Pulang ke Indonesia dengan gelar Ph.D dalam ilmu politik, Salim Said tak berminat pada pekerjaan lain. Ia ingin kembali ke dunia jurnalistik. "Bagaimanapun bagi saya yang penting tulisan-tulisan saya dibaca oleh kalangan luas," katanya. Dan itu baginya hanya bisa dicapai melalui karya jurnalistik, bukan aktifitas akademis di balik tembok kampus. (Hamid Basyaib)
########
Rasionalitas teknologis
Rasionalitas teknologis = pola pemikiran atau dasar teknik (menekankan efisiensi, produktivitas, kelancaran, kepastian matematis, perhitungan untung rugi). Istilah ini merupakan istilah kunci dalam tulisan Herbert Marcuse. Dalam bahasa Inggris disebut "technological rationality"/ operational rationality". (J. Sudarminta, "Kritik Marcuse terhadap Masyarakat Industri Modern", dalam M. Sastrapratedja [ed], Manusia Multi Dimensional: Sebuah Renungan Filsafat, Jakarta: PT Gramedia, 1983, h. 130).
***
Dalam suatu sidang skripsi, artis Dian Sastrowardoyo mengungkapkan argumennya pada Rocky Gerung dengan mengambil contoh kasus penyanyi berlabel ratu pop dunia asal Amerika Serikat, Madonna. "Kira-kira menurut Bapak, yang menjadi subjek dan objek siapa, apakah Bapak melihat Madonna sebagai objek? Saya rasa tidak. Karena di saat bersamaan, Madonna yang menjual puluhan ribu jutaan album dan poster, dialah yang jadi subjek. Pelanggannyalah yang jadi objek," ucap Dian. (Lihat: https://www.viva.co.id/showbiz/gosip/1666345-cerita-dian-sastro-dicecar-habis-rocky-gerung-saat-sidang-skripsi?page=3).
++++++-----
"Anak yang hanya dididik di sekolah adalah anak yang tidak terdidik.” — George Santayana
Negara, menurut Marx, adalah alat bagi kelas atas untuk mempertahankan kepentingan mereka. Maka, menurut Marx, negara pada hakikatnya adalah "negara kelas" atau, bahasa lainnya: "negaranya para kelas atas". Kelas atas yang dimaksud adalah kelas para pemilik modal. Dalam teori Marxisme—juga teori Leninisme—kekuasaan itu terpusat pada negara dan berada di bawah kendali kelas pemilik modal. Jadi, yang berkuasa besar dalam masyarakat—menurut Marx—bukanlah pemerintah, tapi kelas pemilik modal.
+++++-------++
"Jika orang lain tidak menertawakan tujuanmu, maka tujuanmu masih terlalu receh.” — Seneca
"Jika ingin kreatif, Anda harus menjadi pembangkang." (Nawal El Saadawi, 1931-2021)
"Tak ada yang salah dengan berpolemik dengan kenikmatan intelektual, karena ciri manusia tak terasing adalah kerja dengan cinta! Masalahnya adalah berkhidmat pada siapa arah suatu argumen? Rakyat, Kelas marjinal atau Borjuis-Penguasa!" ---Airlangga Pribadi
"Seorang intelektual adalah orang yang pikirannya menjaga pikirannya sendiri." -Albert Camus
"Di Indonesia terbelenggu budaya feodal: haus sekali dipanggil gelar akademisnya." --Bagus P. Muljadi, Asisten Profesor University of Nottingham
"Yang melumpuhkan aktivisme mahasiswa bukan semprotan gas air mata Brimob, tapi semprotan parfum Paris. Daya tahan pejuang hak asasi manusia tak lagi diuji di ruang interogasi markas Kodim atau Polres, tapi di plaza, coffee shop, diskotik, dan persaingan karir." --Ariel Heryanto
Dalam konteks politik sekarang, kata Ariel, bukan gaya hidup lagi, tapi jabatan di sekitar "penguasa negara"-lah yang melumpuhkan idealisme para politisi. Ariel menyentil bagi-bagi "kue kekuasaan" pasca pilpres.
Birokrasi itu kaku, kata Rocky Gerung, sedangkan kampus itu pikiran liar.
"Berlian hanya ditemukan di tempat gelap di bumi," kata Victor Hugo (politisi dan penulis Perancis, 1802-1885), "sedangkan kebenaran hanya ditemukan di kedalaman pemikiran."
Untuk menguasai Indonesia, kata D.N. Aidit, maka kita harus menguasai Jawa. Untuk menguasai Jawa, maka harus menguasai Jakarta. Dan untuk menguasai Jakarta, kita harus menguasai istana.
“Sejarah itu penting. Jika kamu tak tahu sejarah, kamu seperti seorang bayi yang baru kemarin dilahirkan. Dan jika kamu lahir kemarin, siapa pun yang berkuasa dapat memberi tahu dirimu apa pun, dan kau tak punya cara untuk memeriksa kebenarannya.” — Howard Zinn dalam buku: Ketidakpatuhan dan Demokrasi
"Bepergianlah, dan jangan beri tahu siapa pun; jalanilah kisah cinta sejati dan jangan beri tahu siapa pun; hiduplah bahagia dan jangan beri tahu siapa pun; karena orang-orang akan merusak hal-hal yang indah."
— Kahlil Gibran
"Imajinasi lebih penting daripada pengetahuan. Pengetahuan terbatas. Sementara imajinasi melingkupi dunia." --Albert Einstein
"Idealisme tanpa pijakan realitas menjadikan orang pemimpi dan sekaligus pembohong. Sedang realisme tanpa nilai-nilai ideal akan menjadikan orang hidup tanpa martabat." ---Th. Sumartana, dalam Pengantar buku Catatan Pinggir
"Kebenaran tidak bergantung pada seberapa banyak orang yang percaya padanya." (Plato).
"Tak cukup hanya mengatakan kita harus kembali ke Islam. Kita harus jelaskan IsIam yang mana: IsIam-nya Abu Zarr atau Islam-nya Marwan Sang Penguasa. Islam kaum miskin, rakyat yang diisap, atau Islam khalifah, Islam istana." --Ali Syariati
"If you hate a person, than you are defeated by them; jika kamu membenci seseorang, maka kamu dikalahkan oleh mereka." --Confusius
"Harus diingat," kata aktivis senior Arief Budiman, "dalam sebuah rezim otoriter, masalah politik adalah masalah tekanan dan kekerasan, sementara dalam sebuah sistem politik yang demokratis, masalah politik menjadi masalah komunikasi dan persepsi."
"Istilah 'tesis' kayaknya berasal dari bahasa Inggris 'thesis'," kata Ariel Heryanto. "Di kebanyakan komunitas akademik berbahasa Inggris," katanya, "istilah itu biasa dipakai untuk tugas akhir mahasiswa pada semua jenjang. Tidak seperti di Indonesia yang mematok istilah skripsi (S1), tesis (S2) dan disertasi (S3). Istilah asing banyak yang tidak cuma diserap ke dalam bahasa Indonesia, tapi juga ditambah dan kurang maknanya, sehingga berbeda dari sumbernya."
"Tuhan tidak Perlu dibela. Dia sudah Mahasegalanya. Belalah mereka yang diperlakukan tidak adil." -- Gus Dur
"Pada Abu Zarr, Syariati menemukan titik pertemuan antara yang 'Islami' dan yang 'Marxis'. Tapi pada saat yang sama, seraya mengemukakan kritik kepada 'Islam' para ulama yang hanya menengok ke belakang, Syariati mengecam Marxisme seperti yang dipraktikkan di Uni Soviet yang mengekang kemerdekaan perorangan. Di sini tampak kecenderungannya mengedepankan kemerdekaan manusia (ia pengagum Sartre dan juga Iqbal), tapi kemerdekaan itu dikaitkannya dengan kesetaraan: hidup yang tanpa hierarki. Syariati bukan penyusun ideologi revolusi melalui bangunan kekuasaan. Kekuasaan ia singkiri. ...revolusi Islam yang menggantikan Shah ternyata juga mencekik kemerdekaan sesama muslim." --GM, Catatan Pinggir 13, h. 81
"Politik adalah perang tanpa pertumpahan darah. Sedangkan perang adalah politik dengan pertumpahan darah," kata Mao Zedong. Sebelum saya mengetahui bahwa kata-kata ini adalah dari Mao, saya beberapa tahun yang lalu juga sudah berpendapat demikian. Berarti pemikiran Mao tentang perang dan politik sama dengan pemikiran saya.
"Ketika kamu menyampaikan kebenaran, akan ada dua reaksi yang berbeda: orang cerdas akan merenung; orang bodoh akan tersinggung." --Imam Syafi'i
"Hidup itu tragedi, waktu kamu melihatnya dari jarak dekat, tapi sebuah komedi saat kamu melihatnya dari jarak jauh," kata Charlie Chaplin, komedian Inggris (1889-1977). Maksudnya: saat ini bisa jadi kita merasa sebagai tragedi. Tapi nanti bisa jadi kita akan mentertawakannya. Makanya ada istilah: semua akan indah pada waktunya.
"Hidup adalah sebuah tragedi bagi mereka yang merasakannya, dan menjadi sebuah komedi bagi mereka yang berpikir,” kata Jean de la Bruyère, penulis Prancis (1645-1696). Dalam bahasa Prancis: "La vie est une tragédie pour celui qui sent, et une comédie pour celui qui pense." Sejalan dengan Bruyère, Charlie Chaplin, komedian Inggris (1889-1977), menyebut: "Hidup itu tragedi waktu kamu melihatnya dari jarak dekat, tapi sebuah komedi saat kamu melihatnya dari jarak jauh." Maksud Chaplin: saat ini bisa jadi kita merasa sebagai tragedi. Tapi nanti bisa jadi akan kita tertawakan. Makanya ada istilah: semua akan indah pada waktunya. Politik juga demikian: politik bisa dirasa sebagai tragedi, bisa juga sebagai komedi. Al Quran menyebut: dunia ini adalah permainan dan senda gurau. Albert Camus menyebut: hidup ini absurd. Ahmad Albar menyebut: dunia ini panggung sandiwara.
CENDEKIAWAN DAN KEKUASAAN
"Niatku tak murni, tak condong ke Allah. Jangan-jangan tujuanku hanya kemegahan dan kemasyhuran?" Itulah kegalauan hati Al-Ghazali yang ia tulis dalam otobiografinya, Munqidh min al-dalal. Al-Ghazali pada awalnya hidup di tengah kekuasaan yang perkasa dan diperebutkan orang. Tapi ia beralih ke dalam 'uzlah, hidup menyendiri. Hal itu dituliskan GM dalam Catatan Pinggir dengan judul "Ajak" (GM, "Ajak" dalam Caping 13, h. 71-74). GM menulis: enam bulan lamanya Al-Ghazali terombang-ambing. Tapi akhirnya Al-Ghazali pergi. Selama 11 tahun ia berkunjung dari tempat ke tempat. Ia tertarik ajaran Abu l-Fath Nasr, seorang sufi Palestina yang menolak nafkah dari mengajar, ulama yang cuma makan sepotong roti sehari. Dari sini agaknya, tulis GM, Al-Ghazali bersikap: ia tak mau dibayar para muridnya. Ia tak mau lagi menerima dana kerajaan. Dan di masa ini juga ia bersumpah di makam Nabi Ibrahim di Hebron untuk "tak mendatangi penguasa mana pun, menerima uang dari penguasa, atau terlibat dalam debat (munazarat) di depan umum". Tulisan GM dengan judul "Ajak" menjelaskan: buruk hasilnya jika orang yang berilmu (ulama) bersimbiosis dengan yang berkuasa. Kesimpulan dari tulisan GM itu: tugas cendekiawan (dan juga ulama) ialah berbicara terus terang: mengoreksi, meluruskan penguasa agar bertindak secara benar. Tak etis jika cendekiawan dan juga ulama sudah menjadi alat belaka bagi legitimasi kekuasaan.
TENTANG POLITIK IDENTITAS
"Identitas bukan terpaut di potret KTP. Identitas lahir dari sejarah perjalanan yang panjang. Identitas ada karena kita ingin mengenali orang lain, juga diri sendiri, dengan cara sederhana. Identitas adalah penyederhanaan. Tentang seseorang, kita ambil satu sisi pribadinya saja dari beraneka ragam sisi, dan kita beri tanda. Mungkin nama. Yang sering diabaikan, satu sisi saja akan tak cukup, bahkan tak adil, jika kita anggap bisa mewakili seluruh gurat yang tak tepermanai dalam diri seseorang. Ada sejenis kekerasan: menentukan identitas adalah menyisihkan. Bila saya dan pejabat sensus mengatakan "Goenawan seorang Jawa", kesimpulan itu diambil seraya menyisihkan sisi "Jawa" yang lain yang barangkali ada. Sebab bisakah kita mengetahui "Jawa" dengan mendefinisikannya? Tidak. Benarkah pengertian "Jawa" dalam diri saya mewakili seluruh "ke-Jawa-an", kalaupun "ke-Jawa-an" itu ada? Tidak. Tapi kita sering terhanyut "politik identitas". --GM, "Siapa" dalam Buku Caping 13, h.91.
"Nasionalisme adalah penyakit. Bagian dari kolonialisme yang juga mengakibatkan fasisme dan terkait dengan nasionalisme adalah segregasi. Dan segregasi bergantung pada kemurnian asal usulnya; Nationalism is a disease. Part of the colonialism that resulted also in fascism and related with nationalism is segregation. And segregation relies on purity of the origin." --Tamara Soukotta (2022)
"Kemarahan," tulis Goenawan Mohamad dalam Catatan Pinggir 13 (h.97), "tak semata-mata mampu menghancurkan; ia juga mampu membangun, seperti tampak dalam gerakan melawan kolonialisme dan rasisme, yang berakhir dengan kesetaraan di antara sesama. Sebaliknya kebencian: sebagai unsur utama dalam hasrat totaliter, ia tak mengakui liyan kecuali yang sudah diubah. Ia ingin melumatkan yang 'bukan kita'."
Tak pernah ada pemilu dalam setengah abad terakhir, kata sosiolog Prof Ariel Heryanto, yang membawa perubahan besar di negeri ini. Perubahan besar yang sudah pernah terjadi di Indonesia hanya dua: pertama Revolusi Kemerdekaan 1945; kedua, bangkitnya diktator militer Orde Baru pada 1965.
"Jika pemungutan suara memang bisa mengubah keadaan, tentunya pemilihan umum akan dilarang," tulis Goenawan Mohamad (GM) mengutip dan menerjemahkan secara bebas dari skenario Peter Straughan untuk film "Our Brand Is Crisis". Jadi, apa demokrasi sebenarnya? Di mata J, lanjut GM, demokrasi adalah sebuah mekanisme seseorang ke sebuah takhta dengan menggunakan dukungan orang banyak. Karena pernah orang percaya bahwa demokrasi—dengan proses pemungutan suaranya—adalah cara terbaik untuk mengetahui apa yang dikehendaki orang banyak ketika memilih gubernur atau presiden, orang yang akan bertugas sebagai manajer perubahan. Mungkin J dulu, terang GM, juga percaya teori itu, tapi kini tidak lagi (Goenawan Mohamad, dalam Catatan Pinggir 13, 2019:37).
Jadi, tak perlu berharap terlalu banyak bahwa pemilu bisa mengubah kondisi negara secara radikal.
Yang hampir pasti, menurut sosiolog Ariel Heryanto, pemilu 2024 akan mengubah karier politik capres/cawapres/caleg, yang menang. Juga gengsi. Juga rezeki sanak keluarga, kawan dan kerabatnya. Bagi mayoritas warga, Indonesia tetap seperti biasa saja: tak jauh lebih baik atau buruk.
"Tercelalah orang yang gampang marah kepada dunia. Serat Wedhatama mengutamakan sikap 'rela, tak pernah merasa menyesal karena kehilangan, bersabar bila dihina, legawa dalam kesengsaraan, pasrah kepada Tuhan'--yang dalam teks disebut 'Bathara'." --Goenawan Mohamad, Caping 13, h.41.
PEMILU BUKAN "PESTA DEMOKRASI"
Pemilihan umum bukan perang. Pemilu memang ada masalah, tapi jangan memakai bahasa perang. Demikian kata Franz Magnis-Suseno. Bahasa perang itu, lanjut Magnis, bisa menimbulkan kebencian, bisa menimbulkan ketidakmampuan untuk menerima kekalahan. Dan kalau pemilu itu diistilahkan dengan "pesta demokrasi" itu lebih tidak tepat lagi. "Menggelikan", kata Prof Magnis. Mengapa? Karena bila pemilu disebut sebagai suatu pesta, itu sama dengan pura-pura: seakan-akan tidak ada masalah. Karena "pesta" itu identik dengan formalitas belaka. Istilah pemilu adalah pesta demokrasi kemungkinan berasal dari masa Orde Baru. Karena memang pemilu di masa itu sering dimeriahkan dengan pesta ondel-ondel--sehingga pemilu menjadi hambar dan sekedar formalitas belaka.
MENJADI POLITISI DASAR PERTAMANYA ADALAH KECUKUPAN OTAK, BUKAN KECUKUPAN SUARA
Politik adalah ilmu yang paling rumit. Karena, politik itu bertujuan mendistribusikan keadilan. Karena itu, politik memerlukan kapasitas otak yang besar. Jadi, untuk disadari, menjadi politisi itu dasar pertamanya adalah kecukupan akal, bukan kecukupan suara, atau kecukupan modal. Di abad 15, kata Bung RG, politik disebut sebagai "the highest of all sciences; ilmu tertinggi di antara ilmu-ilmu". Mengapa? Karena untuk mendistribusikan keadilan, seorang politisi harus punya kepekaan sosial yang luar biasa. Ia harus punya pengetahuan yang luas tentang banyak hal: ekonomi, hukum, filsafat, sosiologi, dan lain sebagainya. Bahasa sederhananya: politisi itu haruslah orang yang memiliki kebijaksanaan atau keluhuran akal budi. Karena itulah "keputusan politik" sering diistilahkan dengan "kebijakan"--dari kata "kebijaksanaan". Jadi, sekali lagi, untuk menjadi seorang politisi, dasar pertamanya adalah kecukupan otak, bukan kecukupan suara, atau kecukupan modal ( https://vt.tiktok.com/ZSNGyNhk2/
"Pendidikan kita," kata sosiolog Ignas Kleden, "masih mendidik seseorang untuk taat pada kekuasaan, bukan untuk taat pada akal sehatnya."
Nafsu dan Akal, Sama Penting?
Dalam Caping 13, yang berjudul "Badan", GM menulis bahwa dulu Plato meletakkan epithymetikon di bagian bawah struktur sukma manusia. Di bagian ini, tulis GM, berkecamuk hasrat erotik, rasa lapar, dan haus—singkat kata: hal-hal yang badani. Bagian ini—sebagaimana juga pusat amarah dan semangat—harus dikendalikan oleh logistikon, nalar. Pengaruh pandangan ini luas dan lama, dalam pelbagai variasinya. Dengan kata lain: menganggap pentingnya rohani di atas yang jasmani. Filsafat Yunani juga masuk ke sejumlah pemikir Islam, terutama dalam teori etis Ibnu Maskawayh (932-1030) yang mengadopsi pemikiran Plato tentang tiga "lapis" sukma manusia: "Siapa yang mengendalikan nalarnya ia disebut arif bijaksana; siapa yang mengendalikan amarahnya disebut berani; siapa yang mengendalikan nafsunya disebut santun. Tapi Plato dan Ibnu Maskawayh tak bisa meyakinkan selamanya, kata GM. Di abad ini, nafsu, hasrat, dan peran tubuh justru berbalik posisinya. Setelah apa yang ditemukan dalam analisis Freud, Lacan, dan Kristeva mengenai psike manusia, disimpulkan, semua hal dalam epithymetikon ternyata berperan besar dalam proses peradaban." (GM, Caping 13, h. 108-109)
"Engkau mengejar dunia dan segala kenikmatannya. Padahal, dunia adalah hukuman bagi Nabi Adam." --Syeikh Hasan al Bashri
“The good life is one inspired by love and guided by knowledge. Neither love without knowledge nor knowledge without love can produce a good life.” —Bertrand Russell
"Political language is designed to make lies sound truthful; bahasa politik dirancang untuk membuat kebohongan terdengar benar." --George Orwell, sastrawan Inggris.
"What you see and what you hear depends a great deal on where you are standing. It also depends on what sort of person you are; apa yang Anda lihat dan dengar sangat bergantung pada posisi Anda. Itu juga tergantung pada orang seperti apa Anda." --CS Lewis, penulis Inggris.
"There is always a philosophy for lack of courage." --Albert Camus
The best answer to anger is silence. --Marcus Aurelius
"The hero is the man who is immovably centred." --Emerson
"The happiness of your life depends upon the quality of your thoughts." --Marcus Aurelius
“The man of knowledge must be able not only to love his enemies but also to hate his friends; orang yang berilmu tidak hanya harus bisa mencintai musuhnya tapi juga bisa membenci temannya.” ― Friedrich Nietzsche
"Otonomi manusia berakar dalam 'kata hati' dalam kesadaran tegas seseorang bahwa apa pun yang diharapkan atau dituntut lingkungannya, ia harus mengikuti 'kata hati' yang mengatakan kepadanya bahwa ia tak pernah boleh melakukan sesuatu yang tidak baik, tidak jujur, dan tidak adil. Berhadapan dengan kata hati orang menyadari bahwa ia sendiri yang harus mempertanggungjawabkan apa yang dilakukannya. Namun sekaligus ia berhadapan dengan tradisi, kebiasaan-kebiasaan dan tatanan hukum masyarakat yang menuntut agar manusia menyesuaikan diri terhadapnya. Adalah tantangan orang untuk merealisasikan otonominya berhadapan dengan acuan realitas sosial di dalamnya ia hidup. Bagaimana tantangan itu berhasil dijawab, di satu pihak tergantung dari bagaimana ia mengintegrasikan nilai-nilai hakiki, dari lain pihak, juga tergantung dari nilai-nilai yang menentukan wujud tatanan objektif masyarakat dan kebudayaannya." (Franz Magnis-Suseno, Pijar-Pijar Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 2005, h. 137)
Inti peralihan ke kebudayaan modern dalam Renaissance adalah perubahan paradigma. Perubahan paradigma itu menginisiasikan pergeseran dari budaya ekspresif di mana nilai-nilai religius, estetik dan komunal unggul, ke budaya progresif dengan dominasi nilai-nilai rasionalitas dan ekonomi. Sutan Takdir Alisjahbana berpendapat bahwa modernitas merupakan gerak budaya yang tidak mungkin ditahan kembali. Menurut dia ada dua alasan. Pertama, modernitas melahirkan gaya berpikir yang sangat berbeda dari cara berpikir pramodern di semua kebudayaan dunia. Pikiran modern ditandai oleh rasionalitas, materialisme, dan individualisme. Kedua adalah bahwa peluasan gaya berpikir itu kemana-mana tidak dapat dicekal karena pertukaran komunikasi internasional semakin padat: Orang tak dapat dipotong dari hubungannya dengan dunia luar dan budaya-budaya lain, dengan gagasan orang di lain tempat, dengan pelbagai pola kebudayaan. Itulah yang berada di belakang dinamika modernitas. (Franz Magnis-Suseno, Pijar-Pijar Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 2005, h. 140)
***
0 komentar:
Posting Komentar