Oleh: Ignas Kleden
Dalam pengertian yang
disederhanakan, inteligensia adalah kaum terpelajar dan terdidik yang berperan
sebagai ujung tombak perubahan dan pembaruan masyarakatnya. Di pihak lain, kita
mendapati kaum literati yang berperan sebagai benteng pertahanan nilai, norma, dan
perilaku budaya. Mereka ini terpanggil merawat dan melestarikan nilai-nilai dan
bentuk kebudayaan, khususnya dalam seni dan sastra, menurut pakem-pakem yang
berlaku dalam tradisi. Sebaliknya, kaum inteligensia merasa terpanggil untuk
menerobos batas-batas tradisi sebagai prasyarat bagi pembentukan masyarakat
baru.
Ketika Sutan Takdir Alisjahbana
(STA) berpolemik dengan guru-guru bahasa Melayu yang merasa harus setia kepada
paramasastra Melayu, sementara STA membuka kemungkinan baru dalam pemakaian bahasa
Indonesia, maka di sana terjadi polemik antara inteligensia dan literati. Sama
halnya dalam debat dengan lawan-lawannya dalam Polemik Kebudayaan, dia
bertindak sebagai inteligensia yang menganjurkan pembentukan kebudayaan
Indonesia baru berdasarkan etos kebudayaan Barat, sambil mendesak agar
kebudayaan lama dalam tradisi ditinggalkan saja sebagai kebudayaan
pre-Indonesia. Sikap ini jelas memancing reaksi para literati yang melihat
pentingnya tradisi dalam kebudayaan Indonesia, baik karena tradisi itu sudah
berfungsi selama ratusan tahun maupun karena kebudayaan Barat memperlihatkan
berbagai ekses yang dapat merugikan kebudayaan Indonesia.
STA hanya salah satu contoh.
Kebangkitan gerakan kebangsaan di Hindia Belanda sejak dasawarsa pertama abad
ke-20 telah digerakkan para inteligensia. Para Ibu dan Bapak Bangsa, seperti
Kartini, Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, Cokroaminoto, Haji Agus Salim,
ataupun Sam Ratulangi adalah kaum inteligensia yang lahir dari pendidikan Barat
hasil Politik Etis pemerintah kolonial, yang kemudian mengambil jarak dari
tradisi politik kolonial yang intinya menciptakan rust en orde, yaitu
ketenangan dan ketertiban di seluruh koloni. Dengan segala cara, kaum
inteligensia berusaha membuka mata bangsanya bahwa ideal masyarakat yang tenang
dan tertib hanya opium yang membuat orang tak sadar lagi tentang demikian
banyak penderitaan, ketidakadilan, pemerasan, dan kehinaan yang diterima begitu
saja oleh penduduk pribumi, yang merasa harus ikut bertanggung jawab atas
terciptanya ketenangan dan ketertiban.
Diperlihatkan diskriminasi dan
ketidakadilan yang terwujud dalam berbagai sektor. Di bidang sosial diciptakan
diskriminasi rasial dalam pembagian kerja antara penduduk Eropa, penduduk Timur
Asing, dan penduduk pribumi, sementara orang banyak dibius dalam diskriminasi
ini melalui penamaan ilmiah yang keren, seperti ethnically stratified
division of labor atau pembagian kerja berdasarkan stratifikasi etnik.
Dalam ekonomi diperkenalkan dualisme ekonomi, dengan penjelasan bahwa ekonomi kolonial
yang berorientasi ekspor harus dipisahkan dari ekonomi penduduk yang subsisten,
yang menjamin ketenangan penduduk di pedesaan, karena ekonomi pasar tidak boleh
mengganggu kerukunan hidup penduduk.
Dalam bidang bahasa, diciptakan
diskriminasi linguistik. Pribumi, khususnya anak-anak bangsawan lokal diberi
kesempatan belajar bahasa Belanda, tetapi dalam pergaulan sehari-hari penduduk
setempat dilarang bicara Belanda dengan tuan-tuan Belanda, dan hanya boleh
mempergunakan bahasa Melayu, seakan bahasa Belanda terlalu mulia dipergunakan
oleh para inlander. Dalam bidang politik dilancarkan secara gencar politik
pecah-belah atau divide et impera melalaui konflik dan persaingan yang
direkayasa dan didorong antara para raja di berbagai kerajaan Nusantara, dan
antara para bangsawan dan rakyat jelata. Pendidikan dibatasi hanya untuk
anak-anak bangsawan atau para pejabat pribumi yang bergaji cukup, sementara
patriarki dalam tradisi kebudayaan lokal diperkuat dengan membatasi pendidikan
kaum perempuan.
Kesadaran kebangsaan
Kesimpulan para inteligensia:
semua ketidakadilan, diskriminasi, penderitaan, dan kehinaan itu telah lahir
dari satu kenyataan yag sama, yaitu hilangnya hak-hak suatu bangsa untuk
menentukan dan mengatur dirinya sendiri, dan menggantungkan nasibnya pada kekuasaan
bangsa lain. Perlahan lahir kesadaran kebangsaan. Ahli politik Ben Anderson
menjadi masyhur di antara ahli ilmu sosial di seluruh dunia dengan definisinya
tentang bangsa sebagai komunitas politik yang hanya terbayangkan karena
sebagian besar anggotanya tak pernah bertemu dan tak saling mengenal, tetapi
sama-sama merasa anggota suatu komunitas politik yang sama. Namun, jauh
sebelumnya, Soekarno bertolak dari paham lain dan berpegang pada definisi Otto
Bauer: eine Nation ist eine aus Schicksalsgemeinschaft erwachsene
Charaktergemeinshaft.
Soekarno menegaskan, bangsa lahir
dari persatuan yang membawa persatuan perangai. Betapa pun menariknya argumen
akademis dan teoritis yang diajukan Ben Anderson, suatu bangsa yang sedang
bergolak tak dapat dikobarkan semangatnya jika kepada mereka dimaklumkan bangsa
adalah an imagined political community. Dalam pengertian Soekarno, suatu
bangsa tak lahir dari bayangan tentang suatu komunitas politik, tetapi dari
pengalaman tentang penderitaan yang sama, nasib sama, yang akhirnya
menghasilkan perangai sama disertai tekad sama.
Lahir kemudian berbagai inisiatif
untuk pembebasan sekaligus dibangun kesadaran nasionalis tentang hak suatu
bangsa untuk mengatur dirinya sendiri, dan dengan cara itu menciptakan martabat
di antara bangsa-bangsa lain di dunia sebagai bangsa dan negara merdeka. Hatta
dan Sjahrir memberikan kursus-kursus untuk mendidik kader agar menguasai
kepandaian teknis dan administratif sehingga para kader ini kelak sanggup
mengambil alih administrasi pemerintahaan dari tangan administrator kolonial.
Soekarno, lewat pidato-pidato yang gempar, menekankan perlunya persatuan semua
golongan sebagai sarana melumpuhkan tipu muslihat adu domba yang memecah-belah,
dan sekaligus mengerahkan massa rakyat untuk bersatu padu dalam machtsvorming
(pembentukan kekuatan politik).
Kartini, lewat surat-suratnya,
membuka pintu emansipasi bagi kaum perempuan dan mendorong pendidikan politik
untuk mereka. Tan Malaka mendirikan sekolah untuk anak-anak buruh perkebunan
dan mengajarkan bahwa tenaga kerja adalah faktor produksi yang sama penting
dengan modal tuan-tuan besar pemilik perkebunan sehingga mereka harus berani
dan sanggup membela tenaga kerja mereka berdasar asas keadilan menurut hukum
berlaku. Cokroaminoto dan Agus Salim mendidik umat bahwa Islam memuliakan
persamaan dan keadilan dan dapat jadi tempat perlindungan bagi mereka yang
terdiskriminasi dan tertindas, sementara agama adalah ruang suci yang tak bisa
diterobos oleh kekuatan asing.
Tentu saja tak dapat dikatakan, kaum inteligensia Indonesia 1930-1940-an adalah satu-satunya pihak yang membawa Indonesia kepada kemerdekaan. Ada begitu banyak golongan yang terlibat dalam perjuangan itu: para pemuda revolusioner, pemimpin agama, para saudagar, khususnya saudagar Islam yang terorganisasi dalam Serikat Dagang Islam, para pejuang gerilya, serta para buruh dan tani. Namun, kaum inteligensia telah memberikan inspirasi pertama tentang kebangsaan dan kemerdekaan, dan memimpin perjuangan sepanjang jalan. Merekalah yang membuka mata rakyatnya terhadap perlunya kemerdekaan politik, kemerdekaan budaya, kemerdekaan ekonomi, kemerdekaan linguistis, serta kemerdekaan dalam pertahanan dan keamanan. Jenderal Sudirman adalah seorang guru, seorang inteligensia, yang kemudian bersinar sebagai idola bagi perjuangan bersenjata.
Apa dan siap kaum inteligensia
Tak semua intelektual dan
akademisi berperan sebagai inteligensia. Kelompok Mandarin dalam kekaisaran
Tiongkok adalah intelektual yang terdidik dan terpelajar secara literer dan
humanistis. Mereka punya pengetahuan mendalam tentang sastra dan kebudayaan,
tetapi pengetahuan ini menjadi prasyarat agar mereka diterima dalam salah satu
dari sembilan tingkat kepegawaian dalam birokrasi Tiongkok klasik. Mereka
berperan sebagai literati, tetapi bukan inteligensia.
Dalam sejarah intelektual di
Barat, di bawah pengaruh zaman Romantik, dengan Rousseau di Perancis sebagai
eksponen utama, muncul kelompok yang bukan saja melepaskan diri dari
rasionalisme masa Pencerahan, tetapi juga dari basis sosial borjuasi baru, dan
menjadi apa yang oleh sosiolog Karl Mannheim dinamakan sozial freischwebende
Intellektuelle yang diterjemahkannya sendiri ke bahasa Inggis sebagai socially
unattached intellectuals atau yang boleh kita namakan free-floating
intellectuals. Mereka bukanlah intelektual organik dalam pengertian
Gramsci, yaitu mereka yang merumuskan aspirasi kelasnya dan menjadi juru bicara
kelas.
Inteligensia yang hidup di masa
Romantik hidup dengan pandangan yang romantis dalam kondisi ekonomis labil.
Secara intelektual, mereka tak utamakan pengetahuan sistematis yang tersusun
rapi tentang keadaan masyarakatnya, tetapi mengimpikan dan mendorong orang ke
suatu susunan masyarakat lain yang baru. Untuk mereka, sikap romantis suatu
kekuatan. Mannheim mengutip Novalis penyair Jerman yang hidup akhir abad ke-18
dan mewujudkan semangat romantik dalam sajak-sajaknya. Kata Novalis, “Bersikap
dan berlaku romantis tak lain dari meningkatkan potensi seseorang secara
kualitatif. Diri yang rendah diidentifikasikan sebagai diri yang lebih baik
dalam sikap ini.... Karena tatkala melihat nilai yang tinggi dalam sesuatu yang
banal, memberi wibawa yang penuh rahasia kepada pada yang remeh temeh,
menemukan martabat dari sesuatu yang tak dikenal dalam apa yang dikenal, dan
memandang yang fana seolah-olah suatu yang abadi, maka saya bertindak
romantis.”
Intelektual yang berperan sebagai
inteligensia tak menjadi tawanan masa sekarang, tetapi jadi perintis masa
depan. Mengutip filosof Ernst Bloch, mereka bukanlah orang yang menikmati dan
mempertahankan apa yang ada, tetapi mengambil risiko mewujudkan yang belum ada.
Ini bukan ideal khayali. Soekarno tak membangun kantor konraktor bangunan,
tetapi menceburkan diri dalam usaha pembangunan lain yang bernama nation
building. Agus Salim sebagai polyglot yang mendekati genius, tak mendirikan
sekolah bahasa asing atau jadi juru bahasa tingkat tinggi, tetapi bergiat
sebagai pejuang yang mencerdaskan rakyat melalui berbagai tulisan. Hatta tak
menyewakan tenaganya sebagai konsultan ekonomi atau bankir, tetapi memberi
pendidikan untuk koperasi bagi rakyat, dan bersama Sjahrir mendidik para kader
politik. Sam Ratulangi tak melamar jadi guru besar matematika, tetapi memimpin
perjuangan politik di daerah.
Semua ini dikatakan tak untuk
menafikan pentingnya profesionalisme, kepandaian teknis, atau keahlian para
spesialis bagi kemajuan bangsa. Namun, perlu diingat kembali, Indonesia tak
akan bangkit berdiri sebagai bangsa dan negara kalau kaum yang paling
terpelajar dan terdidik pada suatu masa yang genting tak mengutamakan kemajuan
diri mereka dan mantapnya basis ekonomi dan sosial yang dimungkinkan untuk
mereka berkat keahlian yang dikuasai, tetapi memilih menjadi freischwebende
Intellektuelle seperti kata sosiolog Mannheim, dan mencoba jadi inteligensia
yang berenang dan mengambang di antara beberapa kemungkinan yang sempit,
memperkenalkan ide baru tentang kebangsaan dan kemerdekaan, yang untuk
bangsanya sendiri pada saat itu, barangkali merupakan gagasan asing yang
dianggap hanya menggantang asap.
Dalam lintasan sejarah modern
Indonesia, para inteligensia pada awal abad ke-20 adalah mereka yang terlibat
dalam perjuangan politik dengan menjadi penggagas nasionalisme dan kemungkinan
untuk merdeka. Pada tahun-tahun pertama setelah kemerdekaan, mereka merelakan
diri menjadi statesmen, yaitu negarawan yang memimpin bangsa dan negaranya,
hidup dalam keadaan ekonomi serba compang-camping bersama rakyatnya dan
membangun kepercayaan diri bangsanya untuk tegak berdiri. Pada zaman Demokrasi
Terpimpin dan sesudahnya, mereka jadi kelompok yang berjuang dalam
partai-partai politik yang yakin bahwa ideologi masing-masing adalah jalan
terbaik membawa Indonesia menuju kemajuan.
Pada zaman Orde Baru, kaum
terpelajar amat dibutuhkan oleh administrasi pemerintahan Soeharto dan diserap
dalam administrasi pemerintahan Orde Baru. Ideologi dianggap momok yang
menghalangi pembangunan ekonomi. Pembangunan diterjemahkan jadi teknokrasi,
ibarat mesin yang tiap bagiannya harus dijalankan oleh masing-masing insinyur
berijazah khusus. Pada masa reformasi, kaum terpelajar memilih di antara tiga
kemungkinan tersedia, jadi bagian dari administrasi pemerintahan, bergabung
dengan kekuatan politik dalam parpol, atau mencari basis sosial dalam dunia
industri dan bisnis sebagai tenaga ahli atau konsultan yang dibayar mahal.
Inteligensia adalah bagian sejarah lahirnya suatu bangsa dan negara merdeka.
Peran ini tak boleh hilang karena orang enggan hidup dengan mengambil risiko
labilnya basis sosial-ekonomi yang jadi zona nyaman untuk hidupnya sendiri.
Peran ini layak dipertahankan agar kita tak mengulang teriakan dan ratapan
bangsa Jerman setelah kalah Perang Dunia II dengan menyanyikan elegi baru bagi
negeri ini, noch ist Indonesien nicht verloren, Indonesia belum kalah
dan belum hilang lenyap.
IGNAS KLEDEN, Sosiolog
Sumber: Kompas, 19
Februari 2016
0 komentar:
Posting Komentar