alt/text gambar

Senin, 20 November 2023

Topik Pilihan: , ,

ALBERT CAMUS DAN PRAM: SIKAP DI HADAPAN KEBATHILAN ABSURD


Oleh: NANI EFENDI


Aku memberontak, maka kita ada, kata Albert Camus. Apa maksudnya? Dalam artikelnya berjudul "Terlibat di Sisi Korban Menghadapi Kebathilan Absurd: Etika Politik Albert Camus", A. Setyo Wibowomenjelaskan bagaimana sikap Albert Camus terhadap Kebathilan. Camus tidak hanya berontak (secara individual), pada absurditas (semisal nilai-nilai ciptaan orang lain, yang digambarkan dalam tokoh Mersault dalam novel L'etranger), tapi juga ia berontak (secara kolektif), terhadap Kebathilan (seperti bencana maupun kejahatan dari tindakan bathil manusia). 

Terhadap Kebathilan, Camus tidak tinggal diam. Menurut Camus, manusia harus bertindak melawan segala bentuk Kebathilan. Tapi perlawanan itu bukan bentuk mengharapkan sesuatu manfaat atau ganjaran (semisal pahala) di masa depan. Bukan. Perlawanan terhadap Kebathilan itu dilakukan hanya semata-mata dalam rangka melaksanakan "tugas kemanusian" demi hidup ini, hari ini, dan di sini. Dalam melakukan tugas kemanusiaan itulah manusia benar-benar menunjukkan bahwa ia ada (bereksistensi) di hadapan absurditas.  

Dalam konteks politik, Camus memberontak terhadap Kebathilan. Albert Camus adalah sastrawan, moralis, dan filsuf—walaupun ia lebih suka menyebut dirinya senimanPrancis kelahiran Aljazair yang aktif secara politik dan termasuk seorang sayap kiri yang menentang totalitarianisme Uni Soviet. Lahir pada 1913. Mendapat Hadiah Nobel Sastra pada 1957. 

Camus melawan Kebathilan (pendudukan Nazi Jerman atas Prancis dan kolonialisme Prancis atas Aljazair). "Aku memberontak, maka kita ada," kata Camus, sebagaimana dikutip Setyo Wibowo, dari karya Camus L'homme revolte (hlm.38). Manusia tak boleh menghindar terhadap Kebathilan. Manusia harus terlibat. "Moral keterlibatan Camusian adalah bertempur di sisi korban tanpa berharap akan kemenangan absolut," tulis Setyo Wibowo. "Yang bisa kita buat adalah 'mencegah supaya korban tidak jatuh lebih banyak lagi'."

Jadi, yang penting, menurut Camus, adalah: melawan Kebathilan, bertindak kongkret membela manusia. Itu yang penting. Bukan kemenangan. Terhadap Kebathilan, di sinilah kita melihat kesamaan prinsip Camus dengan sastrawan Indonesia, Pramoedya Ananta Toer. Menurut Pram, orang harus melawan terhadap segala bentuk ketidakadilan, meskipun hanya dalam hati. Kata Pram, "Setiap ketidakadilan harus dilawan, walaupun hanya dalam hati." Sikap itu ditunjukkan oleh Pram melalui tokoh Nyai Ontosoroh—dalam akhir cerita novel Bumi Manusiadi hadapan pengadilan kolonial Belanda: "Kita telah melawan Nak, Nyo. Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya." Walaupun Nyai Ontosoroh kalah, tapi ia melawan. 

Jadi, melawan atau memberontak itulah sikap yang seharusnya dimiliki manusia di hadapan Kebathilan absurd. Dalam sisi ini, Camus memiliki kesamaan dengan Pram. Mungkin karena kesamaan sikap perlawanan terhadap Kebathilan itulah, Pram dijuluki "Albert Camus Indonesia".  "Saya di dalam pandangan saya hanya berpihak pada yang adil, benar! Itu saja. Berkemanusiaan. Kalau yang ini yang lebih adil, saya bantu, saya sokong dia. Lebih dari itu, tidak," kata Pramoedya Ananta Toer.

Apakah Pram adalah juga seorang "absurdis" seperti Camus? Sulit untuk menyimpulkan. Tapi ada satu kutipan dari novel Bukan Pasarmalam karya Pram yang bernada absurd: "Hidup ini, Anakku, hidup ini tak ada harganya sama sekali. Tunggulah saatnya, dan kelak engkau akan berpikir, bahwa sia-sia saja Tuhan menciptakan manusia di dunia ini." (Pramoedya Ananta Toer, Bukan Pasarmalam, Jakarta: Lentera Dipantara, 2003, h. 48).

Kembali ke Camus. "Cara Camus menjelaskan absurditas (sesuatu yang tanpa alasan dan tujuan, namun hadir begitu saja)," tulis Setyo Wibowo, "melanjutkan intuisi Nietzsche tentang realitas mentah dunia ini yang mesti kita terima apa adanya tanpa lari mencari-cari 'pegangan' (dalam bentuk ide-ide fixed entah itu Tuhan atau being itself)." Sikap Camus di hadapan absurditas, merupakan bentuk sikap seorang eksistensialis sejati.

Dalam kehidupan seksual (asmara), Camus dan Pram punya kesamaan, tapi juga perbedaan. Persamaannya: Camus dan Pram sama-sama pernah menikah dua kali. Tapi mereka berbeda dalam urusan hubungan asmara di luar nikah. Sepanjang catatan sejarah yang ada, Pram tak punya hubungan dengan banyak wanita di luar nikah. Tapi Camus lain. Camus memiliki banyak hubungan di luar nikah. Mungkin, menjalin hubungan asmara dengan banyak wanita, adalah bentuk ekspresi kebebasan yang dijunjung tinggi oleh Albert Camus. 

NANI EFENDIAlumnus HMI

REFERENSI:

Camus, Albert, Orang Asing (Judul asli: L’Etranger). Penerjemah: Apsanti Djokosujatno. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2013.

Toer, Pramoedya Ananta, Bukan Pasarmalam, Jakarta: Lentera Dipantara, 2003.

Toer, Pramoedya Ananta, Bumi Manusia, Jakarta: Lentera Dipantara, 2006.

Wibowo, A. Setyo, "Terlibat di Sisi Korban Menghadapi Kebathilan Absurd: Etika Politik Albert Camus" dalam F. Budi Hardiman dkk, Empat Esai Etika Politik, Jakarta: Penerbit www.srimulyani.net, bekerjasama dengan Komunitas Salihara, 2011.


0 komentar:

Posting Komentar