Kata Nietzsche, "If you wish to strive for peace of soul and pleasure then believe, if you wish to be a devotee of truth, then inquire." Jika Anda ingin memperjuangkan ketenangan jiwa dan kenikmatan maka berimanlah. Jika Anda ingin menjadi penyembah kebenaran maka bertanyalah.
Nietzsche seorang atheis. Nietzsche tak percaya pada Allah. Itu disebabkan karena kepercayaan baginya menunjukkan sikap yang lemah, yang segan mengejar kebenaran sampai tuntas.
Kepercayaan tak menunjukkan kehendak yang kuat yang pantang menyerah kendati berbagai kesulitan yang ada, serta hanya akan mengarahkan pada hidup yang mandek setelah mencapai ketenangan jiwa (A. Sudiardja, "Pergulatan Manusia dengan Allah dalam Antropologi Nietzsche", dalam M. Sastrapratedja [ed], Manusia Multi Dimensional: Sebuah Renungan Filsafat, Jakarta: PT Gramedia, 1983, hlm. 6).
NIETZSCHE TENTANG MORAL
Nietzsche mencela moralitas. Moralitas yang dicela Nietzsche adalah moralitas yang mau mengatur manusia dalam satu kriteria baik dan buruk, serta menggariskan norma tersebut sebagai mewajibkan untuk semua orang. Moralitas seperti itu tak dapat diterapkan justru karena Nietzsche menganut nihilisme. Kalau ia harus menunjukkan suatu "nilai" yang harus dicapai, maka "nilai" itu harus keluar dari disiplin pribadi, bukan seperti yang diakui oleh banyak orang. Itulah yang dimaksud "moral tuan" (Herren Moral). Orang yang demikian sungguh-sungguh menjadi tuan karena menciptakan sendiri nilai-nilai untuk dirinya sendiri.
"Moral kawanan" (Herden Moral) sebaliknya seperti diajarkan kristianisme, adalah moral yang menggiring orang-orang menjadi satu kawanan yang seragam, yaitu dengan menaruhkan moral yang sama pada setiap kepala. Dengan "moral tuan" itu Nietzsche menganggap dirinya sudah berada di seberang moral kawanan.
Jelaslah Nietzsche tak hanya menolak moral Kristen, tapi menjungkirbalikkan seluruh tatanan moral etis. Penilaian "baik dan buruk" secara moral tak berlaku lagi, digantikan dengan penilaian "unggul dan hina". Yang hina harus lenyap, demikian alasan Nietzsche untuk mencintai manusia. Moralitas dapat dibenarkan hanya bila mendukung keunggulan dan mengangkat derajat manusia. Karena nilai-nilai moral etis sudah tak berlaku lagi bagi Nietzsche, maka nilai-nilai baru mesti diciptakan (A. Sudiardja, "Pergulatan Manusia dengan Allah dalam Antropologi Nietzsche", dalam M. Sastrapratedja [ed], Manusia Multi Dimensional: Sebuah Renungan Filsafat, Jakarta: PT Gramedia, 1983, h. 8-9).
Nietzsche tak mau menerima adanya kenyataan yang lebih berkuasa dari dirinya, sehingga padanya ia mesti bergantung. Nietzsche berkata, "Andai kata ada Allah, aku tak tahan untuk tidak menjadi Allah."
Hidup itu sendiri merupakan "kehendak untuk berkuasa" (The Will to power). Karena itu dapat dimaklumi bahwa manusia yang bisa menerima kenyataan ini, berkehendak untuk menjadi bebas dari kekuasaan lain. Dengan cara inilah manusia, menurut Nietzsche, sampai pada cita-cita "manusia unggul" (The Superman).
"Uebermensch" umumnya diterjemahkan menjadi "Superman" (Ingg). Tapi W. Kaufmann berkeberatan atas terjemahan ini dan mengusulkan "Overman" sebagai gantinya. Alasannya: awalan "over" mengartikan aspek pengunggulan (manusia) seperti terdapat dalam beberapa kata Inggris. Dalam bahasa Inggris, misalnya, ada kata "overcome" (mengatasi), dan ini persis bersesuaian dengan maksud Nietzsche apabila ia mengatakan bahwa manusia harus "diatasi" (A. Sudiardja, "Pergulatan Manusia dengan Allah dalam Antropologi Nietzsche", dalam M. Sastrapratedja [ed], Manusia Multi Dimensional: Sebuah Renungan Filsafat, Jakarta: PT Gramedia, 1983, h. 8-9).
MORALITAS CAMUS
"Manusia absurd itu tak mempunyai pretensi moral. Ia tak mau mengajarkan moral kepada orang-orang lain, mengenai hidup macam apa yang sebaiknya dianut. Moral yang formal adalah absurd. Orang tak bisa menentukan mana yang baik dan mana yang jahat sebab nilai-nilai selalu dapat diputar-balikkan demi kepentingan-kepentingan tertentu dari suatu golongan. Nilai-nilai harus ditinjau bukan sebagai nilai yang absolut, tapi sebagai yang selalu bersesuaian dengan sejarah." (Sindhunata dan A. Sudiardja, "La Peste: Suatu Penampilan Absurditas dan Pemberontakan Camus", dalam M. Sastrapratedja [ed], Manusia Multi Dimensional: Sebuah Renungan Filsafat, Jakarta: PT Gramedia, 1983, h. 24).
"Absurditas Camus dapat dilihat dengan tajam. Absurditas itu merupakan salah satu posisi filosofis yang ditawarkan oleh eksistensialisme ateis, kalau boleh dikatakan demikian, sebab absurditas berarti ketidak-mungkinannya mencari jawab pada yang transenden. Camus mengagumi Nietzsche yang dengan lantang menyatakan kematian Tuhan, agar manusia setia pada buminya sendiri. Bagi Nietzsche, mencari jawaban pada yang transenden atas persoalan-persoalan duniawi ini adalah tindakan pemalas yang mau mencari gampang-gampangan saja. Kepercayaan akan Allah adalah pelarian yang paling mudah untuk memecahkan persoalan, tetapi kurang mengena.
Camus sependapat dengan Nietzsche, seraya menyimpulkan bahwa dunia ini absurd. Absurditas ini dapat diungkapkan dalam berbagai variasi, misalnya bahwa dunia ini indah, tapi hidup manusia bersifat sementara saja. Apakah nilai keindahan ini bila manusia kemudian mati dan tak dapat menikmatinya. Orang lanjut usia yang tak tahu melewatkan hari-harinya kecuali dengan tindakan-tindakan yang naif. Dunia ini absurd karena tak bisa menerangkan kontradiksi-kontradiksi yang ada padanya. Dunia ini irasional karena tak bisa menerangkan adanya kemalangan, bencana, ataupun tujuan hidup manusia." (Ibid., h. 19).
***
"Terhadap situasi kehidupan yang absurd ini, manusia harus menentukan sikapnya. Sebagaimana umumnya kaum nihilis yang tak mengakui transendensi, Camus pun mencari jalannya sendiri. Setiap anggapan yang menolak eksistensi Allah, akan berpendapat seperti Nietzsche, bahwa kini terbuka suatu daerah tak bertuan yang harus dikuasai. Itulah anggapan kaum nihilis. Nietzsche mengisi kekosongan kekuasaan itu dengan cita-cita pembinaan manusia "superman", sedangkan Marx mengajukan gagasan kekuasaan kaum proletar. Tapi tak demikian halnya Camus. Camus menyadari betul tak perlunya suatu masa depan. Bukan karena masa depan itu jelek, tapi karena masa depan itu selalu merupakan absurditas. Masa depan itu tak pernah bisa dipahami, Camus amat konsekuen dengan pandangannya bahwa seorang tokoh yang absurd tak bisa berbuat selain menggeluti absurditasnya yang dihadapinya saat ini." (Ibid., h.23)
0 komentar:
Posting Komentar