![]() |
Tommy F Awuy, dosen filsafat yang berpenampilan gaul dan funky |
Oleh: Tommy F Awuy
Salah satu fenomena menarik era Reformasi nampak pada usaha sebagian kalangan masyarakat untuk menghindari dan membongkar bentuk kooptasi kekuasaan atas kemajemukan suara. Sekian lama sudah suara-suara kritis dari berbagai kalangan seperti ilmuwan, pemuka agama, seniman, cendekiawan, dan pers misalnya, redam atau terdiam begitu saja, baik karena mereka memang terkooptasi atau ‘terpaksa’ harus bersentuhan dengan penguasa karena punya maksud-maksud tertentu.
Pada kondisi yang kini berbeda, mereka tak segan-segan lagi bersuara lantang, mungkin malah menghujat, atau ramai-ramai membuat partai untuk mengisi ruang majemuk sekaligus menampung dan merepresentasikan suara-suara yang berbeda. Namun soal apakah benar-benar ada kesungguhan sikap demokratis di balik itu dan apakah Kabinet Reformasi punya niat keras membangun paradigma pembangunan sesuai dengan tuntutan reformasi, untuk sementara bolehlah disebut belum menjanjikan dan menjamin.
Mentalitas atau kultur untuk hidup dalam ruang dan suasana dialogis dari kemungkinan-kemungkinan adanya konflik kepentingan harus diakui bagi kita belum mentradisi. Perbedaan selama Rezim Orde Baru selalu sengaja ditutup-tutupi dan hal itu menyebabkan kita kehilangan pengalaman dan sejarah. Pendeknya, ‘teknologi kekuasaan’ Orde Baru berhasil membangun ‘mental afirmatif’ yang memang telah dengan begitu cerdik memanfaatkan sebagian besar rakyatnya yang belum ‘melek politik’. Kondisi rakyat seperti ini sangat mudah menyerap slogan-slogan pembangunan dan dari situ digeneralisasi bahwa masyarakat kita belum siap menerima nilai-nilai atu pola-pola pemikiran yang secara ideologis berbeda dengan suara penguasa (pihak yang merasa paling berotoritas bersuara mengatasnamakan Pancasila).
***
Persoalan sekarang, siap atau tidak, suka atau tidak, selayaknyalah segala sesuatu kita persoalkan secara mendasar dan radikal. Perbedaan suara atau pola pikir, keterbukaan, transparansi, kritisisme, kebebasan, otonomi, dan kata-kata lainnya yang sejenis misalnya, yang kalau tidak sekarang waktunya kita berdayakan lantas kapan lagi?
Sedikit menyinggung kembali soal di atas, kegagalan Orde Baru yang bersifat sangat mendasar ialah usahanya untuk mengkooptasi berbagai makna dan suara ke dalam sebuah kekuasaan yang tunggal. Berbagai perbedaan pola pikir selalu dipolitisir sedemikian rupa ke dalam pola kekuasaan dengan memperalat konsep ‘stabilitas nasional’, bukan karena alasan substansial. Di permukaan kelihatan penguasa sangat kuat sementara masyarakat sangat lemah.
Penunggalan antara bidang politik-ideologi dengan nilai-nilai kultural pada gilirannya justru memperburuk citra dari semboyan ‘persatuan dan kesatuan’ bangsa itu sendiri. Tetapi kesadaran lalu muncul bahwa usaha pengkooptasian atas perbedaan makna oleh kekuasaan semacam itulah yang menumbuhkan benih represif. Hal ini justru sangat terasa dalam cara penguasa untuk memasyarakatkan Pancasila misalnya, lewat pendidikan P4 yang biasanya segera menahan pertanyaan-pertanyaan kritis dari peserta sehingga mematikan suasana dialogis. “Kacamata kuda” sangat aku di sini.
Pengkooptasian terhadap makna atau suara yang majemuk oleh kekuasaan lalu justru memperlihatkan kelemahan substansial dari kekuasaan itu sendiri. Perlahan-lahan namun pasti, masyarakat ‘tercerahkan’ untuk bisa membedakan mana kekuasaan yang berdiri di atas legitimasi hukum dan mana kekuasaan yang sekadar memperalat hukum dengan alasan persatuan dan kesatuan bangsa.
Pandangan bahwa “kekuasaan yang banyak memerintah justru di situlah letak kelemahannya” menjadi kenyataan ketika muncul “krisis kepercayaan” masyarakat terhadap pemerintah. Dan ini bisa sekaligus menjadi bahan pelajaran yang berarti bahwa “kekuasaan yang kuat justru apabila sedikit saja memerintah”. Artinya, ia harus tahu diri terhadap batas-batas kedaulatan hukum positif dan manakah daya-daya hukum normatif yang tidak boleh dicampuri atau dikooptasi oleh kekuasaan.
Salah satu cacat dari Orde Baru menjadi jelas ialah pada penguasaanya hingga pada wilayah-wilayah normatif, bahkan tidak segan-segan memasuki ruang-ruang agama dengan motif meredam SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) kendati di balik itu hanya polesan demi pemapanan kekuasaan. Kemajemukan di lain pihak yang juga sebenarnya diakui merupakan jiwa Pancasila dengan itu terbekukan. Tegasnya, kemajemukan sangat sulit menjadi state of mind bangsa ini akibat dari kooptasi. Dari pengalaman, sudah kita sadari sendiri bahwa makna suara yang berbeda oleh rezim Orde Baru bukan dilihat sebagai aset yang patut disyukuri, tetapi melulu sebagai ancaman. Unjuk rasa dari suara yang berbeda dengan pemerintah selalu dicurigai atau divonis sebagai gerakan subversi atau ‘anti-Pancasila’.
Di sini bukanlah dimaksudkan untuk menolak konsep “persatuan dan kesatuan” itu sendiri, namun hendak mempersoalkan interpretasi yang dikenakan padanya dan bagaimana itu dipraktekkan berdasarkan kepentingan sepihak. Jelas selama ini semangat “bhinneka tunggal ika” tidak secara konsisten dijalankan, karena seperti disinggung di atas, pemaksaan hirarkis atas konsep kesatuan oleh penguasa telah membekukan ruang makna kebhinekaan.
Untuk memaknai kembali konsep “persatuan dan kekuasaan” dan agar ia sehat sebagai dasar bagi rakyat untuk hidup bernegara tidak dengan lain cara kecuali mengembalikannya pada bahasa rakyat sendiri. Jiwa Reformasi tak lain tak bukan adalah kembali pada kedaulatan rakyat dengan visi memberdayakan suara-suara potensial untuk membangun “masyarakat yang sehat” (civil society). Di sini pemerintah harus tepat pada fungsi utamanya sebagai pengemban kedaulatan rakyat. Bagaimanapun dalam negara demokrasi, rakyatlah yang menentukan hidup-matinya negara.
Rakyat dalam hal ini tidak bisa dengan sesuka hati ditekan untuk sependapat dengan suara kekuasaan atas nama partisipasi atau cinta Tanah Air. Sehubungan dengan soal konsep “persatuan dan kesatuan” pemerintah seharusnya senantiasa jeli dan bijak untuk bagaimana mengartikannya secara proporsional atau dalam ruang-lingkup manakah ia secara tepat dimaknai politis dan dimaknai secara moral maupun kultural. Lebih lanjut saya akan menekankan kedua aspek ini.
***
Secara politis kita sadar bahwa “persatuan dan kesatuan” terkait dengan wilayah mekanisme kekuasaan dalam konteks pertahanan dan keamanan. Memang tak terelakkan, di sini dibutuhkan wibawa pemerintah untuk menciptakan stabilitas negara dari segala macam gangguan yang bersifat inskonstitusional. Rakyat pun niscaya membutuhkan kekuatan ini demi keamanan hidupnya, terutama akan jaminan hak asasinya. Dan wibawa yang dimaksud itu secara praktis akan nampak sejauh pemerintah menjalankan kedaulatannya dengan pendekatan persuasif dalam arti menekan sebisa mungkin tindak komunikatif seperti mengeluarkan pernyataan atau bahasa-bahasa yang bersifat intimidatif, ancaman, represif, apalagi yang berbau bahasa prokemisme.
Penggunaan bahasa-bahasa seperti di atas dengan sendirinya mengingkari keberdayaan hukum. Sebab, jika bahasa-bahasa seperti itu diucapkan oleh pemerintah maka artinya rakyat merasa dihadapkan pada sosok atau golongan penguasa tertentu, bukan pada mekanisme hukum yang seharusnya dihormati oleh pemerintah. Tepatnya, bukanlah karakter pemerintahan demokratis untuk menakut-nakuti rakyat dengan segala macam ancaman.
Sementara dari makna moral maupun kultural, konsep “persatuan dan kesatuan” hanya mungkin absah apabila itu semata-mata berdiri di atas “kesadaran atas makna kehidupan” dari potensi manusia individu per individu yang lalu berusaha mengembangkan potensinya itu ke dalam suatu kebersamaan (sosialitas). Di sini manusia membangun persepsi atas makna kehidupan ke dalam pola hubungan interaktif antara persamaan dan perbedaan (kekayaan makna). Namun dalam perspektif moral dan kultural, tidak semua unsur dari pola hubungan itu bisa diformalkan.
Banyaklah hal dari dimensi”pengkayaan makna kehidupan” yang belum dan tidak akan mungkin tercakup secara keseluruhan sebagai hukum positif bagi mekanisme permainan politik. Hal memilih cita-cita hidup dan sarana untuk mengaktualisasikan diri misalnya terasa mustahil diverbalkan ke dalam positivisme hukum. Maka di sinilah makna perbedaan itu menjadi sangat siginifikan untuk terus dijaga dan dihormati. Dengan perkataan lain, apabila konsep “persatuan dan kesatuan” dalam makna politis lantas memaksakan diri untuk menentukan makna moral dan kultural maka di sinilah cikal-bakal ambruknya konsep “persatuan dan kesatuan” itu sendiri. Dan demikianlah yang terjadi pada rezim Orde Baru yang hendak menguasai keseluruhan unsur kehidupan (totalitarian) ke dalam kekuasaan tunggal (otoritarian).
Perlu kiranya ditandaskan di sini bahwa makna politis pada dasarnya hanyalah akibat sampingan dari kesadaran atas kekayaan makna kehidupan. Makna politis memang niscaya dilandasi pada logika penyatuan persepsi dan logika inilah yang membedakannya dengan makna moral dan kultural yang berorientasi pada pengkayaan makna hidup seperti yang disinggung di atas.
Belajar dari kekeliruan selama ini, kita perlu mengambil sikap bahwa janganlah wilayah ideologi-politik yang serba terbatas malah memaksa diri untuk membatasi wilayah yang lebih luas dan demikian kaya makna. Membekukan wilayah kultural sama halnya mengingkari realitas kehidupan itu sendiri. Sementara kehidupan itu sendiri selalu bergerak, berubah, semakin kompleks sehingga membutuhkan cara-cara antisipatif yang luwes. Setiap sistem politik apa pun yang menentang hukum kemajemukan hidup ini akan terpental dengan sendirinya.
Tommy F Awuy, pengajar filsafat di Fakultas Sastra UI dan IKJ. Ketua Lembaga Studi Filsafat (LSF) Jakarta.
Sumber: Kompas, 26 Oktober 1998
0 komentar:
Posting Komentar