alt/text gambar

Rabu, 06 Juli 2022

Topik Pilihan: , , , , ,

Komunikasi dan Perubahan Politik di Indonesia

 .

Oleh: Jalaluddin Rakhmat

 

Whoever shapes public understanding of the labels thereby shapes the nature of political discourse. The history of political language is history of struggles to shape the publicly accepted meaning of these key terms.

                                 —   David Green


Semua ahli komunikasi sepakat bahwa makna kata sangat subjektif. Words don’t mean, people mean. Sekiranya ada buku yang menyampaikan makna secara objektif, orang akan menunjuk kamus. Seorang penyusun kamus hanya menghimpun makna yang ia temukan, baik dalam pemakaian, percakapan, maupun tulisan. Istvan Meszaros pernah menggunakan program Word Finder Thesaurus untuk menemukan makna conservative, liberal, dan revolutionary. Dengan sangat mengejutkan, ia menemukan bahwa kamus pun ternyata menyajikan makna secara subjektif. 

Word Finder Thesaurus dari salah satu program word processor yang paling populer, WordStar Professional, menumpukkan dengan sangat pemurah sejumlah besar karakteristik positif mengenai conservative dan liberal; sehingga orang mungkin menduga bahwa kata sifat “heroik” dan “suci” tidak dimasukkan hanya karena terlewat saja. Pada saat yang sama, kata revolutionary hanya mempunyai sejumlah kecil makna—yang mungkin patut menjadi perhatian lembaga negara dan pejabat penjara—karena ia disifatkan sebagai “extreme, extremist, fanatic, fanatical, rabid, radical, and ultra”. Inilah yang kita lihat bila aturan “objektivitas” yang diteriakkan dengan keras itu diterapkan pada satu sisi spektrum politik dan dipertimbangkan dengan spektrum yang lain. Ini terjadi bahkan pada tugas semata-mata menghimpun kamus sinonim yang “bebas ideologi”.

Hal ini mungkin mengejutkan banyak orang. Akan tetapi, yang sangat gamblang adalah kenyataan bahwa dalam masyarakat kita semua hal telah “tercelup ideologi”, apakah kita menyadarinya atau tidak (Istvan Meszaros, 1989).

Ideologi adalah serangkaian preferensi yang dimiliki bersama oleh komunitas politik. Karena ideologi itu socially shared, ia pasti terbentuk melalui proses sosial. Ia harus dirumuskan secara jelas oleh elite intelektual dan kemudian disebarkan kepada anggota komunitas politik lainnya. Dalam perumusan dan penyebaran ideologi, peran bahasa sangat menentukan. Tidak berlebihan dikatakan ideologi membentuk dan dibentuk oleh bahasa.

Dengan ideologi, orang memberi makna pada realitas sosial. Untuk memudahkan penyimpanan, pemeliharaan, pengolahan, dan penyampaian makna diperlukan bahasa. Pada gilirannya, bahasa tertentu—yang ditampakkan pada pemilihan kata dan kalimat—membentuk realitas sosial yang tertentu.

Berkenaan dengan peranan bahasa dalam mengkonstruksi realitas sosial, di kalangan ilmuwan sosial terkenal apa yang disebut Kenneth Gergen sebagai the social constructionist movement, sebuah gerakan yang tumbuh berkat dorongan kaum interaksi simbolik dan karya-karya Schutz, Berger, dan Luckman.

Gerakan ini didasarkan pada empat asumsi (Stephen P. Littlejohn, 1989):

1. Dunia ini tidaklah tampak secara objektif pada pengamat, tetapi diketahui melalui pengalaman yang umumnya dipengaruhi bahasa.

2. Kategori linguistik yang dipergunakan untuk memahami realitas bersifat situasional karena kategori itu muncul dari interaksi sosial dalam kelompok orang pada waktu dan tempat tertentu.

3. Bagaimana realitas dipahami pada waktu tertentu ditentukan oleh konvensi komunikasi yang berlaku pada waktu itu. Karena itu, stabilitas dan instabilitas pengetahuan lebih banyak bergantung pada perubahan sosial ketimbang realitas objektif di luar pengalaman manusia.

4. Pemahaman realitas yang terbentuk secara sosial membentuk banyak aspek kehidupan lain yang penting. Bagaimana kita berpikir dan berperilaku dalam kehidupan sehari-hari umumnya ditentukan oleh bagaimana kita memahami realitas kita.

Pada asumsi-asumsi gerakan konstruksionis sosial ini, kita harus menambah satu asumsi lagi. Dalam wacana politik, walaupun kategori linguistik itu muncul dari interaksi sosial, ia sangat ditentukan oleh orang-orang yang berkuasa. Bosmajian menegaskan bahwa penguasa mendefinisikan segala hal dan hampir selalu mendefinisikannya untuk makin merugikan yang kurang berkuasa.

Elite penguasa menetapkan ideologi yang berkuasa. Dengan mengutip lagi Meszaros, ideologi yang berkuasa can misuse and abuse language quite openly, in that danger being publicly exposed is negligible; both because of the prevailing relation of force and the double standard applied to the contested issues by the defenders of the established order.

Dengan demikian, pergantian elite penguasa selalu mengandung implikasi pergantian “bahasa”. Setiap elite, sesuai dengan ideologinya, akan menyusun “kamus” yang khas. Kamus ini kemudian akan “dimasyarakatkan” melalui aparatur negara, organisasi, dan lembaga sosial. Melalui kamus ini, anggota komunitas politik harus menafsirkan realitas politik.

Ketika Orde Lama digantikan Orde Baru, terjadi pergantian elite penguasa. Ideologi elite pun berganti. Dalam wacana politik, pergantian ini dapat kita lihat pada pergantian daftar kosakata dan pergeseran makna kata. Tulisan ini akan mencoba mengungkapkan keduanya. Pembahasannya sama sekali tidak komprehensif, sekedar memberikan contoh bagaimana analisis bahasa dapat kita pergunakan untuk menganalisis perubahan politik.

Pergantian Daftar Kosakata

Ada sejumlah besar kata dalam wacana politik Orde Lama yang tidak terdengar lagi pada Orde Baru. Sebaliknya, pada Orde Baru kita mendengar kosakata baru yang tidak ada pada wacana politik Orde Lama. “Revolusi”, “kontrarevolusi”, “nekolim”, “antek-antek”, “kapitalis-imperialis”, “nasakom”, “Manipol-Usdek”, “indoktrinasi”, adalah contoh kata pada kamus Orde Lama. “Pembangunan”, “antipembangunan”, “penataran”, adalah sebagian daftar kosakata Orde Baru.

Bila kita perhatikan lebih dalam, kata-kata itu mengungkapkan kepada kita paling tidak tiga hal: ideologi elite penguasa, distribusi kekuasaan, dan jenis elite penguasa. Kosa kata Orde Lama pada kata kunci “revolusi”. Indonesia digambarkan sedang melakukan revolusi besar membangun Dunia Baru dan menjungkirbalikkan dunia yang sekarang. Karena itu, revolusi berarti perubahan cepat. Dari sini muncul “retooling”, “new emerging forces”, “umwertung aller werte” (penjungkir-balikan nilai-nilai). Dalam membangun dunia baru ini, Indonesia berada di barisan paling depan. Wacana politik dipenuhi kata-kata yang “memuja” bangsa Indonesia. Rakyat Indonesia adalah rakyat yang sudah “masuk kawah Candradimuka”, sudah digembleng dengan berbagai tantangan, berotot kawat bertulang besi; bukan bangsa “tempe” (walaupun tempe sebetulnya makanan yang bergizi).

Tentu saja, sebagai “rakyat yang revolusioner”, bangsa Indonesia menghadapi banyak musuh. Dari luar, musuh itu adalah “imperialisme” dan “kolonialisme”, yang lama maupun yang baru. Dari dalam, musuh itu bergerak melalui antek-anteknya, yang umumnya terbelenggu dalam “text-book thinking”. Mereka adalah unsur-unsur antirevolusi. Buruh, tani, dan rakyat kecil (kaum marhaen) harus mewaspadai dan setiap saat siap “mengganyang” mereka. Supaya menjadi revolusioner, rakyat harus diindoktrinasi, paling sedikit dengan Tujuh Bahan  Pokok Indoktrinasi (TUBAPIN).

Kosakata itu hampir seluruhnya berasal dari Sukarno. Kontributor besar pada kamus Orde Lama adalah Pemimpin Besar Revolusi. Ia merumuskan dan menentukan wacana politik. Ia menciptakan kosakata secara sangat kreatif. Ini sekaligus menunjukkan kekuasaan yang berpusat kepadanya. Frekuensi kata pada wacana politik sekaligus menunjukkan besaran kekuasaan dalam elite politik. Dalam istilah Aristoteles, wacana politik Orde Lama menunjukkan The Rule of One.

Ketika Orde Baru muncul, kata kunci adalah “pembangunan”. Indonesia digambarkan sebagai bangsa yang sedang membangun. Emmerson melukiskan ideologi pembangunan ini dengan merujuk pada pandangan Ibnu Sutowo, “Sotowo’s notion of development focused on physical plant, technology, infrastructure—bangun, the root of Indonesian word pembangunan or development, meaning “to build” in a material sense. But bangun also means “to wake up” or figuratively, to enable million of individuals to improve their lives through heightened awareness. The latter task is not merely to concentrate value for growth, but to enable people to share its benefits, and thus to ensure development of a broad popular base.

Karena pembangunan lebih terpusat pada pembangunan ekonomi, maka masuklah jargon ekonomi pembangunan, seperti “akselerasi”, “tinggal landas” (take-off-nya Rostow), “pertumbuhan”, “teknologi”, “modernisasi”, “efisiensi”, dan sebagainya. Untuk kesinambungan pembangunan, diperlukan kesinambungan pimpinan nasional. Stabilitas nasional harus didahulukan dari pembicaraan mengenai hak-hak asasi manusia.

Dalam Orde Baru, tidak ada golongan antirevolusi. Yang ada ialah kelompok antipembangunan. Diperlukan kewaspadaan nasional untuk menghadapi mereka. Mereka boleh jadi berasal dari ekstrem kiri. Agar tumbuh partisipasi rakyat, diperlukan upaya untuk menerjemahkan “petunjuk Bapak Presiden” kepada rakyat. Orang-orang yang antipembangunan sekaligus juga anti-Pancasila. Rakyat, juga tentu saja aparatur negara, harus disadarkan akan nilai-nilai luhur Pancasila. Untuk itu, diperlukan penataran P4.

Pada Orde Baru, kita menyaksikan penggunaan singkatan yang aneh, seperti ipoleksosbud, siskamling, hankamrata, juklak, jurdil. Singkatan-singkatan itu menunjukkan dengan jelas pengaruh ABRI. Bila wacana politik Orde Lama sangat dipengaruhi Sukarno, wacana politik Orde Baru lebih banyak dibentuk oleh kontribusi ABRI. Dalam istilah Aristoteles, pemerintah Orde Baru adalah The Rule of Few.

Titik berat yang berlebihan pada aspek ekonomi tampaknya mulai berubah belakangan ini. Bersamaan dengan perubahan perlahan pada struktur kelompok elite, muncullah kata-kata baru, seperti “restrukturisasi”, dan “keterbukaan” (mungkin pengaruh perestroika dan glasnost), “demokratisasi”, “pembangunan manusia seutuhnya”, “sumber daya manusia”, “deregulasi”, “pengawasan melekat (waskat)”. Bila dulu kaum marhaen menjadi “bintang”, dalam masa-masa terakhir ini mereka disisihkan oleh kelompok baru yang dikenal dengan nama teknokrat, cendekiawan, konglomerat, atau birokrat.

Sekarang tidak ada pujian untuk orang yang revolusioner. Pujian dialamatkan kepada mereka yang berhasil menunjukkan prestasi dalam pembangunan. Para birokrat—yang sekarang beralih dari alat revolusi menjadi alat pembangunan—dinilai dari PDLT: prestasi, dedikasi, loyalitas, tak tercela. Para teknokrat dituntut untuk mengantisipasi masyarakat informasi dan mempersiapkan bangsa Indonesia memiliki kaulifikasi bersaing dalam pasaran global. Apakah berkurangnya kata-kata yang “bersifat ABRI” dan bertambahnya kata-kata yang “berbau ilmiah”menunjukkan pergeseran elite penguasa belakangan ini? Wallahu a’lam.

Pergeseran Makna Kata

Ada beberapa kata yang tidak meninggalkan wacana politik, baik pada Orde Baru maupun pada Orde Lama. Tetapi, dengan sangat menarik, kata-kata itu mengalami pergeseran arti (atau artinya diganti). Baik Orde Lama maupun Orde Baru menganut politik bebas aktif. Pada Orde Lama, kata itu diartikan sebagai gerakan negara-negara yang baru muncul (new emerging forces) yang berjuang untuk membebaskan diri dari pengaruh neokolonialisme. Tidak jadi soal kalupun Indonesia menjadi lebih dekat pada negara-negara komunis. Pada Orde Baru, politik bebas aktif berarti garis gerakan neoalignment, khususnya negara-negara Dunia Ketiga (atau negara-negara Selatan) dalam menghadapi ketimpangan ekonomi akibat ulah negara-negara industri  (atau negara-negara Utara). Tidak jadi soal kalaupun dalam kenyataannya Indonesia lebih dekat ke Barat.

Kata “subversi” juga mengalami pergeseran arti. Pada masa Orde Lama, kata itu berarti upaya penyusupan yang dilakukan oleh agen-agen nekolim untuk menghancurkan revolusi. Gerakan intelektual seperti kelompok Manikebu (Manifesto Kebudayaan) dipandang sebagai subversi. Pada masa Orde Baru “subversi” merujuk pada kegiatan antipembangunan yang dilakukan oleh ekstrem kanan atau ekstrem kiri, atau orang-orang yang melakukan “kritik yang tidak bertanggung jawab”.

Pergeseran makna yang paling menonjol tampak pada kata “politik”. Pada masa Orde Lama, politik mempunyai konotasi yang positif, berkaitan dengan kegiatan yang mempunyai akses pada struktur kekuasaan. Orang tidak takut berbicara tentang politik. Pada masa Orde Baru, kegiatan politik diartikan sebagai segala kegiatan yang tidak sejalan dengan elite penguasa. Anda tidak berbicara politik dalam khutbah Jumat walaupun Anda berbicara tentang GBHN atau program Keluarga Berencana selama Anda membicarakannya dengan nada mendukung atau mengajak orang untuk mendukung. Anda berbicara politik walaupun Anda sebenarnya membahas masalah ekonomi jika di dalamnya Anda cenderung “mengkritik” program pemerintah.

Karena itu, Golkar tidak disebut partai politik walaupun semua syarat partai politik ada di dalamnya. Dalam pemilu hanya ada dua partai politik dan satu golongan karya. Politik itu jelek dan bangsa kita pernah menderita ketika politik menjadi panglima. Akhir-akhir ini, kata “politik”, secara perlahan tapi pasti, mulai mempunyai konotasi positif. Orang berbicara tentang “partisipasi politik”, “pendidikan politik”, “sosialisasi politik”, dan sebagainya. Boleh jadi, ini pun menunjukkan peralihan “warna ideologis” yang terus berlangsung.

Penutup

Kajian linguistik untuk mengamati fenomena politik sebetulnya bidang yang patut mendapat perhatian. Bukan saja bidang ini mempunyai latar belakang teoritis yang kokoh, melainkan juga hasilnya mengungkapkan hal-hal menarik berkenaan dengan proses pembentukan wacana politik. Bahasa memang tidak pernah objektif. Bahasa selalu ideology-soaked. Melalui analisis linguistik, budaya politik suatu bangsa menjadi transparan.

Tulisan ini lebih banyak menyorot bahasa seperti dibentuk oleh kelompok elite. Kosakata rakyat pun mengalami perubahan bersamaan dengan perubahan sistem politik yang mereka alami. Mungkin mereka bertopang pada kosakata yang dibuat elite penguasa, tetapi mereka dengan bebas memberi makna sendiri. Sering kali makna itu merupakan kritik terselubung pada elite penguasa. Tetapi, dari mana pun makna dan kosakata itu, bidang linguistik merupakan bidang yang masih belum banyak dibuka oleh para peneliti komunikasi di Indonesia.

Al-Quran yang berjalan ini mengubah

para perompak menjadi penegak kebenaran

budak-budak rendah menjadi pahlawan keadilan

ia mengganti kepongahan dengan kerendahan hati

rasa rendah hati dengan keluhuran budi

Maka gembala-gembala unta di sahara bangkit

menaklukkan dunia

para tiran berjatuhan, penindas terhempas,

dan suara rakyat menjadi suara Tuhan

Apakah tangan para pejuang Muslim masih putih bersih

sehingga berhak menggenggam tongkat Musa?

Adakah penerus Al-Qur’an yang berjalan

sehingga mampu menjatuhkan tiran dengan suara Tuhan?

 

Jalaluddin Rakhmat, Cendekiawan Muslim

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

  

 

 

 

 

 

 

 

 

   

 

0 komentar:

Posting Komentar