Oleh: Th. Sumartana
APA
yang khas pada karya “Catatan Pinggir” Tempo yang dikumpulkan dalam buku
ini, yang tiap minggunya ditulis oleh Goenawan Mohamad, adalah suaranya yang
lirih dan sikapnya yang bertanya-tanya.
Pengalamannya
sejak lama sebagai penyair dan penulis esai telah memberikan karakteristik pada
setiap karyanya. Tulisannya menjadi semacam senandung, yang tidak hanya
menyimpulkan sikap personalnya menghadapi pilihan-pilihan susah di masyarakat,
tapi juga membuka kemungkinan bagi alternatif lain—yang barangkali bisa
ditemukan dengan mendalami pilihan-pilihan yang ada.
Barangsiapa
sempat membaca tulisan-tulisan Goenawan pada masa Demokrasi Terpimpin, yaitu
ketika ia turut terlibat dalam polemik keras dengan pihak Lekra misalnya, akan
melihat bahwa di sana juga ia tak terpancing oleh semangat perkelahian lalu
menulis dengan cara berseru-seru. Sebab nampaknya, bila orang tidak lagi mau
mencari jalan berkomunikasi, maka nasib seluruh zaman dengan segala
persoalannya memang telah ditentukan. “Cara yang berkebudayaan” itulah salah
satu prinsip.
Skeptisisme
sebagai cara untuk mencari kebenaran memang mempunyai tempat dalam khazanah
pemikiran filsafat. Ia merelatifikasikan segala macam kebenaran yang sempat
terumuskan. Suatu rumus, kecuali bisa mengungkap kebenaran juga
berkecenderungan memenjarakan kebenaran baru yang mungkin tercipta. Sikap
skeptis memberi ruang untuk tidak terjebak dalam dogmatisme atau fanatisme
terhadap suatu sikap atau ajaran. Dan ia bekerja dengan pertanyaan.
Cuma
harus diakui, cara semacam ini sering tidak praktis—khususnya dalam menghadapi
pertanyaan yang minta jawaban segera. Sebab itu sering ada tuntutan di
masyarakat agar para cendekiawan bicara lebih jelas, lebih mengarah, dan kalau
perlu mengambil pihak. Apa salahnya sesekali menghardik?
Tapi
itu tidak terjadi, dan agaknya memang sebagian orang telah dikecewakan. Apa
boleh buat. Seperti nampak dalam seluruh nada “Catatan Pinggir”-nya, Goenawan
bukan anti perubahan—namun ia tak punya resep atau cara langsung untuk mengubah
masyarakat. Di situlah ia mungkin berada dalam posisi ambivalen—antara ya dan
tidak. Ini terutama menonjol bila dilihat dari mereka yang bergerak dalam latar
belakang pekerjaan politik, yang minatnya adalah mengubah dan mengubah keadaan
sesegera mungkin.
Di
situ Goenawan tetap seorang yang bekerja pada latar belakang
persoalan-persoalan kebudayaan. Ia mungkin tidak hanya berpikir mengubah
keadaan, tetapi juga praktek serta arah perubahan yang bakal terjadi. Ia tetap
seorang yang bimbang dengan apa yang ada. Seorang yang tak habis-habisnya
mengunyah pertanyaan.
Sikap
semacam itulah agaknya yang membedakan “Catatan Pinggir” Goenawan dengan
Kompasiana PK Oyong, atau editorial Mochtar Lubis atau Rosihan Anwar semasa
koran-koran mereka masih ada. Oyong sangat terlibat pada suatu masa ketika
perubahan-perubahan politik yang besar sedang terjadi: ia muncul sebagai salah
seorang pembicara dari perubahan tersebut. Sedang Mochtar Lubis dan Rosihan
Anwar selalu sudah mengantungi jawaban terhadap hampir semua persoalan di
masyarakat. Perbandingan sepintas ini menyangkut pula dilema kehidupan pers di
Indonesia.
Sebagaimana
pilihan-pilihan pelik yang lain, dilema kehidupan pers di Indonesia pun
terbentang antara tuntutan yang ideal dengan batasan-batasan riil. Idealisme
tanpa pijakan realitas menjadikan orang pemimpi dan sekaligus pembohong. Sedang
realisme tanpa nilai-nilai ideal akan menjadikan orang hidup tanpa martabat.
Sikap penulis “Catatan Pinggir” terhadap dilema pelik ini sedemikian rupa,
sehingga ia seolah dapat mengatasinya dengan sempurna. Di satu pihak ia tidak
kehilangan yang ideal, di pihak lain ia bisa memenuhi batasan-batasan yang
ditentukan keadaan. Ia tidak jatuh pada sikap pasrah atau sinisme.
Goenawan
bergerak di tataran ide. Di sini masalah efisiensi sebuah tulisan, atau
kegunaan serta-merta dari sebuah kegiatan pers demi mengubah masyarakat,
tersoroti dengan tajam. Menyimak seluruh rangkaian “Catatan Pinggir” di buku
ini, agaknya pertanyaan yang muncul adalah: bagaimana menumbuhkan dengan sabar
kesadaran yang lebih dalam—entah untuk menerima atau menolak keadaan.
Perubahan
tidak hanya terjadi ketika orang menolak. Penolakan tidak selalu melahirkan
sesuatu yang baru. Penerimaan juga tidak bisa hanya diartikan sebagai langkah
pengukuhan status quo. Penolakan terhadap sebagian hal yang dianggap ‘buruk’,
ditambah penerimaan sebagian hal yang dianggap ‘baik’, juga tidak menyelesaikan
soal. Sikap ‘praktis-pragmatis’ semacam ini melangkahi persoalan dasar—bahwa
apa yang dianggap ‘buruk’ dan ‘baik’ itulah justru yang harus dipersoalkan
secara lebih mendalam. Namun pemikiran skeptis memang tak jarang menjengkelkan
orang, karena ia jauh dari kepentingan praktis.
Dari
satu segi—katakanlah segi pemegang kekuasaan—sikap semacam itu secara teknis sering
disebut sikap seorang ‘liberal’. Karena titik tumpunya bukan komitmen atau
loyalitas terhadap kekuasaan, tetapi justru pemikiran ulang terhadap kekuasaan
dan penggunaan kekuasaan. Sedang dari sisi lain—katakanlah sisi para pengkritik
keadaan—sikap skeptis dianggap sebagai sikap ragu terhadap perlunya perubahan.
Keraguan yang akhirnya menelantarkan penderitaan para korban yang nyata dari
keadaan.
Dua
tujuan dari dua sisi itu punya arah yang berbeda tetapi tuntutan yang sama—tuntutan
untuk mengambil pihak. Dan penulis “Catatan Pinggir” agaknya amat menyadari, bahwa
kepadanya juga disodorkan dilema moral intelektual semacam ini.
Dalam
usahanya menanggapi dilema tersebut—yang mungkin sebagian sudah menjadi
pekerjaan rutin—Goenawan menulis. Dari hampir seluruh nada renungannya,
Goenawan secara implisit hendak menjelaskan bahwa sikap skeptisnya tidak
dikukuhinya sebagai suatu sistem—tetapi sebagai cara yang terbuka untuk mencari
pengertian baru yang lebih lengkap tentang kenyataan hidup sehari-hari.
“Catatan
Pinggir’ tidak mulai dengan “berita-berita hangat dalam masyarakat”—kemudian,
sejauh bisa, menilainya. Ia menyusup ke dalam “berita-berita hangat” tersebut
sambil mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan yang relevan untuk mendalaminya.
Syukur bisa ditemukan makna yang lebih dalam di belakang gejala-gejalanya yang
nampak.
Dalam
hubungan itu Goenawan banyak memanfaatkan tamsil, ibarat, perumpamaan, cerita
sejarah (bahkan juga cerita anak-anak), riwayat para tokoh, renungan keagamaan,
serta menimba inspirasi dari berbagai literatur—meski jauh dari pretensi untuk
membuat suatu karya ilmiah; kumpulan karangan ini pula tidak dimaksudkan
sebagai semacam kumpulan kuliah.
Dengan
kesabarannya, daya tahannya, panjang napasnya, Goenawan berusaha menulis
refleksi tentang soal-soal kemanusiaan, kemasyarakatan, politik, sejarah, masa
depan dan lain-lain. Sambil menawarkan pertanyaan-pertanyaan yang syukur bisa
merangsang perluasan cakrawala pandangan yang ada. Dan lepas dari hasil akhir
yang dicapainya dalam pencarian itu—apakah kita menyetujuinya atau tidak—pertanyaan-pertanyaan
yang dirasa perlu telah dikemukakan.
Kebutuhan
ber-refleksi
Fokus
Kita dan “Catatan Pinggir” yang dikumpulkan dalam buku ini berjumlah 283 nomor.
Dirangkum dari Majalah Tempo sejak terbitan tanggal 13 Maret 1976 sampai
12 September 1981. Dibagi dalam 21 tema. Pemilahan tema-tema tersebut
dicantumkan sepenuhnya dengan maksud mempermudah pembacaannya. Ia bukan
klasifikasi dalam artinya yang ketat.
Sifat
renungan yang justru hendak mencari pemahaman yang utuh tentang banyak
peristiwa, menyebabkan kita sulit menemukan tema tunggal. Tema yang satu
berkaitan erat dengan tema-tema yang lain, sehingga klasifikasi yang tercantum
dalam buku ini hanya bersifat relatif. Juga pencantuman indeks (nama) serta
daftar kepustakaan lebih merupakan suatu “pelayanan sosial” daripada
pertanggungjawaban formal bagi suatu karya ilmiah.
Kenapa
refleksi? Pertama-tama mungkin karena Tempo majalah berita mingguan yang
mempunyai warna khas sejak pemunculannya. “Catatan Pinggir” memiliki kesempatan
minggu demi minggu untuk mengambil jarak terhadap peristiwa-peristiwa penting
yang terjadi, sehingga lebih leluasa untuk menukik ke inti-inti peristiwa
tersebut.
Di
situlah kelebihan “Catatan Pinggir” dibandingkan catatan-catatan editorial yang
lain. Ia memiliki tenggang waktu untuk mencernakan peristiwa-peristiwa aktual,
hal yang amat esensial bagi suatu pekerjaan reflektif—yang dapat dibaca secara
khusus, bukan hanya untuk mengetahui kejadian hari demi hari tetapi juga untuk
merenungkan maknanya sebagai kesatuan yang utuh. Sehingga ia dapat dinikmati
sebagai bagian yang bisa berdiri sendiri.
Di
situ pula “Catatan Pinggir” dapat memenuhi salah satu aspek kebutuhan
masyarakat untuk memikirkan kembali, dalam suasana yang lebih tenang, peristiwa
yang dialami sehari-hari. Suasana reflektif ini merupakan kebutuhan spiritual
yang semakin hari semakin meningkat, sepadan dengan perkembangan masyarakat
yang semakin disibukkan oleh bermacam kegiatan rutin. Suasana keletihan mental
menghadapi rutin inilah yang mungkin akan menempatkan renungan-renungan
“Catatan Pinggir” dalam kedudukan sebagai salah satu pemenuhan kebutuhan yang
relevan.
Dengan
berpikir ulang, mencari perspektif, dengan mempertanyakan kembali
pemikiran-pemikiran yang ada, diharapkan kesadaran yang baru dapat ditumbuhkan
dan visi kehidupan dapat disegarkan. Di tengah invasi budaya konsumerisme,
ketika semua orang mencari kemudahan yang bersifat “instant”, “Catatan Pinggir”
tidak dapat memenuhinya. “Catatan Pinggir” tidak memberi petunjuk apa pun—bahkan
tidak mengambil sikap tegas terhadap pilihan-pilihan susah di masyarakat.
Ketegasan bukanlah bahasa “Catatan Pinggir”. Di sini sebagian orang—sekali lagi—boleh
kecewa.
Goenawan
Mohamad dikenal sebagai seorang budayawan penyabar dan tekun melakukan tugas.
Jumlah yang banyak dari “Catatan Pinggir”, yang masih akan bertambah lagi, akan
turut memperkaya khazanah dunia buku—dunia ide—di Indonesia. Keluasan
literaturnya memberikan kemampuan referensial terhadap proses pendalaman
perenungannya. Dalam hubungan ini, “Catatan Pinggir” dapat dikatakan salah satu
karya jurnalisme yang unik di Indonesia.
Amnesia
sejarah
Bila
orang membandingkan tulisan dalam kumpulan ini dari tahun ke tahun, mungkin
akan menemukan perubahan-perubahan nuansa. Semenjak “Catatan Pinggir” masih
bernama “Fokus Kita”, ia memang sudah mempunyai ciri sebagai karya reflektif.
Namun
dalam “Fokus Kita” kita dapati bahwa tanda seru—yang kebetulan bertanda-gambar
pentung —serta gaya bahasa imperatif cenderung lebih banyak dari tanda tanya serta
ulasan yang tinggal terbuka. Persepsi Goenawan terhadap lingkungan sekitarnya dengan
segala masalahnya tentu turut mempengaruhi perubahan ini. Dan perubahan lain
mungkin masih akan berlanjut.
Mengambil
satu contoh dari tema renungan yang mampu menyentuh masalah dasar masyarakat
kita, dapat kita tunjuk salah satu “Catatan Pinggir” yang berbicara tentang
amnesia sejarah. Sejenis penyakit budaya yang turut melemahkan sendi-sendi
kehidupan kita, baik sebagai pribadi, kelompok maupun bangsa secara keseluruhan.
Penyakit yang bukan hanya menyebabkan kita cenderung membuat kesalahan yang sama
seperti di masa lalu—juga sering menyebabkan kita kehilangan orientasi.
Kita
menjadi sekelompok orang yang pangling bukan hanya kepada orang lain atau
lingkungan sekitar, tapi juga kepada diri sendiri. Kita hanya seolah tahu apa
yang kita perbuat—sementara kejadian demi kejadian lepas dari kemauan serta
kehendak kita. Kita kehilangan kesadaran sejarah, sebab itu kendali sejarah pun
tidak lagi di tangan kita. Apa yang kita perbuat bergerak sendiri dalam pola
yang amat lain dengan apa yang kita kehendaki.
Amnesia
sejarah adalah sejenis penyakit yang membuat kita tidak siuman terhadap
kesenjangan semacam itu. Dan Goenawan Mohamad dalam “Catatan Pinggir”-nya telah
mencatat hal-hal semacam itu. Memang dalam suara yang lirih. Tapi sudah
dikatakan.
Th.
Sumartana, Aktivis dan Dosen
UKSW Salatiga
Tulisan
ini adalah Pengantar Buku Catatan Pinggir I, Garfiti Pers, 1982.
0 komentar:
Posting Komentar