alt/text gambar

Rabu, 17 Mei 2023

Topik Pilihan: , , , ,

Bergulat dengan Absurditas: Membaca Filsafat Albert Camus


Oleh: NANI EFENDI



Absurditas, menurut Albert Camus, adalah adanya ketidakpastian antara pikiran manusia dan kenyataan yang ada. Manusia selalu memikirkan konsep kehidupan, tapi konsep ini tak sesuai dengan kenyataan hidup. 

Absurdisme adalah suatu paham atau aliran yang mempercayai bahwa usaha manusia untuk mencari arti kehidupan akan berakhir dengan kegagalan. Usaha itu adalah suatu yang absurd. “Apa yang absurd,” kata Camus, “adalah konfrontasi antara hidup yang irasional dan kerinduan hebat akan kejelasan.” 

Perasaan absurd muncul karena manusia mencari pemahaman yang lengkap mengenai dunia yang tak dapat dipahami. Artinya, dalam bahasa sederhana: hidup ini tak jelas. Maunya begitu, tapi jadinya begini. Sudah susah-susah memperjuangkan sesuatu, hasilnya tak sesuai harapan. 

“Di mana pun di sudut-sudut jalan merasa absurd itu bisa menampar wajah siapa pun,” kata Albert Camus. Perasaan absurd itu—meminjam istilah sederhana Fahruddin Faiz—ialah perasaan bahwa hidup ini enggak jelas. 

Hidup ini mau apa sih? Aku kayak gini buat apa sih? Apa tujuan hidup ini? Apakah hidup ini ada maknanya atau tidak? Apa gunanya aku ada di alam semesta ini? Hidup ini, kata Camus, tak pernah kita minta, tak pernah kita harapkan, tiba-tiba saja kita terlempar ke atas dunia. 

Ya, manusia selalu terlempar ke dalam fakta-fakta kehidupan yang sering tak cocok dengan gambaran mereka. Memang itulah ciri hidup menurut Camus: ketidakpastian. 

Contoh yang paling gampang dilihat, misalnya, adalah masalah cita-cita: berapa banyak manusia yang bercita-cita menjadi dokter, tapi kenyataan hidup berkata lain: manusia malah menjadi dukun. Yang bercita-cita jadi tentara, ternyata jadi tukang kayu. Dan lain sebagainya. 

Dalam urusan cinta juga seperti itu. Pacaran bertahun-tahun, tapi nikah malah dengan orang lain. Di sisi lain, manusia mencintai orang yang menyia-nyiakannya dan menyia-nyiakan orang yang mencintainya. Hari ini cinta, besok benci. Hari ini benci, besok cinta. Ada juga yang telah sukses mendapatkan kekayaan, tapi malah bangkrut tiba-tiba. 

Dua periode jadi bupati, habis itu menjadi pasien KPK. Harta yang dikorup pun habis seketika. Ada pula yang bekerja banting tulang peras keringat siang malam mengumpulkan harta. Setelah harta terkumpul, ia habiskan. Kemudian, ia cari lagi. Begitu seterusnya. Tak mengerti ia makna hidupnya. Ia jalani saja rutinitas hidupnya sebagaimana yang dilakukan kebanyakan orang. Tanpa berani berontak pada tren masyarakatnya. Itulah contoh absurditas. 

Analogi Sisifus

Dalam politik demikian juga. Awalnya, masyarakat antusias dan menaruh harapan pada sistem politik tertentu dan mengidolakan salah seorang calon pemimpin. Sanggup gontok-gontokan demi memenangkan calon mereka. Tapi setelah ia memimpin, malah masyarakat yang mendukungnya itu sendiri yang akhirnya kecewa, karena tak sesuai antara harapan dan kenyataan. Yang dulu dipuja-puja sekarang dihujat-hujat. Tapi anehnya, meski sudah pernah mengalami harapan politik yang sia-sia, masih juga diulangi. Hidup manusia memang absurd. Susah dipahami. 

Untuk menggambarkan kehidupan manusia di dunia ini yang absurd itu, Camus memberikan analogi kehidupan dengan cerita Sisifus dalam mitologi Yunani kuno. Sisifus dikutuk dan dihukum oleh Dewa Zeus dengan hukuman mendorong batu besar ke atas puncak bukit. Tapi setelah batu itu sampai di puncak bukit, batu itu jatuh menggelinding lagi ke bawah. Kemudian Sisifus mendorong lagi batu itu ke atas. Kemudian menggelinding lagi ke bawah. Didorong lagi. Begitu seterusnya dan seterusnya. Camus menggambarkan begitulah kehidupan manusia. Kita semua adalah Sisifus. 

Membangkang (revolt; memberontak) 

Sesuai arti “absurd” sendiri, dari bahasa Latin ab (dari), surdus (tuli). Jadi, absurdus artinya “dari orang tuli”, yang keluar dari suara yang tak jelas. Absurdus: “tak cocok”, “tak logis”, “bodoh”, “tanpa makna”, “tak ada harganya”. Dalam menghadapi absurditas itu, manusia biasanya "melarikan diri", dengan cara: pertama, bunuh diri. Kedua, bunuh diri filosofis (melompat ke harapan kepenuhan makna, baik yang dijanjikan agama, filsafat, maupun ideologi). Cara yang kedua ini diistilahkan dengan leap of faith. Ketiga, memberontak (revolt). Menurut Goenawan Mohamad—yang juga ahli tentang Camus—arti revolt yang lebih tepat dalam konteks ini, adalah "membangkang", bukan pemberontakan atau revolusi. 

Tapi, menurut Martinus Suhartono, memberontak yang dimaksud Camus adalah memberontak terhadap setiap ketidakadilan yang terjadi dalam kehidupan manusia. Martinus Suhartono menyebutkan: bahwa Camus menemukan satu-satunya tempat berpijak di tengah samudera absurditas, yaitu pemberontakan. Orang harus menghadapi absurditas dengan gagah berani, bertahan dengan tabah, dan memberontak dengan jalan melibatkan diri seutuhnya pada nasib sesamanya. Memberontak dengan menjadi pejuang yang menentang ketidakadilan. Orang harus berani berkorban diri bagi sesamanya, jelas Martinus, walaupun tanpa ganjaran surga. Menjadi "orang suci tanpa adanya Tuhan" (lihat Martinus Suhartono, "Albert Camus: Dari yang Absurd ke Pemberontakan", dalam Tim Redaksi Driyarkara (peny), Diskursus Kemasyarakatan dan Kemanusiaan, Jakarta: Gramedia, 1993, h.163-175).

Camus menawarkan solusi menghadapi absurditas dengan melakukan pembangkangan (revolt) atas hidup. Maksudnya, manusia harus menghadapi hidup dengan berani. Sikap yang tepat di hadapan absurditas, menurut Camus, bukanlah bunuh diri, melainkan membangkang. Kata Camus, "Apa itu manusia pembangkang? Seorang pria yang mengatakan tidak." Pembangkangan atas hidup yang tidak pernah jelas. Bagaimanapun kehidupan tetap harus kita jalani dan hadapi. 

Mencermati realitas kehidupan, Camus bertanya-tanya: “Apa aku harus bunuh diri?” Sebagaimana digambarkan dalam karya Camus, The Myth of Sisyphus (Mitos Sisifus), karya yang memperkenalkan filsafat absurditas. Camus mempertanyakan, apakah menghadapi realitas yang absurd ini harus dijawab dengan bunuh diri? Kata Camus, "Haruskah aku bunuh diri, atau minum secangkir kopi?" Camus berpikir, dan mendapatkan jawaban, kira-kira: “Tidak. Lebih baik ngopi saja!” 

Ya, manusia harus menghadapi hidup yang absurd dengan berani dan menikmati hidup secara otentik dengan bahagia. Walaupun dilihat sekilas yang dilakukan Sisifus adalah kesia-siaan, tapi, kata Camus, "Harus dibayangkan bahwa Sisifus bahagia.” Camus mengajarkan, walaupun kehidupan ini absurd, yang dialami hampir setiap saat, tapi kita harus tetap menjalaninya dengan bahagia. Sisifus yang dikutuk pun masih dapat bahagia menjalani kehidupannya, tak pernah frustrasi. Jalani, nikmati dan membangkanglah—berani mengatakan “ya” dan mengatakan “tidak”—dalam kehidupan yang absurd ini. Tak usah ikut-ikutan apa kata orang. Tak usah mengkhawatirkan masa depan yang belum terjadi. 

Dan, walaupun hidup ini absurd, tapi bagi Camus, absurditas bukan melulu sesuatu yang buruk atau menakutkan. Absurditas juga menggairahkan, bahkan mungkin juga kadang-kadang indah (Y. D. Anugrahbayu, 2021: 25-31). Bahasa sederhananya: walaupun hidup ini absurd, nikmati saja. Orang harus berani menghadapi kehidupan, berjuang melawan absurditas dan ketidakbermaknaan dengan cara memberi makna sendiri (Fahruddin Faiz, Ngaji Filsafat 224). Pendek kata, cara menghadapi absurditas kehidupan ialah menerima absurditas dengan gembira, sebagaimana Sisifus menjalani hidup. Bagi Camus, kata A. Sudiarja, absurditas memang tak bisa dielak sebagai kenyataan yang ia sebut sebagai kondisi manusia. Camus menganjurkan agar absurditas diterima dengan gembira dan berusaha tetap bahagia (lihat A. Sudiarja, "Dimensi Etis Absurditas Albert Camus", Majalah Basis Nomor 01-02, Tahun Ke-71, 2022, h. 8-15).

Tiga cara menghadapi absurditas

Jadi, ada tiga cara menghadapi absurditas. Pertama, bunuh diri (fisik); kedua, bunuh diri filosofis (leap of faith), lari ke agama atau ke keyakinan-keyakinan tertentu; ketiga, “bertahan” dengan cara menjalani dan menyenangi kehidupan dengan gembira dan berani, dengan membuat nilai-nilai hidup versi kita sendiri atau hidup secara otentik. Cara ketiga ini disebut "memberontak; revolt". Memberontak—yang diartikan Goenawan Mohamad dengan "membangkang"—terhadap semua nilai-nilai ciptaan orang lain atau masyarakat. Membangkang terhadap apa kata orang banyak (para "kerumunan" istilah Nietzsche). Bahasa sederhana: hiduplah secara eksistensial (menjadi seorang eksistensialis). 

Kalau saya menafsirkan secara bebas: jadilah diri sendiri, diri kita yang sebenarnya—diri yang sejati. Hiduplah sesuai dengan kesukaan, bakat, dan minat kita sendiri. Tak perlu ikut-ikutan sesuatu yang pada dasarnya tak kita sukai, tak kita minati, walaupun orang banyak meminatinya. Sikap seperti itulah yang disebut "membangkang". Membangkang pada mainstream dan tren (arus) kehidupan masyarakat banyak. Tak ikut-ikutan pada apa kata orang atau tren orang (adat-istiadat, tradisi, nilai-nilai, cara dan gaya hidup orang kebanyakan, moralitas, kemapanan atau status quo, dan lain sebagainya). Cara pertama dan kedua memang dimungkinkan dilakukan manusia dalam kehidupan yang absurd. Tapi Camus tak melakukan itu. Yang diinginkan Camus ialah cara ketiga: memberontak (membangkang). Membangkang dalam arti tak mau ikut-ikutan pada apa kata orang, tapi hidup dengan versi kita sendiri secara otentik. Itulah cara hidup manusia eksistensialis.

Aku memberontak, maka kita ada: antara Camus dan Pram

Dalam artikelnya,  "Terlibat di Sisi Korban Menghadapi Kebathilan Absurd: Etika Politik Albert Camus", A. Setyo Wibowo, menjelaskan bagaimana sikap Camus terhadap Kebathilan. Camus tidak hanya berontak (secara individual), pada absurditas (semisal nilai-nilai ciptaan orang lain, yang digambarkan dalam tokoh Mersault dalam novel L'etranger), tapi juga ia berontak (secara kolektif), terhadap Kebathilan (seperti bencana maupun kejahatan dari tindakan bathil manusia). 

Terhadap Kebathilan, Camus tidak tinggal diam. Menurut Camus, manusia harus bertindak melawan segala bentuk Kebathilan. Tapi perlawanan itu bukan bentuk mengharapkan sesuatu manfaat atau ganjaran (semisal pahala) di masa depan. Bukan. Perlawanan terhadap Kebathilan itu dilakukan hanya semata-mata dalam rangka melaksanakan "tugas kemanusian" demi hidup ini, hari ini, dan di sini. Dalam melakukan tugas kemanusiaan itulah manusia benar-benar menunjukkan bahwa ia ada (bereksistensi) di hadapan absurditas.  

Dalam konteks politik, Camus memberontak terhadap Kebathilan. Ia melawan Kebathilan (kolonialisme Prancis atas Aljazair, dan pendudukan Nazi Jerman atas Prancis). "Aku memberontak, maka kita ada," kata Camus dalam L'homme revolte (hlm.38). Manusia tak boleh menghindar terhadap Kebathilan. Manusia harus terlibat. "Moral keterlibatan Camusian adalah bertempur di sisi korban tanpa berharap akan kemenangan absolut," tulis Setyo Wibowo. "Yang bisa kita buat adalah 'mencegah supaya korban tidak jatuh lebih banyak lagi'."

Jadi, yang penting adalah melawan Kebathilan, bertindak kongkret membela manusia. Itu yang penting. Bukan kemenangan. Terhadap Kebathilan, prinsip Camus sama dengan prinsip Pramoedya Ananta Toer. Menurut Pram, orang harus melawan terhadap segala bentuk ketidakadilan, meskipun hanya dalam hati. Kata Pram, "Setiap ketidakadilan harus dilawan, walaupun hanya dalam hati." Sikap itu ditunjukkan oleh Pram melalui tokoh Nyai Ontosoroh—dalam akhir cerita novel Bumi Manusia—di hadapan pengadilan kolonial Belanda: "Kita telah melawan Nak, Nyo. Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya." Walaupun Nyai Ontosoroh kalah, tapi ia melawan. 

Jadi, melawan atau memberontak itulah sikap yang seharusnya dimiliki manusia di hadapan Kebathilan absurd. Dalam sisi ini, Camus memiliki kesamaan dengan Pram. Mungkin karena kesamaan sikap perlawanan terhadap Kebathilan itulah, Pram dijuluki "Albert Camus Indonesia".  "Saya di dalam pandangan saya hanya berpihak pada yang adil, benar! Itu saja. Berkemanusiaan. Kalau yang ini yang lebih adil, saya bantu, saya sokong dia. Lebih dari itu, tidak," kata Pramoedya Ananta Toer.

Kembali ke Camus. "Cara Camus menjelaskan absurditas (sesuatu yang tanpa alasan dan tujuan, namun hadir begitu saja)," tulis Setyo Wibowo, "melanjutkan intuisi Nietzsche tentang realitas mentah dunia ini yang mesti kita terima apa adanya tanpa lari mencari-cari 'pegangan' (dalam bentuk ide-ide fixed entah itu Tuhan atau being itself)." Sikap Camus di hadapan absurditas, merupakan bentuk sikap seorang eksistensialis sejati.

Albert Camus adalah sastrawan dan filsuf Prancis kelahiran Aljazair. Lahir pada 1913. Mendapat Hadiah Nobel Sastra pada 1957. Menikah dua kali dan memiliki banyak hubungan di luar nikah. Camus adalah seorang moralis yang juga aktif secara politik dan termasuk seorang sayap kiri yang menentang totalitarianisme Uni Soviet. Sekilas, filsafat Camus terdengar murung dan pesimis. Tapi tidak. Filsafat Camus justru sebaliknya: mengajarkan agar kita hidup secara otentik dengan bebas dan berani  menjalani kehidupan.


NANI EFENDI, Alumnus HMI, Pemikir, dan Kritikus Sosial



RUJUKAN


Anugrahbayu, Y. D., Camus: di Titik Suntuk Pagebluk, dalam Majalah Basis Nomor 07-08, Tahun ke-70, 2021, h. 25-31.


Faiz, Fahruddin, Ngaji Filsafat 224, Youtube.


Sudiarja, A., "Dimensi Etis Absurditas Albert Camus", Majalah Basis Nomor 01-02, Tahun Ke-71, 2022, h. 8-15.


Suhartono, Martinus,  "Albert Camus: Dari yang Absurd ke Pemberontakan", dalam Tim Redaksi Driyarkara (peny), Diskursus Kemasyarakatan dan Kemanusiaan, Jakarta: Gramedia, 1993


Toer, Pramoedya Ananta, Bumi Manusia, Jakarta: Lentera Dipantara, 2006.


Wibowo, A. Setyo, "Albert Camus: Kronologi Hidup", dalam Majalah Basis Nomor 07-08, Tahun ke-70, 2021, h. 4-14.

Wibowo, A. Setyo, "Terlibat di Sisi Korban Menghadapi Kebathilan Absurd: Etika Politik Albert Camus" dalam F. Budi Hardiman dkk, Empat Esai Etika Politik, Jakarta: Penerbit www.srimulyani.net, bekerjasama dengan Komunitas Salihara, 2011.

 



0 komentar:

Posting Komentar