alt/text gambar

Kamis, 09 November 2023

Topik Pilihan: , , , , ,

PROBLEM TERJEMAHAN

 

Oleh: NANI EFENDI

 

Proses menerjemahkan suatu bahasa ke dalam bahasa lain tak sesimpel seperti proses memfotokopi atau meng-copy paste sebuah dokumen tertulis di lembaran kertas. Mengapa? Karena, dalam menerjemah, banyak faktor yang dapat mempengaruhi maksud sebenarnya dari teks awal. Artinya, dalam proses menerjemah, banyak sedikit, dapat terjadi semacam perbedaan makna atau pengertian. Ia bisa bersifat mempersempit atau menyederhanakan pengertian, bisa juga memperluas maksud yang sebenarnya, sehingga maksud yang sebenarnya menjadi kabur. Itu bisa terjadi terutama dalam terjemahan seperti kitab suci dan buku-buku atau tulisan yang kontennya berat semisal filsafat, ilmu pengetahuan, maupun sastra, dan lain sebagainya. Termasuk KUHP di Indonesia yang aslinya berbahasa Belanda, sebagaimana pernah disampaikan oleh Andi Hamzah terkait penerjemahan istilah "pembunuhan berencana".

Mungkin, bisa jadi juga, karena problem terjemahan itulah, Pramoedya Ananta Toer gagal memenangkan Hadiah Nobel Sastra. Karena bisa jadi novel-novel Pram yang sudah mengalami proses penerjemahan ke dalam bahasa lain—Inggris misalnyatak hebat dan tak menggigit lagi seperti teks aslinya. Lantaran ada pilihan-pilihan kata atau ungkapan yang tak pas lagi dengan pemaknaan yang sebenarnya yang dimaksud Pram. Karena bahasa dipengaruhi oleh banyak faktor: seperti faktor psikologis, sosiologis, historis, dan lain-lain. Sehingga orang yang membacanya pun tak bisa menghayati dan memaknainya dengan sempurna seperti maksud Pram. Karena itu, novelnya jadi tak "gereget" lagi lantaran dialihbahasakan. 

Persoalan terjemahan

Komaruddin Hidayat dalam bukunya Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik menjelaskan dengan cukup mendalam mengenai problem terjemahan. Terjemahan dan penafsiran merupakan masalah pokok dalam hermeneutika. Hal itu dikarenakan berbeda-bedanya bahasa manusia. Setiap bahasa mencerminkan pola budaya tertentu. Karena itu, problem hermeneutika selalu berkaitan dengan proses pemahaman, penafsiran, dan penerjemahan atas sebuah pesan (lisan maupun tulisan) untuk selanjutnya disampaikan kepada masyarakat yang hidup dalam dunia yang berbeda.

Bisakah, lanjut Komaruddin, sebuah gagasan disampaikan kepada masyarakat yang hidup dalam kultur yang berbeda tanpa mengalami distorsi dan penyimpangan makna? Apa jaminannya sebuah gagasan yang dimuat dalam sebuah bahasa bisa diterjemahkan secara persis ke dalam bahasa lain? Bukankah setiap bahasa berkaitan atau selalu lekat dengan kultur sebuah masyarakat pemakainya? Pertanyaan-pertanyaan ini merupakan problem hermeneutik yang selalu muncul dalam kritik sastra dan tafsir atas teks-teks kitab suci (Komaruddin Hidayat, 1996:14). Artinya, pemaknaan dan pengertian suatu bahasa berkaitan erat dengan ruang (tempat) dan waktu (zaman).

Komaruddin memberikan Al Quran sebagai contoh. Dari apresiasi makna dan gaya bahasa terdapat jarak yang begitu lebar antara mayoritas umat Islam Indonesia dengan Al Quran yang menggunakan bahasa Arab. Ketika kitab suci diterjemahkan dan ditafsirkan, dua kemungkinan segera muncul: positif dan negatif. Positifnya, kata Komaruddin, posisi dan pesan sebuah kitab suci menjadi terbebas dari kurungan bahasa dan tradisi lokal di mana ia diturunkan. Negatifnya, setiap penerjemahan dan penafsiran selalu diikuti bahaya distorsi, deviasi, dan pengkhianatan pesan.

Bisakah Al Quran diterjemahkan?

Pertanyaannya, bagaimana dengan terjemahan Al Quran? Bagaimana dinamika pemahaman masyarakat Indonesia tentang kandungan Al Quran yang dikajinya, yang sudah melalui karya-karya terjemahan dan melalui ceramah-ceramah keagamaan oleh para ustadz, kiai, dosen, dan lain sebagainya? Ada pendapat bahwa Al Quran tak bisa diterjemahkan. Ia hanya bisa diterangkan dan ditafsirkan saja. Begitupun dengan hadits. Teks hadits akan melahirkan perbedaan paham antar sesama pembaca. Dan sangat mungkin terjadi pemahaman yang sebaliknya karena pengetahuan dan kesan orang yang membaca teks akan berbeda dengan pemahaman dan kesan orang yang hadir dan mendengarkan serta melihat langsung dari pembicara sendiri (Komaruddin Hidayat, 1996:108).

Bahkan, kata Komaruddin, apa yang disebut terjemah sesungguhnya juga sebuah penafsiran terpendek yang dilakukan oleh penerjemahnya yang kadang kala tidak cukup jelas mengungkapkan makna yang dikandungnya karena setiap terjemahan selalu dibarengi bahaya reduksi dan simplifikasi kandungan makna dan kultur bahasanya yang khas, yang tidak mudah dipindah ke dalam bahasa dan kultur yang berbeda (Komaruddin Hidayat, 1996:145).

Contoh lain adalah judul buku karya Bennedict Anderson, Imagined Comunities. Judul itu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi "komunitas-komunitas terbayang". Tepatkah judul itu diterjemahkan menjadi “komunitas terbayang”? Bukankah lebih pas diterjemahkan menjadi “masyarakat-masyarakat yang diimajinasikan”? Nah, dari judulnya saja sudah terjadi distorsi makna, apalagi dari sisi kontennya. Kata “terbayang” bisa saja membuat orang berimajinasi ke hal-hal lain. Bisa diartikan dengan sebuah kain perempuan yang transparan, misalnya. Bisa juga sesuatu hal yang terbayang-bayang dalam memori, dan lain sebagainya.

Itulah sedikit contoh problem terjemahan. Oleh karena itu, penting juga diperhatikan siapa yang menerjemahkan sebuah teks. Karena kualitas terjemahan sangat bergantung dari penerjemahnya. Orang yang tak paham masalah politik, misalnya, menerjemahkan buku politik, tentu banyak sedikit akan terjadi penyimpangan-penyimpangan pengertian dan makna dari yang semestinya. Kata yang sama bisa diartikan berbeda-beda. Sesuai pemahaman penerjemah. Mereka yang memahami “filsafat bahasa” tentu mengerti persoalan ini.

Dan problem terjemahan juga terjadi dalam komunikasi lisan. Penerjemah selalu memilih “kosa kata” yang sesuai dengan kapasitas pemahaman yang berhubungan dengan pengalamannya. Dari situ, penerjemah sebenarnya sudah “menafsir”. Sekedar contoh saja, saya jadi teringat dengan acara TVOne ketika mengundang narasumber, seorang pengamat Timur Tengah, untuk menerjemahkan berita yang disiarkan langsung dari TV Al Jazeera terkait kondisi peperangan di Jalur Gaza. Saya yakin, dalam menerjemahkan itu, tak sepenuhnya tepat. Apalagi berita itu disampaikan dengan pengucapan yang cepat dari reporter. Pasti, banyak sedikit, terjadi penyempitan maupun perluasan makna dari maksud reporter Al Jazeera yang sesungguhnya. Artinya, ada kata atau ungkapan-ungkapan yang tak bisa dengan persis dialihkan dari suatu bahasa ke bahasa lain. 

Sebuah kata dapat mengalami perkembangan makna. Terpengaruh kondisi sosiologis, psikologis, historis, dan lain sebagainya. Komaruddin Hidayat mencontohkan kata "umat". Di Madinah, adakalanya kata "umat" juga meliputi orang Yahudi dan Nasrani yang membuat perjanjian damai dan kerjasama dengan Rasulullah. Di Indonesia, kata "umat" juga mempunyai konotasi yang berbeda-beda. "Umat" bisa berarti anggota suatu partai atau jamaah tertentu. Bisa juga umat Islam secara keseluruhan. Dan bisa juga untuk menunjukkan rakyat Indonesia secara keseluruhan. Itu jika dilihat dari perspektif kita orang Islam. Dari perspektif orang non-muslim, bisa jadi, ketika mereka mendengar kata "umat", secara psikologis mereka mengasosiasikannya dengan umat Islam saja. Sehingga muncul sentimen. Padahal, bisa jadi kata "umat" yang diucapkan seorang tokoh politik dalam sebuah pidato, misalnya, itu juga termasuk mereka. Contoh kalimat pidatonya: "Kepentingan umat di atas kepentingan pribadi dan golongan". Kata ini bisa ditafsirkan berbeda oleh orang non-muslim. Nah, itu sekedar satu contoh saja. 

Karena sebuah kata mengalami perkembangan makna, terang Komaruddin, maka untuk memperoleh pemahaman yang benar, yang dikehendaki oleh pembicara, hermeneutik tak cukup mendasarkan pada teks Al Quran maupun pemahaman semantikal, melainkan perlu melibatkan faktor psikologis dan sosiologis agar tak terkecoh oleh teks semata. Kata Wittgenstein, "Jangan tanyakan apa makna sebuah kata, tapi perhatikan bagaimana ia difungsikan." (Komaruddin Hidayat, 1996:148). Jadi, proses menerjemahkan tidaklah selalu gampang. 

Meskipun demikian, aktivitas menerjemah tetap sangat penting dilakukan. Alangkah terbatasnya perkembangan ilmu dan peradaban manusia jika tak ada aktivitas penerjemahan. Tanpa terjemahan, maka sirkulasi dan komunikasi ilmu akan bersifat lokal. Kita bisa mengetahui kebudayaan dan warisan intelektual dari berbagai belahan dunia adalah berkat adanya jasa-jasa penerjemahan.

Demikian juga pemahaman terhadap Al Quran. Dengan adanya jasa penerjemahan, maka pesan Al Quran yang aslinya berbahasa Arab bisa dipahami oleh orang yang tak mengerti bahasa Arab. Meskipun hanya dengan modal bisa berbahasa Arab tak menjamin seseorang bisa menggali kandungan Al Quran. Sama halnya dengan orang Indonesia yang memahami bahasa Indonesia, belum tentu ia mampu memahami buku ilmu pengetahuan yang bukan bidang kajiannya (Komaruddin Hidayat, 1996:172). Dan sekedar hafal saja pun tak menjamin seseorang itu lebih paham terhadap kandungan Al Quran. 

Bahasa, kata Komaruddin, selalu berkaitan dengan dinamika pengetahuan masyarakat. Oleh karenanya, sebuah karya tulis yang diterbitkan oleh suatu masyarakat yang lebih maju akan sulit diterjemahkan ke dalam bahasa yang tumbuh dalam masyarakat primitif. Alam pikiran dan bahasa yang tumbuh dalam masyarakat agraris, lanjut Komaruddin, pasti berbeda dengan alam pikiran serta bahasa yang berkembang subur dalam masyarakat informasi yang sudah jauh menggunakan bahasa komputer. Contoh sederhana misalnya adalah bahasa dalam kalangan profesi. Istilah-istilah yang biasa digunakan para praktisi atau ahli ekonomi, misalnya, tentu tak mudah dipahami oleh mereka dari kalangan ahli hukum. Demikian pula sebaliknya. 

Oleh karenanya, yang namanya terjemahan bagaimanapun juga, kata Komaruddin, mempunyai titik-titik lemah yang bisa jadi malah menutupi pesan dasar yang diterjemahkan. Karena, kekayaan bahasa dan tradisi berpikir suatu masyarakat tak selalu sama dengan masyarakat yang lain. “Terjemahan sesungguhnya juga penafsiran,” kata Komaruddin, “karena penerjemah, dalam memilih kata dan menyusun kalimat juga melakukan ijtihad, terlebih menyangkut masalah keilmuan atau fakta historis yang bersifat debatable.” Al Quran juga mengalami hal yang sama. 

Karena itulah, satu catatan yang harus diingat, kata Komaruddin, bahwa penerjemahan selalu memiliki dua segi: positif dan negatif (penghubung dan penghalang). Karena bahasa memiliki akar serta lingkungan kultural yang spesifik, maka karya tulis apa pun, terutama Al Quran, ketika diterjemahkan sudah pasti mengalami perubahan makna, baik bersifat pengembangan maupun penyempitan. 

NANI EFENDI, Alumnus HMI


RUJUKAN

Hidayat, Komaruddin, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik, Jakarta: Paramadina, 1996.

0 komentar:

Posting Komentar