Oleh: NANI EFENDI
Sekitar pukul 20.00 WIB, 18 Februari 2022 lalu, saya mengikuti acara “Malam Puncak Dies Natalis HMI ke-75” yang diselenggarakan oleh PB-HMI di Jakarta. Saya mengikutinya melalui zoom metting. Acara itu juga ditayangkan secara live streaming di YouTube. Semestinya, judul tulisan ini adalah “Quo Vadis PB-HMI di Bawah Kepemimpinan Raihan Ariatama?” Memang, sudah lama saya ingin menulis tentang orientasi kebijakan organisasi HMI saat ini. Tapi selalu tertunda. Setelah mengikuti acara itu, saya jadi semangat lagi untuk menulis tentang HMI sekarang—kondisi yang, dalam pengamatan saya, agak mulai mengalami “disorientasi”.
HMI pencetak kader umat dan kader bangsa
Akhir-akhir ini, sering sekali saya dengar HMI harus menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Terutama dengan era yang serba digital saat ini. Ada lagi istilah “4.0”, “5.0”, dan lain-lain. HMI juga, akhir-akhir ini, sering saya dengar akan mengarahkan kader untuk berwirausaha atau entrepreneur. Saya akhirnya jadi bertanya-tanya: ini organisasi perjuangan atau yayasan, atau koperasi, atau perusahaan? Atau HMI sudah berubah menjadi lembaga yang fungsinya men-training atau mencetak calon pengusaha (entrepreneur)? Bukankah tugas HMI jauh lebih besar dari itu?
HMI tugasnya adalah menyiapkan kader umat dan kader bangsa. Mencetak manusia handal (intelektual-profesional) dan berintegritas moral. Jangan disempitkan ke persoalan wirausaha. Jika kader ingin berwirausaha, silakan saja. Itu pilihan bakat dan minat masing-masing kader. Sah-sah saja dan itu baik-baik saja. Tapi menjadikan “entrepreneur atau kewirausahaan” sebagai orientasi “kebijakan umum organisasi” HMI, dengan alasan menyesuaikan dengan kemajuan zaman, saya pikir ini sudah keliru dan mulai menyimpang dari khitah dan eksistensi HMI sebagai organisasi perjuangan yang mewarisi semangat tradisi intelektual semenjak Lafran Pane.
Kalau kita katakan zaman sudah berubah, ya saya sepakat. Tapi perubahan itu kan hanya pada kemajuan peralatan dan cara. Manusia tetap tidak berubah. Di mana-mana, semodern apa pun zaman, selalu ada yang namanya penindasan. Selalu ada praktik ketidakadilan sosial. Selalu ada penyalahgunaan kekuasaan. Senantiasa ada perkosaan terhadap hak-hak asasi manusia. Apa peran HMI sebagai organisasi perjuangan dalam menghadapi persoalan-persoalan ini? Di mana suara kritis HMI saat ini ketika terjadi korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan, atau ketika terjadi ketidakadilan sosial?
Untuk bahan renungan, saya kutip kata-kata sastrawan besar Pramoedya Ananta Toer—yang saya tidak tahu apakah kader-kader HMI pernah membacanya atau tidak: “Lambat tapi pasti sorak-soraiku sendiri dan dunia akan datangnya jaman modern hanya satu kesia-siaan semata. Yang modern memang hanya alat-alatnya, kata Mama, dan caranya. Manusia tetap, tidak berubah, di laut, darat, di kutub, dalam kekayaan dan kemiskinan bikinan manusia sendiri." (Anak Semua Bangsa, h. 338-339).
Di halaman lain Pram menulis, "Beda pula dari Mama, seorang manusia bebas-merdeka seperti termaktub dalam mata semboyan Kebebasan dari Revolusi Prancis, namun menganggap jaman modern tidak mengandung berkah sesuatu pun kecuali dalam kemajuan peralatan dan cara." (Pramoedya Ananta Toer, Anak Semua Bangsa, h. 278-279)
Kata-kata Pram ini harus direnungkan baik-baik dan betul-betul dipahami oleh kader HMI. Yang maju sekarang ini adalah: “peralatan” dan “cara”. Sekali lagi: “peralatan” dan “cara”. Watak dan tabiat manusia tetap seperti dulu. Berpikir dan merasa. Tetap ada yang menindas dan tertindas. Yang kaya dan miskin. Yang zalim dan yang terzalimi. Yang adil dan yang tidak adil. Yang benar dan tidak benar. Yang baik dan yang jahat. Nah, tugas HMI adalah menjadi dan membentuk manusia yang baik dan adil, dan melawan ketidakadilan dan manusia jahat. Melawan kezaliman dan membantu yang terzalimi.
Kalau begitu, teknologi yang canggih dalam konteks saat ini fungsinya apa bagi HMI? Fungsinya: sebagai “alat dan cara” dalam melawan kekuatan jahat itu. HMI sebagai kekuatan moral. Teknologi sebagai alat; Islam sebagai spirit. Itu baru benar. Jadi, bukan dengan adanya kemajuan teknologi saat ini dunia dan manusianya juga ikut-ikutan “maju dan benar” dalam hal moral. Tidak. Manusia tetaplah sama: ada potensi baik dan potensi jahat dalam dirinya. Manusia tetaplah makhluk berpikir dan berperasaan. Dan teknologi—secanggih apa pun itu—tak pernah mampu menyentuh domain pikiran dan perasaan manusia.
Kembalilah ke khitah
Jadi, ini yang harus didudukkan kembali. Fungsi kritik dan kontrol sosial HMI harus tetap jalan. Tradisi keilmuan dan intelektual harus terus ditingkatkan. Saya khawatir, jika HMI sudah berorientasi usaha (bisnis), perhatian kader pada masalah keislaman dan keindonesiaan, tradisi intelektual, bisa menghilang—kader menjadi berpikir borjuis-pragmatis.
Padahal, tugas profetik kader dalam mengontrol jalannya kehidupan sosial-politik masyarakat agar berkeadilan, sebagaimana tertuang dalam NDP HMI, adalah tanggung jawab HMI sebagai organisasi perjuangan. Aksi-aksi protes sosial dalam berbagai bentuk tidak bisa ditinggalkan. Demonstrasi tetap perlu. Menurut Gabriel Almond, ilmuwan politik Amerika, dalam keadaan sistem politik totaliter, di mana saluran-saluran demokrasi ditutup, maka demonstrasi adalah salah satu cara yang efektif untuk menyuarakan aspirasi.
Ingat, watak dasar kekuasaan, kata Lord Acton (1833-1902), cenderung korup. “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely; Kekuasaan itu cenderung korup. Dan kekuasaan yang absolut sudah pasti korup.” Jadi, secanggih apa pun teknologi, watak kekuasaan—seperti kata Lord Acton itu—tetaplah sama. Bahkan, dengan cara dan bentuk yang lebih canggih lagi. Oleh karenanya, perlu ada kontrol sosial.
Jadi, berwirausaha cukup sebagai aktivitas pribadi kader-kader yang berminat saja. Bukan cara berjuang. Jangan dijadikan orientasi utama HMI. Apalagi sampai merombak pola training agar HMI berorientasi kewirausahaan. Ini jelas keliru. Pola training dan kurikulum HMI yang sudah ada sekarang sudah bagus. Tidak perlu dirombak lagi. Di kurikulum LK juga sudah ada materi “Kepemimpinan, Manajemen, dan Organisasi”.
Materi KMO itu sudah merupakan dasar umum. Ia bisa berguna untuk apa saja: bisa di bidang politik, entrepreneur, bisnis, birokrasi, dan lain sebagainya. Tidak perlu ada materi khusus kewirausahaan. Yang namanya pengkaderan itu ialah memberikan bekal dasar. Untuk pengembangan selanjutnya, serahkanlah kepada bakat-minat masing-masing kader. Tidak perlu ada kebijakan organisasi agar HMI berorientasi entrepreneurship.
Jadi, kembalilah ke khitah dan semangat dasar HMI: “Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi, yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhai Allah swt.” Dalam upaya mewujudkan masyarakat adil makmur itu tentu tidak cukup mengandalkan peran pengusaha saja.
HMI membutuhkan juga kader yang jadi cendekiawan, pemikir (filsuf), ulama, politisi, intelektual, penulis, sastrawan, budayawan, akademisi, ilmuwan (dalam berbagai bidang), ahli agama, ahli hukum, ahli ekonomi, birokrat, dan lain-lain. Problem kebangsaan kita sangat ruwet. Tak bisa hanya mengandalkan peran pengusaha saja. Dan memang, ini yang harus dipahami, tugas HMI bukan mencetak pengusaha, tapi mencetak kader umat dan kader bangsa. Semoga Kongres kali ini dapat membuat HMI tetap pada khittah perjuangannya dan tak mengalami disorientasi. Selamat melaksanakan Kongres HMI ke XXXII, tahun 2023 di Pontianak. Yakin usaha sampai dan usaha sampai yakin.
NANI EFENDI, Alumnus LK III HMI (Advance Training) Badko HMI Sumbagsel, dan mantan Sekretaris Umum HMI Cabang Kerinci 2006-2007
0 komentar:
Posting Komentar