Oleh: NANI EFENDI
Secara sederhana, Friedrich Nietzsche dalam bukunya Beyond Good and Evil, menjelaskan ada dua jenis moralitas: moralitas budak dan moralitas tuan. Moralitas tuan adalah kemampuan dan keberanian manusia untuk mempunyai kehendaknya sendiri dan tidak tunduk pada tekanan-tekanan yang mengekang kemerdekaan dan kebebasan dirinya. Sedangkan, moralitas budak adalah sikap manusia yang tak mampu menentukan kehendak hidupnya sendiri. Orang yang punya moralitas budak selalu mengikuti kehendak kawanannya. Manusia dengan moralitas budak masih tunduk dan takut dengan dogma agama. Nah, untuk menjadi Ubermensch, menurut Nietzsche, manusia harus hidup dengan moralitas tuan. "Moralitas Tuan" mengajarkan kita untuk mempunyai kehendak sendiri (the will to power), berdiri tegak dan menjadi independen atas diri kita sendiri: menjadi pribadi yang otentik.
Nietzsche ingin kita bersikap otentik. Tak perlu ikut-ikutan pada apa kata orang atau menyesuaikan dengan moral kawanan. Atau menyesuaikan dengan tren masyarakat (dalam bahasa Kerinci: dune). Tapi hiduplah sesuai versi kita sendiri. Itulah manusia eksistensialis. Artinya, punya kehendak yang bebas dari tuntutan-tuntutan yang berasal dari luar diri kita. Bebas dari tuntutan yang menghadirkan perasaan gelisah dan takut dalam diri kita. Misalnya tuntutan-tuntutan budaya, kehidupan sosial, adat-istiadat masyarakat, tradisi, seperti masalah pekerjaan, penilaian orang lain terhadap cara dan gaya hidup kita, aktivitas dan kesukaan hidup kita sehari-hari, godaan-godaan hidup, omongan tetangga, penilaian masyarakat, dan sebagainya. Kita tak perlu merisaukan itu semua. Hiduplah dengan versi kita sendiri.
Dalam sebuah kuliah, Fahruddin
Faiz menjelaskan tentang Nietzsche mengenai moralitas budak. Dijelaskan bahwa,
kalau kita tidak memilih sendiri dan membiarkan diri kita hanyut dalam sistem
moral di sekeliling kita, maka kita jatuh pada level budak. Hidup beragama kata
Nietzsche, membuat orang hidup di level moralitas budak. Orang yang mandiri, tak
ikut dogma agama, ada di level moralitas tuan. Moralitas budak itu cirinya:
serba was-was, serba takut, selalu merasa ini benar atau salah. Nanti kalau
salah, saya dihukum. Setiap waktu orang dengan moralitas budak selalu
memikirkan ini halal atau haram. Selalu was-was. Nietzsche menyebutkan
ciri-cirinya: "Peduli dan sensitif pada semua, mengutamakan orang lain,
tidak egois, membantu yang kurang beruntung, berkorban." Jadi, tak pernah
mandiri. Tak pernah memikirkan diri sendiri. Seperti budak: dia selalu
memikirkan tuannya. Sebelum tuannya tidur, ia tak berani tidur. Itu manifestasinya
dalam kehidupan sehari-hari bisa dilihat, misalnya, orang rela susah asalkan
orang lain bahagia. Akhirnya, diri dia sendiri hilang. Kata Nietzsche, ini
bunuh diri.
Manusia hendaknya menjadi tuan
dulu. Kalau sudah jadi tuan, kita akan gampang membereskan situasi. Kalau kita
tiap hari memikirkan orang lain, kita tidak ubahnya seperti budak. Nietzsche
tak menyukai orang yang beragama karena mentalitas orang beragama sering
seperti itu. Fahruddin Faiz memberikan contoh: mau melakukan apapun selalu
bertanya: ini menurut agama boleh atau tidak. Nah, jawabannya, kata Fahruddin,
paling diminta sama kiai, ustadz, atau kepada orang yang dianggap memahami
agama. Kadang jawaban ustadz sesuai dan cocok dengan kepentingannya saja. Jadi
posisi kita persis seperti budak. Tak pernah memikirkan diri sendiri, tapi
selalu memikirkan majikan.
Jadi, moralitas budak itu melakukan
sesuatu yang bukan kepentingan kita, yang bukan keinginan kita, yang bukan kebutuhan kita. Semestinya, moralitas
tuan itu, memikirkan diri kita dulu. Setelah itu, baru memikirkan orang lain.
Kalau memikirkan orang lain, tapi mengabaikan kepentingan sendiri, itu namanya
mentalitas budak. Contohnya, diberikan oleh Fahruddin Faiz, dalam hal sedekah.
Kita tidak boleh mensedekahkan seluruh harta kita. Dan Islam juga mengajarkan
seperti itu. Kalau seluruh harta kita sedekahkan pada orang lain, itu namanya
bunuh diri. Agama itu untuk bikin kita bahagia, bukan bikin menderita. Jika
bikin sumpek, berarti ada yang salah dengan keberagamaan kita. Jadi harus ada
ketentuan: untuk kita sedekahkan berapa. Kalau tidak, kita terjatuh pada
mentalitas budak. Nietzsche tak ingin ada satu pun yang boleh memperbudak kita.
Jadi kita harus punya mentalitas tuan. Yaitu, kita harus jadi orang besar (Ubermensch). Jangan mau jadi kerumunan (the last man) atau kawanan saja. Kita harus berjuang (mengikuti the will to power) untuk menuju ke atas. Mending jadi orang kuat yang menginjak, istilah Fahruddin Faiz, ketimbang jadi orang lemah yang diinjak.
Kata Nietzsche, lanjut Fahruddin, agama sering menghalangi orang untuk jadi besar. Potensi besar jadi hilang dan tak terwujudkan. Agama, menurut Nietzsche, hanya menghasilkan orang biasa (kerumunan; jamaah). Padahal, kita punya bekal kekuatan, bekal akal, tapi oleh agama, menurut Nietzsche, banyak yang dibatasi mau berpikir dibatasi: mau bergerak dibatasi. Mau membuat tata nilai sendiri tidak boleh. Mau merumuskan hidup sendiri tidak boleh. Kata Fahruddin Faiz, itu mungkin pengalaman Nietzsche sendiri terhadap agama Kristen. Tapi intinya, Nietzsche ingin kita menjadi tuan bagi diri kita sendiri. Kalau pun kita keliru karena pilihan kita sendiri, itu lebih baik, ketimbang keliru karena ikut-ikutan orang lain.
NANI EFENDI, Alumnus HMI
Referensi:
1. Fahruddin Faiz, "Perbedaan Moralitas Budak dengan Moralitas Tuan", dalam https://youtu.be/WHaNOVr7elE?si=b27DIvEwl6j9c_6T
4.https://prezi.com/p/uouvrzfaxnlz/nietzsche-moralitas-tuan-vs-moralitas-budak/#:~:text=Moralitas%20tuan%20adalah%20orang%20yang,nilai%2Dnilai%20bagi%20dirinya%20sendiri. Dalam sumber ini dijelaskan tentang moralitas tuan, moralitas budak, dan kehendak untuk berkuasa (wille zur macht). Demi mewujudkan "kehendak untuk berkuasa", maka diciptakanlah manusia super (Ubermensch) yang menyatakan bahwa iman terhadap Allah dalam hatinya sedang mati. Hal ini dimaksudkan demi mengembangkan kebebasan pada diri manusia yang kemudian menjadi inti dari Ateisme Sartre. "Kehendak untuk berkuasa; the will to power" berarti membebaskan diri dari belenggu psikis, seperti ketakutan, kasih sayang, perhatian terhadap orang lemah, dan segala macam aturan yang mengerem nafsu dan insting. Kehendak untuk berkuasa bukan hanya dilihat sebagai diri yang selalu mengejar kekuasaan untuk mengendalikan yang lain, namun juga berkuasa atas diri itu sendiri atau menjadi otentik. Moralitas budak adalah moralitas tradisional yang berasal dari moralitas gereja. Berawal dari kebencian akan kekuasan Gereja/Kristen untuk mencegah perkembangan manusia super (Ubermensch), yang ditentukan oleh kehendak untuk berkuasa. Inti moralitas Kristiani adalah cinta kasih, perhatian kepada yang lemah, dan kerendahan hati. Moralitas budak ditujukan pada seseorang yang tak siap berhadapan dengan dinamika dunia dan nihilisme. Moralitas budak adalah moralitas orang kecil, lemah, serta tidak mampu untuk bangkit. Ia lahir dari sentimen orang lemah terhadap orang kuat. Sedangkan "moralitas tuan" adalah moralitas orang kuat, sebagai ungkapan kehendak untuk berkuasa yang membenarkan kekuatan dan kekuasaan dirinya. Untuk terlepas dari skema moralitas budak, seseorang harus menjadi amoral, yaitu melampaui moralitas budak tersebut dengan cara menciptakan nilai-nilai bagi dirinya sendiri (hidup otentik). Moralitas budak adalah penghambat bagi perkembangan manusia yang terperangkap pada norma-norma yang dibatasi oleh manusia itu sendiri. Altruisme: kedok bagi sikap egoistik yang justru dianggap buruk secara moral, sikap paling egois demi keuntungan, keselamatan yang berarti adalah sebuah kemunafikan.
0 komentar:
Posting Komentar