Oleh: Ariel Heryanto
(FORUM KEADILAN, Nomor 02, Tahun VI, 5 Mei 1997)
Sedikitnya, dalam sepuluh tahun belakangan, istilah “hegemoni” sangat populer di kalangan cendekiawan Indonesia. Seperti istilah lain yang sedang tenar, istilah hegemoni dipakai oleh banyak pihak dengan pengertian yang berbeda-beda. Orang yang paling berjasa mempopulerkan istilah hegemoni adalah Antonio Gramsci, seorang intelektual Italia yang mengakhiri hayatnya di penjara. Konsep itu diluncurkan Gramsci sekitar tahun 1926, dalam sebuah analisa tajam untuk mengkritik pandangan Marxisme, yang pada masa itu sedang membeku menjadi dogmatis.
Menurut Gramsci, kekuasaan yang langgeng membutuhkan dua perangkat kerja. Yang pertama berupa tindakan kekerasan yang bersifat memaksa. Yang kedua bersikap lunak, membujuk. Perangkat keras yang memaksa itu dilaksanakan oleh lembag-lembaga seperti hukum, militer, polisi, penjara. Sedang yang lunak dan membujuk dilancarkan dalam pranata kehidupan swasta, seperti dalam kehidupan agama, pendidikan, kesenian, keluarga.
Bukan kebetulan bila istilah hegemoni menjadi populer berbarengan dengan dua istilah lain dalam bahasa Inggris, yakni state dan civil society. Menurut Gramsci, perangkat keras yang bersifat memaksa dilaksanakan oleh pranata negara (state). Yang lunak membujuk dilaksanakan oleh civil society. Uraian Gramsci itu merupakan pembangkangan terhadap tradisi intelektual Marxisme yang terbiasa menjelaskan berbagai gejala sosial dalam kerangka pertentangan kelas sosial. Popularitas Gramsci melambung bersamaan rontoknya wibawa negara-negara komunisme, semakin kaburnya hubungan kelas di negeri-negeri kapitalisme, dan semakin tumpulnya analisa kelas untuk menjelaskan berbagai penindasan sosial.
Bila kekuasaan hanya dicapai dengan mengandalkan kekuatan memaksa, maka yang tercapai hanyalah “dominasi”. Di sini bisa tercipta “stabilitas dan keamanan”. Tidak adanya gejolak atau oposisi itu bisa terjadi karena rakyat tidak berkutik. Yang membangkang dibungkam. Modusnya bisa diculik, dianiaya, di-“aman”-kan pihak keamanan, diadili, dan dipenjarakan sebagai subversi, atau diserbu. Tindakan memaksa dengan kekerasan itu sangat mutlak diperlukan penguasa. Tetapi, dominasi semacam itu tidak akan mampu melanggengkan kekuasaan.
Untuk melestarikan kekuasaan, menurut Gramsci, dominasi harus dilengkapi—dan lama-kelamaan digantikan—oleh hegemoni. Fungsi hegemoni adalah mengabsahkan penguasa dan segala ketimpangan sosial yang diakibatkan oleh kekuasaan itu. Bila hegemoni tercapai, penguasa tak perlu terus-menerus menindas karena yang tertindas pasrah pada status quo. Mereka terbujuk untuk tidak lagi melihat adanya ketimpangan yang merugikan mereka sendiri. Atau melihatnya sebagai sesuatu yang wajar, alamiah, bahkan adil dan sesuai kehendak Ilahi.
Bertentangan dengan sejumlah Marxis yang dogmatis, Gramsci berpendapat, di beberapa masyarakat yang sudah mapan, hegemoni itu sedemikian hebatnya, sehingga rakyat tunduk terhadap penguasa, tanpa perlu ada sensor, pasukan antihuru-hara, demonstrasi tandingan, atau ular piton. Itu sebabnya, tidak dalam setiap penindasan, pihak yang tertindas melakukan perlawanan terhadap yang menindas. Sejarah kaya dengan contoh. Mulai dari zaman perbudakan, kerajaan feodal, kolonialisme, hingga penindasan terhadap perempuan.
Tentu saja, mencapai kekuasaan yang hegemonis (membuat yang tertindas bahagia ditindas) jauh lebih sulit ketimbang sekadar mencapai dominasi (penindasan yang keji). Sebaliknya, masih menurut Gramsci, perlawanan dapat diawali dengan hegemoni tandingan. Tidak harus lewat revolusi bersenjata dan hiruk-pikuk konfrontatif. Dulu, kaum Marxis menganggap penyebaran “ideologi’ sebagai jawabnya. Karena itu, banyak penguasa dunia, baik yang mengaku memuliakan maupun mengutuk Marxisme, melancarkan indoktrinasi ideologi untuk mendapatkan keabsahan. Apa yang dibilang indoktrinasi dapat diselenggarakan dengan nama penataran, pidato, siaran pers, atau seminar.
Gramsci punya pandangan lain. Menurut dia, hegemoni dapat terbentuk melalui berbagai cara dan di berbagai wilayah kehidupan sehari-hari yang seakan tidak serius, tidak angker, tidak bersifat politis. Misalnya ya itu tadi: kebudayaan, kesenian, keagamaan, keluarga. Dan, yang lebih penting lagi, hegemoni tidak berarti membasmi semua unsur yang berbeda dari garis politik penguasa.
Hegemoni memberi toleransi bagi perbedaan dan bahkan perlawanan, hingga batas tertentu, sejauh dalam kendali sang penguasa. Dengan demikian, kaum tertindas diharapkan merasa senang dan berharap ada perbaikan walau masih dikuasai. Hegemoni bukan saja bersifat mengalah terhadap tuntutan musuh, tetapi juga menahan diri untuk tidak semata-mata memperjuangkan kepentingan sendiri secara vulgar. Yang dibutuhkan adalah “kemasan”. Kepentingan sendiri dibungkus dengan aneka kepentingan lain, sehingga tampil seakan mewakili kepentingan umum (misalnya kepentingan nasional). Hegemoni tandingan pun harus dibangun dengan cara yang sama.
Konsep hegemoni dapat membantu menjelaskan jasa wacana “bahaya komunis” dan ekstrem kanan dalam 30 tahun stabilitas Orde Baru. Mengapa sesudah 30 tahun stabil dan aman, ada yang merasa perlu membuat seminra tentang pidato Bung Karno “Nawaksara”? Atau juga, mengapa Gus Dur dapat bermesraan dengan siapa saja, mendukung tokoh terjungkal di satu hari, dan mengiklankan tokoh besar masa depan di hari yang lain?
Ariel Heryanto, Antropolog Sosial
Sumber: FORUM KEADILAN, Nomor 02, Tahun VI, 5 Mei 1997
0 komentar:
Posting Komentar