Komaruddin Hidayat, dalam bukunya Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik, (Jakarta: Paramadina, 1996), menjelaskan secara mendalam persoalan pemahaman terhadap bahasa dan bahasa agama. Ia memakai pendekatan hermeneutika. Dalam beberapa bagian ia jelaskan apa itu hermeneutika. Di antaranya:
1. Kata "hermeneutika" berasal dari nama dewa dalam mitologi Yunani Kuno, yakni Dewa Hermes. Dewa Hermes ini berperan menyampaikan berita dari Sang Maha Dewa kepada manusia. Jadi, Hermes itu menafsirkan maksud Sang Maha Dewa lalu disampaikan kepada manusia. Sebagian ulama berpendapat bahwa Hermes itu adalah Nabi Idris (h. 125)
2. Hermeneutika adalah sebuah ilmu dan seni menginterpretasikan sebuah teks (h.126)
3. Hermeneutika, dalam konteks tertentu, dalam Islam dikenal dengan istilah ilmu tafsir (h.126)
4. Salah satu persoalan yang hendak dijembatani oleh hermeneutika adalah terjadinya jarak antara penulis dan pembaca, yang antara keduanya dihubungkan dengan teks (132)
5. Tiga guru pencuriga dalam tradisi hermeneutika adalah: Marx, Nietzsche, Freud (133-134). Artinya, dalam memahami teks, harus dipahami juga pengarang atau penulis teks dimaksud. Suasana psikologis, sosiologis, dan historis pengarang atau penulis.
6. Hermeneutika dalam tradisi IsIam sudah muncul sejak Al Quran itu diwahyukan. Ilmu itu lazim disebut ilmu tafsir, suatu disiplin ilmu untuk melakukan studi kritis mengenai Al Quran dan Hadits. Hal itu terlebih dikarenakan umat Islam yang hidup 14 abad kemudian yang lingkungan kulturalnya sangat berbeda dari situasi di mana Al Quran diturunkan. Artinya, tafsir diperlukan untuk menghindari kesalahpahaman. Dan aktivitas menafsir itu "identik" dengan hermeneutika (h.136)
7. Meminjam formulasi yang dikemukakan oleh Amina Wadud Muhsin, hermeneutika adalah salah satu bentuk metode penafsiran kitab yang dalam operasionalnya selalu mempertimbangkan tiga aspek yang saling berkaitan, yaitu (1) dalam konteks apa suatu teks ditulis (kalau Al Quran, dalam konteks apa ayat itu diwahyukan); (2) bagaimana komposisi tata bahasa (gramatika) sebuah teks atau ayat dan dalam bentuk apa pengungkapannya; (3) bagaimana spirit atau pandangan hidup yang terkandung dalam keseluruhan teks (h.216)
8. Salah satu ciri pendekatan hermeneutik ialah adanya kesadaran yang mendalam bahwa untuk menangkap makna sebuah teks tidak bisa hanya mengandalkan pemahaman gramatika bahasa, melainkan memerlukan data dan imajinasi konteks sosial serta psikologis, baik dari sisi pembicara (penulis) maupun pendengar (pembaca). Setiap teks pada mulanya adalah sebuah peristiwa wacana yang spirit dan pesan dasarnya bisa saja terancam kematian ketika telah terbakukan dalam kurungan teks yang pada gilirannya sangat mungkin disalahpahami atau dipahami secara parsial. Tapi heran juga sangat menghargai kehadiran teks karena tanpa teks dan tanpa gramatika bahasa maka perburuan makna dan ziarah intelektual ke masa lalu tidak bisa dilakukan (h.217-218)
9. Berbeda dari pendekatan ilmiah yang bersifat empiris dan satu arah dan juga berbeda dari logika deduktif yang kurang memperhatikan konteks dan detail yang berkaitan dengan variabel sosio-psikologis, hermeneutika menawarkan model alternatif pemahaman yang oleh Peirce disebut metode "abduktif". Yaitu mendekati data atau teks dengan sekian asumsi dan probabilitas sehingga muncul sekian kemungkinan wajah kebenaran. Oleh karenanya metode ini akan melahirkan apa yang disebut "lingkaran hermeneutik" (hermeneutical circle), yaitu proses dinamis dalam menafsirkan teks berdasarkan asumsi-asumsi, pengalaman, serta terjadinya saling penafsiran antar teks atas teks yang kemudian melahirkan jaringan dan lingkaran interteks.
10. Hermeneutika, di samping sebagai ilmu dan seni menafsirkan teks, sesungguhnya juga merupakan metode kritik terhadap epistemologi dan kesadaran kognitif seseorang (h.208)
11. Hermeneutika juga berperan sebagai seni dan filsafat penafsiran atas teks suci (h.209)
Selain penjelasan dari Komaruddin Hidayat, saya juga mendapat penjelasan tentang hermeneutika dari F. Budi Hardiman dalam bukunya, Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, (Yogyakarta: Kanisius, 2003). Beberapa hal terkait hermeneutika yang saya baca dari Budi Hardiman adalah sebagai berikut:
1. Di hadapan manusia, alam merupakan suatu objek. Terhadap alam lebih tepat bila dikatakan bahwa kita melakukan penjelasan (Erklaren) daripada pemahaman (Verstehen). Penjelasan tentang alam merupakan upaya untuk menemukan hukum sebab-akibat yang bekerja dalam proses-proses alamiah itu. Penjelasan kausal ini merupakan usaha penafsiran sejauh dilakukan oleh ilmu pengetahuan tentang alam. Akan tetapi, alam juga dapat dipahami secara berbeda dari pemahaman ilmu-ilmu alam, karena alam tidak hanya mengandung sebab-akibat. Alam memiliki makna manusiawi sejauh menafsirkannya dalam hubungannya dengan dirinya. Dengan kata lain, selain memiliki makna kosmologis sebagaimana dipahami ilmu-ilmu alam, alam juga memiliki makna antropologis (F. Budi Hardiman dalam bukunya, Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, (Yogyakarta: Kanisius, 2003, h. 39). Istilah Erklaren dan Verstehen ini dimajukan oleh filsuf Jerman, Wilhelm Dilthey (1833-1911). Dua istilah itu untuk membedakan dua macam ilmu pengetahuan. Naturwissenschaften (ilmu-ilmu alam) mendekati objeknya dengan metode Erklaren, yaitu menjelaskan suatu kejadian menurut penyebabnya (hukum sebab-akibat), sedangkan geisteswissenschaften mendekati produk-produk budaya dengan metode Verstehen, yaitu menemukan dan memahami makna di dalamnya yang hanya dapat dilakukan dengan menempatkannya dalam konteks. (F. Budi Hardiman dalam bukunya, Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, (Yogyakarta: Kanisius, 2003, h. 39). Contoh konteks dalam metode Verstehen misalnya, membunuh, memberontak, adil, dan lain sebagainya. Apakah membunuh itu salah? Tentu tak bisa dijawab "ya" atau "tidak" secara tepat seperti dalam ilmu alam. Ia bisa dijawab dengan metode Verstehen, atau sesuai konteks. Dalam perspektif tertentu, membunuh tanpa alasan yang jelas bisa dinilai salah. Tapi dalam perspektif lain, Islam misalnya, membunuh itu benar jika dilakukan dalam konteks qisas. Dari penjelasan di atas, satu hal yang perlu diingat: bahwa metode ilmiah (yang saat ini menggunakan metode ilmu alam) bukanlah satu-satu cara untuk menemukan kebenaran. Jadi, janganlah kita terlalu mengagungkan kebenaran ilmiah. Karena tidak semua masalah kehidupan manusia bisa dijawab dan diselesaikan dengan metode ilmiah.
HERMENEUTIK: ANTARA BULTMANN, SCHLEIERMACHER, WILHELM DILTHEY, MARTIN HEIDEGGER, DAN GADAMER
F. Budi Hardiman, dalam bukunya Melampaui
Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan
Problem Modernitas, (Yogyakarta: Kanisius, 2003) menjelaskan tentang seni
memahami (hermeneutika) beberapa filsuf besar. Berikut ini penjelasan Hardiman
terkait hermeneutika. Agar tak salah memahami, maka tulisan berikut ini sengaja
ditampilkan utuh dari tulisan F. Budi Hardiman. Berikut penjelasannya.
Bultmann dan Heidegger
Dalam sejarah perkembangan
hermeneutika, ada sumbangan pemikiran dari Rudolf Bultmann, yakni penerapan
gagasan Heidegger tentang “pra-paham” pada teologi. Untuk memahami sebuah teks,
kita harus memiliki pra paham tentang teks itu. Hanya jika persoalan yang kita
pertanyakan sungguh-sungguh merupakan persoalan kita, teks itu mulai “bicara”
kepada kita. Suatu kepentingan tertentu dalam menafsirkan teks justru menyebabkan
teks itu berbicara bagi kita, maka pra-paham bukannya membatasi kemungkinan
kita memahami teks, melainkan justru membuat penafsiran kita menjadi produktif.
Di lain pihak, suatu pra paham tidak sama dengan prasangka. Suatu prasangka
bisa lahir dari keyakinan akan kebenaran pra-paham kita sebagai suatu yang definitif
sehingga menentukan hasil-hasil penafsiran kita secara apriori. Berlainan dengan
prasangka, pra-paham justru memungkinkan kita untuk terbuka terhadap hal-hal
baru yang tak terduga.
Schleiermacher
Dalam filsafat, refleksi kritis
mengenai hermeneutik dirintis oleh Friedrich Schleiermacher. Sumbangan yang
diberikannya adalah mengenai divinatorisches Verstehen (pemahaman
intuitif). Sebuah tafsir membutuhkan intuisi tentang karya yang sedang
dipelajari itu. Sebuah teks yang kita hadapi tidak sama sekali asing bagi kita,
juga tidak sepenuhnya biasa bagi kita. Keasingan suatu teks dapat diatasi dengan
mencoba memahami si pengarang. Kita harus mencoba membuat rekonstruksi imajinatif
atas situasi zaman dan kondisi batin pengarangnya dan berempati dengannya. Dengan
kata lain, kita harus membuat penafsiran psikologis atas teks itu sehingga
dapat mereproduksi pengalaman pengarang. Pandangan Schleiermacher ini di
kemudian hari dikritik, karena terlalu psikologistis dan kita mengalami
kesulitan yang berarti pada saat kita berusaha mengatasi kesenjangan waktu yang
memisahkan cakrawala budaya kita dan cakrawala budaya pengarang.
Dilthey
Filsuf lain yang memperkenalkan gagasan filosofis mengenai hermeneutik adalah Wilhelm Dilthey. Mengatasi psikologisme Schleiermacher, ia berpendapat bahwa peristiwa-peristiwa yang termuat dalam teks-teks kuno itu harus dipahami sebagai suatu ekspresi kehidupan sejarah, maka yang direproduksi bukanlah keadaan-keadaan psikis si pengarang, melainkan makna peristiwa-peristiwa sejarah itu. Meskipun demikian, Dhilthey tetap berada pada garis yang sama dengan Schleiermacher: keduanya sama-sama memahami hermeneutik sebagai penafsiran reproduktif (menghadirkan kembali seluruh perasaan, pikiran, kehendak pengarang seasli mungkin lewat empati dan rekonstruksi).
Heidegger
Makna hermeneutik yang radikal
diberikan oleh filsuf Martin Heidegger. Baginya, hermeneutik atau “pemahaman”
merupakan bagian dari eksistensi manusia sendiri, melekat pada manusia. Dalam memahami
dunianya dan sejarahnya, manusia merupakan cakrawala bagi pemahaman dirinya. Suatu
objek menampakkan dirinya hanya dalam suatu keseluruhan makna dan setiap
pengertian tentang objek baru terjadi karena adanya pemahaman yang mendahuluinya
(pra-paham) sebagai the conditions of possibility-nya. Gagasan ini
disebut “lingkaran hermeneutik”.
Gadamer
Gagasan tentang “lingkaran hermeneutik”
diterima oleh Hans Georg Gadamer, seorang filsuf yang mencoba membuat sebuah
teori filosofis mengenai pemahaman, sehingga menjadi hermeneutik filosofis. Ia melontarkan
kritiknya terhadap hermeneutik romantis yang dirintis oleh Schleiermacher dan Dilthey.
Baginya, kesenjangan waktu antara kita dan pengarang tidak harus diatasi
seolah-olah sebagai suatu yang negatif, tetapi justru harus dipikirkan sebagai
perjumpaan cakrawala-cakrawala pemahaman. Kita memperkaya cakrawala pemahaman
kita dengan memperbandingkannya dengan cakrawala-cakrawala pengarang. Oleh karena
itu, suatu penafsiran tidak bersifat reproduktif belaka, melainkan juga
produktif. Maksudnya, makna teks bukanlah makna bagi pengarangnya, melainkan
makna bagi kita yang hidup di zaman ini, maka menafsirkan adalah proses
kreatif. Gadamer melihat, menafsirkan teks sebagai tugas produktif atau tugas kreatif: kita justru membiarkan diri kita mengalami benturan cakrawala, antara cakrawala kita dan cakrawala pengarang. Dengan cara itu, pemahaman kita diperkaya dengan unsur-unsur yang tak terduga (F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus
Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, Yogyakarta:
Kanisius, 2003, h. 43-44 dan 48)
HERMENEUTIK: PERBEDAAN ANTARA SCHLEIERMACHER DAN DILTHEY DENGAN GADAMER
Hermeneutik romantis Schleiermacher dan Dilthey adalah menafsirkan teks secara reproduktif (menghadirkan kembali seluruh perasaan, pikiran, kehendak pengarang seasli mungkin lewat empati dan rekonstruksi). Sementara Gadamer menganggap pandangan itu tak tepat. Gadamer melihat, menafsirkan teks sebagai tugas produktif atau tugas kreatif: kita justru membiarkan diri kita mengalami benturan cakrawala, antara cakrawala kita dan cakrawala pengarang. Dengan cara itu, pemahaman kita diperkaya dengan unsur-unsur yang tak terduga (F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, Yogyakarta: Kanisius, 2003, h. 48. Dengan demikian, jarak waktu tidak menghambat atau mempermiskin pemahaman kita, justru memperkaya pengetahuan kita, asalkan tugas menafsirkan teks bukan dihadapi sebagai tugas reproduktif, melainkan tugas produktif (h.49)
GERAK MELINGKAR DARI PEMAHAMAN
Pemahaman yang kita capai pada masa kini, di masa depan pada gilirannya akan menjadi pra-paham baru pada taraf yang lebih tinggi karena ada proses pengayaan kognitif dalam spiral pemahaman itu. Spiral pemahaman itu tampak jelas dalam proses tanya jawab. Kalau kita bertanya, pertanyaan kita itu dimungkinkan oleh jawaban-jawaban yang kita miliki atas pertanyaan-pertanyaan lain yang lebih sederhana. Jadi, ada dialektika pemahaman antara tanya dan jawab yang menghasilkan pengetahuan yang lebih kaya lagi (F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, Yogyakarta: Kanisius, 2003, h.47)
TAK ADA PEMAHAMAN YANG NETRAL
Karena pengetahuan kita terjadi melalui oposisi subjek-objek, pemahaman kita tidak bisa tidak diperantarai. Pengantara pemahaman kita adalah lingkungan sosio-kultural dan sejarah. Oleh karena itu, tak ada pemahaman yang netral dan ahistoris. Pemahaman senantiasa diperantarai oleh konteks sejarah dan sosial tertentu sebagai cakrawala. (F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme, h. 48)
PRA-PAHAM HEIDEGGER
Sumbangan Rudolf Bultmann (seorang teolog modern) terhadap hermeneutika ialah penerapan gagasan Martin Heidegger tentang pra-paham pada teologi. Untuk memahami sebuah teks, kita harus memiliki pra-paham tentang teks dimaksud. Hanya jika persoalan yang kita pertanyakan sungguh-sungguh merupakan persoalan kita, teks itu mulai "bicara" kepada kita. Suatu kepentingan tertentu dalam menafsirkan teks justru menyebabkan teks itu berbicara bagi kita, maka pra-paham bukannya membatasi kemungkinan kita memahami teks, melainkan justru membuat penafsiran kita menjadi produktif. Pra-paham justru memungkinkan kita untuk terbuka terhadap hal-hal baru yang tak terduga. (F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme, h. 43)
0 komentar:
Posting Komentar