.
Oleh: Jalaluddin Rakhmat
Whoever
shapes public understanding of the labels thereby shapes the nature of
political discourse. The history of political language is history of struggles
to shape the publicly accepted meaning of these key terms.
— David Green
Semua
ahli komunikasi sepakat bahwa makna kata sangat subjektif. Words don’t mean,
people mean. Sekiranya ada buku yang menyampaikan makna secara objektif,
orang akan menunjuk kamus. Seorang penyusun kamus hanya menghimpun makna yang
ia temukan, baik dalam pemakaian, percakapan, maupun tulisan. Istvan Meszaros pernah menggunakan program Word
Finder Thesaurus untuk menemukan makna conservative, liberal, dan
revolutionary. Dengan sangat mengejutkan, ia menemukan bahwa kamus pun
ternyata menyajikan makna secara subjektif.
Word
Finder Thesaurus dari
salah satu program word processor yang paling populer, WordStar Professional,
menumpukkan dengan sangat pemurah sejumlah besar karakteristik positif mengenai
conservative dan liberal; sehingga orang mungkin menduga bahwa
kata sifat “heroik” dan “suci” tidak dimasukkan hanya karena terlewat saja.
Pada saat yang sama, kata revolutionary hanya mempunyai sejumlah kecil
makna—yang mungkin patut menjadi perhatian lembaga negara dan pejabat
penjara—karena ia disifatkan sebagai “extreme, extremist, fanatic,
fanatical, rabid, radical, and ultra”. Inilah yang kita lihat bila aturan
“objektivitas” yang diteriakkan dengan keras itu diterapkan pada satu sisi
spektrum politik dan dipertimbangkan dengan spektrum yang lain. Ini terjadi bahkan
pada tugas semata-mata menghimpun kamus sinonim yang “bebas ideologi”.
Hal
ini mungkin mengejutkan banyak orang. Akan tetapi, yang sangat gamblang adalah
kenyataan bahwa dalam masyarakat kita semua hal telah “tercelup ideologi”,
apakah kita menyadarinya atau tidak (Istvan Meszaros, 1989).
Ideologi
adalah serangkaian preferensi yang dimiliki bersama oleh komunitas politik.
Karena ideologi itu socially shared, ia pasti terbentuk melalui proses
sosial. Ia harus dirumuskan secara jelas oleh elite intelektual dan kemudian
disebarkan kepada anggota komunitas politik lainnya. Dalam perumusan dan
penyebaran ideologi, peran bahasa sangat menentukan. Tidak berlebihan dikatakan
ideologi membentuk dan dibentuk oleh bahasa.
Dengan
ideologi, orang memberi makna pada realitas sosial. Untuk memudahkan
penyimpanan, pemeliharaan, pengolahan, dan penyampaian makna diperlukan bahasa.
Pada gilirannya, bahasa tertentu—yang ditampakkan pada pemilihan kata dan kalimat—membentuk
realitas sosial yang tertentu.
Berkenaan
dengan peranan bahasa dalam mengkonstruksi realitas sosial, di kalangan ilmuwan
sosial terkenal apa yang disebut Kenneth Gergen sebagai the social
constructionist movement, sebuah gerakan yang tumbuh berkat dorongan kaum
interaksi simbolik dan karya-karya Schutz, Berger, dan Luckman.
Gerakan ini didasarkan pada empat asumsi (Stephen P. Littlejohn, 1989):
1. Dunia ini tidaklah tampak secara objektif pada pengamat, tetapi diketahui melalui pengalaman yang umumnya dipengaruhi bahasa.
2. Kategori linguistik yang dipergunakan untuk memahami realitas bersifat situasional karena kategori itu muncul dari interaksi sosial dalam kelompok orang pada waktu dan tempat tertentu.
3. Bagaimana realitas dipahami pada waktu tertentu ditentukan oleh konvensi komunikasi yang berlaku pada waktu itu. Karena itu, stabilitas dan instabilitas pengetahuan lebih banyak bergantung pada perubahan sosial ketimbang realitas objektif di luar pengalaman manusia.
4. Pemahaman realitas yang terbentuk secara sosial membentuk banyak aspek kehidupan lain yang penting. Bagaimana kita berpikir dan berperilaku dalam kehidupan sehari-hari umumnya ditentukan oleh bagaimana kita memahami realitas kita.
Pada
asumsi-asumsi gerakan konstruksionis sosial ini, kita harus menambah satu
asumsi lagi. Dalam wacana politik, walaupun kategori linguistik itu muncul dari
interaksi sosial, ia sangat ditentukan oleh orang-orang yang berkuasa. Bosmajian
menegaskan bahwa penguasa mendefinisikan segala hal dan hampir selalu
mendefinisikannya untuk makin merugikan yang kurang berkuasa.
Elite
penguasa menetapkan ideologi yang berkuasa. Dengan mengutip lagi Meszaros,
ideologi yang berkuasa can misuse and abuse language quite openly, in
that danger being publicly exposed is negligible; both because of the
prevailing relation of force and the double standard applied to the contested
issues by the defenders of the established order.
Dengan
demikian, pergantian elite penguasa selalu mengandung implikasi pergantian
“bahasa”. Setiap elite, sesuai dengan ideologinya, akan menyusun “kamus” yang
khas. Kamus ini kemudian akan “dimasyarakatkan” melalui aparatur negara,
organisasi, dan lembaga sosial. Melalui kamus ini, anggota komunitas politik
harus menafsirkan realitas politik.
Ketika
Orde Lama digantikan Orde Baru, terjadi pergantian elite penguasa. Ideologi
elite pun berganti. Dalam wacana politik, pergantian ini dapat kita lihat pada
pergantian daftar kosakata dan pergeseran makna kata. Tulisan ini akan mencoba
mengungkapkan keduanya. Pembahasannya sama sekali tidak komprehensif, sekedar
memberikan contoh bagaimana analisis bahasa dapat kita pergunakan untuk
menganalisis perubahan politik.
Pergantian
Daftar Kosakata
Ada
sejumlah besar kata dalam wacana politik Orde Lama yang tidak terdengar lagi
pada Orde Baru. Sebaliknya, pada Orde Baru kita mendengar kosakata baru yang
tidak ada pada wacana politik Orde Lama. “Revolusi”, “kontrarevolusi”,
“nekolim”, “antek-antek”, “kapitalis-imperialis”, “nasakom”, “Manipol-Usdek”,
“indoktrinasi”, adalah contoh kata pada kamus Orde Lama. “Pembangunan”,
“antipembangunan”, “penataran”, adalah sebagian daftar kosakata Orde Baru.
Bila
kita perhatikan lebih dalam, kata-kata itu mengungkapkan kepada kita paling
tidak tiga hal: ideologi elite penguasa, distribusi kekuasaan, dan jenis elite
penguasa. Kosa kata Orde Lama pada kata kunci “revolusi”. Indonesia digambarkan
sedang melakukan revolusi besar membangun Dunia Baru dan menjungkirbalikkan
dunia yang sekarang. Karena itu, revolusi berarti perubahan cepat. Dari sini
muncul “retooling”, “new emerging forces”, “umwertung aller werte”
(penjungkir-balikan nilai-nilai). Dalam membangun dunia baru ini, Indonesia
berada di barisan paling depan. Wacana politik dipenuhi kata-kata yang “memuja”
bangsa Indonesia. Rakyat Indonesia adalah rakyat yang sudah “masuk kawah
Candradimuka”, sudah digembleng dengan berbagai tantangan, berotot kawat
bertulang besi; bukan bangsa “tempe” (walaupun tempe sebetulnya makanan yang
bergizi).
Tentu
saja, sebagai “rakyat yang revolusioner”, bangsa Indonesia menghadapi banyak
musuh. Dari luar, musuh itu adalah “imperialisme” dan “kolonialisme”, yang lama
maupun yang baru. Dari dalam, musuh itu bergerak melalui antek-anteknya, yang
umumnya terbelenggu dalam “text-book thinking”. Mereka adalah
unsur-unsur antirevolusi. Buruh, tani, dan rakyat kecil (kaum marhaen) harus
mewaspadai dan setiap saat siap “mengganyang” mereka. Supaya menjadi
revolusioner, rakyat harus diindoktrinasi, paling sedikit dengan Tujuh
Bahan Pokok Indoktrinasi (TUBAPIN).
Kosakata
itu hampir seluruhnya berasal dari Sukarno. Kontributor besar pada kamus Orde
Lama adalah Pemimpin Besar Revolusi. Ia merumuskan dan menentukan wacana
politik. Ia menciptakan kosakata secara sangat kreatif. Ini sekaligus
menunjukkan kekuasaan yang berpusat kepadanya. Frekuensi kata pada wacana
politik sekaligus menunjukkan besaran kekuasaan dalam elite politik. Dalam
istilah Aristoteles, wacana politik Orde Lama menunjukkan The Rule of One.
Ketika
Orde Baru muncul, kata kunci adalah “pembangunan”. Indonesia digambarkan
sebagai bangsa yang sedang membangun. Emmerson melukiskan ideologi pembangunan
ini dengan merujuk pada pandangan Ibnu Sutowo, “Sotowo’s notion of
development focused on physical plant, technology, infrastructure—bangun, the
root of Indonesian word pembangunan or development, meaning “to build” in a
material sense. But bangun also means “to wake up” or figuratively, to
enable million of individuals to improve their lives through heightened
awareness. The latter task is not merely to concentrate value for growth, but
to enable people to share its benefits, and thus to ensure development of a
broad popular base.
Karena
pembangunan lebih terpusat pada pembangunan ekonomi, maka masuklah jargon
ekonomi pembangunan, seperti “akselerasi”, “tinggal landas” (take-off-nya
Rostow), “pertumbuhan”, “teknologi”, “modernisasi”, “efisiensi”, dan
sebagainya. Untuk kesinambungan pembangunan, diperlukan kesinambungan pimpinan
nasional. Stabilitas nasional harus didahulukan dari pembicaraan mengenai
hak-hak asasi manusia.
Dalam
Orde Baru, tidak ada golongan antirevolusi. Yang ada ialah kelompok
antipembangunan. Diperlukan kewaspadaan nasional untuk menghadapi mereka.
Mereka boleh jadi berasal dari ekstrem kiri. Agar tumbuh partisipasi rakyat,
diperlukan upaya untuk menerjemahkan “petunjuk Bapak Presiden” kepada rakyat.
Orang-orang yang antipembangunan sekaligus juga anti-Pancasila. Rakyat, juga
tentu saja aparatur negara, harus disadarkan akan nilai-nilai luhur Pancasila.
Untuk itu, diperlukan penataran P4.
Pada
Orde Baru, kita menyaksikan penggunaan singkatan yang aneh, seperti
ipoleksosbud, siskamling, hankamrata, juklak, jurdil. Singkatan-singkatan itu
menunjukkan dengan jelas pengaruh ABRI. Bila wacana politik Orde Lama sangat
dipengaruhi Sukarno, wacana politik Orde Baru lebih banyak dibentuk oleh
kontribusi ABRI. Dalam istilah Aristoteles, pemerintah Orde Baru adalah The
Rule of Few.
Titik
berat yang berlebihan pada aspek ekonomi tampaknya mulai berubah belakangan
ini. Bersamaan dengan perubahan perlahan pada struktur kelompok elite,
muncullah kata-kata baru, seperti “restrukturisasi”, dan “keterbukaan” (mungkin
pengaruh perestroika dan glasnost), “demokratisasi”, “pembangunan
manusia seutuhnya”, “sumber daya manusia”, “deregulasi”, “pengawasan melekat
(waskat)”. Bila dulu kaum marhaen menjadi “bintang”, dalam masa-masa terakhir
ini mereka disisihkan oleh kelompok baru yang dikenal dengan nama teknokrat,
cendekiawan, konglomerat, atau birokrat.
Sekarang
tidak ada pujian untuk orang yang revolusioner. Pujian dialamatkan kepada
mereka yang berhasil menunjukkan prestasi dalam pembangunan. Para birokrat—yang
sekarang beralih dari alat revolusi menjadi alat pembangunan—dinilai dari PDLT:
prestasi, dedikasi, loyalitas, tak tercela. Para teknokrat dituntut untuk
mengantisipasi masyarakat informasi dan mempersiapkan bangsa Indonesia memiliki
kaulifikasi bersaing dalam pasaran global. Apakah berkurangnya kata-kata yang
“bersifat ABRI” dan bertambahnya kata-kata yang “berbau ilmiah”menunjukkan
pergeseran elite penguasa belakangan ini? Wallahu a’lam.
Pergeseran
Makna Kata
Ada
beberapa kata yang tidak meninggalkan wacana politik, baik pada Orde Baru
maupun pada Orde Lama. Tetapi, dengan sangat menarik, kata-kata itu mengalami
pergeseran arti (atau artinya diganti). Baik Orde Lama maupun Orde Baru
menganut politik bebas aktif. Pada Orde Lama, kata itu diartikan sebagai
gerakan negara-negara yang baru muncul (new emerging forces) yang
berjuang untuk membebaskan diri dari pengaruh neokolonialisme. Tidak jadi soal
kalupun Indonesia menjadi lebih dekat pada negara-negara komunis. Pada Orde
Baru, politik bebas aktif berarti garis gerakan neoalignment, khususnya
negara-negara Dunia Ketiga (atau negara-negara Selatan) dalam menghadapi
ketimpangan ekonomi akibat ulah negara-negara industri (atau negara-negara Utara). Tidak jadi soal
kalaupun dalam kenyataannya Indonesia lebih dekat ke Barat.
Kata
“subversi” juga mengalami pergeseran arti. Pada masa Orde Lama, kata itu berarti
upaya penyusupan yang dilakukan oleh agen-agen nekolim untuk menghancurkan
revolusi. Gerakan intelektual seperti kelompok Manikebu (Manifesto Kebudayaan)
dipandang sebagai subversi. Pada masa Orde Baru “subversi” merujuk pada
kegiatan antipembangunan yang dilakukan oleh ekstrem kanan atau ekstrem kiri,
atau orang-orang yang melakukan “kritik yang tidak bertanggung jawab”.
Pergeseran
makna yang paling menonjol tampak pada kata “politik”. Pada masa Orde Lama,
politik mempunyai konotasi yang positif, berkaitan dengan kegiatan yang mempunyai
akses pada struktur kekuasaan. Orang tidak takut berbicara tentang politik. Pada
masa Orde Baru, kegiatan politik diartikan sebagai segala kegiatan yang tidak
sejalan dengan elite penguasa. Anda tidak berbicara politik dalam khutbah Jumat
walaupun Anda berbicara tentang GBHN atau program Keluarga Berencana selama
Anda membicarakannya dengan nada mendukung atau mengajak orang untuk mendukung.
Anda berbicara politik walaupun Anda sebenarnya membahas masalah ekonomi jika
di dalamnya Anda cenderung “mengkritik” program pemerintah.
Karena
itu, Golkar tidak disebut partai politik walaupun semua syarat partai politik
ada di dalamnya. Dalam pemilu hanya ada dua partai politik dan satu golongan
karya. Politik itu jelek dan bangsa kita pernah menderita ketika politik menjadi
panglima. Akhir-akhir ini, kata “politik”, secara perlahan tapi pasti, mulai mempunyai
konotasi positif. Orang berbicara tentang “partisipasi politik”, “pendidikan politik”,
“sosialisasi politik”, dan sebagainya. Boleh jadi, ini pun menunjukkan
peralihan “warna ideologis” yang terus berlangsung.
Penutup
Kajian
linguistik untuk mengamati fenomena politik sebetulnya bidang yang patut mendapat
perhatian. Bukan saja bidang ini mempunyai latar belakang teoritis yang kokoh,
melainkan juga hasilnya mengungkapkan hal-hal menarik berkenaan dengan proses
pembentukan wacana politik. Bahasa memang tidak pernah objektif. Bahasa selalu ideology-soaked.
Melalui analisis linguistik, budaya politik suatu bangsa menjadi transparan.
Tulisan
ini lebih banyak menyorot bahasa seperti dibentuk oleh kelompok elite. Kosakata
rakyat pun mengalami perubahan bersamaan dengan perubahan sistem politik yang
mereka alami. Mungkin mereka bertopang pada kosakata yang dibuat elite penguasa,
tetapi mereka dengan bebas memberi makna sendiri. Sering kali makna itu
merupakan kritik terselubung pada elite penguasa. Tetapi, dari mana pun makna
dan kosakata itu, bidang linguistik merupakan bidang yang masih belum banyak
dibuka oleh para peneliti komunikasi di Indonesia.
Al-Quran
yang berjalan ini mengubah
para
perompak menjadi penegak kebenaran
budak-budak
rendah menjadi pahlawan keadilan
ia
mengganti kepongahan dengan kerendahan hati
rasa
rendah hati dengan keluhuran budi
Maka gembala-gembala unta di sahara bangkit
menaklukkan
dunia
para
tiran berjatuhan, penindas terhempas,
dan
suara rakyat menjadi suara Tuhan
Apakah tangan para pejuang Muslim masih putih bersih
sehingga
berhak menggenggam tongkat Musa?
Adakah
penerus Al-Qur’an yang berjalan
sehingga
mampu menjatuhkan tiran dengan suara Tuhan?
Jalaluddin
Rakhmat, Cendekiawan
Muslim
0 komentar:
Posting Komentar