1. Absurditas alam semesta menyebabkan apa pun dapat terjadi kepada siapa pun, kapan pun, dan suatu kejadian tragis dapat mengantarkan manusia kepada konfrontasi langsung pada absurditas.
2. Albert Camus mengajarkan, manusia harus terus berjuang di muka absurditas, bukan bunuh diri, baik bunuh diri secara fisik maupun bunuh diri filosofis (leap of faith).
3. Para filsuf eksistensialis (Soren Kierkegaard, Nietzsche, Jean-Paul Sartre, Albert Camus, Berdyaev, Jaspers, Dostoyevsky, Heidegger) memang amat ingin membantu manusia menghadapi kehidupan yang di dalamnya selalu ada bahaya kehilangan semua hal yang bermakna.
4. Kebebasan eksistensial berarti juga bahwa seseorang dapat mengubah nilai-nilai yang dipegangnya. Dengan demikian, seseorang bertanggung jawab pada nilai-nilai yang dipegangnya, terlepas dari nilai-nilai yang dipegang masyarakat.
5. Fokus kebebasan dalam eksistensialisme terkait dengan batasan tanggung jawab yang dipegang seseorang sebagai hasil dari kebebasannya: antara kebebasan dan tanggung jawab terdapat hubungan yang saling bergantung satu sama lain.
6. Otentisitas. Banyak penulis eksistensialis yang mementingkan tema eksistensi otentik. Konsep utamanya adalah seseorang harus "menciptakan diri sendiri" dan hidup sesuai dengan diri sendiri. Dalam bertindak, seseorang harus bertindak sebagai dirinya sendiri, bukan sebagai "aksi seseorang" atau "gen seseorang" atau esensi lainnya. Aksi otentik adalah aksi yang turut dengan kebebasan seseorang. Nilai penentu kebebasan adalah faktisitas, termasuk faktisitas diri sendiri, namun faktisitas tetap tidak dapat menentukan pilihan transenden seseorang. Peran faktisitas dalam hubungannya dengan otentisitas adalah membiarkan nilai-nilai seseorang "bermain" saat membuat pilihan (dan tidak "memilih" secara acak). Dengan demikian, seseorang bertanggung jawab atas kelakuannya sendiri dan tidak membuat pilihan ini atau itu tanpa menyadari bahwa pilihan-pilihan tersebut dapat memiliki konsekuensinya masing-masing. Berlawanan dengan ini adalah hidup yang tidak otentik (inotentik). Orang yang hidup secara tidak otentik berarti menyangkal hidup yang sesuai dengan kebebasannya sendiri. Ada banyak bentuknya, misalnya dengan mengatakan bahwa pilihan yang ada memang tiada maknanya atau acak, dengan meyakinkan diri sendiri bahwa ada bentuk determinisme yang benar, hingga semacam "mimikri", ketika seseorang bertindak seolah-olah "ia harus".
7. "Keharusan" seseorang dalam bertindak ditentukan oleh bayangan yang dimiliki orang itu terkait dengan aksi yang ia anggap harus dilakukannya (misalnya berperan sebagai manajer bank, pemain sirkus, pekerja seks, dll.) Dalam Keberadaan dan Ketiadaan (Being and Nothingness), Sartre menggambarkan contoh seorang "penunggu kafe" yang sedang berada dalam mauvaise foi: ia hanya menjalankan peran sebagai seorang penunggu kafe, meskipun permainan peran tersebut amat meyakinkan. Biasanya, bayangan ini berhubungan dengan norma sosial tertentu, akan tetapi ini tidak berarti bahwa semua perilaku yang bersesuaian dengan norma sosial itu tidak otentik. Kepentingan utamanya adalah sikap seseorang terhadap kebebasan dan tanggung jawab seseorang, serta sejauh apa seseorang berlaku dengan sadar akan kebebasannya sendiri.
8. Perlawanan terhadap positivisme dan rasionalisme: kaum eksistensialis menolak definisi manusia sebagai makhluk yang rasional. Dengan demikian, mereka menolak positivisme dan rasionalisme. Eksistensialisme menyatakan bahwa manusia sebenarnya membuat keputusan berdasarkan arti subyektif dan bukan rasionalitas murni. Kierkegaard mengedepankan rasionalitas sebagai cara kita berinteraksi dengan dunia objektif (yakni sains dan ilmu alam), akan tetapi ketika berhadapan dengan masalah eksistensial, tidak cukup hanya akal budi saja yang harus digunakan: "Akal budi manusia ada batasnya."
9. Eksistensi mendahului esensi. Sartre mengklaim bahwa salah satu konsep sentral eksistensialisme adalah bahwa eksistensi mendahului esensi, yang berarti bahwa pertimbangan terpenting bagi seorang individual adalah bahwa mereka adalah individual—entitas yang bersikap dan bertanggung jawab secara independen (merdeka) dan sadar ("eksistensi")—dan bukan label, peran, stereotipe, definisi, atau kategori lainnya yang digunakan atau dipergunakan kepada individual tersebut ("esensi"). Kehidupan aktual seorang individu kemudian dapat disatukan dan dijadikan "esensi nyata" mereka, dan bukan esensi yang diatribusikan orang lain kepada mereka. Dengan demikian, manusia, melalui kesadarannya sendiri, menciptakan nilai-nilainya sendiri, dan menentukan arti bagi kehidupannya sendiri
SUMBER:
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Eksistensialisme
0 komentar:
Posting Komentar