Oleh: Dr. Hamid Abdullah
Profesor Dr. T.B. Bottomore, yang menjabat sebagal Head of the Departement of Political Science, Sociology and Anthropology dari Universitas Simon Fraser, Vancouver, beranggapan bahwa elite intelektual adalah merupakan suatu kelompok sosial yang meskipun berjumlah kecil jika dibandingkan dengan jumlah kelompok sosial lainnya yang terdapat dalam kehidupan masyarakat, namun kelompok ini menduduki posisi yang sangat strategis dalam struktur sosial. Mereka, adalah sekelompok kecil manusia-manusia yang memiliki daya cipta atau kreatifitas, memiliki sistem berfikir yang dinamis, memiliki kemampuan transmission dalam masyarakat, dan yang paling penting adalah selalu bersikap kritis terhadap setiap ide (Ideologi).
Ada sebagian orang yang beranggapan bahwa kelompok elite bersumber atau berpusat di universitas. Lalu, mereka yang dapat dikategorikan sebagai kelompok ini adalah, mereka yang secara formal telah melalui pendidikan di universitas. Mereka yang belum atau tidak melalui pendidikan tinggi, adalah tidak dapat disebut sebagai kelompok intelektual. Pandangan yang terbatas ini tentang kategorisasi kelompok elite elite intelektual telah dibantah dengan tegasa oleh T.B Bottomore.
Kelompok elit intelektual menurut Bottomore, sama sekali tidak dapat ditentukan oleh pendidikan seseorang di universitas. Untuk menilai seorang manusia, apakah dia dapat disebut intelektual bukanlah ditentukan oleh apakah orang itu berpendidikan universitas atau bukan. Akan tetapi yang patut diperhatikan dari orang tersebut, adalah sistem berfikirnya dalam kehidupan masyarakat. Manusia, yang dapat disebut seorang intelektual, adalah yang dapat berfikir secara “sophisticated". Di sini, berperanan tidak saja unsur pendidikan formal di peringkat universitas, tapi lebih dari pada itu. Dia harus memiliki pengalaman yang luas, memiliki cakrawala pengetahuan yang luas dan dapat melakukan penilaian yang obyektif terhadap suatu masalah yang dihadapinya.
Kelompok ini dapat saja berasal dari berbagai kelompok sosial di masyarakat, seperti apa yang dikatakan oleh T.B. Botto more: They include writers, ar tists, Scientist, philosophers, religious thinkers, social theorists, political commentators. (T.B. Bottomore, Elites and Society, 1973).
Tertinggi
Memang, tidak dapat disangkal bangan munculnya kelompok elit intelektual ini pada umumnya bermula di universitas pada abadpertengahan di Eropa. Akan tetapi dalam perkembangan berikutnya, Jacques Le Goff beranggapan, bahwa elit intelektual itu telah berjaya membentuk dirinya dalam suatu kelompok sosial yang tersendiri dan membedakannya dengan kelompok sosial lainnya yang terdapat dalam masyarakat. Oleh karena kelompok itu intelektual ini memiliki ciri yang tersendiri jika dibandingkan dengan kelompok lainnya, maka Vilfredo Pareto menyebut mereka sebagai "the superior social groups".
Namun, yang patut diperhatikan di sini, adalah argumentasi dari Gaetano Mosca (lihat The Ruling Class) dan Vilfredo Pareto (lihat, The Mind and Society) yang pada hakekatnya menyatakan bahwa: Therefore, were concerned with elites in the sense of groups of people who ither exercised directly, or were in a position to influence very strongly the exercise of, political power. Jadi, jelas di sini bahwa kelompok elit intelektual mempunyal pengaruh dan peranan yang sangat kuat dalam masyarakat, khasnya dalam bidang politik. Kelompok ini meskipun jumlahnya kecil dan terbatas, tapi karena kemampuan intelegensia yang meyakinkan dengan kombinasi pengalaman dan kekayaan yang dimilikinya, maka Vilfredo Pareto menempatkan kelompok elit ini pada posisi yang tertinggi dalam kehidupan masyarakat, yaitu sebagai "Upper Stratum of Society".
Ketika menjelang Revolusi Prancis 1789 yang sangat terkenal itu karena menghasilkan sistem demokrasi moderen dalam kehidupan sistem politik di Eropa, maka kelompok elit intelektual ini secara langsung bertindak sebagai sponsor pembaharuan di masyarakat. Mereka, adalah terdiri atau berasal dari berbagai kelompok sosial seperti: cendikiawan universitas, para filosof, kelompok-kelompok aristokrat, pengacara/advokat, kaum borjuis, seniman-seniman, jurnalis, perwira tinggi militer, pendeta-pendeta, bankir-bankir, dimana kesemuanya itu saling mengikatkan diri dalam suatu bentuk kekuatan sosial dan kemudian melakukan propaganda politik di masyarakat.
Dari karya mereka itulah, ide pembaharuan melakukan pergeseran atau perubahan nilai terhadap sistem politik dan sistem sosial di masyarakat dilaksanakan. Crane Brinton mengkategorikan kelompok elit sebagai pelopor pembaharuan dalam kehidupan masyarakat Perancis yang pada masa itu sistem sosialnya adalah bersifat feodalistis dan sistem politiknya adalah despotisme. Seperti apa yang dikatakan T.B Bottomore: "The intelectual established themselves as crities of society by their opposition to the ruling class and to the church of the Ancien Regime.”
2 Sumber
Di Indonesia lahirnya kelopok elite intelektual bermula pada dua pusat pendidikan. Pertama, pada pusat pendidikan yang bersifat non formal yang umumnya berpusat di kawasan pedesaan. Kelompok yang termasuk dalam kategori ini dikenal dengan sebutan "Elit Pedesaan". Dasar utama pendidikan mereka bersifat religius dengan pusat pendidikannya di Pesantren, dan kemudian yang bertindak sebagai sponsor lahirnya elit ini adalah kelompok "ulama" dengan pendukung utamanya "masyarakat petani". Oleh karena mereka merupakan produk dari sistem pendidikan non formal yang berpusat di Pesantren, maka kelompok elit ini terkenal juga dengan nama "Elit Tradisional", ini berkaitan erat dengan faktor kuatnya pengaruh unsur budaya tradisional yang menjadi "setting" dari tingkah- laku sosial budaya mereka di masyarakat.
Pada zaman kolonial atau penjajahan Belanda, kelompok elit tradisional ini sangat ditakuti oleh pemerintah jajahan dan antek-anteknya. Mereka, adalah kelompok elit yang dapat menggerakkan rakyat dalam melakukan perlawanan politik melawan Belanda. Berbagai protes sosial dan bahkan pemberontakan petani yang terjadi di Jawa dan di luar Jawa, adalah secara langsung disponsori oleh kelompok "Elit Tradisional" ini. Selain itu, mereka juga merupakan kelompok sosial yang langsung mengontrol tingkah laku sosial budaya masyarakat pendukungnya. Namun, yang patut diperhatikan dalam konteks kepemimpinan mereka, adalah faktor dukungan yang bersifat totalitas dari para pendukungnya. Tokoh-tokoh elit tradisional ini umumnya yang bersifat kharismatik di masyarakat, dan faktor yang terakhir inilah yang membuat kelompok penguasa Belanda sangat takut kepada mereka.
Sedang kelompok kedua, adalah merupakan produk langsung dari sistem pendidikan Barat atau Belanda. Kelompok ini lahir di masyarakat pada kira-kira awal abad ke XX. Meskipun kelompok ini merupakan produk dari sistem pendidikan kolonial tapi sebahagian besar dari mereka itu adalah nasionalis-nasionalis sejati yang telah berjuang dengan gigih dan militan untuk merubah sistem nilai di masyarakat sebagai akibat dari penjajahan Belanda. Dan dalam tahun 20an mereka tampil ke depan sebagai pemimpin politik yang dengan tegas memperjuangkan kemerdekaan bangsanya. Kelompok elit intelektual yang termasuk dalam kategori inilah yang berjuang mati-matian untuk mencerdaskan bangsanya dari kebodohan dan berusaha pula mengangkat derajat manusia-manusia Indonesia ke tingkat yang terhormat dan martabatnya sama dengan bangsa-bangsa lain di muka bumi ini.
Namun, patut pula kiranya diperhatikan di sini bahwa kelompok "Elit Intelektual" yang merupakan produk sistem pendidikan Barat, terdapat sebahagian kecil yang telah terperangkap ke dalam pengaruh dan bujukan pemerintah jajahan. Mereka yang termasuk dalam kategori ini, adalah kelompok yang telah menjadi bahagian dari mekanisme politik pemerintah jajahan Belanda. Mereka juga dapat dikatakan sebagai manusia-manusia yang telah kehilangan identitasnya, dan telah berubah pula menjadi manusia yang "asing" terhadap budaya bangsanya sendiri.
Kecuali itu, mereka memiliki pandangan yang bersifat mitos terhadap Barat. Dengan pengertian, bahwa mereka memandang Barat sebagai kelompok bangsa yang sangat hebat dan tidak mungkin disamal tingkatan budayanya. Kelompok elit intelektual yang menjadi pendukung budaya Barat/Belanda, merupakan lawan yang sangat merugikan perjuangan para nasionalis-nasionalis kita.
Penulis adalah staf pengajar di Fakultas Sastra Undip
Sumber: Suara Merdeka, 28 Agustus 1985
0 komentar:
Posting Komentar