Oleh: Ignas Kleden
PADA dasarnya, “Catatan Pinggir” Majalah Tempo adalah
catatan seorang penyair, dan semua kita tahu, penyair tersebut seorang
wartawan. Tentu saja tidak ada yang aneh jika penyair menjadi wartawan atau wartawan
menjadi penyair. Sepintas lalu, hubungan antara penyair dan wartawan tidak
lebih istimewa dari hubungan penyair dan guru, atau wartawan dan kolektor
barang-barang antik.
Apakah yang aneh kalau seorang biolawan sekaligus juga jadi
pemain sepakbola atau seorang pelukis jadi mahaguru antropologi? Masalahnya
mungkin baru muncul kalau seorang pemain musik klasik ingin sekaligus menjadi
pemusik rock, atau seorang pelukis naturalis sekaligus mau menjadi spesialis
kubisme. Dengan lain perkataan, menjalankan dua-pekerjaan yang sama sekali
berbeda mungkin lebih mudah daripada menggabungkan dua keterampilan yang hanya
dipisahkan oleh nuansa. Tentu saja pernyataan ini pun bukanlah suatu proposisi
yang mutlak. Penulis Susan Sontag pernah ditanya apakah dia mengalami kesulitan
dan konflik karena menulis novel sekaligus menulis esai dan kritik. Jawabannya
sungguh mengejutkan,
”Saya bukan saja tidak menyadari adanya konflik itu. Saya
bahkan tidak sadar bahwa ada hubungan antara keduanya. Kalau saya menulis
sebuah fiksi, maka hanya hal itu sajalah yang menarik saya. Saya merasa bahwa
saya mempunyai hubungan naif yang biasa dengan fantasiku, yang dengannya tiap
orang harus mulai. Dan kemudian saya berjuang dengan kata kerja, kata keadaan
atau koma. Sebelumnya saya tidak mempunyai gambaran tentang bagaimana akan
jadinya, dan tentu saja saya tidak pernah menulis fiksi sebagai ilustrasi dari
gagasan yang ada padaku sebagai penulis esai.”
Sekalipun pernyataan itu benar dan jujur, hal itu tidaklah
menafikan keperluan untuk melihat apakah kepenyairan atau kewartawanan tidak
memperlihatkan konflik tertentu atau melahirkan modus vivendi yang baru
dalam “Catatan Pinggir”.
Penyair, seperti juga wartawan, adalah orang-orang yang
bekerja dengan aksara, dengan tulisan. Dan kita tahu masih ada sejumlah profesi
lain yang memakai sarana tersebut: novelis, penulis skenario, mahasiswa,
ilmuwan sosial, perencana ekonomi, birokrat, atau seorang sekretaris
penerbitan. Namun demikian, jelas juga bahwa aksara di sana menjadi sarana
untuk tujuan yang berbeda-beda, seperti juga perbedaan antara aksara seorang
penyair dan aksara seorang wartawan.
Dirumuskan secara sederhana: penyair berurusan dengan
dunia-dalam, sementara wartawan bergelut dengan dunia-luar. Yang pertama
menggarap makna, sedangkan yang kedua memperjuangkan fakta. Begitulah, kalau
wartawan bekerja dengan pemberitaan, maka penyair berkiprah dengan permenungan.
Prestasi seorang wartawan diukur berdasarkan banyaknya informasi yang
dikumpulkannya, sedangkan prestasi seorang penyair diukur berdasarkan
mendalamnya makna yang sanggup diserap dan diendapkannya. Kiat wartawan
dipertaruhkan dalam sifat eksklusif informasi yang disiarkannya, sementara kiat
penyair dipertaruhkan dalam otensitas pengalaman yang dicerna dalam jiwa.
Dengan demikian, kapasitas wartawan adalah membuat pembacanya mengetahui lebih
banyak, sedangkan penyair sanggup membuat pembacanya menghayati lebih intens.
Untuk mengutip penulis “Catatan Pinggir”, kemampuan penyair, atau lebih tepat
kemampuan puisi bukanlah ”membuat kita jadi lebih pintar, atau lebih hebat,
tetapi…, mengukuhkan ikatan batin kita kembali dengan hidup”.
Memadukan kedua kemampuan itu tentulah bukan hal yang selalu
mustahil, terutama karena di sana-sini kedua pekerjaan itu mempunyai tuntutan
yang sama, atau sekurang-kurangnya kebutuhan yang dapat dibandingkan satu sama
lain. Hal pertama yang bisa segera disebut ialah kenyataan bahwa baik
kewartawanan maupun kepenyairan bertolak dari kenyataan konkret. Wartawan pada
dasarnya bukanlah orang yang menjual gagasan, tetapi harus menyajikan fakta.
Penyair pada dasarnya tidak bekerja dengan ide, tetapi dengan pengalaman. Ide
bisa datang dari penyair, tetapi ide itu—untuk dapat menjadi bahagian yang
organis dari puisi—haruslah ide yang dialami, gagasan yang tidak hanya
dipikirkan, tetapi diajak bergulat dengan daging dan darah, pikiran yang
menyebarkan bau napas dan keringat. Dengan demikian, dalam analisa terakhir,
baik wartawan maupun penyair akan sama-sama bergulat dengan fakta; pada yang
satu fakta itu bersifat sosial, pada yang lain fakta itu bersifat eksistensial.
Kecenderungan itu kemudian membawa akibat lain. Sejumlah
besar pengetahuan tentang informasi akan menghasilkan apa? Pertanyaan itu
barangkali tidak relevan untuk seorang wartawan yang menganggap tugasnya bukanlah
mengerjakan informasi sebagai bahan mentah, tetapi mendapatkan informasi
sebagai hasil akhir. Analisis berita dan penarikan kesimpulan bukanlah tugas
seorang wartawan, tetapi tugas pembaca dan barangkali hobi dan kesibukan
tambahan untuk para analis sosial. Persoalannya adalah apakah dari seorang
wartawan boleh diharapkan tidak saja factual knowledge, tetapi juga
conceptual knowledge?
Demikian pun seorang penyair pastilah bukan seseorang yang
mengerjakan dan menawarkan konsep-konsep. Sebuah sajak bukanlah sebuah
bangun-pikiran, tetapi lebih mirip kesaksian tentang pengalaman penyair.
Kesaksian itu pada giliran berikutnya bisa mempunyai berbagai sifat: reflektif,
imajinatif, atau juga barangkali naratif tetapi tetap dengan satu muatan yang
sama: makna yang dipetik dari pohon kehidupan. Penyair bukanlah seorang
pengamat kehidupan, tetapi seorang yang berhadapan dengannya, menerima atau
menolaknya. Kehidupan bukanlah sebuah Gegenstand atau obyek, tetapi
suatu Gegenueber, suatu alter ego.
Dengan latar belakang seperti itu, dapatlah dibayangkan
betapa sulitnya seseorang yang mempunyai latar belakang kepenyairan yang kuat,
dan kemudian menerima tugas kewartawanan dengan kedua belah tangannya,
menanggapi pekerjaan tetap untuk menulis sesuatu yang dianggap dan diharap
membentuk atau sekurang-kurangnya merangsang pendapat.
Memang, ada keberatan yang cukup beralasan untuk tidak
menghubungkan sifat suatu tulisan dengan latar belakang pribadi pengarangnya.
Apa perlunya mengetahui bahwa Heidegger pernah menulis beberapa sajak, untuk
membaca Sein und Zeit? Dan saya tahu dengan pasti bahwa penulis “Catatan
Pinggir” ini dalam kedudukannya sebagai penyair terkadang kesal menghadapi
kritik terhadap puisi indonesia sekarang yang menurut dia lebih banyak
membicarakan penyairnya dan bukan sajaknya.
Namun demikian, ada satu alasan mengapa pendekatan tersebut
terpaksa diterapkan di sini, bukan semata-mata untuk mengutak-atik kehidupan
sang penulis, tetapi untuk melihat sejauh mana pemilihan beberapa genre
penulisan yang telah dilakukannya, telah menghasilkan suatu ”kompromi” yang
tampaknya harus diterima dalam menulis “Catatan Pinggir” sebagai bagian sebuah
majalah berita.
***
“CATATAN Pinggir” adalah sebuah judul yang sengaja tak
sengaja telah jadi metafora untuk tulisan-tulisan yang terhimpun di sini.
Penulisnya sering menjelaskan bahwa catatan ini dimaksud sebagai marginalia,
catatan di pinggir halaman buku yang sedang dibaca, untuk mengingatkan kembali
pembacanya tentang hal-hal penting yang termuat di suatu halaman bacaan. Catatan-catatan
itu sendiri tidak penting, tetapi hanya menjadi penting karena merujuk kepada
teks utama.
Namun demikian, siapapun yang membaca karangan-karangan yang
terhimpun di sini akan segera merasa bahwa “Catatan Pinggir” adalah catatan
seseorang yang dengan sadar memilih berdiri di pinggir, mencatat dari suatu
jarak dan mencatat sebanyak apa yang dapat dilihatnya, sering kali bukan untuk
menyampaikan sesuatu gagasan kepada orang lain, tetapi untuk mengingatkan
dirinya sendiri tentang apa yang terjadi dan apa saja yang tengah jadi bahan
pembicaraan orang banyak di dunia luas. Si pencatat kita tidak mau masuk ke
tengah kerumunan, atau mencoba ikut berdebat dalam suatu pertengkaran antara
berbagai pihak, tetapi mencatatnya dengan tekun, dan sesekali melontarkan
keraguan, bukan hanya tentang penting tidaknya semua yang terjadi atau semua
yang dikatakan, tetapi juga tentang apakah suatu kejadian harus terjadi atas
cara itu dan tidak atas cara lainnya, atau apakah sesuatu dapat dikatakan
dengan cara yang tidak terlalu memaksa?
Dengan beberapa kekecualian, “Catatan Pinggir” adalah catatan
seorang yang meragukan banyak soal, tanpa pretensi dan tanpa determinasi untuk
menjawabnya. Sikap dasar di baliknya kurang lebih adalah keyakinan tentang
ketidakpastian dan karena itu pengambilan sikap dan penarikan kesimpulan—juga
bahkan hanya secara tentatif—dianggap sebagai keberanian yang tidak perlu. Yang
diperlukan adalah ”hidup dengan cukup informasi”, begitu tulisnya pada suatu
ketika. Dan informasi yang dibutuhkan itu disajikan atas cara yang luas mulai
dari informasi sejarah, informasi politik dan ekonomi, maupun informasi tentang
pendapat dan pikiran-pikiran penting yang diajukan dalam abad ini tentang
berbagai soal.
Ini juga barangkali sebabnya karangan-karangan pendek ini
menyampaikan banyak bahan kepada pembacanya, tanpa banyak menantang pembaca
untuk mengambil posisi terhadapnya. Sebagai suatu diskusi banyak bahagian
terlalu deskriptif, sedangkan orang-orang yang mencari suatu pokok uraian tidak
akan merasa puas, karena banyak alasan dalam mengulas hanya diajukan secara
aforistis. Ini juga—tak dapat disangkal—sumber kekuatan dan kesegaran
karangan-karangan ini yang bertaburan kutipan-kutipan cerdas, yang sering cukup
kuat membuat kita tercenung dan terpesona kendati tidak cukup kuat untuk
melibatkan kita dalam suatu discourse, karena kutipan-kutipan itu lebih
merupakan ilustrasi dari informasi atau dari sebuah ide yang disajikan daripada
bahagian suatu bangunan argumentasi.
Tentu saja keraguan adalah suatu hal yang penting, tetapi
keraguan adalah awal dan bukan akhir. Sebagai awal dia akan membawa kita kepada
pertanyaan, kepada soal, kepada masalah, yaitu kepada suatu ”bahan” yang harus
dikerjakan secara konseptual. Sebagai akhir dia akan mirip suatu teknik yang cenderung
mengakhiri diskusi, meskipun keraguan itu tetap ditutup dengan tiga tanda tanya
sekaligus. Dengan lain perkataan, ada pertanyaan yang investigatif, dan ada
juga pertanyaan retoris. Pada yang pertama pertanyaan adalah suatu metode,
sedangkan pada yang kedua pertanyaan adalah suatu gaya.
Kekuatan karangan-karangan ini terletak pada penguasaan
sejumlah besar informasi tentang sejumlah besar bidang masalah, dan mewakili
berbagai tingkat informasi: baik informasi empiris, informasi sosial, maupun
informasi intelektual. Kesulitan kita adalah karena “Catatan Pinggir” menggoda
kita dengan berbagai ide, dan kemudian meninggalkan ide dan pembacanya setengah
jalan. Itulah sebabnya, kadang-kadang timbul kesan bahwa karangan-karangan ini
lebih dimaksudkan sebagai komentar yang bersifat ”open-ended” tentang
apa yang sedang dibicarakan.
Tapi di situ pula soalnya kalau skeptik tidak dikembangkan
menjadi kritik, kalau keraguan tidak dikembangkan menjadi pertanyaan, dan
pertanyaan tidak digarap lebih lanjut menjadi penyelidikan. Pada titik ini juga
akan ditentukan sikap apa yang akan diambil terhadap informasi. Ada dua sikap
umum yang dapat disebut di sini: pertama, seseorang akan bersifat selektif
terhadap informasi, dan mengambil yang paling relevan untuk masalah yang diselidikinya.
Kedua, dia selalu menyesuaikan diri dengan perkembangan informasi dengan akibat
kehilangan kesempatan dan konsentrasi untuk merumuskan masalah yang diselidiki
atau dipikirkannya, dan akhirnya kemudian hanya mempunyai waktu dan tenaga
untuk hanya menyajikan kembali informasi-informasi itu dengan cara yang
sebaik-baiknya aktual, menarik, dan atas cara yang segar serta hidup dan
barangkali ”menghibur”, tetapi tidak problematis.
Risiko itu rupanya harus dihadapi oleh siapa pun yang harus
menulis secara ajeg, periodik, dan aktual, dan demi melayani kepentingan suatu
penerbitan, yang harus sampai ke tangan pembaca pada waktunya. Dengan demikian
ada berbagai keperluan pragmatis yang turut mendesakkan diri ketika sebuah
tulisan disusun dan harus diselesaikan. Menjadi persoalan adalah apakah
tulisan-tulisan ini dapat dipahami dalam hubungan dengan kebijaksanaan
penerbitan yang diwakilinya, atau untuknya tulisan-tulisan ini menjadi sebuah
tanda kenal yang khas?
Tempo adalah suatu majalah berita yang ingin dan telah
menerapkan teknik bercerita dalam laporan-laporannya. Dia mendefinisikan berita
dan laporan-laporannya sebagai news story. Kejadian diceritakan menurut
tuntutan teknik story telling: ada jalan cerita, setting, suasana, suspense
yang membuat cerita itu menarik, dan tetap terbuka untuk penyimpulan secara
bebas oleh pembacanya.
Dalam arti itu “Catatan Pinggir” dalam banyak kasus memang
lebih mirip suatu cerita daripada suatu pendapat yang mengambil posisi, suatu news
dengan komentar panjang dan anotasi yang luas daripada suatu analisis yang
dapat dicek konsistensinya, sebuah plot yang didesain dengan rapi untuk
pertemuan dan pertentangan ide-ide intelektual, tetapi bukan suatu think-piece
yang dikembangkan secara linear atau dibangun secara arsitektonik.
Posisi ini tampaknya perlu diperjelas supaya tidak terjadi
ketidakadilan intelektual, karena dari tulisan-tulisan ini orang mengharapkan
sesuatu yang tidak menjadi klaimnya, atau di mana karangan-karangan ini diharap
menjawab pertanyaan yang tidak diajukannya.
***
TENTU saja sikap seperti itu menunjukkan suatu kesadaran yang
tinggi tentang sifat dilematis berbagai persoalan yang muncul dalam hubungan
seorang individu dengan masyarakatnya. Ada berbagai masalah yang penuh dengan
kontradiksi dan paradoks, sehingga penyelesaian berdasarkan kesimpulan yang
terlalu cepat, bahkan dapat merupakan kesalahan baru yang akan menimbulkan
persoalan lain yang lebih muskil dari persoalan awal. Mungkin pada titik inilah
terletak sebuah batu ujian terhadap sikap intelektual seorang penulis:
bagaimana dia menghadapi berbagai dilema yang ada?
Tampaknya ada dua kecenderungan ekstrem yang sama-sama tidak
menguntungkan, yang untuk mudahnya kita sebut saja kecenderungan dogmatik di
satu pihak, dan kecenderungan agnostik di pihak lainnya. Dalam kecenderungan
pertama dianggap bahwa hampir semua dilema dapat diselesaikan, bahkan dapat
diselesaikan dengan berpegang pada beberapa doktrin yang sudah tersedia, apakah
itu dogma keagamaan, doktrin sosial, ataukah teori ilmu pengetahuan. Yang
terjadi di sini adalah penyederhanaan, bahkan distorsi masalah agar dapat
disesuaikan dan kemudian ”dipecahkan” berdasarkan formula yang ada. Pada yang
kedua ada anggapan bahwa berbagai masalah tidak akan dapat dipecahkan, karena
pengetahuan kita tentang duduk perkaranya sangat terbatas atau bahkan hampir
tidak ada. Yang terjadi di sini ialah perumitan masalah melalui komplikasi
sedemikian rupa, hingga masalah itu seakan-akan tak tertangani, karena kita
tidak punya persediaan pengetahuan yang cukup untuk menguraikan apalagi
memecahkannya. Pilihan satu-satunya ialah berdamai dan hidup dengan
dilema-dilema itu.
Kedua kecenderungan itu pada giliran berikut tidak dapat
tidak akan membawa risiko masing-masing. Sikap dogmatik akan melahirkan sikap
otoriter secara intelektual yang memaksa pihak lain untuk harus menerima
kepastian atau bentuk-bentuk penyelesaian yang sudah disiapkan. Sedangkan sikap
agnostik hanya akan membawa orang kepada pragmatisme intelektual. Yang pertama
akan membawa orang kepada pemaksaan secara moral, sedangkan yang kedua akan
membawa kita kepada oportunisme secara moral. Yang pertama memakui pengetahuan
sebagai kedok untuk memaksakan diri. Yang kedua memakai ketidaktahuan sebagai
kedok untuk menyembunyikan diri.
Siapa pun yang membaca karangan-karangan yang terhimpun di
sini dengan agak cermat, niscaya akan merasa bahwa penulisnya menghadapi
pilihan sulit itu: menghadapi dilema ternyata suatu dilema tersendiri. Yang
juga terlihat adalah bahwa pembawaannya sebagai penyair telah membuatnya sangat
peka terhadap kecenderungan pertama, yang mendapat penolakannya yang cukup
eksplisit, sementara terhadap kecenderungan kedua dia memperlihatkan sikap yang
penuh ambivalensi. Apresiasi yang tinggi terhadap perkembangan informasi yang
terjadi serta pembacaan yang luas adalah bukti nyata tentang keyakinan penulis
ini tentang ada dan perlunya pengetahuan. Sekaligus di pihak lainnya tetap
terlihat kehati-hatiannya untuk mengembangkan pengetahuan dan informasi itu
menjadi bagian dari suatu argumentasi yang dapat dipegang dan diuji ketika
berhadapan dengan suatu dilema. Dengan kata lain, kritiknya yang tegas terhadap
otoritarianisme intelektual tidak diimbangi dengan sama kuatnya dengan kritik
terhadap skeptisisme intelektual. Dalam hal yang terakhir itu harapan pada
akhirnya tidak diberikan kepada kemampuan manusia tetapi kepada kekuasaan
waktu. Dalam perkembangan waktu, situasi akan berubah dan sebuah dilema akan
berkurang tingkat kepelikannya, dan mudah-mudahan dapat teratasi.
Ada persamaan yang menarik antara kecenderungan dogmatik dan
kecenderungan agnostik: penyelesaian masalah pada akhirnya bukan di tangan
manusia. Pada yang pertama penyelesaian masalah akan tergantung pada doktrin
yang ada (seakanakan doktrin dan pengetahuan pada umumnya bukanlah hasil
ciptaan manusia), sedangkan pada yang kedua penyelesaian diserahkan kepada
waktu (seakan-akan waktu adalah sesuatu yang terlepas dari campur tangan
manusia). Demikian pun kedua anggapan seakan-akan mengandaikan bahwa mengatasi
dilema adalah suatu pekerjaan yang dapat diselesaikan secara tuntas. Padahal
dalam kenyataan, yang terjadi adalah hal yang sebaliknya yaitu bahwa
penyelesaian suatu dilema akan melahirkan dilema baru dalam suatu rangkaian
dialektis yang tak putus-putusnya, tetapi bahwa kenyataan itulah yang justru
menyebabkan perkembangan dan kemajuan dalam sejarah. Setiap langkah adalah
penyelesaian relatif dalam perkembangan historis atau suatu jawaban tentatif
secara epistemologis. Tidak terselesaikannya suatu dilema secara tuntas, bukanlah
memberi alasan untuk berlaku skeptik, tetapi memberi alasan yang nyata untuk
berlaku kritis, yaitu bahwa terhadap setiap dilema atau masalah layak dan
bahkan harus diambil suatu posisi penyelesaian, tetapi dengan kesadaran penuh
bahwa posisi itu hanyalah suatu posisi tentatif yang siap menghadapi ujian,
yang sekaligus berarti siap ditolak bila terbukti tidak dapat dipertahankan.
Kritik dalam arti ini tampaknya dapat meredam dua
kecenderungan ekstrem yang membawa kita kepada kesulitan yang tidak perlu, baik
dalam dogmatisme maupun agnotisisme. Pada yang pertama kekeliruan terjadi
karena sejumlah pengetahuan dianggap tidak mungkin salah, pada yang kedua
kemungkinan akan adanya pengetahuan itu sendiri sudah disingkirkan. Dalam sikap
kritis yang baru diuraikan, maka kekeliruan itu sama-sama ditolak karena baik
kemungkinan pengetahuan maupun kemungkinan kekeliruan itu sama-sama diakui,
tetapi sekaligus dengan memberikan suatu kewajiban kepada tiap orang yang
terlibat dalam urusan pengetahuan untuk mengambil suatu posisi.
Semua ini mau tidak mau menimbulkan pertanyaan tentang ada
tidaknya suatu posisi yang diperlihatkan dalam “Catatan Pinggir”, sekalipun ada
alasan cukup untuk mengandaikan bahwa dia tidaklah dimaksudkan sebagai pendapat
dan sikap resmi majalah berita Tempo, tempat catatan itu diumumkan. Ini
berarti, sekalipun kita sering kali tidak menemukan suatu tanggapan langsung
kepada perkembangan situasi, atau suatu respons yang eksplisit kepada sebuah
isu yang sedang menghangat, adakah suatu sikap tertentu yang diperlihatkan oleh
tulisan-tulisan ini, kalau tidak tentang sebagian besar masalah,
sekurang-kurangnya tentang beberapa soal?
Hal pertama yang dapat segera dikatakan ialah bahwa “Catatan
Pinggir” lebih sering merupakan—dan lebih meyakinkan kita dalam kualitasnya
sebagai—deskripsi yang penuh informasi daripada suatu posisi yang dibela atau
ditolak. Kedua, dapat juga diandaikan bahwa “Catatan Pinggir” lebih merupakan
pandangan pribadi penulisnya daripada pandangan resmi penerbit yang memang
sangat dipromosi olehnya. Ketiga, pandangan pribadi penulisnya pada dasarnya
bertolak dari pandangannya sebagai seorang penyair, dan hal ini pada giliran
berikutnya akan membawa dua akibat, baik terhadap masalah yang dibahas maupun
terhadap cara penyampaian, atau bentuk komunikasi yang digunakannya.
Sejauh menyangkut masalah maka sikap penulisnya jauh lebih
jelas, dan sampai tingkat tertentu menampilkan suatu posisi tanpa banyak rasa
gamang, kalau masalah yang dibahas adalah soalsoal yang berhubungan dengan
penyair dan kepenyairan. Sebaliknya kalau dia harus menghadapi masalah-masalah
sosial-politik atau sosial-ekonomi, maka yang terlihat adalah perasaan ragu
yang bahkan sebagai keraguan pun sering kali tidak begitu meyakinkan, karena
sifatnya yang kurang spesifik, suatu tanda tanya yang terlalu besar dan umum
untuk berbagai masalah yang amat berbeda, suatu generalisasi kebimbangan tanpa
langkah-langkah induktif yang dapat membuatnya absah sebagai pertanyaan. Dengan
demikian terhadap masalah-masalah seperti kebebasan, kehidupan rohani, fungsi
dan kedudukan kesusastraan, atau pun kesepian manusia, dia bisa mengatakan
sesuatu secara afirmatif atau negatif, sedangkan terhadap masalah pendidikan,
disparitas, kekuasaan, atau partisipasi, yang terdengar adalah perasaan tak
pasti, ungkapan panjang dan sering amat ”cantik” tentang keraguan yang tak
sempat mengkristal menjadi pertanyaan.
Dalam hal terakhir itu pendapat dan sikap penulisnya
dinyatakan dengan sangat halus dan tersirat—sering kali dengan menyusup melalui
aforisme-aforisme yang bijak, yang memang didukung oleh teknik naratif yang
sangat canggih dari seorang penulis yang penuh pengalaman. Hal ini akan membawa
kita kepada segi keempat, yaitu bahwa juga dalam mengemukakan suatu posisi maka
penulisnya lebih sering menggunakan teknik persuasi secara estetik daripada
mengajak kita berargumentasi secara diskursif. Gagasan-gagasan yang sepintas
lalu disajikan secara impresionistik, sering kali muncul dalam bentuk suasana
yang kuat, kesan yang mendalam, atau kiasan yang penuh simbol, yang serta-merta
meminta penerimaan atau penolakan kita, tanpa memberi kita banyak waktu untuk
mengujinya dalam langkah-langkah diskursif.
Hal ini tidak dapat tidak mengingatkan saya pada apa yang
oleh filsuf Karl R. Popper dinamakan ekspresionisme epistemologis, di mana
bahagian-bahagian suatu uraian tidak dianggap sebagai proposisi-proposisi yang
dapat didiskusikan secara obyektif, tetapi harus diterima sebagai ekspresi
keadaan mental, situasi kejiwaan, atau percikan ke luar suatu interioritas yang
pribadi dan intim. Dengan demikian, menghadapi suatu uraian sebetulnya tidak
akan banyak bedanya dengan menghadapi sebuah lukisan. Kita hanya dihadapkan
pada tuntutan untuk menerima atau menolaknya, menyukai atau mencampakkannya,
karena argumentasi di sana hanya merupakan hal yang sekunder. Dalam arti itulah
“Catatan Pinggir” memperlihatkan kemampuan persuasifnya, karena tanpa menantang
kita untuk berargumentasi, dia sebetulnya sangat efektif untuk memancing
penerimaan atau penolakan kita secara pribadi.
***
DILIHAT dari tema-tema yang dibicarakan, maka segera tampak
bahwa penulis “Catatan Pinggir” telah melibatkan dirinya dalam spektrum
persoalan yang sangat luas, baik karena hal itu menarik minatnya maupun karena
hal itu diharuskan oleh urgensi atau aktualitas masalahnya pada suatu waktu.
Yang lebih menarik bukanlah keragaman masalah itu sendiri, tetapi karena
keragaman itu telah dibahas dengan suatu sikap yang dapat dipahami berdasarkan
latar belakang penulisnya.
Kepenyairan adalah suatu pembawaan yang mungkin tidak dapat
berdamai atau dipertemukan dengan ketidakbebasan. Ini juga barangkali sebabnya
bahwa terhadap soal kebebasan penulis memperlihatkan suatu sikap yang tidak
ragu. Dan jelas pula bahwa kebebasan yang dibelanya bukanlah hanya kebebasan
libertarian tetapi juga kebebasan eksistensial. Penolakannya terhadap
komunisme, umpamanya, adalah karena penjelmaannya di Indonesia paham ini telah
memaksakan suatu regimentasi kesadaran dan indoktrinasi pengertian, yang tidak
memungkinkan seorang penyair menuliskan puisi yang jujur, yang menyuarakan
kesaksian perasaan dan pikiran bebas, yang terbit dari pengalaman manusia yang
sebenarnya, sebelum dinodai oleh kepalsuan atau ditindas oleh paksaan dan
kekerasan.
Namun demikian, pembelaan terhadap kebebasan ini tetaplah
pembelaan seorang penyair, yang menuliskan buah pikirannya tidak dalam
tese-tese yang diajukan dalam bahasa denotatif, tetapi dalam berbagai asosiasi
dan suasana yang dimainkan dengan pandai melalui simbolisme bahasa penyair,
yang penuh makna, berbunga-bunga, yang menyebarkan aroma harum tetapi sulit
ditebak jenis tanamannya. Ini jugalah yang menyulitkan kita, karena juga pada
saat beberapa hal harus dibicarakan dengan lebih lugas, tetap saja klarifikasi
dan presisi pengertian menjadi sulit, karena penggunaan bahasa yang sangat
konotatif. Apakah sebenarnya birokrasi? Maka dengan setengah bercanda konsep
birokrasi diterjemahkan menjadi suatu suasana: ”… sebuah meja penuh bekas api
rokok… sebuah ruang yang tak pernah lagi dipel… sederet map kertas yang tak jelas
fungsinya, toh sementara itu semuanya tak bisa dibuang”. Dan birokrat pun
dikiaskan sebagai seseorang yang mencari kebajikannya dalam ”sedikit berbuat,
sedikit bicara, sedikit menongol”.
Aforisme-aforisme itu memang memberikan suatu kesenangan
sendiri kepada pembacanya, tetapi kesulitannya ialah bahwa ucapan-ucapan itu
bukan merupakan ilustrasi dari suatu konsep yang dapat ditelusuri, dan tidak
begitu jelas fungsinya secara instrumental, tetapi yang pasti sangat efektif
sebagai dekor yang menciptakan suasana. Efek yang tercapai sering lebih berupa
sentuhan puitis daripada rangsangan analitis. Demikianlah kita misalnya ingin
mengetahui apa pandangan penulisnya tentang diskusi sosialisme-kapitalisme
dalam hubungan dengan teori pembangunan. Tetapi di sini pun kita sering lebih
banyak berhadapan dengan ”kata-kata mutiara” yang bertebaran, yang di sana-sini
seakan menggoda dengan visi yang intuitif, tetapi yang tidak banyak memberi
kita suatu pegangan konseptual untuk mulai ”bekerja” secara intelektual. Dengan
mengatakan bahwa sosialisme mempunyai sistem ekonomi yang berfungsi pada malam
hari (karena itulah saatnya pemerintah tidur) belum disentuh sama sekali
keadaan ekonomi di banyak negara berkembang, di mana peran negara sangat
menentukan, sekalipun pemerintahnya menganut ekonomi bebas, misalnya.
Mengenai ideologi, dengan mengesankan dikatakan bahwa
ideologi pastilah bukan ”satu kuil pemujaan… meskipun para tokohnya tak
disebutkan sebagai dewa”. Namun demikian, dengan itu belum jelas benar apakah
ideologi merupakan suatu hal yang masih diperlukan atau tidak. Dengan kata
lain, kalau ideologi bukan sebuah kuil pemujaan, maka dalam wujud apakah kita
sebaiknya membayangkan dalam penerimaan atau penolakan kita: sebuah operation
room, sebuah sekolah, perpustakaan, atau laboratorium? Mengenai Pancasila,
misalnya, dengan sangat menarik dikatakan bahwa kita menggunakan metafora
pertanian, yaitu bahwa dia digali dan bukan diciptakan atau ditemukan. Namun
demikian, semua orang tahu bahwa metafora itu menyatakan satu hal: bahwa
Pancasila bukanlah suatu gagasan yang diperoleh dari luar, tetapi yang
benih-benihnya sudah terdapat dalam alam pikiran dan kebudayaan di Indonesia.
Pertanyaan yang penting ialah bagaimana sekaligus bisa dipertemukan anggapan
bahwa Pancasila adalah hasil bumi Indonesia dan anggapan lain yang melihatnya
sebagai seperangkat nilai yang justru bersifat universal?
Demikian pun politik dan mungkin juga demokrasi dilukiskan
secara plastis melalui kata-kata Lech Walesa sebagai kesediaan untuk ”bekerja
dengan upah sepiring sup sehari”, tetapi dengan jaminan ”bahwa saya punya hak
bicara tentang situasi”. Sementara di tempat lain bertahannya sistem demokrasi
di AS buat sebahagian dapat dijelaskan secara simbolik melalui watak George
Washington yang memperlihatkan pengekangan diri untuk tetap setia kepada tertib
pemerintahan sipil, sekalipun seluruh situasi revolusioner pada masa itu dapat
dengan mudah mendukungnya menjadi diktator. Dengan lain perkataan, dia besar
bukan karena apa yang dilakukannya, tetapi justru karena apa yang tidak
dilakukannya. Sementara kita tahu bahwa demokrasi itu bertahan karena orang
bersedia mengetesnya, yaitu mengetes konsekuensi-konsekuensinya sampai pada
batas yang paling ekstrem seperti yang dialami Abraham Lincoln dengan perang saudara,
Kennedy dengan krisis rasial, atau Nixon dengan krisis konstitusi. Dikatakan
dengan singkat, gagasan-gagasan ini sering kali menjadi sulit didiskusikan
karena bahasa penyair telah mengubah semuanya menjadi suasana, asosiasi, dengan
berbagai konotasinya, tetapi bukan dalam suatu kerangka yang bisa diperiksa
batas-batasnya dan diselidiki isi konseptualnya. Dengan mengemukakan semua hal
ini, maka mudah-mudahan “Catatan Pinggir” dapat diberi tempat sebagaimana
mestinya, mendapat apresiasi yang sesuai dengan sifatnya, dan tidak dibebani
harapan yang tidak relevan. Harapan seperti itu, umpamanya, muncul dari
anggapan bahwa catatan-catatan ini adalah semacam editorial yang harus
menampilkan posisi penerbit yang diwakilinya. Ternyata “Catatan Pinggir” tidaklah
berpretensi memberikan suatu posisi, tetapi hanya berusaha mendeskripsikan
dengan cara yang memikat berbagai hal yang terjadi dan dipikirkan. Demikian pun
mengharapkan bahwa tulisan-tulisan ini merupakan suatu pemikiran yang ”keras”
dan konsisten tentang beberapa masalah politik, ekonomi, atau kebudayaan,
kiranya merupakan harapan yang tidak pada tempatnya. Sebab, sekalipun ada
berbagai ide yang diajukan di sini dan berbagai cuplikan dari perdebatan
nasional dan internasional disajikan kembali secara hidup dan aktual,
penulisnya sendiri tetap berusaha menjadi pengamat yang tekun dan setia sambil
berdiri ”di pinggir” semua perdebatan itu.
Karangan-karangan ini pada dasarnya merupakan penerobosan
regimentasi kesadaran dan emansipasi secara sengaja, sadar, jenaka, dan estetik
terhadap kompartimentalisasi pengetahuan, minat, dan komitmen, sebagaimana yang
diharuskan oleh interest ekonomi, kepentingan ideologis secara politik,
berbagai prasangka primordial dan komunal, maupun disiplin-disiplin ilmu
pengetahuan. Kumpulan esai ini adalah usaha pembebasan diri dari semua
pengotakan itu, sekalipun tidak selalu jelas apakah pembebasan itu suatu
keperluan yang tak terhindarkan untuk tujuan yang telah ditetapkan atau sekadar
pemberontakan terhadap rasa sumpek atau karena kecemasan yang timbul dari
klaustrofobia. Untuk yang tidak bersimpati, karangan-karangan ini kelihatannya
serba ”tidak lengkap”, tetapi bagi yang bersimpati, karangankarangan ini
berhasil mengembalikan pembaca pada kedudukan fenomenologis mereka, di mana tiap
kali makan mereka tidak harus selalu menjadi ekonom, tiap kali berpikir tidak
harus selalu menjadi filsuf, dan tiap kali terharu tidak perlu menjadi penyair.
Esai-esai ini memperlihatkan usaha yang terus-menerus—sering
kali dengan cara menggapai-gapai untuk menyelamatkan kebebasan hidup manusia
dalam memilih apa yang dapat dinikmati dan diminatinya tanpa terlalu terbeban
oleh kewajiban yang barangkali tidak ingin ditanggungnya, sekalipun itu
diharuskan oleh konvensi. Bolehkah kita menanam rumput sekalipun kita bukan
tukang kebun atau ahli ilmu tumbuhan? Bolehkah kita bersimpati kepada Perang
Kamboja sekalipun kita bukan politikus atau ahli hubungan internasional?
Bolehkah kita berbicara tentang dosa dan rindu kepada Tuhan sekalipun kita
bukan ahli agama atau pemimpin umat? Penulis “Catatan Pinggir” telah
menjawabnya dengan afirmasi yang tegas, justru melalui praktek penulisan dalam
eksperimen yang dilakukannya dengan kesadaran seorang penyair. Risikonya ialah
bahwa banyak pembaca akan menghadapinya sebagai proses biasa, justru karena
kadang kala terlalu banyak puisi untuk hal yang terlalu prosais.
Tulisan ini adalah “Pengantar” buku Catatan Pinggir 2,
Pustaka Utama Grafiti, 1996.
0 komentar:
Posting Komentar