Oleh: NANI EFENDI
Sebelum adanya agama, sebelum ada Socrates dan Plato, kata Friedrich Nietzsche—seperti dijelaskan oleh Fahruddin Faiz—dulu yang namanya baik itu lawannya buruk. Ada pada perbuatannya, tidak pada orangnya. Tapi setelah ada agama, setelah ada—istilah Nietzsche—orang-orang dialektis, para pemikir “sok-sok an” (sok nyari kebaikan, kebajikan, kebijaksanaan), akhirnya yang baik bukan lagi lawannya yang buruk, tapi baik lawannya jahat. Jahat berarti orangnya, bukan perbuatannya.
Dan tragisnya lagi, yang dulu
dianggap baik sekarang dianggap jahat. Yang dulu dianggap jahat sekarang
dianggap baik. Dulu kalau ada orang kelemak-kelemek, manut, tidak tangguh, itu
dianggap lemah. Tapi sekarang kebalikannya: kalau ada anak yang patuh, manut,
itu kita anggap anak baik. Sebaliknya, jika ada anak yang agresif, kreatif,
penuh inisiatif, dianggap ini anak perlu diterapi. Anak yang sering berbeda
dengan keinginan gurunya sebenarnya itu menunjukkan anak itu kreatif. Tapi anak
yang seperti itu biasanya tak disukai oleh gurunya dan sering diberi nilai jelek.
Sedangkan anak yang patuh, manut pada gurunya, dianggap baik. Jadi, menurut
Nietzsche, normanya dibalik sekarang. Yang dulu baik, sekarang dianggap jahat.
Bukan lagi buruk, tapi jahat. Yang dulu buruk, sekarang dianggap baik. Jadi, ada
pembalikan sistem. Bahasanya Nietzsche, ada “transvaluasi”. Dari baik jadi
buruk, dari buruk sekarang jadi baik.
Anak shaleh itu digambarkan
sebagai anak yang manut, patuh. Dosen menunda kuliah, dia manut, "Gak
apa-apa, Pak." Besok ditunda lagi, manut juga. Dosennya malah senang dan
mengatakan, "Kamu anak baik." Kata Nietzsche, justru itu jelek.
Mestinya, paling tidak, mahasiswa itu bertanya atau protes. Tapi kata
Nietzsche, yang protes dan bertanya itu malah dianggap jelek. Padahal, dulu,
sebelum ada Socrates, sebelum ada agama-agama, orang lebih bebas
mengekspresikan keinginannya, mengejar cita-citanya sendiri, karena tidak
terlalu banyak aturan. Jadi, ada semacam pembalikan: yang jahat menjadi baik,
yang baik menjadi jahat.
Nah, yang banyak mengkritik
Socrates, Plato, Aristoteles, adalah Nietzsche. Karena ketiga orang itulah
manusia menjadi lembek, tidak tangguh. Atas nama kebijaksanaan, manusia tidak
mau jadi orang besar, malu-malu, pasif, mementingkan orang lain. Orang yang
malu-malu dianggap baik. Agama pandangannya juga begitu: yang alami-alami, kata
Nietzsche, banyak dianggap jahat. Agama fokusnya memerangi kejahatan yang
dulunya itu adalah kebaikan menurut Nietzsche. Misalnya, Fahruddin Faiz
menjelaskan, bid'ah. Bid'ah itukan kreatif dan inovatif. Tapi dianggap buruk
oleh orang beragama. Bahkan, salaman setelah shalat pun dianggap bid'ah juga.
Jadi, agama dan peradaban,
menurut Nietzsche, membalik yang baik jadi buruk. Membalik dorongan
kemanusiaan. Banyak yang dianggap jahat. Akhirnya, kata Nietzsche, kita
bertarung melawan diri kita sendiri. Agama kan memang sering seperti itu:
taklukkan dirimu sendiri. Taklukkan egomu. Ini mematikan dirinya sendiri kata
Fahruddin Faiz. Masa kita selama hidup disuruh tawuran terus sama diri sendiri.
Kata Nietzsche, tak masuk akal. Tak manusiawi. Kita hidup di dunia ini untuk
jadi manusia. Harusnya kita hidup secara manusiawi. Istilah Fahruddin Faiz,
ketika melihat lawan jenis, kita anggap itu nafsu. Dilarang. Tak boleh.
Padahal, itu manusiawi. Melihat wanita cantik lalu jadi nafsu, itukan alamiah.
Jangan dilawan. Biarin aja, kata Fahruddin Faiz secara guyonan. Suka sama lawan
jenis itu kan natural. Yang buruk itu kalau suka sesama jenis.
Jadi, kalau semua dilarang oleh agama, hidup ini jadi sumpek. Kita menderita. Gara-gara aturan moral yang kadang-kadang hanya perspektif manusia. Bikinan manusia sendiri, tapi agama yang dikambinghitamkan. Padahal, bukan agama, tapi manusianya. Istilah Fahruddin Faiz: Socrates-nya, Plato-nya, kiai-kiainya, mungkin. Nah, dunia defisit besar gara-gara ini. Banyak potensi besar dalam diri manusia yang akhirnya terbengkalai. Karena terlalu banyak belenggu-belenggu, orang tak bisa besar mengembangkan dirinya menjadi Ubermensch. Orang jadi tak matang. Orang terlalu fokus melayani yang lain. Fokus mencari pahala, surga, bukan mendapatkan kebesarannya hari ini. Inilah kekeliruan peradaban. Kata Nietzsche, runtuhnya peradaban Barat karena sistem yang seperti ini.
NANI EFENDI, Alumnus
HMI
Referensi:
Fahruddin Faiz, "Lahirnya
Tragedi: Membalik yang Baik Menjadi Jahat", dalam
https://youtu.be/bhp2HYrRkLI?si=-72vs1EJKHz59MCo
0 komentar:
Posting Komentar