Oleh: Nani Efendi
Pilkada serentak di seluruh Indonesia akan dilaksanakan beberapa bulan lagi: 27 November 2024. Saat ini, sudah mulai bermunculan beberapa nama yang diprediksi ikut dalam pilbup Kerinci mendatang. Ada figur-figur yang relatif populer, ada juga wajah-wajah baru yang belum dikenal luas oleh masyarakat. Tak ada salahnya. Begitulah idealnya demokrasi.
Dalam demokrasi, orang punya hak untuk memilih dan dipilih (the right to vote and the right to be candidate). Tapi, dengan kondisi Kerinci hari ini—pasca dimekarkan 15 tahun silam—yang belum mengalami kemajuan yang berarti, figur bupati seperti apa yang pas untuk memimpin Kerinci? Tulisan ini adalah pendapat pribadi saya. Orang boleh sepemikiran atau sebaliknya.
Tiga motif orang berpolitik
Secara umum, ada tiga motif orang berpolitik: pertama job seeker, atau mencari pekerjaan. Kedua, mengejar kekuasaan (power seekers), dan ketiga, panggilan jiwa (mengabdi) untuk memperbaiki kondisi masyarakatnya. Di masa serba kecukupan, jenis ketiga jarang muncul.
Yang banyak, terutama untuk kondisi saat ini, adalah golongan pertama dan kedua, yakni para pencari kerja (job seekers) dan pencari kekuasaan (power seekers). Jenis ketiga biasanya muncul di saat kondisi krisis, seperti saat perang, saat revolusi, atau zaman chaos. Misalnya, waktu zaman perjuangan kemerdekaan, seperti Indonesia tahun 40-an. Atau seperti di Palestina saat ini. Dalam kondisi Palestina saat ini, misalnya, hanya yang memiliki panggilan jiwa saja yang mau dan berani berpolitik.
Karena menjadi pemimpin di saat sulit harus siap menderita. Karena itulah ada kredo: "Memimpin adalah jalan menderita. Pemimpin adalah orang yang kesepian."
Jadi, berbicara politik, terutama untuk konteks saat ini, besar kemungkinan jenis politisi yang banyak muncul adalah tipe pertama dan kedua: pencari kerja dan pencari kekuasaan. Kalau pun ada yang tipe ketiga, jumlahnya saat ini sangatlah sedikit. Bahkan, terbilang langka. Tapi mungkin ada.
Figur bupati seperti apa yang pas?
Masyarakat Kerinci relatif homogen. Masyarakat homogen adalah masyarakat yang berasal dari satu etnis atau satu golongan, satu ras, satu agama, dan satu pola pikir dalam pengertian absolut. Memimpin masyarakat homogen, dalam hal tertentu, relatif sulit ketimbang masyarakat heterogen. Dibutuhkan figur pemimpin yang benar-benar pas untuk menata dengan baik kondisi kehidupan masyarakat.
Untuk konteks Kerinci, figur pemimpin seperti apa yang pas? Menurut saya, ada beberapa tipe yang pas untuk memimpin Kerinci dalam kondisi seperti sekarang.
Pertama, demokratis-deliberatif. Artinya, ia haruslah figur komunikatif: membuka komunikasi yang luas kepada masyarakat. Tak bisa memimpin Kerinci dengan cara menutup diri. Ridwan Kamil adalah contoh yang baik dalam konteks ini.
Kedua, tegas dan tulus. Tak munafik. Ahok contohnya. Ahok memang terkadang "tak sopan": tak disukai banyak orang karena ceplas-ceplos. Tapi ia lurus, jujur dan otentik. Ahok kasar, tapi tulus dan lurus. Itu lebih baik, ketimbang sopan santun, bergaya baik, tapi tak tulus, tak lurus, dan korup. Bergaya sopan santun tapi tak lurus itulah yang disebut munafik.
Kata Rocky Gerung, "Sopan santun itu bahasa tubuh. Pikiran tak memerlukan sopan santun. Dalam politik, pikiran yang disopan-santunkan adalah sebuah kemunafikan." Kerinci tak butuh pemimpin yang hanya berpenampilan alim (pakai baju koko, peci, sorban, jenggot). Tak perlu itu. Yang perlu ialah yang benar-benar lurus dan tulus hati untuk melayani dan memimpin dengan benar. Yang benar katakan benar, yang salah katakan salah. Oleh karenanya dia harus siap kehilangan jabatan. Jangan karena ingin hidup nyaman, ingin jabatan langgeng, banyak penyimpangan dibiarkan. Bahkan menjadi bagian dari sistem yang menyimpang. Karena takut nanti terlalu keras, jabatannya digoyang orang. Kalau takut kehilangan jabatan, sebaiknya tak usah jadi bupati. Menjadi pemimpin harus siap menderita demi masyarakat yang dipimpin.
Ketiga, bukan tipe pedagang atau "orang proyek". Bukan berarti yang background pedagang atau kontraktor proyek tak boleh. Bukan. Tapi, yang saya maksud: setelah jadi bupati, tak boleh memimpin dengan gaya pedagang atau "main proyek", yakni berpikir cari untung. Ingat, dalam etika politik: pemerintah tak boleh berbisnis dengan rakyatnya.
Keempat, punya ide-ide cerdas untuk kemajuan. Terlalu banyak yang harus dibenahi di Kerinci saat ini. Di antaranya, misalnya, pengelolaan dana desa, dana BOS, anggaran-anggaran dinas atau instansi, anggaran proyek-proyek strategis, dll. Ia harus di-manage dengan baik agar tepat sasaran dan tak dikorup dalam motif apapun. Termasuk, yang perlu dibenahi segera adalah sektor pendidikan, sektor kesehatan, birokrasi yang bersih dan melayani masyarakat dengan baik, peningkatan kualitas dan kuantitas infrastruktur, peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat, dan lain-lain.
Oleh karena itu, calon bupati kedepan harus mampu mengurai problem Kerinci hari ini. Tanpa mengetahui problem, maka, ibarat diagnosis, bisa jadi salah juga dalam memberikan obat. Akibatnya: bukan sembuh, tapi tambah parah. Oleh karena itu, calon bupati harus mengetahui persoalan, baru kemudian menawarkan solusi pembenahan.
Kelima, mampu membenahi birokrasi dengan baik. Pelayanan birokrasi di Kerinci belum memuaskan. Mental sebagian besar aparat birokrasi masih feodal: suka dilayani ketimbang memberikan pelayanan.
Keenam, tipe pemikir. Ia harus berwawasan luas. Tapi bukan berarti harus berpendidikan formal tinggi seperti harus doktor atau profesor. Tidak. Karena banyak juga orang yang pendidikan formal tinggi tapi wawasannya sempit. Yang dibutuhkan ialah yang berwawasan luas, pembelajar, dan pemikir.
Ada banyak contoh pemimpin yang pendidikan formal biasa saja, tapi punya wawasan luas, punya kemampuan manajerial dan leadership yang luar biasa. Mereka misalnya, Jusuf Kalla, Aburizal Bakrie, Susi Pudjiastuti, Ahok, dll.
Adakah muncul sosok pemimpin dengan kriteria di atas itu untuk memimpin Kerinci kedepan? Wallahu a’lam bishawab.
0 komentar:
Posting Komentar