alt/text gambar

Minggu, 05 November 2023

Topik Pilihan: , , ,

THE BIRTH OF TRAGEDY: NIETZSCHE TENTANG LAHIRNYA TRAGEDI

Oleh: NANI EFENDI

 

Sebelum adanya agama, sebelum ada Socrates dan Plato, kata Friedrich Nietzsche—seperti dijelaskan oleh Fahruddin Faizdulu yang namanya baik itu lawannya buruk. Ada pada perbuatannya, tidak pada orangnya. Tapi setelah ada agama, setelah ada—istilah Nietzsche—orang-orang dialektis, para pemikir “sok-sok an” (sok nyari kebaikan, kebajikan, kebijaksanaan), akhirnya yang baik bukan lagi lawannya yang buruk, tapi baik lawannya jahat. Jahat berarti orangnya, bukan perbuatannya.

Dan tragisnya lagi, yang dulu dianggap baik sekarang dianggap jahat. Yang dulu dianggap jahat sekarang dianggap baik. Dulu kalau ada orang kelemak-kelemek, manut, tidak tangguh, itu dianggap lemah. Tapi sekarang kebalikannya: kalau ada anak yang patuh, manut, itu kita anggap anak baik. Sebaliknya, jika ada anak yang agresif, kreatif, penuh inisiatif, dianggap ini anak perlu diterapi. Anak yang sering berbeda dengan keinginan gurunya sebenarnya itu menunjukkan anak itu kreatif. Tapi anak yang seperti itu biasanya tak disukai oleh gurunya dan sering diberi nilai jelek. Sedangkan anak yang patuh, manut pada gurunya, dianggap baik. Jadi, menurut Nietzsche, normanya dibalik sekarang. Yang dulu baik, sekarang dianggap jahat. Bukan lagi buruk, tapi jahat. Yang dulu buruk, sekarang dianggap baik. Jadi, ada pembalikan sistem. Bahasanya Nietzsche, ada “transvaluasi”. Dari baik jadi buruk, dari buruk sekarang jadi baik.

Anak shaleh itu digambarkan sebagai anak yang manut, patuh. Dosen menunda kuliah, dia manut, "Gak apa-apa, Pak." Besok ditunda lagi, manut juga. Dosennya malah senang dan mengatakan, "Kamu anak baik." Kata Nietzsche, justru itu jelek. Mestinya, paling tidak, mahasiswa itu bertanya atau protes. Tapi kata Nietzsche, yang protes dan bertanya itu malah dianggap jelek. Padahal, dulu, sebelum ada Socrates, sebelum ada agama-agama, orang lebih bebas mengekspresikan keinginannya, mengejar cita-citanya sendiri, karena tidak terlalu banyak aturan. Jadi, ada semacam pembalikan: yang jahat menjadi baik, yang baik menjadi jahat.

Nah, yang banyak mengkritik Socrates, Plato, Aristoteles, adalah Nietzsche. Karena ketiga orang itulah manusia menjadi lembek, tidak tangguh. Atas nama kebijaksanaan, manusia tidak mau jadi orang besar, malu-malu, pasif, mementingkan orang lain. Orang yang malu-malu dianggap baik. Agama pandangannya juga begitu: yang alami-alami, kata Nietzsche, banyak dianggap jahat. Agama fokusnya memerangi kejahatan yang dulunya itu adalah kebaikan menurut Nietzsche. Misalnya, Fahruddin Faiz menjelaskan, bid'ah. Bid'ah itukan kreatif dan inovatif. Tapi dianggap buruk oleh orang beragama. Bahkan, salaman setelah shalat pun dianggap bid'ah juga.

Jadi, agama dan peradaban, menurut Nietzsche, membalik yang baik jadi buruk. Membalik dorongan kemanusiaan. Banyak yang dianggap jahat. Akhirnya, kata Nietzsche, kita bertarung melawan diri kita sendiri. Agama kan memang sering seperti itu: taklukkan dirimu sendiri. Taklukkan egomu. Ini mematikan dirinya sendiri kata Fahruddin Faiz. Masa kita selama hidup disuruh tawuran terus sama diri sendiri. Kata Nietzsche, tak masuk akal. Tak manusiawi. Kita hidup di dunia ini untuk jadi manusia. Harusnya kita hidup secara manusiawi. Istilah Fahruddin Faiz, ketika melihat lawan jenis, kita anggap itu nafsu. Dilarang. Tak boleh. Padahal, itu manusiawi. Melihat wanita cantik lalu jadi nafsu, itukan alamiah. Jangan dilawan. Biarin aja, kata Fahruddin Faiz secara guyonan. Suka sama lawan jenis itu kan natural. Yang buruk itu kalau suka sesama jenis.

Jadi, kalau semua dilarang oleh agama, hidup ini jadi sumpek. Kita menderita. Gara-gara aturan moral yang kadang-kadang hanya perspektif manusia. Bikinan manusia sendiri, tapi agama yang dikambinghitamkan. Padahal, bukan agama, tapi manusianya. Istilah Fahruddin Faiz: Socrates-nya, Plato-nya, kiai-kiainya, mungkin. Nah, dunia defisit besar gara-gara ini. Banyak potensi besar dalam diri manusia yang akhirnya terbengkalai. Karena terlalu banyak belenggu-belenggu, orang tak bisa besar mengembangkan dirinya menjadi Ubermensch. Orang jadi tak matang. Orang terlalu fokus melayani yang lain. Fokus mencari pahala, surga, bukan mendapatkan kebesarannya hari ini. Inilah kekeliruan peradaban. Kata Nietzsche, runtuhnya peradaban Barat karena sistem yang seperti ini.

NANI EFENDI, Alumnus HMI

Referensi:

Fahruddin Faiz, "Lahirnya Tragedi: Membalik yang Baik Menjadi Jahat", dalam https://youtu.be/bhp2HYrRkLI?si=-72vs1EJKHz59MCo

Lihat juga https://youtu.be/T6oMFWFSk7Y?si=qQawfAArL7PPzLhu. Nietzsche menulis buku The Birth of Tragedy. Untuk bisa memahami isi buku ini, kita harus mengetahui kisah mitologi yang menginspirasinya. Kisah ini dilatarbelakangi oleh impresi Nietzsche terhadap dua dewa dalam mitologi Yunani, yang sangatlah bertolak belakang, yaitu Apollo and Dionysus. Dijelaskan juga bahwa, kalau dipandang sekilas, hidup ini seperti tragedi. Tapi ketika kita sudah memahaminya, kita akan tahu bahwa sesungguhnya hidup ini adalah komedi. 

0 komentar:

Posting Komentar