alt/text gambar

Selasa, 20 Februari 2024

Topik Pilihan:

Kutipan dan Kata-Kata Bijak (baru)

Pulang ke Indonesia dengan gelar Ph.D dalam ilmu politik, Salim Said tak berminat pada pekerjaan lain. Ia ingin kembali ke dunia jurnalistik. "Bagaimanapun bagi saya yang penting tulisan-tulisan saya dibaca oleh kalangan luas," katanya. Dan itu baginya hanya bisa dicapai melalui karya jurnalistik, bukan aktifitas akademis di balik tembok kampus. (Hamid Basyaib) 

########

Rasionalitas teknologis

Rasionalitas teknologis = pola pemikiran atau dasar teknik (menekankan efisiensi, produktivitas, kelancaran, kepastian matematis, perhitungan untung rugi). Istilah ini merupakan istilah kunci dalam tulisan Herbert Marcuse. Dalam bahasa Inggris disebut "technological rationality"/ operational rationality". (J. Sudarminta, "Kritik Marcuse terhadap Masyarakat Industri Modern", dalam M. Sastrapratedja [ed], Manusia Multi Dimensional: Sebuah Renungan Filsafat, Jakarta: PT Gramedia, 1983, h. 130).

***

Dalam suatu sidang skripsi, artis Dian Sastrowardoyo mengungkapkan argumennya pada Rocky Gerung dengan mengambil contoh kasus penyanyi berlabel ratu pop dunia asal Amerika Serikat, Madonna. "Kira-kira menurut Bapak, yang menjadi subjek dan objek siapa, apakah Bapak melihat Madonna sebagai objek? Saya rasa tidak. Karena di saat bersamaan, Madonna yang menjual puluhan ribu jutaan album dan poster, dialah yang jadi subjek. Pelanggannyalah yang jadi objek," ucap Dian. (Lihat: https://www.viva.co.id/showbiz/gosip/1666345-cerita-dian-sastro-dicecar-habis-rocky-gerung-saat-sidang-skripsi?page=3). 


++++++-----

"Anak yang hanya dididik di sekolah adalah anak yang tidak terdidik.” — George Santayana


Negara, menurut Marx, adalah alat bagi kelas atas untuk mempertahankan kepentingan mereka. Maka, menurut Marx, negara pada hakikatnya adalah "negara kelas" atau, bahasa lainnya: "negaranya para kelas atas". Kelas atas yang dimaksud adalah kelas para pemilik modal. Dalam teori Marxisme—juga teori Leninisme—kekuasaan itu terpusat pada negara dan berada di bawah kendali kelas pemilik modal. Jadi, yang berkuasa besar dalam masyarakat—menurut Marx—bukanlah pemerintah, tapi kelas pemilik modal. 

+++++-------++

"Jika orang lain tidak menertawakan tujuanmu, maka tujuanmu masih terlalu receh.” — Seneca


"Jika ingin kreatif, Anda harus menjadi pembangkang." (Nawal El Saadawi, 1931-2021)


"Tak ada yang salah dengan berpolemik dengan kenikmatan intelektual, karena ciri manusia tak terasing adalah kerja dengan cinta! Masalahnya adalah berkhidmat pada siapa arah suatu argumen? Rakyat, Kelas marjinal atau Borjuis-Penguasa!"  ---Airlangga Pribadi

"Seorang intelektual adalah orang yang pikirannya menjaga pikirannya sendiri." -Albert Camus


"Di Indonesia terbelenggu budaya feodal: haus sekali dipanggil gelar akademisnya." --Bagus P. Muljadi, Asisten Profesor University of Nottingham


"Yang melumpuhkan aktivisme mahasiswa bukan semprotan gas air mata Brimob, tapi semprotan parfum Paris. Daya tahan pejuang hak asasi manusia tak lagi diuji di ruang interogasi markas Kodim atau Polres, tapi di plaza, coffee shop, diskotik, dan persaingan karir." --Ariel Heryanto

Dalam konteks politik sekarang, kata Ariel, bukan gaya hidup lagi, tapi jabatan di sekitar "penguasa negara"-lah yang melumpuhkan idealisme para politisi. Ariel menyentil bagi-bagi "kue kekuasaan" pasca pilpres. 


Birokrasi itu kaku, kata Rocky Gerung, sedangkan kampus itu pikiran liar.

"Berlian hanya ditemukan di tempat gelap di bumi," kata Victor Hugo (politisi dan penulis Perancis, 1802-1885), "sedangkan kebenaran hanya ditemukan di kedalaman pemikiran."

Untuk menguasai Indonesia, kata D.N. Aidit, maka kita harus menguasai Jawa. Untuk menguasai Jawa, maka harus menguasai Jakarta. Dan untuk menguasai Jakarta, kita harus menguasai istana. 


“Sejarah itu penting. Jika kamu tak tahu sejarah, kamu seperti seorang bayi yang baru kemarin dilahirkan. Dan jika kamu lahir kemarin, siapa pun yang berkuasa dapat memberi tahu dirimu apa pun, dan kau tak punya cara untuk memeriksa kebenarannya.” — Howard Zinn dalam buku: Ketidakpatuhan dan Demokrasi


"Bepergianlah, dan jangan beri tahu siapa pun; jalanilah kisah cinta sejati dan jangan beri tahu siapa pun; hiduplah bahagia dan jangan beri tahu siapa pun; karena orang-orang akan merusak hal-hal yang indah."

— Kahlil Gibran



"Imajinasi lebih penting daripada pengetahuan. Pengetahuan terbatas. Sementara imajinasi melingkupi dunia." --Albert Einstein


"Idealisme tanpa pijakan realitas menjadikan orang pemimpi dan sekaligus pembohong. Sedang realisme tanpa nilai-nilai ideal akan menjadikan orang hidup tanpa martabat." ---Th. Sumartana, dalam Pengantar buku Catatan Pinggir


"Kebenaran tidak bergantung pada seberapa banyak orang yang percaya padanya." (Plato).


"Tak cukup hanya mengatakan kita harus kembali ke Islam. Kita harus jelaskan IsIam yang mana: IsIam-nya Abu Zarr atau Islam-nya Marwan Sang Penguasa. Islam kaum miskin, rakyat yang diisap, atau Islam khalifah, Islam istana." --Ali Syariati


"If you hate a person, than you are defeated by  them; jika kamu membenci seseorang, maka kamu dikalahkan oleh mereka." --Confusius


"Harus diingat," kata aktivis senior Arief Budiman, "dalam sebuah rezim otoriter, masalah politik adalah masalah tekanan dan kekerasan, sementara dalam sebuah sistem politik yang demokratis, masalah politik menjadi masalah komunikasi dan persepsi."


"Istilah 'tesis' kayaknya berasal dari bahasa Inggris 'thesis'," kata Ariel Heryanto. "Di kebanyakan komunitas akademik berbahasa Inggris," katanya, "istilah itu biasa dipakai untuk tugas akhir mahasiswa pada semua jenjang. Tidak seperti di Indonesia yang mematok istilah skripsi (S1), tesis (S2) dan disertasi (S3). Istilah asing banyak yang tidak cuma diserap ke dalam bahasa Indonesia, tapi juga ditambah dan kurang maknanya, sehingga berbeda dari sumbernya."


"Tuhan tidak Perlu dibela. Dia sudah Mahasegalanya. Belalah mereka yang diperlakukan tidak adil." -- Gus Dur


"Pada Abu Zarr, Syariati menemukan titik pertemuan antara yang 'Islami' dan yang 'Marxis'. Tapi pada saat yang sama, seraya mengemukakan kritik kepada 'Islam' para ulama yang hanya menengok ke belakang, Syariati mengecam Marxisme seperti yang dipraktikkan di Uni Soviet yang mengekang kemerdekaan perorangan. Di sini tampak kecenderungannya mengedepankan kemerdekaan manusia (ia pengagum Sartre dan juga Iqbal), tapi kemerdekaan itu dikaitkannya dengan kesetaraan: hidup yang tanpa hierarki. Syariati bukan penyusun ideologi revolusi melalui bangunan kekuasaan. Kekuasaan ia singkiri. ...revolusi Islam yang menggantikan Shah ternyata juga mencekik kemerdekaan sesama muslim." --GM, Catatan Pinggir 13, h. 81


"Politik adalah perang tanpa pertumpahan darah. Sedangkan perang adalah politik dengan pertumpahan darah," kata Mao Zedong. Sebelum saya mengetahui bahwa kata-kata ini adalah dari Mao, saya beberapa tahun yang lalu juga sudah berpendapat demikian. Berarti pemikiran Mao tentang perang dan politik sama dengan pemikiran saya.


"Ketika kamu menyampaikan kebenaran, akan ada dua reaksi yang berbeda: orang cerdas akan merenung; orang bodoh akan tersinggung." --Imam Syafi'i


"Hidup itu tragedi, waktu kamu melihatnya dari jarak dekat, tapi sebuah komedi saat kamu melihatnya dari jarak jauh," kata Charlie Chaplin, komedian Inggris (1889-1977). Maksudnya: saat ini bisa jadi kita merasa sebagai tragedi. Tapi nanti bisa jadi kita akan mentertawakannya. Makanya ada istilah: semua akan indah pada waktunya.


"Hidup adalah sebuah tragedi bagi mereka yang merasakannya, dan menjadi sebuah komedi bagi mereka yang berpikir,” kata Jean de la Bruyère, penulis Prancis (1645-1696). Dalam bahasa Prancis: "La vie est une tragédie pour celui qui sent, et une comédie pour celui qui pense." Sejalan dengan Bruyère, Charlie Chaplin, komedian Inggris (1889-1977), menyebut: "Hidup itu tragedi waktu kamu melihatnya dari jarak dekat, tapi sebuah komedi saat kamu melihatnya dari jarak jauh." Maksud Chaplin: saat ini bisa jadi kita merasa sebagai tragedi. Tapi nanti bisa jadi akan kita tertawakan. Makanya ada istilah: semua akan indah pada waktunya. Politik juga demikian: politik bisa dirasa sebagai tragedi, bisa juga sebagai komedi. Al Quran menyebut: dunia ini adalah permainan dan senda gurau. Albert Camus menyebut: hidup ini absurd. Ahmad Albar menyebut: dunia ini panggung sandiwara.

CENDEKIAWAN DAN KEKUASAAN
"Niatku tak murni, tak condong ke Allah. Jangan-jangan tujuanku hanya kemegahan dan kemasyhuran?" Itulah kegalauan hati Al-Ghazali yang ia tulis dalam otobiografinya, Munqidh min al-dalal. Al-Ghazali pada awalnya hidup di tengah kekuasaan yang perkasa dan diperebutkan orang. Tapi ia beralih ke dalam 'uzlah, hidup menyendiri. Hal itu dituliskan GM dalam Catatan Pinggir dengan judul "Ajak" (GM, "Ajak" dalam Caping 13, h. 71-74). GM menulis: enam bulan lamanya Al-Ghazali terombang-ambing. Tapi akhirnya Al-Ghazali pergi. Selama 11 tahun ia berkunjung dari tempat ke tempat. Ia tertarik ajaran Abu l-Fath Nasr, seorang sufi Palestina yang menolak nafkah dari mengajar, ulama yang cuma makan sepotong roti sehari. Dari sini agaknya, tulis GM, Al-Ghazali bersikap: ia tak mau dibayar para muridnya. Ia tak mau lagi menerima dana kerajaan. Dan di masa ini juga ia bersumpah di makam Nabi Ibrahim di Hebron untuk "tak mendatangi penguasa mana pun, menerima uang dari penguasa, atau terlibat dalam debat (munazarat) di depan umum". Tulisan GM dengan judul "Ajak" menjelaskan: buruk hasilnya jika orang yang berilmu (ulama) bersimbiosis dengan yang berkuasa. Kesimpulan dari tulisan GM itu: tugas cendekiawan (dan juga ulama) ialah berbicara terus terang: mengoreksi, meluruskan penguasa agar bertindak secara benar. Tak etis jika cendekiawan dan juga ulama sudah menjadi alat belaka bagi legitimasi kekuasaan.

 
TENTANG POLITIK IDENTITAS
"Identitas bukan terpaut di potret KTP. Identitas lahir dari sejarah perjalanan yang panjang. Identitas ada karena kita ingin mengenali orang lain, juga diri sendiri, dengan cara sederhana. Identitas adalah penyederhanaan. Tentang seseorang, kita ambil satu sisi pribadinya saja dari beraneka ragam sisi, dan kita beri tanda. Mungkin nama. Yang sering diabaikan, satu sisi saja akan tak cukup, bahkan tak adil, jika kita anggap bisa mewakili seluruh gurat yang tak tepermanai dalam diri seseorang. Ada sejenis kekerasan: menentukan identitas adalah menyisihkan. Bila saya dan pejabat sensus mengatakan "Goenawan seorang Jawa", kesimpulan itu diambil seraya menyisihkan sisi "Jawa" yang lain yang barangkali ada. Sebab bisakah kita mengetahui "Jawa" dengan mendefinisikannya? Tidak. Benarkah pengertian "Jawa" dalam diri saya mewakili seluruh "ke-Jawa-an", kalaupun "ke-Jawa-an" itu ada? Tidak. Tapi kita sering terhanyut "politik identitas". --GM, "Siapa" dalam Buku Caping 13, h.91.


"Nasionalisme adalah penyakit. Bagian dari kolonialisme yang juga mengakibatkan fasisme dan terkait dengan nasionalisme adalah segregasi. Dan segregasi bergantung pada kemurnian asal usulnya; Nationalism is a disease. Part of the colonialism that resulted also in fascism and related with nationalism is segregation. And segregation relies on purity of the origin." --Tamara Soukotta (2022)


"Kemarahan," tulis Goenawan Mohamad dalam Catatan Pinggir 13 (h.97), "tak semata-mata mampu menghancurkan; ia juga mampu membangun, seperti tampak dalam gerakan melawan kolonialisme dan rasisme, yang berakhir dengan kesetaraan di antara sesama. Sebaliknya kebencian: sebagai unsur utama dalam hasrat totaliter, ia tak mengakui liyan kecuali yang sudah diubah. Ia ingin melumatkan yang 'bukan kita'."


Tak pernah ada pemilu dalam setengah abad terakhir, kata sosiolog Prof Ariel Heryanto, yang membawa perubahan besar di negeri ini. Perubahan besar yang sudah pernah terjadi di Indonesia hanya dua: pertama Revolusi Kemerdekaan 1945; kedua, bangkitnya diktator militer Orde Baru pada 1965.

"Jika pemungutan suara memang bisa mengubah keadaan, tentunya pemilihan umum akan dilarang," tulis Goenawan Mohamad (GM) mengutip dan menerjemahkan secara bebas dari skenario Peter Straughan untuk film "Our Brand Is Crisis". Jadi, apa demokrasi sebenarnya? Di mata J, lanjut GM, demokrasi  adalah sebuah mekanisme seseorang ke sebuah takhta dengan menggunakan dukungan orang banyak. Karena pernah orang percaya bahwa demokrasi—dengan proses pemungutan suaranya—adalah cara terbaik untuk mengetahui apa yang dikehendaki orang banyak ketika memilih gubernur atau presiden, orang yang akan bertugas sebagai manajer perubahan. Mungkin J dulu, terang GM, juga percaya teori itu, tapi kini tidak lagi (Goenawan Mohamad, dalam Catatan Pinggir 13, 2019:37).

Jadi, tak perlu berharap terlalu banyak bahwa pemilu bisa mengubah kondisi negara secara radikal. 

Yang hampir pasti, menurut sosiolog Ariel Heryanto, pemilu 2024 akan mengubah karier politik capres/cawapres/caleg, yang menang. Juga gengsi. Juga rezeki sanak keluarga, kawan dan kerabatnya. Bagi mayoritas warga, Indonesia tetap seperti biasa saja: tak jauh lebih baik atau buruk.


"Tercelalah orang yang gampang marah kepada dunia. Serat Wedhatama mengutamakan sikap 'rela, tak pernah merasa menyesal karena kehilangan, bersabar bila dihina, legawa dalam kesengsaraan, pasrah kepada Tuhan'--yang dalam teks disebut 'Bathara'." --Goenawan Mohamad, Caping 13, h.41.


PEMILU BUKAN "PESTA DEMOKRASI"
Pemilihan umum bukan perang. Pemilu memang ada masalah, tapi jangan memakai bahasa perang. Demikian kata Franz Magnis-Suseno. Bahasa perang itu, lanjut Magnis, bisa menimbulkan kebencian, bisa menimbulkan ketidakmampuan untuk menerima kekalahan. Dan kalau pemilu itu diistilahkan dengan "pesta demokrasi" itu lebih tidak tepat lagi. "Menggelikan", kata Prof Magnis. Mengapa? Karena bila pemilu disebut sebagai suatu pesta, itu sama dengan pura-pura: seakan-akan tidak ada masalah. Karena "pesta" itu identik dengan formalitas belaka. Istilah pemilu adalah pesta demokrasi kemungkinan berasal dari masa Orde Baru. Karena memang pemilu di masa itu sering dimeriahkan dengan pesta ondel-ondel--sehingga pemilu menjadi hambar dan sekedar formalitas belaka. 


MENJADI POLITISI DASAR PERTAMANYA ADALAH KECUKUPAN OTAK, BUKAN KECUKUPAN SUARA

Politik adalah ilmu yang paling rumit. Karena, politik itu bertujuan mendistribusikan keadilan. Karena itu, politik memerlukan kapasitas otak yang besar. Jadi, untuk disadari, menjadi politisi itu dasar pertamanya adalah kecukupan akal, bukan kecukupan suara, atau kecukupan modal. Di abad 15, kata Bung RG, politik disebut sebagai "the highest of all sciences; ilmu tertinggi di antara ilmu-ilmu". Mengapa? Karena untuk mendistribusikan keadilan, seorang politisi harus punya kepekaan sosial yang luar biasa. Ia harus punya pengetahuan yang luas tentang banyak hal: ekonomi, hukum, filsafat, sosiologi, dan lain sebagainya. Bahasa sederhananya: politisi itu haruslah orang yang memiliki kebijaksanaan atau keluhuran akal budi. Karena itulah "keputusan politik" sering diistilahkan dengan "kebijakan"--dari kata "kebijaksanaan". Jadi, sekali lagi, untuk menjadi seorang politisi, dasar pertamanya adalah kecukupan otak, bukan kecukupan suara, atau kecukupan modal ( https://vt.tiktok.com/ZSNGyNhk2/

Lihat juga: https://www-cityu-edu.translate.goog/what-plato-can-teach-us-about-leadership-part-1-of-2/?_x_tr_sl=en&_x_tr_tl=id&_x_tr_hl=id&_x_tr_pto=tc


"Pendidikan kita," kata sosiolog Ignas Kleden, "masih mendidik seseorang untuk taat pada kekuasaan, bukan untuk taat pada akal sehatnya."


Nafsu dan Akal, Sama Penting?

Dalam Caping 13, yang berjudul "Badan", GM menulis bahwa dulu Plato meletakkan epithymetikon di bagian bawah struktur sukma manusia. Di bagian ini, tulis GM, berkecamuk hasrat erotik, rasa lapar, dan haus—singkat kata: hal-hal yang badani. Bagian ini—sebagaimana juga pusat amarah dan semangat—harus dikendalikan oleh logistikon, nalar. Pengaruh pandangan ini luas dan lama, dalam pelbagai variasinya. Dengan kata lain: menganggap pentingnya rohani di atas yang jasmani. Filsafat Yunani juga masuk ke sejumlah pemikir Islam, terutama dalam teori etis Ibnu Maskawayh (932-1030) yang mengadopsi pemikiran Plato tentang tiga "lapis" sukma manusia: "Siapa yang mengendalikan nalarnya ia disebut arif bijaksana; siapa yang mengendalikan amarahnya disebut berani; siapa yang mengendalikan nafsunya disebut santun. Tapi Plato dan Ibnu Maskawayh tak bisa meyakinkan selamanya, kata GM. Di abad ini, nafsu, hasrat, dan peran tubuh justru berbalik posisinya. Setelah apa yang ditemukan dalam analisis Freud, Lacan, dan Kristeva mengenai psike manusia, disimpulkan, semua hal dalam epithymetikon ternyata berperan besar dalam proses peradaban." (GM, Caping 13, h. 108-109)


"Engkau mengejar dunia dan segala kenikmatannya. Padahal, dunia adalah hukuman bagi Nabi Adam." --Syeikh Hasan al Bashri

“The good life is one inspired by love and guided by knowledge. Neither love without knowledge nor knowledge without love can produce a good life.” —Bertrand Russell

"Political language is designed to make lies sound truthful; bahasa politik dirancang untuk membuat kebohongan terdengar benar." --George Orwell, sastrawan Inggris.

"What you see and what you hear depends a great deal on where you are standing. It also depends on what sort of person you are; apa yang Anda lihat dan dengar sangat bergantung pada posisi Anda. Itu juga tergantung pada orang seperti apa Anda." --CS Lewis,  penulis Inggris.

"There is always a philosophy for lack of courage." --Albert Camus

The best answer to anger is silence. --Marcus Aurelius

"The hero is the man who is immovably centred." --Emerson

"The happiness of your life depends upon the quality of your thoughts." --Marcus Aurelius

“The man of knowledge must be able not only to love his enemies but also to hate his friends; orang yang berilmu tidak hanya harus bisa mencintai musuhnya tapi juga bisa membenci temannya.” ― Friedrich Nietzsche 

Ralph Waldo Emerson (esais dan filsuf AS)—sebagaimana dikutip Jalaluddin Rakhmat, dalam tulisannya "Ali Syariati: Panggilan untuk Ulil-Albab", dalam Pengantar buku Ideologi Kaum Intelektual: Suatu Wawasan Islam, karya Ali Syari'ati—menyebut: "Is it so bad, then to be misunderstood? Pythagoras was misunderstood, and Socrates, and Jesus, and Luther, and Copernicus, and Galileo, and Newton, and every pure and wise spirit that ever took flesh. To be great is to be misunderstood." Kalau diterjemahkan secara bebas, kira-kira: apakah disalahpahami itu adalah suatu hal yang sangat buruk? Pythagoras disalahpahami. Juga Socrates. Juga Yesus. Juga Luther. Juga Copernicus. Juga Galileo. Juga Newton—dan setiap manusia yang berjiwa murni dan bijaksana (orang-orang besar dalam sejarah kehidupan manusia) pernah disalahpahami. Artinya, orang yang benar dan hebat itu sering disalahpahami dan terkadang banyak orang salah mengerti dengannya. Menjadi hebat harus siap disalahpahami. To be great is to be misunderstood. Menjadi hebat berarti disalahpahami.

"He who cannot obey himself will be commanded; dia yang tidak bisa menaati dirinya sendiri akan diperintahkan." --Friedrich Nietzsche

"And those who were seen dancing were thought to be insane by those who could not hear the music; dan mereka yang terlihat menari dianggap gila oleh mereka yang tidak bisa mendengar musiknya." --Friedrich Nietzsche

"Never argue with stupid people, they will drag you down to their level and then beat you with experience; jangan pernah berdebat dengan orang bodoh, mereka akan menyeret Anda ke level mereka dan kemudian mengalahkan Anda dengan pengalaman." --Marx Twain

"A man who fears suffering is already suffering from what he fear." --Confusius

"Penafsiran keagamaan sangat diwarnai oleh konteks historis di mana dan kapan tafsir itu muncul." --Mun'im Sirry dalam: https://www.facebook.com/share/p/fzys6WhpohNuHRz9/?mibextid=oFDknk) 

"Ketika kamu menyampaikan kebenaran," kata Imam Syafi'i, "akan ada dua reaksi yang berbeda: orang cerdas akan merenung; orang bodoh akan tersinggung." Dan, kata Imam Syafi'i lagi, "Setiap kali berdebat dengan kelompok intelektual, aku selalu menang. Tapi anehnya, kalau berdebat dengan orang bodoh, aku kalah tanpa daya.”

"Fenomena kemenangan Prabowo adalah sebuah 'teks terbuka' yang bisa dipahami secara berbeda-beda." --Ulil Abshar Abdalla, dalam kolom Kompas, "Memahami Kemenangan Prabowo", 15 Februari 2024.

SIAPA RAUSYANFIKR? 

"Rausyanfikr adalah kata Persia yang artinya 'pemikir yang tercerahkan'. Dalam terjemahan Inggris terkadang disebut intellectual atau freethinkers. Rausyanfikr berbeda dengan ilmuwan. Seorang ilmuwan menemukan kenyataan, seorang rausyanfikr menemukan kebenaran. Ilmuwan hanya menyampaikan fakta sebagaimana adanya, rausyanfikr memberikan penilaian bagaimana seharusnya. Ilmuwan berbicara dengan bahasa universal, rausyanfikr—seperti para nabi—berbicara dengan bahasa kaumnya. Ilmuwan bersikap netral dalam menjalankan pekerjaannya, rausyanfikr melibatkan diri pada ideologi." —Jalaluddin Rakhmat, dalam Pengantar buku Ali Syari'ati, Ideologi Kaum Intelektual: Suatu Wawasan Islam

“Violence is the last refuge of the incompetent. Kekerasan adalah perlindungan terakhir bagi mereka yang tidak kompeten.” ― Isaac Asimov

"Jika kamu cukup berani untuk mengucapkan selamat tinggal, kehidupan akan membalasmu dengan halo baru; If you’re brave enough to say goodbye, life will reward you with a new hello." --Paulo Coelho

"A high degree of intellect tends to make a man unsocial; tingkat kecerdasan yang tinggi cenderung membuat seseorang menjadi tidak sosial." --Arthur Schopenhauer

"Jika kamu tak bekerja dengan cinta, tapi hanya dengan kebencian, lebih baik tinggalkan pekerjaanmu." Kahlil Gibran

Kata Alexis de Tocqueville, "A man cannot gradually enlarge his mind as he does his house." Seseorang tak dapat secara bertahap memperluas pikirannya seperti yang dilakukannya terhadap rumahnya. Dengan kata lain: memperbesar dan memperluas rumah secara bertahap itu lebih mudah dilakukan daripada memperluas pemikiran dan wawasan seseorang. 

"Seseorang yang takut akan penderitaan sebenarnya mereka sudah duluan menderita dengan apa yang ia takuti.” — Montaigne

Power without wisdom is dangerous, and what our age needs is wisdom even more than knowledge. Given wisdom, the power conferred by science can give a new degree of well-being to all mankind; without wisdom, it can bring only destruction. Kekuatan tanpa kebijaksanaan itu berbahaya, dan apa yang zaman kita butuhkan adalah kebijaksanaan, bahkan lebih dari pengetahuan. Dengan adanya kebijaksanaan, kekuatan yang diberikan oleh ilmu pengetahuan dapat memberikan tingkat kesejahteraan baru bagi seluruh umat manusia; tanpa kebijaksanaan, hal itu hanya akan membawa kehancuran.” — Bertrand Russell, Sifat dan Asal Usul Metode Ilmiah, transkrip siaran BBC, (27 Mei 1948)

"Biarkanlah kebaikanmu seperti hujan, yang tidak peduli pada siapa ia jatuh." (Jalaluddin Rumi, penyair sufi Persia) 

“Agamaku adalah agama cinta, yang senantiasa kuikuti kemanapun langkahnya. Itulah agama dan keimananku.” begitulah salah satu syair dari Muhyi al-Din Ibn Arabi dalam kitabnya Futuhat al Makkiyyah

"Jangan nasehati orang yang bodoh karena dia akan membencimu. Nasehatilah orang berakal, maka dia akan menghargaimu." (Sayidina Ali) 

"Sebanyak apapun mimpi kita, alam akan memberikannya sejauh ada pengetahuan." Mao, dalam buku Revolusi Kebudayaan (dikutip dari tulisan Yudi Latif di FB. 

“Siapa yg memperbanyak istighfar, Allah akan membebaskan dr kedukaan, keluar dr kesempitan  & rezki dr arah yg tidak diduga2” (HR Abu Dawud)

"Banyak yang salah jalan tapi merasa tenang karena banyak teman yang sama-sama salah. Beranilah menjadi benar meskipun sendirian." (Baharuddin Lopa) 

Orang level atas membicarakan ide-ide besar. Orang level sedang membicarakan peristiwa-peristiwa yang terjadi, misalnya . Orang level bawah membicarakan orang lain. (Socrates) 

"Cintailah sesuatu sewajarnya. Bencilah sesuatu sewajarnya. Karena, yang berlebihan itu membuat kita terperosok ke dalam jurang kekecewaan." Umar bin Khattab

"Tua itu tentang usia; dewasa itu tentang karakter. Semua orang pasti tua, tapi tak semua orang memiliki karakter dewasa." 

PESAN IMAM SYAFI'I

"Bila kamu tak tahan penatnya belajar, maka kamu akan menanggung perihnya kebodohan." (Imam Syafi'i)

"Jangan cintai orang yg tidak mencintai Allah, kalau Allah saja ia tinggalkan, apalagi kamu." (Imam Syafi'i)

"Barangsiapa yang menginginkan husnul khatimah, hendaklah ia selalu bersangka baik dengan manusia." (Imam Syafi'i)

"Doa di saat tahajud adalah umpama panah yang tepat mengenai sasaran." (Imam Syafi'i)

"Ilmu itu bukan yang dihafal tetapi yang memberi manfaat." (Imam Syafi'i)

"Siapa yang menasehatimu secara sembunyi-sembunyi, maka ia benar-benar menasehatimu. Siapa yang menasehatimu di khalayak ramai, dia sebenarnya menghinamu." (Imam Syafi'i)

"Berapa banyak manusia yang masih hidup dalam kelalaian, sedangkan kain kafan sedang ditenun" (Imam Syafi'i)

"Jadikan akhirat di hatimu, dunia di tanganmu dan kematian di pelupuk matamu." (Imam Syafi'i)

"Berkatalah sekehendakmu untuk menghina kehormatanku, diamku dari orang hina adalah suatu jawaban. Bukanlah artinya aku tidak mempunyai jawaban, tetapi tidak pantas bagi singa meladeni anjing." (Imam Syafi'i)

"Amalan yang paling berat diamalkan ada 3 (tiga): 1. Dermawan saat yang dimiliki sedikit; 2. Menghindari maksiat saat sunyi tiada siapa-siapa; 3. Menyampaikan kata-kata yang benar di hadapan orang diharap atau ditakuti" (Imam Syafi'i)

"Orang yang hebat adalah orang yang memiliki kemampuan menyembunyikan kemeralatannya, sehingga orang lain menyangka bahwa dia berkecukupan karena dia tidak pernah meminta." (Imam Syafi'i)

"Orang yang hebat adalah orang yang memiliki kemampuan menyembunyikan amarah, sehingga orang lain mengira bahwa ia merasa ridha." (Imam Syafi'i)

"Orang yang hebat adalah orang yang memiliki kemampuan menyembunyikan kesusahan, sehingga orang lain mengira bahwa ia selalu senang." (Imam Syafi'i)

"Apabila engkau memiliki seorang sahabat yang membantumu dalam ketaatan kepada Allah, maka genggam eratlah ia, jangan engkau lepaskan. Karena mendapatkan seorang sahabat yang baik adalah perkara yang sulit, sedangkan melepaskannya adalah perkara yang mudah." (Imam Syafi'i)

Pesan Imam Syafi'i. 
Nanti di akhir zaman akan banyak ulama yang membingungkan umat, sehingga umat bingung mana ulama warosatul anbiya & mana ulama suu' yang menyesatkan.

Pesan Imam Syafi'i:
"Carilah ulama yang dibenci oleh orang2 kafir & munafik, dan jadikanlah dia ulama yang membimbingmu & jauhi ulama yg dekat dengan orang2 kafir & munafik, karena dia akan menyesatkanmu & menjauhkanmu dari keridhoan Allah SWT."

***

"Otonomi manusia berakar dalam 'kata hati' dalam kesadaran tegas seseorang bahwa apa pun yang diharapkan atau dituntut lingkungannya, ia harus mengikuti 'kata hati' yang mengatakan kepadanya bahwa ia tak pernah boleh melakukan sesuatu yang tidak baik, tidak jujur, dan tidak adil. Berhadapan dengan kata hati orang menyadari bahwa ia sendiri yang harus mempertanggungjawabkan apa yang dilakukannya. Namun sekaligus ia berhadapan dengan tradisi, kebiasaan-kebiasaan dan tatanan hukum masyarakat yang menuntut agar manusia menyesuaikan diri terhadapnya. Adalah tantangan orang untuk merealisasikan otonominya berhadapan dengan acuan realitas sosial di dalamnya ia hidup. Bagaimana tantangan itu berhasil dijawab, di satu pihak tergantung dari bagaimana ia mengintegrasikan nilai-nilai hakiki, dari lain pihak, juga tergantung dari nilai-nilai yang menentukan wujud tatanan objektif masyarakat dan kebudayaannya." (Franz Magnis-Suseno, Pijar-Pijar Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 2005, h. 137)

Inti peralihan ke kebudayaan modern dalam Renaissance adalah perubahan paradigma. Perubahan paradigma itu menginisiasikan pergeseran dari budaya ekspresif di mana nilai-nilai religius, estetik dan komunal unggul, ke budaya progresif dengan dominasi nilai-nilai rasionalitas dan ekonomi. Sutan Takdir Alisjahbana berpendapat bahwa modernitas merupakan gerak budaya yang tidak mungkin ditahan kembali. Menurut dia ada dua alasan. Pertama, modernitas melahirkan gaya berpikir yang sangat berbeda dari cara berpikir pramodern di semua kebudayaan dunia. Pikiran modern ditandai oleh rasionalitas, materialisme, dan individualisme. Kedua adalah bahwa peluasan gaya berpikir itu kemana-mana tidak dapat dicekal karena pertukaran komunikasi internasional semakin padat: Orang tak dapat dipotong dari hubungannya dengan dunia luar dan budaya-budaya lain, dengan gagasan orang di lain tempat, dengan pelbagai pola kebudayaan. Itulah yang berada di belakang dinamika modernitas. (Franz Magnis-Suseno, Pijar-Pijar Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 2005, h. 140)

*** 

Kita dapat melanjutkan proposal imperatif kebebasan ini, dengan memperhatikan konsep Lefort tentang politik sebagai “ruang kosong” (the locus of power is an empty place). Yaitu bahwa demi pengalaman kebebasan dan keadilan, politik tidak boleh dihuni oleh jawaban final, melainkan oleh rentetan pertanyaan yang terus-menerus diajukan. Inilah inti demokrasi yang harus terus diselamatkan dari incaran totalitarianisme. Sekali lagi, kita memperoleh argumen tentang bahaya dari semua obsesi yang hendak menjadikan politik sebagai praktik absolutisasi nilai. Fasilitas demokrasi adalah fasilitas yang disediakan untuk mengolah conflicting claims dalam masyarakat, dan bukan untuk memfasilitasi satu sistem etika tertutup atau suatu rasionalitas efisiensi. Kita perlu merelevansikan keterangan ini dalam upaya membentengi politik dari kepungan fundamentalisme agama dan fundamentalisme pasar. Demokrasi memang harus mempertahankan suatu kondisi hermeneutis (qestionability), karena hanya dengan cara itu ia mampu mempertahankan ruang kosong itu agar terus berada dalam kondisi falibilis. Di sini, yang lebih penting bukan bagaimana menjalankan politik melalui lembaga-lembaga formalnya, melainkan bagaimana membuat politik terus hidup dengan mempertanyakan terus berbagai formalitas (hukum, moral komunal, agama, pemilu, ekonomi). (Rocky Gerung, Pengantar dalam Bagus Takwin, dkk., Kembalinya Politik: Pemikiran Politik Kontemporer dari (A)rendt sampai (Z)izek) 

***

SENI

Susanne K. Langer (1895-1985)–filsuf wanita kelahiran Amerika–mendefinisikan seni sebagai "kreasi bentuk-bentuk simbolis dari perasaan manusia. Bentuk simbolis yang dilemparkan seniman dalam kreasi seninya itu tidak berasal dari pikirannya, melainkan dari perasaannya, atau lebih tepat dikatakan sebagai formasi pengalaman emosionalnya."

Kalau bentuk simbolis itu berasal dari pikirannya, maka akan dihasilkan suatu 'insight' filosofis, tetapi karena berasal dari perasaan, maka yang dihasilkan adalah 'insight' estetis. 

(A. Sudiarja, "Susanne K. Langer: Pendekatan Baru dalam Estetika", dalam M. Sastrapratedja [ed], Manusia Multi Dimensional: Sebuah Renungan Filsafat, Jakarta: PT Gramedia, 1983, hlm. 74-75)

***



0 komentar:

Posting Komentar