Oleh: Afan Gaffar
(EDITOR, No. 49, Tahun III, 18 Agustus 1990)
Barangkali kita semua pernah berhubungan dengan dukun. Ketika saya masih kecil, kalau saya sakit ibu saya meminta paman saya untuk membaca sesuatu pada segelas air putih yang kemudian saya minum. Entah karena kuatnya hubungan batin saya dengan paman maka saya segera sembuh. Paman saya memang dianggap sebagai orang pintar yang sangat disegani. Dia tahu segalanya. Saya melihat banyak sekali orang yang datang ke rumahnya, minta nasihat, minta anak perempuannya cepat dapat jodoh, minta cepat naik pangkat, minta dagangannya laris, dan lain-lainnya.
Dalam masyarakat tradisional, apalagi masyarakat primitif-agraris, peranan dukun sangat sentral. Dukun adalah penasihat kepala suku, panglima perang, dan masyarakat secara keseluruhannya. Ia adalah intelektual. Pengetahuannya luas, tidak hanya ilmu sosial, tapi juga ilmu alamiah.
Tidak berarti dalam konteks dunia modern peranan dukun sudah hilang. Mungkin hanya namanya saja yang berganti. Nancy Reagan punya spiritual adviser yang membantunya menentukan hari yag tepat, kapan Ronald Reagan akan mengadakan perjalanan, kapan akan bertemu dan berunding dengan Gorbachev, kapan memberikan konferensi pers di Gedung Putih supaya tidak dikerjain oleh wartawan Amerika yang sangat galak seperti Sam Donaldson misalnya.
Dalam konteks Indonesia modern, tentu saja, juga berkembang cerita mengenai dukun, terutama dalam kaitannya dengan pejabat. Hanya saja cerita-cerita tersebut sangat sulit dikonfirmasikan.
Yang jelas, peranan dukun memang sudah terbatas. Tapi kini muncul figur baru yang dapat menggantikan dukun, yakni apa yang disebut sebagai intelektual, terutama yang bergelar doktor.
Dalam masyarakat kita sekarang, seorang doktor dianggap tahu segalanya. Asal seseorang mempunyai derajat doktor, dia menjadi tempat untuk meminta pandangan yang menyangkut beberapa hal. Akibatnya sang doktor bicara soal politik, soal ekonomi, kebudayaan, agama, kemasyarakatan. Ada doktor psikologi berbicara tentang politik, tentang korupsi, tentang birokrasi, disiplin nasional, yah semuanya ia ketahui. Ada doktor politik berbicara tentang ekonomi mikro, doktor ekonomi berbicara tentang pemilu, protes mahasiswa.
Ada dua tipe doktor di Indonesia. Yang pertama doktor dalam dunia akademik yang diperoleh melalui proses akademik yang cukup panjang, frustasi, dan melelahkan. Ada produk dalam negeri dan ada pula yang produk luar negeri. Mereka adalah ilmuwan yang mempunyai profesi akademik. Tipe kedua adalah doktor honoris causa. Diberikan kepada seseorang sebagai suatu penghargaan karena jasanya dalam mengabdi masyarakat. Mereka bukan imuwan yang mempunyai kursi akademik, akan tetapi bisa saja tokoh masyarakat yang kemudian menjadi pemerhati. Umumnya orang enggan untuk menggunakannya. Pak Natsir, misalnya, tak pernah menyatakan dirinya sebagai doktor, demikian juga dengan Jenderal Nasution. Doktor yang ini pun ada produk dalam negeri dan ada yang luar negeri. Yang paling populer di Indonesia adalah keluaran Taiwan.
Doktor dalam masyarakat modern menjadi identik dengan dukun dalam masyarakat primitif-agraris. Mengapa demikian? Ada dua penyebabnya. Pertama, masyarakat sendiri yang menghendakinya, masyarakat yang mempunyai persepsi bahwa doktor itu adalah puncak dari pekembangan intelektual seseorang.
Akibatnya, dukun dan doktor identik dengan balsem. Balsem dapat digunakan untuk sakit encok, gatal-gatal, pegal-linu, sakit perut, sakit kepala, asmuk angin, demam.
Seharusnya, para ilmuwan tahu diri atau membatasi diri. Ada hal-hal yang menyangkut jauh di luar otoritas keilmuan mereka. Sudah semestinya para ilmuwan untuk berbicara dalam bidang keilmuan yang diperdalaminya saja, karena pada suatu waktu akan dipertanyakan kompetensi dan otoritas kepribadiannya. Ilmuwan politik saja dapat digolongkan dalam beberapa jenis. Ada yang ahli ilmu internasional, administrasi negara, ada yang ahli politik Indonesia. Yang terakhir ini pun ada yang ahli militer dan politik, ada pula yang ahli kepartaian, pemilu, dan demokrasi. Mereka yang pernah belajar di Amerika memang belajar banyak sekali, karena di sana memang harus menelan yang banyak karena sistem kredit yang sangat ketat dan terorganisir dengan baik. Tapi, itu tidak berarti doktor sama dengan dukun.
Afan Gaffar, LULUSAN OHIO STATE UNIVERSITY. KINI DOSEN FISIPOL UGM
Sumber: EDITOR, No. 49, Tahun III, 18 Agustus 1990
0 komentar:
Posting Komentar