*Menyambut Tahun
Budaya dan Seni 1998
Oleh: YB Mangunwijaya
Sepanjang penglihatan penulis
yang awam dalam teori ekonomi, keprihatinan tentang sakitnya harimau-harimau
Asia rupa-rupanya belum masuk dalam jantung persoalan paling mendalam. Hanya
Mahathir yang berani menyentuh inti perkara, meski masih dalam bahasa diplomasi.
Baru gejalanya yang dibahas. Belum benih atau akar-akar gejala.
Untunglah Iskandar Alisjahbana
jeli menangkap persoalan dasar perdebatan Soros dan Mahathir (dan tak langsung
sekian komentar para pakar kita) dalam artikelnya yang sangat informatif
Pembaruan Kapitalisme Menuju “Cybernomics Age” dan Globalisasi (Kompas,
20-11-97).
Masalah kapitalisme selalu
merisaukan.... khususnya para pecinta .... sejak kecil....Gereja bahwa .... itu
jahat, tetapi sebaliknya liberalisme dan kapitalisme pun sama buruknya (Surat
Gembala Pau Leo XIII Rerum Novarum”, Paus Pius XI Quadragesimo Anno 1931, Paus
Paulus IV “Popularum Progressio” 1967).
Itu sejajar dan diperteguh olah
sikap dan cita-cita dari seluruh jajaran dan kategori pejuang kemerdekaan
Indonesia Generasi 20/28 yang mengendap dalam Pancasila dan UUD. Yang amat
jelas bertolak belakang dengan segala yang dibuahkan oleh liberalisme free
enterprise, free fight, free market, serta kapitalisme dengan postulat yang
lahir dari Darwinisme bugil the survival of the fittest, yang konon
diberi garansi sukses oleh yang disebut amat misterius the Invisible Hand.
Jelasnya the Invisible Hand of a Greedy and Egoistic Darwinistic Mentality
of an Imperial and Colonial Exploitative World System. Yang masih berjaya
terus sampai hari kini.
Benar, kapitalisme klasik yang
diperolok-olok dalam film-film Charlie Chaplin (teristimewa Modern Times)
dan yang menyeret jutaan buruh Inggris, Perancis, Jerman, Belanda, dan
sebagainya ke dalam perbudakan dan kemiskinan oleh para pemilik kapital (sering
lebih kejam daripada yang diderita oleh buruh-buruh Indonesia), sudah tidak
ada. Historis sudah dipaksa “melunakkan” diri dan memperbaiki diri sesudah
dikontra oleh gerakan-gerakan sosialis kaum buruh di sana.
Sebenarnya Fukuyama dengan The
End of History-nya, Huntington dan hegemoni Bank Dunia serta IMF
bersorak-sorai tentang kemenangan sistem liberal kapitalis sudah harus membuat
kita, kaum Pancasilais, curiga. Paling sedikit dari segi moral dan kerokhanian,
belum bicara dari segi sosio-ekonomi makro. Sebab, bila suatu tata-ekonomi
dunia tanpa henti memperkaya mereka yang sudah teramat kaya (Utara dan
komprador-komprador mereka di Selatan) dengan semakin mempermiskin sekian
milyar manusia dunia Selatan yang sudah teramat miskin, pastilah seorang yang
berakal sehat dan tidak perlu ia ahli ekonomi, dapat menduga bahwa jelas ada
sesuatu yang tidak beres di dalam tata ekonomi semacam itu. Biarpun para
harimau Asia dielu-elukan selaku success-stories sistem kapitalis dan Asian
Miracles sekali pun.
Sakit terkulai
Kini, sesudah para macan Asia
terkulai sakit kanker, blessing in disguisse, kita terpaksa tergugah
lagi untuk memperdalam soal-soal yang benar-benar fundamental, bukan hanya
kulit gejala krisis moneternya saja, sebab apa guna kita mempelajari gejala,
bila benih dan akar persoalan dasar tidak kita sentuh? Maka, kini mudah-mudahan
kita mulai mampu lagi mendengarkan dan menginsyafkan diri dari buah kearifan
para pendiri RI kita yang dari awal mula dan menyeluruh lintas agama atau
keyakinan tidak pernah percaya kepada kapitalisme (apalagi yang semu) selaku
sistem untuk mengangkat bangsa menuju ke tingkat kemanusiaan yang adil dan
beradab serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Kapitalisme, entah yang klasik
maupun yang sudah diperbaharui, praktis bersendi Darwinisme. Memang bagus dan
hebat untuk yang kuat dan pandai, yang kuasa dan tega, akan tetapi kita tidak
boleh lupa bahwa Darwinisme berakar pada prinsip pengganyangan yang lemah oleh
yang kuat, the survival of the fittest. Dari dekat kita melihat bahwa
sampai sekarang pun sesudah zaman kolonialisme politik lenyap, masih tak
kunjung henti malapetaka kapitalisme tetap hidup dan merajalela dalam bentuk
globalisasi ekonomi dan kultural. Teranglah tidak enak didengar dalam telinga
yang beruntung oleh tata ekonomi sekarang, bahwa globalisasi (dalam bentuk
sekarang ini) adalah nama lain dari neokolonialisme, namun kolonialisme ekonomi
dan budaya. Bila hal itu kita katakan di waktu para harimau Asia masih jaya,
tentulah cemooh yang kita dapat.
Akan tetapi sekarang, dengan
kenyataan bugil yang sulit ditutup-tutupi, semoga kita sadar kembali, bahwa
para pendiri RI kita memang betul ketika mereka gigih menentang kapitalisme
sebagai sistem ekonomi Indonesia. Itu dilihat dari segi rakyat kebanyakan,
tidak dari yang kuat, pandai dan kuasa.
Tahun 1998 diresmikan sebagai
Tahun Budaya dan Seni (aneh sebetulnya, sebab kesenian adalah bagian dari
kebudayaan). Yang dihadapi generasi sekarang bukanlah kolonialisme model kuno,
akan tetapi jauh lebih canggih dan lebih “maut”, yakni kebudayaan tata dunia
yang kapitalistis dan esensial darwinistik (istilah Barat sengaja saya hindari
agar tidak terperosok dalam pertentangan Barat-Timur yang menuju ke jalan
buntu), dalam sikap dan pikiran, dalam ide dan cita rasa, dan akhirnya
(tragisnya) dalam agama dan religiusitas juga.
Tak pernah tanpa tumbal
Kita harus membedakan
kapitalisme. Satu: yang teoritik di atas kertas, yang mengklaim bersumber pada
rasionalitas, realisme dan nilai-nilai universal. Dan dua: kapitalisme dalam
praktis konkret, yang diskriminatif baik dalam soal gender maupun ras, yang
sudah mengejawantah dan melembagakan diri secara internasional lewat
korporasi-korporasi multinasional dengan seluruh perangkat industri informasi
dan kekuatan milternya; dan yang sudah mengintegrasikan serta memperalat
kekuatan-kekuatan elite pribumi/lokal ke dalam sistem eksploitatifnya. Dikemas
cantik berbentuk apa pun, seperti misalnya dalam mitos “membuat kue besar dulu
agar dapat dibagi-bagi’, tetaplah itu teori (nina bobo).
Praktisnya tidak demikian.
Tentulah dari satu dua aspek kemajuan, yang datang dari dunia liberal
kapitalis, ilmu pengetahuan, teknologi, industri, perbankan, transportasi,
komunikasi, informatik elektronika kibernetik dan sebagainya, dan seterusnya,
sistem produksi massal dengan segala komfort buah pasaran bebas berupa
produk-produk penikmat kehidupan, membawa berkat.
Jelasnya, untuk yang menimati berkat. Tetapi tidak pernah ia tanpa tumbal dan korban, penipuan dan represi kekuasaan ekonomik, politik dan milter. Maka sudah lama masalah kapitalisme liberal lebih menjadi masalah moral dan iman daripada hanya soal teknis sosio-ekonomik saja, walaupun seluk-beluk mekanismenya mesti saja harus kita analisis kita diagnosis dan kita terapi secara ilmiah dan politik profesional.
Free enterprise, free fight,
the invisible Hand hanya pas dan menguntungkan bagi yang kuat kuasa pandai
dan berkedudukan dengan hak-hak istimewa. Bagus bagi tipe-tipe manusia kuat
yang oleh Michael Maccoby dilukis selaku the Gamesman, The Jungle fighter, the
Craftsman dan the Companyman, prototipe orang Amerika Utara. Semua jenis
manusia kuat, cerdas, terampil, berani, pendek kata the winner type,
para juara, itulah yang beruntung (dengan tumbal) dan menjadi the happy
few dalam sistem kapitalisme.
Bagi yang tidak termasuk kategori
itu (dan ini mayoritas manusia Selatan atau orang lemah di Utara) sungguh
malapetaka. Semakin hari semakin tertinggal, tergusur, terpuruk, terbantai.
Persis seperti di rimba-raya tropika, dalam sistem ganyang-mengganyang dunia
Darwin.
Maka ketika di tahun 80-90-an
muncul macan-macan Asia, dan Indonesia ikut dipuja-puji sebagai economic
miracle, apalagi setelah komunisme bangkrut, bergeloralah gegap-gempita
gloria victoria kapitalisme (di Indonesia salah kaprah berbentuk
Ersatz-Kapitalismus).
Sampai di tahun 1997 kita diguyur
air dingin oleh suatu Invisible Hand dari arah lain untuk bangun. Mana
mungkin Pancasilais yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, ber-Kemanusiaan yang Adil
dan Beradab dan bercita-cita Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat percaya kepada
Darwinisme sosial, politik, dan ekonomi apalagi budaya?
Belum lama ini Uskup Agung Breda
(Nederland). Mgr M.P.M Muskens mendapat reaksi ribut di kalangan media massa
bahkan pemerintah dan parlemen Belanda, ketika di TV menyinggung masih adanya
kemiskinan menyedihkan dalam negeri Belanda yang terkenal kaya dan makmur itu,
sampai beliau berkata, “Bagi kaum yang amat miskin terjepit mencuri roti
tidaklah dosa.” Heboh! Dari percakapan pribadi dengan beliau ternyata bahwa di
kalangan luas sana pun sistem kapitalisme sudah disangsikan kemampuannya untuk
memberi kemakmuran yang adil dan tanpa tumbal, termasuk tumbal orang Belanda
(baca: Barat), apalagi non-Barat.
Masih luas
Demikianlah lapangan teori
ekonomi global universal yang belum terolah masih tersedia amat luas dan
menantang generasi ilmuwan muda abad ke-21. Namun itu memerlukan kecerdasan
inovatif para teoritisi kita yang independent, tua maupun muda. Bukan yang
sudah mandek menyerah kepada status-quo karena telah dicuci otak oleh dunia
liberal kapitalis yang memang menguasai seluruh dimensi kehidupan sains dan
informasi.
Tetapi diperlukan juga kejujuran
yang bening dan yang tepo seliro (compassionate) menempatkan diri tidak
pada posisi pihak yang kuat saja, akan tetapi terutama pada posisi mayoritas
bangsa yang masih lemah dan dijadikan tumbal. Tata ekonomi yang manusiawi, adil,
dan beradab. Realis tidak naif.
Prof Mubyarto pernah berkata
kepada saya, bahwa ekonomi pasar tidak sama dengan ekonomi kapitalis. Sebelum
kapitalisme datang, ekonomi pasar sudah berabad-abad menghidupi Nusantara. Saya
kira ini suatu batu pijak loncatan awal yang bagus. Tetapi lalu bagaimana
penggelaran teori selanjutnya? Yang tidak sempit chauvinistik berslogan Asia
Values dan sebagainya. Karena bingung ingin menutup-nutupi peran komprador
mereka?
Tetapi yang teliti belajar dari teori-teori Barat, namun independen menggagas dari posisi praksis di Bumi kita di sini, sehingga (cita-cita jauh) akhirnya mampu memberi alternatif yang ilmiah sehat, lebih meyakinkan bersifat universal dan karenanya mampu memperoleh teori-teori para keturunan Adam Smith dan Ricardo? Mungkin kita masih harus menunggu tumbuhnya generasi baru ilmuwan dan praktisi abad ke-21. Tak mengapa, asal saja kita sudah mulai sadar, bahwa ekonomi kapitalis liberal yang esensial darwinistik tetapi kita puja-puji itu hanya dapat berjalan dengan tumbal.
Dan karena itu tidak dapat
mendorong dan bukan solusi final yang memberi alasan untuk di pihak satu dungu
menjaga mayat komunisme karena takut hidup lagi, dan di pihak lain, seperti
yang dikira oleh arogansi Fukuyama, bahwa seluruh dunia akan memeluk
liberalisme kapitalisme, yang berarti the end of history.
YB Mangunwijaya, budayawan,
tinggal di Yogyakarta
Sumber: Kompas, 24 Januari
1998
0 komentar:
Posting Komentar