentu. Tulisan itu intinya mengkritik pelaksanaan reuni yang sering dilaksanakan oleh beberapa kelompok masyarakat. Acara reuni sering dijadikan ajang pamer harta dan status sosial. Maka tak heran tak semua (anggota kelompok) mau hadir di acara reuni.
Ini yang perlu
diubah dalam acara reuni. Acara reuni itu sebaiknya dibuat sederhana dan penuh
keakraban. Terlebih jika acara reuni dilaksanakan pada momen Idul Fitri. Reuni itu
sejatinya mengenang masa lalu, bukan sibuk menceritakan masa kini.
Reuni mempunyai sisi
positif, tapi juga ada negatifnya. Yang harus kita petik adalah manfaat positif
dari reuni. Beberapa manfaat positif itu misalnya: dapat mempererat tali
silaturrahmi,[1]
dapat berjumpa kawan lama, bertukar pikiran, berbagi pengalaman dan informasi
penting, dan membantu rekan-rekan yang mungkin mengalami kesulitan, baik moril
maupun materil.
Puasa
Sekarang kita bahas lagi tentang puasa. Profesor Nurcholish
Madjid, dalam bukunya Dialog Ramadlan bersama Cak Nur, menjelaskan, tradisi
puasa itu sudah ada sebelum Nabi Muhammad. Dan itu memang diterangkan dalam al
Qur’an. Tapi, cara berpuasa sebelum Nabi Muhammad itu bermacam-macam. Ibu Nabi
Isa, misalnya, karena terancam fitnah keji lantaran melahirkan anak tanpa ayah,
maka Allah memerintahkan ia puasa (shawm) dengan cara tidak berbicara
kepada siapa pun (Qs. 19:26). Ada juga umat lain, kata Cak Nur, berpuasa dengan
menghindari beberapa jenis makanan atau minuman tertentu. Namun, bentuk puasa
yang paling umum itu, jelas Cak Nur, selalu berupa sikap menahan diri dari
makan dan minum serta dari pemenuhan kebutuhan bilogis.
Bulan puasa sering juga
disebut bulan latihan. Tapi latihan yang dimaksud bukanlah latihan fisik atau
jasmani, melainkan latihan jiwa, spiritual, atau keruhanian. Ada juga yang mengatakan, puasa adalah latihan jasmani untuk penyempurnaan ruhani. Terlepas dari perbedaan itu, yang jelas inti puasa adalah keruhanian, bukan ujian ketahanan fisik atau jasmani. Ibadah puasa,
jelas Nurcholis Madjid, sangat berkaitan dengan ide latihan atau riyadlah
(exercise), yaitu latihan keruhanian.
Jadi, puasa, terutama
puasa Ramadhan, dalam Islam bukanlah hanya sebatas menahan lapar dan dahaga.
Tapi yang lebih utama adalah menahan dan mengendalikan keinginan hawa nafsu
terhadap hal-hal yang dilarang oleh Allah. Jadi, menahan makan dan minum bukanlah
tujuan puasa, tapi itu sekedar cara atau metode saja dari Allah untuk melatih
manusia agar mampu mengekang keinginan hawa nafsunya. Karena itulah jika ada
orang makan dan minum dalam keadaan puasa disebabkan lupa, maka puasanya tidak
batal. Seseorang lupa berarti bukan diperintahkan oleh hawa nafsunya. Karena
itulah puasanya tidak batal.
Ada yang mengatakan
menggosok gigi di siang hari puasa itu makruh. Alasannya, nanti takut tertelan
air. Ya, saya bilang kalau tertelan berarti tidak sengaja ya tidak apa-apa. Dan
itu tidak dapat membatalkan puasa karena bukan disengaja. Bukan ada niat. Tapi
jika sudah ada niat atau terbersit niat dalam hati untuk minum, maka sedikit
pun air yang masuk ke kerongkongan, puasa bisa batal. Mengapa? Karena di situ ada
niat untuk minum. Dan itu berarti kita tidak mampu mengendalikan hawa nafsu
yang menjadi tujuan hakiki dari puasa.
Puasa dalam Islam
berbeda dengan puasa yang diperintahkan oleh dokter pada pasiennya ketika akan
melakukan operasi. Puasa oleh dokter itu memang bertujuan agar orang yang akan
dioperasi benar-benar tidak makan dan minum sebelum operasi. Artinya, puasa
dalam konteks itu hanya bersifat fisik semata. Jika pasien makan atau minum
sebelum operasi, baik sengaja maupun tidak, maka dapat dipastikan akan
berdampak fatal terhadap pasien. Puasa dalam Islam tidaklah seperti itu. Tujuan
puasa dalam Islam bukan untuk fisik, tapi untuk latihan ruhani. Walaupun ia
juga mempunyai manfaat bagi kesehatan fisik.
Nah, bukti lain
substansi puasa bukan sekedar tidak makan dan minum adalah kita dianjurkan
untuk makan sahur. Bahkan makan sahur dianjurkan oleh Rasulullah di akhir
waktu. Mengapa? Agar manusia yang berpuasa tidak tersiksa secara fisik. Dengan
makan di akhir waktu, maka ada energi bagi fisik untuk bertahan sampai waktu
berbuka. Artinya, rentang waktu perut kosong tidak terlalu lama.
Dan mengapa pula ketika
waktu berbuka telah masuk kita dianjurkan untuk segera berbuka? Tujuannya agar
tubuh tidak terlalu lama tersiksa. Itu intinya. Allah tidak memerintahkan kita
menyiksa tubuh kita sendiri. Dan, dianjurkan lagi berbuka dengan yang
manis-manis. Mengapa? Karena makanan yang manis dapat menormalkan kembali metabolisme
tubuh dengan cepat.
Cak Nur, merujuk Syaikh
Muhammad ‘Abduh, menjelaskan adanya kenyataan bahwa orang-orang kafir penyembah
berhala melakukan puasa (menurut cara mereka masing-masing) dengan tujuan utama
“membujuk” dewa-dewa agar jangan marah kepada mereka atau agar senang kepada
mereka dan “memihak” mereka dalam urusan hidup di dunia ini. Ini sejalan dengan
kepercayaan mereka bahwa dewa-dewa itu akan mudah dibujuk dengan jalan
penyiksaan diri sendiri dan tindakan mematikan hasrat jasmani.[2]
Cara pandang kaum
musyrik itu, lanjut Cak Nur, merupakan konsekuensi paham mereka tentang Tuhan sebagai
yang harus didekati dengan sesajen, berupa makanan atau lainnya (termasuk
manusia sendiri) yang “disajikan” kepada Tuhan. Altar di kuil-kuil bangsa Inca
di Amerika Selatan, umpanya, menunjukkan adanya praktek ibadah mendekati Tuhan
dengan sesajen berupa korban manusia. Demikian pula, kata Cak Nur, pada
bangsa-bangsa Mesir Kuno, Romawi, Yunani, India, dan lain-lain.[3]
Cara itulah yang
menyalahi agama tauhid. Agama tauhid mengajarkan manusia untuk tunduk, patuh,
dan pasrah sepenuhnya (islam) kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam agama
tauhid, Tuhan tidak didekati dengan sesajen, melainkan dengan amal perbuatan
yang baik. Dalam Islam juga ada istilah ibadah korban. Tapi motifnya berbeda
dengan korban dalam agama kaum musyrik.
Binatang korban dalam
ibadah korban hanyalah sarana, bukan merupakan bentuk sesajen yang diberikan
kepada Tuhan. Sesuai dengan nama ibadah itu, korban (Arab: qurbah),
adalah tindakan mendekatkan diri kepada Tuhan. Pendekatan itu dilakukan bukan
dengan cara memberikan “materi korban”, dalam arti sesajen, kepada Tuhan,
melainkan karena motif taqwa dalam jiwa pelakunya untuk membantu anggota
masyarakat yang kurang beruntung. Jadi, dalam Islam, materi korban hanya sarana
saja, bukan tujuan. Tujuannya: sikap taqwa untuk membantu sesama. Oleh karena
itu, Allah berfirman, “Tidaklah bakal sampai darah dan daging binatang korban
itu kepada Allah, melainkan yang bakal sampai itu ialah taqwa dari kamu.” (Qs.
22:37)
Sebagaimana substansi
ibadah korban, dan juga ibadah-ibadah lainnya dalam Islam, demikian jugalah
dengan ibadah puasa. Allah tidak butuh lapar dan dahaga dari orang yang
berpuasa. Yang diinginkan Allah ialah agar yang berpuasa berlatih mengendalikan
hawa nafsunya. Menahan lapar dan dahaga hanya cara atau metode latihan saja. Oleh
karena itu, Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan
dusta malah mengamalkannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus
yang dia tahan.” (HR. Bukhari no. 1903).
Jadi, puasa itu
bukanlah sekedar menahan lapar dan haus saja, tapi yang lebih penting:
bagaimana mempuasakan seluruh tubuh kita (jasmani maupun ruhani) dari hal-hal
yang dilarang oleh Allah. Rasulullah bersabda, “Betapa banyak orang yang
berpuasa namun dia tidak mendapatkan sesuatu dari puasanya kecuali lapar dan
dahaga.” (HR. An-Nasa’i). Hadits ini menunjukkan bahwa puasa bukanlah sekedar
menahan diri dari tidak makan dan minum. Tapi lebih dari itu: puasa berarti
menahan diri kita dari melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Allah.
Selama sebulan, kita
dilatih untuk mengendalikan hawa nafsu kita dari melakukan hal-hal yang
dilarang oleh Allah dan melaksanakan hal-hal yang diperintahkan oleh Allah. Jika
kita berhasil mendidik atau melatih diri kita melalui metode puasa—yakni
berhasil menahan diri dari yang dilarang Allah dan melaksanakan
perintah-perintah Allah—maka kita sudah tergolong kepada manusia yang bertakwa.
Menjadikan manusia
bertakwa itulah tujuan hakiki dari puasa. Pengertian sederhana dari
"taqwa", menurut saya, adalah selalu mencintai kebenaran dan membenci
kejahatan dan keburukan, atau senantiasa mengikuti perintah Allah dan
menghindari segala yang dilarang-Nya. Saling memaafkan antar sesama adalah
salah satu wujud nyata dari perilaku manusia yang bertaqwa. Dan saling
memaafkan dalam suasana Idul Fitri adalah bentuk manifestasi dari hasil latihan
ruhani di bulan Ramadhan.
Idul Fitri
Untuk memahami
pengertian Idul Fitri, saya merujuk Nurcholish Madjid (Dialog Ramadlan
Bersama Cak Nur, h.128). Kita harus lihat dari makna asal kata “id
al-fithr” dalam bahasa Arab. Kata ‘id adalah dari akar kata yang sama dengan
kata-kata ‘awdah atau ‘awdatun, ‘adah atau ‘adat-un dan isti’adat-un. Semua
kata-kata itu mengandung makna asal “kembali” atau “terulang” (perkataan
Indonesia “adat-istiadat” adalah pinjaman dari bahasa Arab ‘adat-un wa
isti-‘adatun, yang berarti sesuatu yang selalu akan terulang. Adat ialah
sesuatu yang menjadi kebiasaan karena selalu diulang. Maka disebut “adat kebiasaan”).
Makna asal kata “fitri”
kiranya sudah jelas, karena satu akar dengan “fitrah”, “kejadian asal yang
suci”, atau “kesucian asal”. Manusia diciptakan dalam kesucian asal yang
disebut fitrah. Kesucian asal inilah yang membuat manusia berkecenderungan suci
(cenderung pada kebenaran dan kebaikan), yang disebut hanif. Tempat
bersemayamnya kesucian asal itu ialah pusat kedirian manusia yang disebut
“nurani” (bersifat nur/cahaya; bersifat terang).
Sifat hanif itu
terbentuk dari perjanjian primordial manusia dengan Tuhan, ketika akan
ditiupkan ruh ke dalam diri manusia, sebagaimana dijelaskan dalam al Qur’an
surat Al A’raf/7: 172. “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan
keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian
terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?"
Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi".
(Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan:
"Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini
(keesaan Tuhan)."
Dalam perjanjian
primordial itu, manusia (dalam alam ruhani) menyatakan kesediaan untuk mengakui
Allah sebagai Tuhan dengan sikap penuh ketaatan, tunduk, patuh, dan berserah
diri yang sempurna (islam).[4] Itulah
sebabnya manusia, suka kebaikan dan kebenaran. Kalau manusia ditanya, ia suka
baik atau buruk, pasti suka yang baik. Suka yang benar atau yang salah, pasti
suka yang benar. Adil atau tidak, pasti suka yang adil. Kebaikan yang diakui
oleh nurani manusia yang hanif itulah yang disebut sebagai kebajikan
kemanusiaan universal, kearifan abadi (al hikmat al khalidah; sophia
perennis).[5]
Tapi, walaupun manusia pada dasarnya adalah hanif, manusia juga diciptakan sebagai makhluk yang lemah (Qs. 4:28). Salah satu kelemahannya ialah bersifat tergesa-gesa (Qs. 21:37 dan Qs. 17:11). Karena kelemahannya itu, maka manusia cenderung berpandangan pendek, mementingkan hal-hal segera, dan mengabaikan hal-hal jangka panjang (Qs. 75:20 dan 76:27). Itu semua membuat manusia rawan terhadap kesalahan dan kekeliruan.[6]
Jadi, sejatinya, manusia itu bersifat hanif (cenderung pada kebenaran). Murni dan terangnya hati nurani akan membisikkan pada manusia apa yang baik dan buruk, yang benar dan palsu. Tapi, karena kelemahan manusia seperti disebutkan di atas, manusia tidak selalu dapat mendengar hati nuraninya. Atau karena hati sudah kehilangan cahayanya, sehingga tak lagi bersifat terang (nurani). Yang membuat hati kehilangan cahaya adalah dosa dan kejahatan yang dilakukan. Karena itu, dosa—dalam al Qur’an—disebut zhulm yang berarti “gelap”, dan orang yang berbuat dosa disebut “zhalim” (orang yang melakukan kegelapan).
Nah, agar manusia tetap
dalam fitrahnya, maka manusia diberi petunjuk dan perintah oleh Allah melalui
firmannya yang disampaikan kepada para nabi. Salah satu perintah Allah kepada
manusia—agar ia selalu menjadi manusia yang baik—ialah mengerjakan puasa
Ramadhan.
Puasa bertujuan agar
manusia menemukan kembali fitrahnya dan hidup sesuai dengan fitrah, yakni
selalu mencintai kebenaran dan kesucian. Bersikap hanif, tunduk patuh, dan
pasrah pada Tuhan (islam).[7]
Puasa adalah proses
pensucian ruhani, melalui latihan menahan diri. Puasa Ramadhan, kata Cak Nur,
bertujuan menanamkan sikap takwa atau kesadaran akan hidup dalam pengawasan
Tuhan (Tuhan beserta kita, immanu-El). Puasa, lanjut Cak Nur, membimbing
manusia mendapatkan fitrah dan kesucian primordialnya. Jadi, itulah sebabnya, “id
al-fitri” (kembalinya fitrah) menjadi nama hari bahagia di akhir bulan
puasa.[8]
Zakat fitrah, dan perbuatan saling memaafkan (menyambungkan tali silaturrahmi,
yang di Indonesia diberi istilah “halabihalal”), adalah manifestasi dari hasil
puasa seseorang di bulan Ramadhan.
Kata Cak Nur, dari
makna yang serba ruhani sebagai kelanjutan dan buah olah-ruhani selama Ramadhan,
Idul Fitri melimpahkan hikmahnya kepada segi-segi kehidupan sosial yang luas
dan sangat bermakna. Sejak dari simbolisme zakat fitrah yang merupakan bukti rasa
setia kepada sesama manusia dan kemanusiaan, sampai tradisi maaf-memaafkan,
halalbihalal, dan mudik untuk menyatu kembali dengan keluarga, Idul Fitri
memberikan bekal keruhanian baru kepada masyarakat untuk menempuh hidup selama
setahun mendatang.[9]
Tapi, di samping itu, menurut
Cak Nur, ada makna lain dan sederhana dari idul fitri, yakni “Hari Raya Makan
dan Minum”. Mengapa? Karena makan dan minum secara wajar adalah bentuk
pemenuhan kebutuhan fitrah manusia itu sendiri. Karena itu, berbuka puasa atau
“kembali makan dan minum” disebut “ifthar”, yang secara harfiah dapat
dimaknai “memenuhi fitrah” yang suci dan baik.[10]
Berbuka, dalam bahasa Arab disebut afthara. Kalau kita kembalikan ke
akar bahasanya, jelas Cak Nur, afthara itu artinya “memenuhi fitrah”.
Jadi, makan dan minum itu fitrah. Mengingkari makan dan minum itu tidak sesuai
fitrah, kecuali dimaksudkan untuk latihan dalam batas-batas tertentu, seperti
puasa.[11]
Tradisi halalbihalal di Indonesia
Merujuk Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI), tulisan kata yang benarnya adalah “halalbihalal” (tanpa spasi). Istilah “halalbihalal” tidak kita temukan dalam al Quran maupun
hadits. Mengapa? Karena istilah ini diciptakan oleh orang Indonesia dan
kegiatan ini pun juga khas Indonesia. Di negara lain, tak ada tradisi
halalbihalal seperti di Indonesia. Meski diambil dari bahasa Arab, istilah
halalbihalal tak pernah dikenal dalam kosa kata di negara-negara Arab. Bahkan
tak lazim digunakan, apalagi dipahami sebagai “ajaran” untuk saling memaafkan
di saat lebaran. Di Arab tak kita temukan tradisi halalbihalal. Di Arab,
Idul Fitri dirayakan dengan berkumpul bersama keluarga, bersilaturrahmi, dan
saling mendoakan (lihat Idham Cholid, “Tradisi Halalbihalal yang Mesti
Dipahami”, kolom.tempo.co, 27 Mei 2021).
Lantas, darimana
munculnya tradisi halalbihalal di Indonesia? Mengutip laman tirto.id,
yang mereka juga mengutip dari laman Suara Muhammadiyah, bahwa dalam
kamus Jawa-Belanda karya Theodoor Gautier Thomas Pigeaud (1938) terdapat kata “ala
behala” yang mempunyai arti "acara saling-memaafkan ketika Hari
Raya". Selain itu, masih dari tirto.id, di dalam Majalah Suara
Muhammadiyah (1926) edisi menjelang bulan 1 Syawal 1344 H, termuat adanya
kata “alal bahalal”. Keterangan itu menunjukkan bahwa pada awal Abad 20
sudah ada penyebutan khusus buat tradisi saling memaafkan pada momentum Lebaran
di Indonesia, meski tidak sama persis dengan istilah yang dikenal sekarang.
Namun, istilah
halalbihalal baru populer setelah Kemerdekaan Republik Indonesia. Tradisi ini
ternyata bermula dari perpecahan politik di Indonesia. Mengutip dari artikel
Fathoni Ahmad yang berjudul “Makna Historis dan Filosofis Halal Bihalal" di
laman nu.or.id, setelah Kemerdekaan Republik Indonesia diproklamirkan
pada 1945, ancaman pemberontakan dan disintegrasi bangsa muncul di
mana-mana, antara lain pemberontakan yang dilakukan DI/TII (awal tahun 1948)
dan PKI di Madiun pada tahun 1948.
Oleh karena itu, di
pertengahan bulan Ramadhan, di tahun 1948, lanjut Fathoni, Bung Karno memanggil
KH Wahab Chasbullah ke Istana Negara untuk dimintai pendapat dan sarannya untuk
mengatasi situasi politik Indonesia yang tidak sehat. Kiai Wahab, tulis Fathoni,
memberi saran kepada Bung Karno untuk menyelenggarakan acara silaturrahim,
sebab sebentar lagi Hari Raya Idul Fitri, di mana seluruh umat Islam disunahkan
bersilaturrahim.
Lalu, Bung Karno menjawab,
"Silaturrahim kan biasa. Saya ingin istilah yang lain." Jawab Kiai
Wahab, "Itu gampang. Begini, para elit politik tidak mau bersatu, itu
karena mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu kan dosa. Dosa itu
haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka
harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan.
Sehingga silaturrahim nanti kita pakai istilah 'halalbihalal'.”
Nah, dari saran Kiai
Wahab itulah, kemudian Bung Karno pada Hari Raya Idul Fitri (Juli) 1948, itu,
mengundang semua tokoh politik untuk datang ke Istana Negara untuk menghadiri
silaturrahim yang diberi judul “halalbihalal” dan akhirnya mereka bisa duduk
dalam satu meja, sebagai babak baru untuk menyusun kekuatan dan persatuan bangsa.
Sejak saat itulah istilah "halalbihalal" populer di Indonesia sebagai tradisi
setelah Lebaran. Dikutip dari laman nasional.okezone.com, “Sejurus
kemudian, instansi-instansi pemerintah menyelenggarakan halalbihal juga yang
kemudian diikuti oleh warga masyarakat secara luas. Buya Hamka diakui salah
satu tokoh yang sangat berpengaruh dalam mempopulerkan halalbihalal ke
masyarakat.”
Tapi, lepas dari itu, hikmah yang paling penting dari tradisi ini yang harus kita petik adalah kegiatan bersilaturrahmi
atau saling memaafkan antar sesama sehabis Lebaran, sebagai wujud atau manifestasi hasil
latihan ruhani di bulan Ramadhan. Dan yang paling penting dipahami, saling memaafkan
itu tidak terbatas dalam suasana Lebaran saja. Saling memaafkan adalah perintah
Allah yang mesti kita lakukan kapan dan di mana saja.
NANI EFENDI,
Alumnus HMI
[1] Dari Anas ibn Malik: bahwa
Rasulullah bersabda: Barang siapa yang ingin dilapangkan (pintu) rizki untuknya
dan dipanjangkan umurnya, hendaknya ia menyambung tali silaturrahim. (Hadits
Sahih Riwayat al-Bukhari: 5527)
[2] Lihat Nurcholish Madjid, Dialog Ramadlan bersama Cak Nur,
Jakarta:
Penerbit Paramadina, 2000, h. 12.
[3] Ibid.,
h. 12-13.
[4] Ibid.,
h. 129. Baca juga surat Ar Rum/30:30. “Maka hadapkanlah
wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang
telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah
Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
[5] Ibid.,
h.134
[6] Lihat Nurcholish Madjid, Islam:
Doktrin dan Peradaban, h. 716.
[7]
Lihat Nurcholish
Madjid, Dialog, Op.Cit. h 129-131. Tentang "zhulm", lihat h. 135.
[8] Ibid.,
h 143.
[9] Ibid.,
137.
[10] Ibid,
h. 128-129. Dari sudut pandang ini, kita mengerti, jelas Cak Nur, mengapa Islam
tidak membenarkan usaha manusia menempuh hidup suci dengan cara meninggalkan
hal-hal yang lumrah seperti makan, minum, berumah tangga, dan seterusnya.
0 komentar:
Posting Komentar