alt/text gambar

Rabu, 24 Januari 2024

Topik Pilihan:

GLOBALISASI ADALAH NEOKOLONIALISME EKONOMI DAN BUDAYA

 

*Menyambut Tahun Budaya dan Seni 1998

Oleh: YB Mangunwijaya

 

 

Sepanjang penglihatan penulis yang awam dalam teori ekonomi, keprihatinan tentang sakitnya harimau-harimau Asia rupa-rupanya belum masuk dalam jantung persoalan paling mendalam. Hanya Mahathir yang berani menyentuh inti perkara, meski masih dalam bahasa diplomasi. Baru gejalanya yang dibahas. Belum benih atau akar-akar gejala.

Untunglah Iskandar Alisjahbana jeli menangkap persoalan dasar perdebatan Soros dan Mahathir (dan tak langsung sekian komentar para pakar kita) dalam artikelnya yang sangat informatif Pembaruan Kapitalisme Menuju “Cybernomics Age” dan Globalisasi (Kompas, 20-11-97).

Masalah kapitalisme selalu merisaukan.... khususnya para pecinta .... sejak kecil....Gereja bahwa .... itu jahat, tetapi sebaliknya liberalisme dan kapitalisme pun sama buruknya (Surat Gembala Pau Leo XIII Rerum Novarum”, Paus Pius XI Quadragesimo Anno 1931, Paus Paulus IV “Popularum Progressio” 1967).

Itu sejajar dan diperteguh olah sikap dan cita-cita dari seluruh jajaran dan kategori pejuang kemerdekaan Indonesia Generasi 20/28 yang mengendap dalam Pancasila dan UUD. Yang amat jelas bertolak belakang dengan segala yang dibuahkan oleh liberalisme free enterprise, free fight, free market, serta kapitalisme dengan postulat yang lahir dari Darwinisme bugil the survival of the fittest, yang konon diberi garansi sukses oleh yang disebut amat misterius the Invisible Hand. Jelasnya the Invisible Hand of a Greedy and Egoistic Darwinistic Mentality of an Imperial and Colonial Exploitative World System. Yang masih berjaya terus sampai hari kini.

Benar, kapitalisme klasik yang diperolok-olok dalam film-film Charlie Chaplin (teristimewa Modern Times) dan yang menyeret jutaan buruh Inggris, Perancis, Jerman, Belanda, dan sebagainya ke dalam perbudakan dan kemiskinan oleh para pemilik kapital (sering lebih kejam daripada yang diderita oleh buruh-buruh Indonesia), sudah tidak ada. Historis sudah dipaksa “melunakkan” diri dan memperbaiki diri sesudah dikontra oleh gerakan-gerakan sosialis kaum buruh di sana.

Sebenarnya Fukuyama dengan The End of History-nya, Huntington dan hegemoni Bank Dunia serta IMF bersorak-sorai tentang kemenangan sistem liberal kapitalis sudah harus membuat kita, kaum Pancasilais, curiga. Paling sedikit dari segi moral dan kerokhanian, belum bicara dari segi sosio-ekonomi makro. Sebab, bila suatu tata-ekonomi dunia tanpa henti memperkaya mereka yang sudah teramat kaya (Utara dan komprador-komprador mereka di Selatan) dengan semakin mempermiskin sekian milyar manusia dunia Selatan yang sudah teramat miskin, pastilah seorang yang berakal sehat dan tidak perlu ia ahli ekonomi, dapat menduga bahwa jelas ada sesuatu yang tidak beres di dalam tata ekonomi semacam itu. Biarpun para harimau Asia dielu-elukan selaku success-stories sistem kapitalis dan Asian Miracles sekali pun.

Sakit terkulai

Kini, sesudah para macan Asia terkulai sakit kanker, blessing in disguisse, kita terpaksa tergugah lagi untuk memperdalam soal-soal yang benar-benar fundamental, bukan hanya kulit gejala krisis moneternya saja, sebab apa guna kita mempelajari gejala, bila benih dan akar persoalan dasar tidak kita sentuh? Maka, kini mudah-mudahan kita mulai mampu lagi mendengarkan dan menginsyafkan diri dari buah kearifan para pendiri RI kita yang dari awal mula dan menyeluruh lintas agama atau keyakinan tidak pernah percaya kepada kapitalisme (apalagi yang semu) selaku sistem untuk mengangkat bangsa menuju ke tingkat kemanusiaan yang adil dan beradab serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat.

Kapitalisme, entah yang klasik maupun yang sudah diperbaharui, praktis bersendi Darwinisme. Memang bagus dan hebat untuk yang kuat dan pandai, yang kuasa dan tega, akan tetapi kita tidak boleh lupa bahwa Darwinisme berakar pada prinsip pengganyangan yang lemah oleh yang kuat, the survival of the fittest. Dari dekat kita melihat bahwa sampai sekarang pun sesudah zaman kolonialisme politik lenyap, masih tak kunjung henti malapetaka kapitalisme tetap hidup dan merajalela dalam bentuk globalisasi ekonomi dan kultural. Teranglah tidak enak didengar dalam telinga yang beruntung oleh tata ekonomi sekarang, bahwa globalisasi (dalam bentuk sekarang ini) adalah nama lain dari neokolonialisme, namun kolonialisme ekonomi dan budaya. Bila hal itu kita katakan di waktu para harimau Asia masih jaya, tentulah cemooh yang kita dapat.

Akan tetapi sekarang, dengan kenyataan bugil yang sulit ditutup-tutupi, semoga kita sadar kembali, bahwa para pendiri RI kita memang betul ketika mereka gigih menentang kapitalisme sebagai sistem ekonomi Indonesia. Itu dilihat dari segi rakyat kebanyakan, tidak dari yang kuat, pandai dan kuasa.

Tahun 1998 diresmikan sebagai Tahun Budaya dan Seni (aneh sebetulnya, sebab kesenian adalah bagian dari kebudayaan). Yang dihadapi generasi sekarang bukanlah kolonialisme model kuno, akan tetapi jauh lebih canggih dan lebih “maut”, yakni kebudayaan tata dunia yang kapitalistis dan esensial darwinistik (istilah Barat sengaja saya hindari agar tidak terperosok dalam pertentangan Barat-Timur yang menuju ke jalan buntu), dalam sikap dan pikiran, dalam ide dan cita rasa, dan akhirnya (tragisnya) dalam agama dan religiusitas juga.

Tak pernah tanpa tumbal

Kita harus membedakan kapitalisme. Satu: yang teoritik di atas kertas, yang mengklaim bersumber pada rasionalitas, realisme dan nilai-nilai universal. Dan dua: kapitalisme dalam praktis konkret, yang diskriminatif baik dalam soal gender maupun ras, yang sudah mengejawantah dan melembagakan diri secara internasional lewat korporasi-korporasi multinasional dengan seluruh perangkat industri informasi dan kekuatan milternya; dan yang sudah mengintegrasikan serta memperalat kekuatan-kekuatan elite pribumi/lokal ke dalam sistem eksploitatifnya. Dikemas cantik berbentuk apa pun, seperti misalnya dalam mitos “membuat kue besar dulu agar dapat dibagi-bagi’, tetaplah itu teori (nina bobo).

Praktisnya tidak demikian. Tentulah dari satu dua aspek kemajuan, yang datang dari dunia liberal kapitalis, ilmu pengetahuan, teknologi, industri, perbankan, transportasi, komunikasi, informatik elektronika kibernetik dan sebagainya, dan seterusnya, sistem produksi massal dengan segala komfort buah pasaran bebas berupa produk-produk penikmat kehidupan, membawa berkat.

Jelasnya, untuk yang menimati berkat. Tetapi tidak pernah ia tanpa tumbal dan korban, penipuan dan represi kekuasaan ekonomik, politik dan milter. Maka sudah lama masalah kapitalisme liberal lebih menjadi masalah moral dan iman daripada hanya soal teknis sosio-ekonomik saja, walaupun seluk-beluk mekanismenya mesti saja harus kita analisis kita diagnosis dan kita terapi secara ilmiah dan politik profesional. 

Free enterprise, free fight, the invisible Hand hanya pas dan menguntungkan bagi yang kuat kuasa pandai dan berkedudukan dengan hak-hak istimewa. Bagus bagi tipe-tipe manusia kuat yang oleh Michael Maccoby dilukis selaku the Gamesman, The Jungle fighter, the Craftsman dan the Companyman, prototipe orang Amerika Utara. Semua jenis manusia kuat, cerdas, terampil, berani, pendek kata the winner type, para juara, itulah yang beruntung (dengan tumbal) dan menjadi the happy few dalam sistem kapitalisme.

Bagi yang tidak termasuk kategori itu (dan ini mayoritas manusia Selatan atau orang lemah di Utara) sungguh malapetaka. Semakin hari semakin tertinggal, tergusur, terpuruk, terbantai. Persis seperti di rimba-raya tropika, dalam sistem ganyang-mengganyang dunia Darwin.

Maka ketika di tahun 80-90-an muncul macan-macan Asia, dan Indonesia ikut dipuja-puji sebagai economic miracle, apalagi setelah komunisme bangkrut, bergeloralah gegap-gempita gloria victoria kapitalisme (di Indonesia salah kaprah berbentuk Ersatz-Kapitalismus).

Sampai di tahun 1997 kita diguyur air dingin oleh suatu Invisible Hand dari arah lain untuk bangun. Mana mungkin Pancasilais yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, ber-Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dan bercita-cita Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat percaya kepada Darwinisme sosial, politik, dan ekonomi apalagi budaya?

Belum lama ini Uskup Agung Breda (Nederland). Mgr M.P.M Muskens mendapat reaksi ribut di kalangan media massa bahkan pemerintah dan parlemen Belanda, ketika di TV menyinggung masih adanya kemiskinan menyedihkan dalam negeri Belanda yang terkenal kaya dan makmur itu, sampai beliau berkata, “Bagi kaum yang amat miskin terjepit mencuri roti tidaklah dosa.” Heboh! Dari percakapan pribadi dengan beliau ternyata bahwa di kalangan luas sana pun sistem kapitalisme sudah disangsikan kemampuannya untuk memberi kemakmuran yang adil dan tanpa tumbal, termasuk tumbal orang Belanda (baca: Barat), apalagi non-Barat.

Masih luas

Demikianlah lapangan teori ekonomi global universal yang belum terolah masih tersedia amat luas dan menantang generasi ilmuwan muda abad ke-21. Namun itu memerlukan kecerdasan inovatif para teoritisi kita yang independent, tua maupun muda. Bukan yang sudah mandek menyerah kepada status-quo karena telah dicuci otak oleh dunia liberal kapitalis yang memang menguasai seluruh dimensi kehidupan sains dan informasi.

Tetapi diperlukan juga kejujuran yang bening dan yang tepo seliro (compassionate) menempatkan diri tidak pada posisi pihak yang kuat saja, akan tetapi terutama pada posisi mayoritas bangsa yang masih lemah dan dijadikan tumbal. Tata ekonomi yang manusiawi, adil, dan beradab. Realis tidak naif.

Prof Mubyarto pernah berkata kepada saya, bahwa ekonomi pasar tidak sama dengan ekonomi kapitalis. Sebelum kapitalisme datang, ekonomi pasar sudah berabad-abad menghidupi Nusantara. Saya kira ini suatu batu pijak loncatan awal yang bagus. Tetapi lalu bagaimana penggelaran teori selanjutnya? Yang tidak sempit chauvinistik berslogan Asia Values dan sebagainya. Karena bingung ingin menutup-nutupi peran komprador mereka?

Tetapi yang teliti belajar dari teori-teori Barat, namun independen menggagas dari posisi praksis di Bumi kita di sini, sehingga (cita-cita jauh) akhirnya mampu memberi alternatif yang ilmiah sehat, lebih meyakinkan bersifat universal dan karenanya mampu memperoleh teori-teori para keturunan Adam Smith dan Ricardo? Mungkin kita masih harus menunggu tumbuhnya generasi baru ilmuwan dan praktisi abad ke-21. Tak mengapa, asal saja kita sudah mulai sadar, bahwa ekonomi kapitalis liberal yang esensial darwinistik tetapi kita puja-puji itu hanya dapat berjalan dengan tumbal. 

Dan karena itu tidak dapat mendorong dan bukan solusi final yang memberi alasan untuk di pihak satu dungu menjaga mayat komunisme karena takut hidup lagi, dan di pihak lain, seperti yang dikira oleh arogansi Fukuyama, bahwa seluruh dunia akan memeluk liberalisme kapitalisme, yang berarti the end of history.

 

YB Mangunwijaya, budayawan, tinggal di Yogyakarta

Sumber: Kompas, 24 Januari 1998

0 komentar:

Posting Komentar