alt/text gambar

Jumat, 06 Desember 2024

Topik Pilihan:

POLITIK IDENTITAS DAN KEADABAN PUBLIK


Oleh: Haryatmoko


Situasi sosial politik di Indonesia akhir-akhir ini mudah memicu polemik dan ketegangan karena gerak kelompok masyarakat tertentu yang cenderung menolak kebinekaan. 

Dinamika di atas ditunjang perkembangan komunikasi digital terutama media sosial (Facebook, blog, SnapChat, Twitter, Tik-Tok, ataupun Youtube). Medsos adalah bentuk jurnalisme warga. Kendalinya lebih di tangan pengguna, yang tidak bisa dituntut seperti praktisi profesional. 

Jurnalisme warga ini mudah disalahgunakan untuk menyebarkan informasi bohong, ujaran kebencian, sehingga memecah belah warga karena tanpa deontologi jurnalisme: tak peduli terhadap verifikasi, akuntabilitas, dan indepedensi. 

Kebohongan semakin marak di era Pasca-Kebenaran karena “iklim sosial-politik membiarkan emosi atau hasrat memihak ke keyakinan untuk mengalahkan obyektivitas dan rasionalitas, meskipun sebetulnya fakta menunjukkan hal yang berbeda” (Llorente, 2017: 9). Mengapa keyakinan politik sering tak mendasarkan fakta obyektif? 

Emosi menentukan opini publik

J Hadt menyebutnya sebagai ilusi Muller-Lyer, keyakinan politik ditentukan oleh proses kognitif sederhana “melihat bahwa” yang hanya mengandalkan pada intuisi atau hasrat. Kalau fakta tidak sesuai dengan keyakinan, bukan pikiran yang harus direorganisasi agar berpijak pada fakta, tetapi justru fakta yang harus diubah. 

Maka, hoaks marak, karena intuisi dan emosi lebih menentukan dalam menerima dan membentuk opini publik. Intuisi tidak otomatis mendorong untuk “berpikir mengapa”. Padahal, hanya orang yang mulai “berpikir mengapa” bisa kritis terhadap hoaks. “Berpikir mengapa” membutuhkan kesadaran penuh dalam bernalar (2012). 

Kebohongan dan wacana yang mengobok-obok emosi menyuburkan polarisasi masyarakat karena semakin meneguhkan keyakinan/ideologi masing-masing kelompok. Dengan ideologi, kelompok masyarakat semakin yakin akan kehebatan identitasnya. 

Ideologi berfungsi meneguhkan dan meningkatkan kohesi sosial, dan menafikan yang bukan kelompoknya. 

Kebohongan di era Pasca-Kebenaran ditandai dimensi baru: (i) berkembang di masyarakat informasi ketika jurnalisme warga (medsos) menjamur sehingga terjadi demokratisasi media; (ii) prioritasnya lebih pada bagaimana “mengintensifkan prasangka negatif” dengan memanipulasi emosi masyarakat; (iii) audiens hanya mau menerima informasi yang sesuai dengan ideologinya. 

Lalu, fenomena echo chmaber kian menggejala. Orang mencari peneguhan dari sesama pemeluk ideologi sehingga ketika gagasannya diulang-ulang, meski bohong atau keliru, karena gema terus didengar di ruang sama, akan dianggap benar. Melalui echo chamber, populisme agama mendapat angin karena agama semakin mudah digunakan sebagai legitimasi simbolik untuk menaklukkan ruang publik. Namun, populisme bisa juga menggunakan kendaraan sentimen kesukuan (Jawa/non-Jawa), terutama menghadapi Pilpres 2024. 

Maka, politik identitas harus dipahami dalam kaitan dengan dua bentik sentimen itu. Jangan heran “NKRI harga mati” pun bisa berubah menjadi politik identitas ketika secara membabi buta mendiskreditkan kelompok seberang. Menafikan kelompok seberang adalah unsur pokok mekanisme ideologi. 

Unsur mekanisme ideologi lain beroperasi melalui ilusi Muller-Lyer dan echo chamber yang menjadikan populisme sarat dengan politik identitas. 

Keyakinan alergi verifikasi fakta

Populisme agama lebih mudah memikat banyak orang karena memberi kepastian daripada populisme yang berdasar sentimen kesukuan: (i) dalam ketidakpastian ekonomi global, pengangguran dan ketidakadilan, populisme agama menjamin ekonomi adil dan persaudaraan melalui revolusi moral. 

Kemudian: (ii) agama memberi identitas politik yang pasti berkat retorika yang menjamin hidup akan sejahtera, bukan atas dasar analisis, tapi berdasarkan keyakinan. Karena keyakinan, orang tak peduli lagi dengan verfikasi fakta. 

Masyarakat dikondisikan untuk mengabaikan verifikasi kebenaran. Kredibilitas informasi, pesan atau opini sering sudah tidak dipertanyakan lagi. 

Kebohongan menyelinap masuk dengan mudah melalui kebingungan orang dalam membedakan antara berita, opini, fakta, dan analisis. Ujaran kebencian marak dengan berlindung di balik kebebasan berpendapat. 

Akibatnya, di dalam masyarakat Indonesia yang sudah terpolarisasi oleh ideologi, ketegangan dan konflik semakin mudah dipicu. Buzzer dan algoritma melanggengkan permusuhan dua kubu yang bersaing dan bermusuhan. Maka, bangsa ini perlu sadar untuk membangun keadaban publik. 

Keadaban publik

Keadaban publik mengandaikan sikap kritis dalam interaksi sosial. Artinya, peduli apa yang tak beres dalam masyarakat, seperti ketidakadilan, kesetaraan, diskriminasi, penyalahgunaan kekuasaan, adu domba, bias jender, perundungan, dan politik identitas yang memecah belah. Maka, keadaban publik berarti kritis terhadap informasi dengan menganalisis sumber sebab dan kepetingan-kepentingan agar terbangun institusi-institusi yang lebih adil. 

Kritis dalam menerima informasi mengandaikan kritis terhadap penggunaan bahasa. Maka, diperlukan analisis wacana kritis karena bahasa digunakan untuk beragam fungsi dan memiliki konsekuensi. Melalui bahasa, fenomena yang sama bisa dideskripsikan dengan beragam cara: laporan, cerita harafiah, fiksi, representasi atau virtual. 

Salah satu faktor yang bisa membantu terwujudnya keadaban publik apabila tujuan etika komunikasi terlaksana: (i) menciptakan masyarakat yang melek informasi secara politik sehingga tercerahkan untuk bisa mengambil keputusan yang tepat; (ii) membantu masyarakat medapat informasi kredibel agar bisa ambil bagian dalam membangun komunitas yang lebih adil dan toleran. 

Selain itu; (iii) mendorong komunikasi yang transparan dan akuntabel untuk mencegah konflik kepentingan dan korupsi. Dengan demikian, keadaban publik adalah bentuk keutamaan. 

Keutamaan publik itu mengandaikan tiga unsur. Pertama, sikap hormat dan rasa cinta terhadap sesama warga yang melibatkan bentuk komunikasi penuh pengertian. Kedua, rasa empati yang mendorong menjadi warga negara yang kompeten, artinya mampu memahami hak-haknya dan hak-hak sesamanya untuk bisa memperjuangkan dengan mengorganisasi diri. Dan ketiga, menuntut kerelaan untuk mengorbankan diri atau kemampuan mengatur diri. 

Keadaban publik mengandaikan kemampuan mengendalikan diri untuk tidak hanya mencari kepentingan diri demi menjaga harmoni masyarakat. 

Maka, bertindak adil merupakan sikap pribadi rasional yang penuh hormat terhadap orang lain. Bertindak adil hanya mungkin apabila bersedia menunda mengejar kepentingan diri, berarti berkorban. Pengorbanan merupakan nilai moral yang menjadi dasar kuat bagi pranata sosial dan penataan sosial. 

HARYATMOKOAnggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Komisi Kebudayaan 

Sumber: Kompas, 6 Desember 2022

0 komentar:

Posting Komentar