alt/text gambar

Kamis, 23 Januari 2025

Topik Pilihan:

Filsafat Tak Akan Bisa Mati

Oleh: Ulil Abshar Abdalla


Sebagian pecinta sains (yang agak fanatik), baik di Barat atau Indonesia, sudah sering mengatakan bahwa setelah kedigdayaan sains terbukti dan tak terbantahkan dalam menjawab hampir semua misteri alam raya ini, filsafat (dan agama) tinggal "kenangan masa" lalu yang sudah kurang berguna. Kalau pun ada guna, paling ya sebatas "klangenan", mirip seperti burung perkutut yang di-"ketheti" setiap saat agar keluar suara "kung"-nya itu.

Sebetulnya amat menyedihkan bahwa ada yang berpandangan seperti ini. Kawan saya, seorang doktor filsafat yang mempelajari pemikiran dua filsuf besar Jerman, Hegel dan Immanuel Kant, dalam waktu yg sangat lama (sama lamanya dg saya belajar Alfiyyah!), menulis sanggahan yang sangat bermutu terhadap anggapan seperti ini. Nama kawan saya itu adalah Fitzerald Kennedy Sitorus. 

Tulisan Bung Sitorus di bawah ini harus dibaca dengan tenang, tak bisa buru-buru. Seluruh yang dikatakannya dalam catatan ini, saya sepakati 100%. Filsafat tak akan mati, baik oleh agama atau sains. Filsafat akan terus hidup; begitu juga agama, dan sains. Yang dibutuhkan adalah kerjasama antara ketiga model diskursus itu, bukan saling "menjatuhkan". 

Kalau mengikuti "paradigma unitive" berdasarkan ajaran al-Ghazali yang pernah saya tulis di Mojok.co, ketiga hal itu, baik agama, filsafat, atau sains, adalah "tafaddul", anugerah dari Tuhan. Sumbernya sama, karena itu tak bisa, dan tak boleh dipertentangkan. Saling mengkritik antara tiga model pengetahuan itu boleh saja. Tetapi saling menafikan, sama sekali tak bisa.

Banyak yang mengira, al-Ghazali memusuhi filsafat. Itu sama sekali tak benar. Al-Ghazali tak memusuhi filsafat. Dia hanya mengkritik "asumsi-asumsi" dalam filsafat yang bertentangan dg akidah Islam; dan bagian dalam filsafat yang masuk dalam kategori "bertentangan" ini, sangat sedikit. Bagian terbesar dari filsafat (matematika, logika, fisika, filsafat politik, filsafat etika), semuanya diterima oleh al-Ghazali tanpa ada kritik yang signifikan. Yang menuduh al-Ghazali membenci dan apalagi "membunuh" filsafat, jelas tak melakukan "close reading", pembacaan yang mendalam atas teks-teks al-Ghazali yang amat kaya dan kompleks itu.

Tetapi bahwa ada, dan banyak ulama yang memusuhi filsafat, itu adalah fakta historis yang tak bisa ditolak. Kaum Wahabi, misalnya, sangat "gething" atau membenci filsafat, sama dengan sebagian para pemuja sains juga membenci filsafat. Tetapi, saya tidak sepakat dengan posisi seperti ini.

Sekali lagi, dengan menggunakan "paradigma unitive", saya mau menegaskan: baik agama, filsafat, dan sains berasal dari sumber yg sama: Tuhan. Itulah keyakinan saya dan itulah cara saya melakukan re-kontekstualisasi atas teologi Asy'ariyyah (akidah yang banyak diikuti oleh mayoritas umat Islam sunni di dunia sekarang, termasuk oleh warga nahdliyyin atau NU).

Silahkan membaca catatan yg keren dan "rigorous" dari Dr. Fitzerald Kennedy Sitorus di bawah ini.

FILSAFAT, APA ITU?

Tentang Cara Kerja Filsafat  

Tanggapan terhadap Hamid Basyaib


Pengantar

Polemik „Sains, Filsafat dan Agama” ini menggembirakan tapi sekaligus juga menyingkapkan sebuah fenomena yang sesungguhnya memprihatinkan, yakni orang berani mengajukan klaim-klaim negatif terhadap sesuatu yang tidak dipahaminya dengan baik.  Yang saya maksud di sini  adalah Hamid Basyaib yang dalam tulisan-tulisannya dalam polemik ini gencar dan penuh percaya diri meremehkan filsafat tapi tanpa argumentasi yang memadai dan, yang lebih memprihatinkan lagi, kritiknya itu sama sekali keliru. 

Dalam tanggapan ini saya akan menjelaskan cara kerja filsafat; yang saya maksud dengan cara kerja di sini adalah bagaimana filsafat mengajukan pertanyaan atas fenomena yang mau diteliti. Saya akan memperlihatkan bahwa filsafat bukanlah sebagaimana dipahami oleh Hamid Basyaib itu.

Filsafat dan para filsuf sama sekali tidak pernah anti-kritik. Filsafat sendiri hidup dan berkembang karena kritik. Kritik justru dianggap bentuk apresiasi dalam filsafat. Sejarah filsafat tidak lain dari rangkaian kritik, dan kritik atas kritik. Plato adalah gurunya Aristoteles, tapi sang murid ini justru mengkritik sang guru dan membangun sistem filsafat yang berbeda dari gurunya. Kant dikritik oleh Fichte, Schelling mengkritik Fichte, lalu Hegel mengkritik ketiga pendahulunya itu. Hegel dikritik Feuerbach. Marx mengkritik Feuerbach. Kaum empiris mengkritik kaum rasionalis. Habermas mengkritik para filsuf Teori Kritis generasi pertama, yang tidak lain dari para professornya sendiri. Axel Honneth mengkritik Habermas, mentornya sendiri. Itu semua adalah rangkaian kritik. Jadi, kritik justru diambut baik dalam filsafat. Yang diharamkan dalam filsafat (dan juga dalam dunia intelektual umumnya) adalah kritik yang ngawur, seperti yang dilakukan Hamid Basyaib dalam tulisan-tulisannya.

Mengapa saya mengatakan kritik Hamid Basyaib itu ngawur? Karena kritik tersebut didasarkan atas ketidakpahaman atas filsafat. Hamid selalu mengatakan bahwa filsafat sudah mati, tidak lagi memiliki daya persuasi yang memadai karena sains jauh lebih meyakinkan. Filsafat sudah ketinggalan zaman karena sains sudah dapat mengajukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan dan persoalan-persoalan umat manusia. Filsafat tidak berguna lagi. Filsafat dalam pandangan Hamid tampaknya hanya mengurusi hal-hal dari masa lalu, yang sudah jauh ditinggalkan sains dengan penemuan-penemuannya yang memang gemilang. Hamid rupanya menganggap filsafat itu seperti sejenis ilmu tentang kepurbakalaan.

Cicak dan sarana transportasi

Sebegitu sempitkah pemahaman Hamid tentang filsafat? Ini bukti-buktinya:

Dalam tulisannya yang berjudul ”Filsafat Perlu Mengajukan Pertanyaan Baru” (5 Juli 2020), Hamid mengajukan analogi demikian (saya kutip lengkap): ”Untuk mengambil analogi sederhana: dulu orang menunggang keledai atau kuda untuk bepergian dan mengangkut barang-barang. Kemudian sains menemukan kendaraan bermotor, lalu pesawat terbang, dan sekarang roket untuk berkelana di luar angkasa. Filosof masih sibuk "meneliti" dan menekankan pentingnya kuda dan keledai sebagai sarana angkutan, yang tentunya tidak relevan karena jenis-jenis kendaraan angkutan sudah begitu banyak ragamnya, lebih efisien dan efektif dalam mempermudah hidup manusia.”

Dalam analogi lainnya (dalam tanggapannya kepada saya di laman facebooknya pada 6 Juni lalu) Hamid mengibaratkan sains itu sebagai cicak yang sudah berjalan jauh  dan terus menumbuhkan ekor baru yang semakin besar dan bermanfaat, sementara filsafat masih tetap berpegang pada potongan ekor cicak yang sudah lama ditinggalkan. 

Kedua analogi itu memperlihatkan secara gamblang ketidakmemadaian pemahaman Hamid tentang filsafat, seakan-akan filsafat hanya sibuk dengan hal-hal dari masa lalu. Filsafat sibuk meneliti kuda dan keledai ditengah-tengah kemajuan sarana transportasi modern. Dalam bayangan dia, filsafat itu hanya menyibukkan diri dengan hal-hal primitif, purbakala dan ketinggalan zaman, sementara sains sudah berlari kencang jauh ke depan.

Tentu ini pemahaman yang sama sekali salah kaprah tentang filsafat. Dalam konteks analogi transportasi di atas, filsafat tidak akan meneliti dan menekankan pentingnya kuda dan keledai sebagai sarana transportasi. Penelitian mengenai hal itu mungkin lebih tepat dilakukan dalam bidang sejarah transportasi atau sejarah kebudayaan.

Lalu apa yang dilakukan filsafat dalam konteks transportasi di atas? Di sini saya mau menunjukkan kepada Hamid bagaimana cara kerja filsafat. Filsafat akan bertanya misalnya bagaimana pemahaman orang mengenai kemajuan. Apa itu kemajuan? Apakah kemajuan itu terletak dalam instrumen teknologis yang digunakan atau dalam mentalitas manusia yang menggunakannya? Bagaimana pengaruh penggunaan teknologi modern itu terhadap mentalitas atau cara berpikir manusia penggunanya? Apakah kemajuan masyarakat itu didorong oleh teknologi yang digunakannya, atau oleh mentalitas yang melahirkan teknologi tersebut? Apa yang mendorong perkembangan sosial? Teknologikah atau mentalitas? Karl Marx misalnya memilih kemungkinan pertama, yakni bahwa perkembangan teknologi menentukan perkembangan masyarakat. 

Pertanyaan-pertanyaan di atas dibahas dalam tema filsafat sosial atau filsafat teknologi. Nah, sains tidak akan mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Tapi itu bukan kelemahan sains karena memang obyek material sains bukan di situ. Tapi jangan Anda mengatakan bahwa pertanyaan-pertanyaan itu tidak berguna atau tidak bisa diajukan, sebagaimana sering kita temui dalam tulisan-tulisan Hamid Basyaib kalau ia sedang mengkritik filsafat dan menjunjung tinggi sains. Kalau Anda mengatakan bahwa pertanyaan itu tidak penting, itu hanya memperlihatkan kesempitan wawasan berpikir Anda atau ketidakpahaman Anda terhadap filsafat atau sosiologi.

Masih dari analogi kemajuan transportasi di atas: Karena orang sudah dapat bepergian dari satu tempat ke tempat lain dengan kecepatan tinggi, (dengan menggunakan roket, kata Hamid) maka filsafat akan merefleksikan misalnya fenomena ruang dan waktu dalam kedua masyarakat tersebut. Bagaimana orang-orang yang bepergian dengan kecepatan dan intensitas tinggi itu memahami ruang dan waktu? Lalu itu akan memunculkan fenomenologi ruang dan waktu. Filsuf Prancis Maurice Merleau-Ponty misalnya menulis buku bagus mengenai tema ini dalam bukunya Phenomenology of Perception.

Yang dimaksud dengan fenomenologi ruang atau waktu adalah ruang atau waktu sebagaimana dipahami secara subyektif. Ruang dan waktu ini berbeda dari ruang obyektif, sebagaimana dipahami dalam ilmu-ilmu alam. Fenomenologi waktu berbicara tentang waktu sebagaimana dipersepsi, tapi bukan secara kognitif melainkan secara eksistensial. Contohnya: orang yang sedang menunggu seorang kekasih merasa waktu berjalan sangat lambat, sementara orang yang akan menghadapi ujian atau hukuman mati merasa waktu berjalan sangat cepat. Itulah waktu fenomenologis. Kalau Anda memundurkan mobil dan Anda ”merasa” bahwa ekor mobil Anda sudah sangat dekat dengan tembok, itu adalah contoh penghayatan tentang ruang. Dalam kasus seperti itu, badan kita seakan-akan menyatu dengan mobil (kita ”memobil”) sehingga kita bisa ”merasakan” bahwa jarak antara mobil dengan tembok tinggal beberapa inci lagi.

Contoh kemajuan transportasi di atas juga mungkin akan memunculkan pertanyaan antropologi filosofis mengenai makna keberakaran atau keterikatan manusia pada ruang dan waktu tertentu. Juga pertanyaan tentang apa itu ”kampung halaman” (oikos). Simone Weil misalnya menulis buku bagus mengenai gagasan yang kurang lebih sama tentang hal ini, yakni The Need for Roots. Kalau orang sering bepergian, bagaimana ia memahami arti ”kampung halaman”? Apa arti ”mudik” baginya? Bagaimana ia memahami identitasnya? Bagaimana ia memahami masyarakat, sementara ia misalnya tidak ”tertanam” dalam sebuah masyarakat tertentu?

Itulah contoh-contoh pertanyaan filosofis yang akan diajukan filsafat dari analogi transportasi di atas. Dan umumnya pertanyaan itu menyangkut makna dalam kehidupan manusia itu sendiri. Dan pertanyaan-pertanyaan makna demikian jelas tidak dapat dijawab oleh sains, betapapun majunya sains tersebut. Jadi bukan kuda atau keledai yang diteliti, sebagaimana secara polos diasumsikan oleh Hamid. 

Dalam analogi cicak dan ekornya, filsafat juga tidak akan memegangi potongan ekor cicak sebagaimana secara mengharukan diasumsikan Hamid. Ilmu yang akan memegangi ekor cicak itu mungkin ilmu sejarah, bukan ilmu filsafat. 

Dalam contoh cicak tersebut, filsafat akan bertanya, misalnya, apakah cicak punya tujuan sehingga ia berlari maju terus? Ke mana ia akan berlari? Apa yang mendorong cicak untuk berlari kencang? Apakah lari kencang cicak/sains itu didorong oleh kekuatan yang berasal dari dirinya sendiri atau kekuatan lain dari luar dirinya? Dengan kata lain, apa yang mendorong perkembangan sains? Apakah sains berkembang karena kebutuhan manusia, atau sains berkembang sesuai dengan logikanya sendiri dan manusia kemudian menyesuaikan diri kepada perkembangan tersebut. Ini menjadi tema pembahasan dalam filsafat teknologi atau filsafat sains. 

Dalam kapitalisme misalnya teknologi dan sains berkolaborasi, lalu kita melihat bahwa produk-produk baru dimunculkan bukan untuk memenuhi kebutuhan manusia, melainkan kebutuhan manusia ditumbuhkan (melalui godaan iklan dan lain-lain) untuk melayani produk-produk yang dihasilkan oleh kapitalisme. Muncullah kebutuhan yang dibutuh-butuhkan. Ini adalah pokok kritik filosofis Mazhab Frankfurt terhadap kapitalisme. 

Masalah di atas ini tentu tidak bisa dijawab dengan sains, sebab justru yang dikritik di sini adalah kolaborasi sains dan teknologi dalam sistem kapitalisme. Kolaborasi tersebut sering justru tidak memanusiakan manusia, melainkan merendahkan manusia menjadi sekadar pelayan produk-produk kapitalisme. Oleh karena itulah, dalam tulisan saya sebelumnya saya menegaskan bahwa sains sering berkembang sedemikian rupa sehingga menghasilkan masalah-masalah yang tidak bisa lagi diatasinya. Di situlah kita perlu bersikap kritis (ingat: bersikap kritis, bukan menolak!) terhadap sains dan teknologi.

Untuk mengantisipasi kesalahpahaman atas filsafat inilah maka dalam tulisan sebelumnya (”Tentang Garis Demarkasi antara Sains dan Filsafat dan Kematian Metafisika”) saya memperlihatkan garis demarkasi antara sains dan filsafat sebagai disiplin ilmu. Saya juga memperlihatkan contoh-contoh pertanyaan sains dan filsafat. 

Dalam tulisan itu saya menegaskan bahwa betapun majunya sains, ia tidak akan pernah dapat membuat filsafat menjadi tidak relevan. Dengan mengatakan demikian, saya tentu saja tidak hendak meremehkan sains, juga tidak hendak mengunggulkan filsafat. Yang mau saya tegaskan adalah: sains tidak mungkin dapat menggantikan filsafat karena memang tugas dan fungsi serta pertanyaan-pertanyan yang diajukan kedua ilmu ini berbeda. 

Di sini saya perlu menegaskan bahwa sekalipun berbicara tentang garis demarkasi, tujuan tulisan tersebut bukanlah untuk menyatakan bahwa kedua ilmu tersebut harus dikerangkeng dalam batas-batas mereka. Kalau tulisan saya diperhatikan justru pada akhir tulisan itu saya menegaskan pentingnya kerja sama antarilmu, sebagaimana ilmu-ilmu alam juga maju melalui kolaborasi dengan matematika. Namun pengetahuan mengenai garis demarkasi itu penting agar keduanya dapat dibedakan sebagai disiplin ilmu yang berbeda, dengan obyek material dan obyek formal yang berbeda, apalagi dalam diskusi di ruang publik seperti ini, dengan latar belakang peserta yang beraneka ragam. 

Harapan akan kerja sama antarilmu dan penarikan garis demarkasi itu juga bukan sebuah kontradiksi. Justru kerjasama mengandaikan perlunya kejelasan demarkasi sehingga ilmu-ilmu yang bekerja sama itu tahu apa yang boleh diharapkan dari ilmu lainnya, dan apa yang dapat disumbangkannya untuk kemajuan pengetahuan atas obyek yang sedang diteliti bersama. (Kalau ada waktu saya masih akan membuat tulisan mengenai pentingnya kerja sama antar ilmu berdasarkan gagasan-gagasan yang muncul dari fisika kuantum Niels Bohr dan Werner Heisenberg; fisika kuantum menurut saya menyediakan basis teoretis-epistemologis untuk dialog antarilmu). 

Tapi rupanya Hamid tidak tertarik membaca tulisan saya tentang demarkasi tersebut. Dan sekalipun ada beberapa penulis dalam polemik ini yang dengan bagus menguraikan apa itu filsafat, saya melihat pemahaman Hamid terhadap filsafat tidaklah menjadi lebih baik. Semoga ia bukan tipe orang yang tidak ingin belajar dari tulisan mitra diskusinya. 

Namun, sebenarnya dapat dimaklumi juga kalau Hamid tidak memahami filsafat. Ia sendiri, masih dalam diskusi di laman facebooknya (6 Juni 2020), mengakui bahwa dia tidak memahami filsafat karena dia merasa tidak perlu memahami sesuatu yang kurang berguna. Dia mengatakan begini (kutipan): ” Well.. tentu saya tdk perlu memahami sesuatu yg nilai-gunanya minimum. Sama spt saya tdk merasa perlu memahami metode adu jangkrik, membuat dodol, memanjat pohon dan masih banyak lagi.”

Sikap Hamid ini mengharukan. Seorang teman yang membaca komentar itu sampai sedikit emosi dan mengirimkan pesan japri, mengatakan: ”Kalau memang tidak memahami, lalu mengapa berkoar-koar tentang filsafat! Bagaimana sih?” Saya hanya tertawa, karena saya menganggap bahwa ketidaktahuan bukanlah sebuah aib. Justru itulah salah satu gunanya diskusi: bisa saling belajar. Tapi rupanya itu tidak terjadi.

Mampu, boleh dan perlu

Sebagai orang yang belajar filsafat, termasuk filsafat sains dan filsafat teknologi, saya menyadari dan tahu bahwa sains tidak akan mampu menggusur filsafat, demikian pula sebaliknya.  Justru perkembangan sains sering melahirkan pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dijawab sains itu sendiri. Dan di situlah filsafat menjadi sangat relevan. Saya sudah mengemukakan contoh-contoh tentang hal ini dalam tulisan saya sebelumnya. Pertanyaan-pertanyaan mengenai transplantasi organ dan jual-beli organ tubuh manusia, mengenai cloning, mengenai cyborg, rekayasa genetik, dan lain-lain, semua itu sering memunculkan implikasi-implikasi etis yang tidak dapat dijawab lagi oleh sains. 

Bukti atas hal ini adalah munculnya cabang-cabang ilmu baru seperti etika medis (medical ethics), bioetika (bioethics), etika rekayasa (engineering ethics), etika industri (ethics of industry), dan lain-lain. Mengapa disiplin ilmu baru itu muncul? Tidak lain karena perkembangan-perkembangan dalam bidang medis, rekayasa, biologi dan industri berlangsung sedemikian rupa sehingga sering menimbulkan masalah-masalah moral yang tentu tidak dapat lagi dijawab melalui disiplin ilmu tersebut. Dan untuk itulah ilmu-ilmu tersebut perlu didampingi atau ”diawasi” melalui etika. Dan etika tidak lain dari filsafat moral. 

Secara ilmiah-teknologis, manusia (mungkin) telah ”mampu” melakukan kloning atas manusia, penciptaan ”manusia” cyborg, rekayasa genetika dalam berbagai bidang, dan berbagai hal lainnya. Itu tentu bagus-bagus saja. Tapi apakah kita ”boleh” (ingat: boleh!) melakukan apa yang ”mampu” kita lakukan? Ini bukan lagi pertanyaan teknis, melainkan pertanyaan etis yang tidak dapat dijawab oleh sains itu sendiri. ”Mampu” dan ”boleh” itu dua kategori yang berbeda. Lain lagi dengan kategori ”perlu”. ”Perlu” itu menyangkut kategori praktis. Mampu itu menyangkut kapasitas ilmiah teknis, sementara boleh menyangkut dimensi etis-moral. 

Misalnya reaktor nuklir untuk pembangkit listrik. Manusia memiliki kemampuan teknis untuk membangun reaktor nuklir, dan secara etis itu boleh. Namun, atas nama kelestarian lingkungan, itu dianggap tidak perlu. Lebih bagus kita mencari sumber-sumber energi alternatif. Dan itulah yang dilakukan oleh sejumlah negara Eropa yang peduli terhadap kelestarian ekosistem, yakni menutup secara bertahap reaktor-reaktor nuklir mereka. 

Nah, pertanyaan-pertanyaan seperti itu (antara mampu, boleh dan perlu) tidak bisa lagi ditangani secara teknologis, melainkan secara etis. Dan itu adalah bidang filsafat (filsafat manusia, filsafat moral, filsafat teknologi, filsafat lingkungan hidup, dll). Sama halnya, para ilmuwan sekarang mungkin telah mampu ”membuat” manusia melalui teknik kloning, namun apakah itu boleh (secara etis) dan perlu (secara praktis)? Kalau dikatakan perlu, untuk apa? Kalau dikatakan mau memuaskan rasa ingin tahu manusia, apakah kita perlu dan harus memuaskan semua rasa ingin tahu kita? Di mana batas-batas pemuasan rasa ingin tahu manusia? Pertanyaan filosofis lagi, apakah manusia hasil kloning itu masih dapat disebut manusia? Apakah cyborg atau transhuman itu masih dapat disebut manusia? Apa itu manusia? Tentu sains dan teknologi tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan penting ini.

Di tengah-tengah kemajuan sains dan teknologi dewasa ini ada banyak persoalan penting yang justru sangat membutuhkan refleksi filosofis. Ini sekaligus untuk menanggapi pernyataan Hamid yang berkali-kali mengatakan bahwa filsafat tidak berguna lagi. Tentu filsafat tidak dapat menangani masalah itu sendirian. Filsafat harus bekerja dengan disiplin ilmu lainnya untuk mengatasi tantangan umat manusia sekarang. Misalnya, fenomena terorisme global. Itu tidak mungkin diatasi dengan teknologi. Mengapa teroris lintas negara terjadi? Apakah itu dipicu oleh masalah ketidakadilan, atau masalah apa? Apa yang membuat orang dengan mudah dan tanpa rasa bersalah membunuh ratusan orang yang tidak bersalah? Sejauh mana motivasi agama berperan dalam mendorong orang menjadi teroris? 

Dalam kasus terorisme lintas negara ini, filsuf Habermas, yang bukan saintis itu, misalnya mengatakan bahwa penggunaan idiom-idiom agama dalam aksi terorisme tidak berarti bahwa teroris itu memiliki motivasi religius. Aksi terorisme itu berakar dari konflik sosial-politik yang memperlihatkan dirinya dalam bahasa-bahasa agama. Filsuf Axel Honneth mengatakan bahwa konflik sosial semacam itu adalah bagian dari perjuangan untuk pengakuan (recognition).

Apakah dengan demikian filsafat dapat secara langsung mengatasi masalah terorisme? Ya, tentu tidak, karena filsafat tidak bertujuan memberikan tips-tips untuk melakukan sesuatu. Sama halnya, mekanika kuantum juga tidak dapat digunakan untuk mengatasi terorisme. Fungsi filsafat dalam hal ini terutama untuk membantu kita mengenali dan memahami masalahnya, sehingga dengan demikian, pihak-pihak terkait diharapkan dapat terbantu untuk mengatasinya. Dan langkah pertama untuk mengatasi masalah adalah dengan lebih memahami duduk perkaranya. Itu antara lain kontribusi yang dapat diberikan filsafat. 

Demikian juga tentang fenomena pengungsi dari Timur Tengah yang sekarang merepotkan banyak negara Eropa. Sains jenis apa yang bisa digunakan untuk mengatasi masalah pengungsi? Pertanyaannya adalah: apakah orang memiliki hak untuk mengungsi ke negara lain? Apakah sebuah negara berhak secara moral menolak pengungsi yang datang ke negaranya? Sejauh mana sebuah negara harus bertanggung-jawab untuk menampung pengungsi? Lalu apakah pengungsi berhak untuk tinggal selamanya di negara tempatnya mengungsi, sejauh negara asal mereka belum aman? 

Sebagai mahluk rasional kita tentu tidak ingin jawaban kita atas pertanyaan-pertanyaan tersebut didasarkan atas emosi belaka, tanpa basis argumentasi rasional yang kuat. Manusia rasional selalu mencari pendasaran rasional untuk sikap dan keputusan yang mau diambil. Dalam konteks pengungsi ini misalnya, filsuf Immanuel Kant penting dipelajari. 

Kant mengatakan, karena wilayah yang dapat didiami umat manusia di bumi ini terbatas, dan tidak bisa dijamin bahwa tidak ada konflik di sebuah daerah atau negara, maka manusia memiliki hak untuk mengungsi, dan sebuah negara memiliki kewajiban moral untuk menampung pengungsi. Tetapi pengungsi tidak berhak untuk tinggal selamanya di sebuah negara tempatnya mengungsi. Bisa jadi, pengetahuan dan kesadaran akan hal inilah yang mendorong para politisi atau pemimpin politik di Jerman atau negara Eropa lainnya untuk membuka pintu bagi para pengungsi dari Timur Tengah yang membanjiri negara mereka.

Dalam kaitan dengan kasus terorisme lintas negara di atas, dewasa ini misalnya para ahli filsafat politik, terutama di Eropa dan Amerika, sedang giat memikirkan sebuah konsep tentang global justice dan global democracy atau cosmopolitan democracy karena mereka melihat bahwa aksi-aksi teroris tersebut sedikit banyak juga dipengaruhi oleh absennya keadilan dan demokrasi pada skala global. Oleh karena itu, kalau mau hidup damai maka cepat atau lambat umat manusia harus mengusahakan terciptanya sistem demokrasi atau sistem keadilan global. Dalam hal ini, kembali Kant menjadi pemikir penting untuk dirujuk berdasarkan gagasannya tentang Perpetual Peace. Buku-buku atau tulisan mengenai global justice, global democracy atau kosmopolitanisme ini dengan mudah ditemukan di internet sekarang ini. 

(Jadi, sekalipun Immanuel Kant itu berasal dari abad 18, bukan berarti pemikirannya sudah ketinggalan zaman, sebagaimana sering dituduhkan Hamid Basyaib yang mengatakan bahwa filsafat hanya sibuk dengan pemikir(an) dari masa lalu. Hamid perlu tahu bahwa kualitas sebuah pemikiran tidak ditentukan kebaruannya. Tidak berarti juga bahwa pemikiran terbaru membatalkan pemikiran sebelumnya. Filsuf dan matematikawan A.N. Whitehead misalnya mengatakan bahwa sejarah filsafat Barat itu tidak lain dari rangkaian cacatan kaki untuk Plato. Sekalipun pernyataan itu bernada hiperbolis, itu memperlihatkan tetap pentingnya gagasan-gagasan filosofis Plato, yang dihasilkan 2500 tahun lampau itu, dalam sejarah pemikiran modern).

Terlalu banyak pertanyaan dalam kehidupan sosial politik yang membutuhkan kehadiran filsafat. Contoh lain: paham moral mana yang paling meyakinkan: liberalisme-kah atau komunitarisme? Apakah kedua paham ini harus bertentangan? Filsafat politik atau filsafat moral merefleksikan hal ini. Filsuf seperti Axel Honneth misalnya, dengan bertolak dari insight Marx dan Hegel, berhasil secara kreatif mensintesakan kedua paham yang umumnya dianggap bertolak belakang ini. Dan itu membuat kita mampu memahami duduk perkara masalah ini dengan lebih baik. (Saya kebetulan memperkenalkan pemikiran Axel Honneth ini dalam sebuah tulisan bersambung di majalah Basis edisi Juli 2020 ini). Dan cepat atau lambat ide-ide seperti ini akan masuk ke dalam kesadaran publik atau para pemimpin politik (mungkin melalui para penasihat mereka) yang kemudian akan berusaha menata struktur sosial, ekonomi dan politik sesuai dengan gagasan tersebut. Ini untuk memperlihatkan bagaimana gagasan juga bisa berdampak dalam kenyataan. 

Jadi refleksi filsafat itu tidak bertolak dari ruang kosong dan berakhir di ruang kosong pula, sebagaimana diasumsikan Hamid Basyaib. Dalam hal ini kita perlu ingat (hanya sekadar contoh) sosok filsuf sosial Anthony Giddens yang dulu merupakan penasihat penting untuk PM Inggris Tony Blair. Pemikiran dan nasihat-nasihat ekonom sekaligus filsuf Amartya Sen, yang merumuskan pemikirannya capability approach dengan menggali pemikiran Aristoteles dan Adam Smith, juga didengarkan oleh banyak pemimpin politik. 

Batas-batas sains

Apakah benar sains akan dapat menjelaskan semua hal mengenai manusia? Hamid sangat yakin mengenai hal ini, dengan mengacu antara lain kepada kemampuan dan kemajuan yang dicapai oleh neurosains. Dia memaparkan banyak data tentang hal ini dalam tulisan-tulisannya sebelumnya. Memang neurosains memperlihatkan prestasi gemilang dalam meneliti struktur otak manusia. Itu harus diakui. 

Tapi, yang tidak boleh dilupakan adalah tidak semua fenomena dalam diri manusia itu dapat diteliti secara fisik-empiris. Pikiran dan kesadaran bukanlah fenomena fisik, melainkan fenomena mental, sehingga ia tidak mungkin dapat diteliti secara fisik-empiris. Sebagai fenomena mental, pikiran tidak sama dengan penjumlahan total semua neuron-neuron dalam otak. Pikiran dan kesadaran melampaui neuron-neuron itu sendiri.  Kalau pikiran identik dengan neuron-neuron, lalu kalau para ahli meneliti neuron-neuron itu, apakah bisa dikatakan bahwa neuron-neuron meneliti neuron-neuron? Kalau saya berpikir mengenai polemik sains dan filsafat ini, apakah itu berarti neuron-neuron berpikir mengenai polemik sains dan filsafat? Apakah neuron-neuron bisa berpikir? Penyamaan pikiran dan neuron-neuron ini hanya membawa kita ke dalam situasi yang absurd. (By the way: salah satu pertanyaan menarik dalam filsafat adalah: apa itu berpikir?)

Salah satu fenomena kemanusiaan yang tidak mungkin diteliti secara empiris-saintifik adalah ”aku”. Apakah atau siapakah yang disebut ”aku”? Aku yang dimaksud di sini tentu bukan aku empiris, yang sekarang sedang duduk mengetik sebuah artikel untuk polemik. Pengetahuan mengenai aku empiris itu sendiri (artinya: bahwa saya tahu bahwa yang mengetik ini adalah aku) menjadi mungkin tentu bukan lagi berdasarkan aku empiris itu sendiri. Aku empiris tidak dapat mengetahui aku empiris, sebagaimana mata tidak dapat melihat dirinya sendiri. Jadi, mesti ada ”aku” yang lain yang memiliki pengetahuan mengenai aku empiris tersebut. Saya (dengan mengikuti Kant) mengatakan ini aku ”transendental”. 

Aku transendental inilah yang merangkum atau mensintesakan semua kegiatan yang dilakukan oleh aku empiris itu, baik dulu, hari ini dan besok, sehingga sekalipun si aku empiris itu melakukan semua kegiatan tersebut dalam waktu dan tempat berbeda-beda, toh semua itu tidak tercerai-berai, melainkan dapat terangkum dalam konsep ”aku.” Karena itulah saya misalnya dapat mengatakan pengalaman-ku. 

Tapi aku ini siapa? Bagaimana ia terbentuk? Apakah ia dapat dijelaskan semata-mata sebagai hasil memori? Tentu tidak. Memori-memori itu sendiri kalau tidak disintesakan oleh si aku itu akan tetap merupakan memori-memori yang tidak berhubungan satu sama lain. 

Apakah asal-usul aku ini bisa dijadikan obyek penelitian? Secara logis tidak mungkin. Berdasarkan filsafat komunikasinya, Habermas menjelaskan asal-usul aku tersebut. Ia mengatakan aku itu muncul dari intersubyektivitas, yakni ketika mitra bicara saya mengatakan ”kau” dan saya tahu bahwa yang dimaksud dengan ”kau” itu adalah ”aku”. Tapi kalau sebelumnya aku tidak memiliki pengetahuan mengenai ”aku”, aku tentu tidak tahu siapa ”kau” yang diacu oleh mitra bicaraku itu. Artinya, ”aku” bukanlah hasil proses intersubyektivitas. Karena itu, jawaban Habermas dalam menjelaskan asal-usul aku inipun tidak memadai. 

Mengapa asal-usul ”aku” itu tidak dapat diteliti? Karena aktivitas meneliti itu sendiri sudah mengandaikan adanya ”aku” yang dengan sadar mau meneliti, padahal yang mau aku teliti adalah asal usul ”aku” tersebut. Aku tidak mungkin meneliti proses bagaimana ”aku” terbentuk karena setiap penelitian sudah selalu mengandaikan adanya aku yang mau meneliti. Artinya, aku sudah selalu mengandaikan apa yang justru hendak aku cari. Di sini kita jatuh pada kesulitan petitio principii. Oleh karena itulah, secara logis harus diterima adanya aku transendental yang merangkum dan mensintesakan semua kegiatan yang kita lakukan dalam perjalanan waktu sehingga kemudian kita dapat mengatakan, misalnya, pengalaman-ku.

(Saya tentu tidak bermaksud membahas ini lebih panjang lagi di sini. Ini hanya untuk memperlihatkan bahwa secara logis dalam kedirian manusia terdapat bukan hanya realitas fisik-empiris [neuron-neuron], tapi juga realitas mental [kesadaran, pikiran], dan bahkan realitas transendental. Pembahasan atas kompleksitas masalah ini, dan kritik terhadap pendekatan ilmiah-saintifik atas realitas mental dan transendental, saya lakukan dalam disertasi saya yang kebetulan membahas konsep subyek transendental Immanuel Kant, dan tanpa bermaksud menyombongkan diri, disertasi yang saya kerjakan di Frankfurt, Jerman, ini ternyata lulus dengan predikat magna cum laude). 

Masalah-masalah seperti di atas mungkin akan dianggap omong kosong oleh orang tertentu. Itu dapat dipahami. Orang-orang yang jangkauan pandangannya pendek, hanya terbatas pada hal-hal yang empiris, dan tidak memiliki kemampuan refleksi dan asbtrak yang memadai, memang cenderung menganggap diskusi tentang masalah-masalah yang melampau indra sebagai tidak berguna. Orang-orang mengharukan semacam ini banyak ditemukan di masyarakat kita. Itu sama dengan orang yang menganggap pertandingan sepak bola itu tidak masuk akal karena ada 22 pemain memperebutkan bola dan setelah bola dapat dikuasai dengan susah payah bukannya dibawa pulang ke rumah melainkan justru diberikan lagi kepada orang lain.

Isu-isu mengenai keadilan, demokrasi, hak asasi manusia, kesetaraan, dan lain-lain lebih membutuhkan kehadiran filsafat dibandingkan sains dan teknologi. Sekali lagi, ini tentu tidak hendak mengatakan bahwa sains tidak penting. Sains tetap penting untuk dikerjakan sesuai dengan tugas dan fungsinya. Jadi, sebagaimana Hamid Basyaib memaparkan berbagai hal mengenai sains dan teknologi untuk ”membuktikan” ketidakbergunaan filsafat, saya juga dapat di sini memaparkan berbagai hal penting dalam bidang filsafat moral, filsafat politik, filsafat kebudayaan filsafat ekonomi, filsafat sosial, filsafat ketuhanan untuk ”membuktikan” ketidakbergunaan sains. Tapi itu tentu tidak banyak gunanya dalam diskusi. 

Pertanyaan lama, jawaban baru

Salah satu keanehan lain dalam tulisan Hamid Basyaib adalah judul tulisannya sendiri. Judulnya demikian: ”Filsafat Perlu Mengajukan Pertanyaan Baru”. Bagi orang yang pernah belajar filsafat dengan serius, judul ini akan mengundang senyum karena orang itu akan tahu bahwa si pembuat judul itu tampaknya tidak memahami filsafat tapi justru mau mengajari apa yang perlu dilakukan oleh filsafat. Mengapa? Karena pertanyaan filsafat dari dulu hingga sekarang sebenarnya sama saja. Pada dasarnya tidak ada pertanyaan baru dalam filsafat. Yang ada adalah jawaban baru. Kok bisa?

Jawabannya adalah: manusia berkembang, berubah. Pengalamannya berkembang. Ilmu pengetahuan berkembang. Sains juga. Lingkungan berkembang. Manusia mengalami banyak hal baru dalam hidupnya. Itu semua membuat jawaban-jawaban lama tidak lagi memadai dan untuk itu ia harus mencari jawaban-jawaban baru yang lebih tepat dan memuaskan sesuai dengan konteks sosio-historisnya. Jadi orang mencari jawaban-jawaban baru untuk pertanyaan-pertanyaan lama.

Sejak era Yunani Klasik para filsuf telah bertanya dan mengajukan jawaban mengenai: apa itu yang baik, apa itu keadilan, apa yang bermoral, apa itu manusia, bagaimana pendidikan harus dilakukan, bagaimana negara harus ditata, bagaimana manusia memperoleh pengetahuan, mengapa manusia harus membentuk negara, apa itu ekonomi, dan lain-lain. Mereka memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut sesuai dengan konteks sosio-historis mereka. 

Misalnya tentang keadilan. Plato mengatakan bahwa keadilan adalah kondisi di mana setiap orang melakukan apa yang menjadi tugas dan tanggung-jawabnya. Namun, zaman berubah dan pemikiran orang berubah. Jawaban atas pertanyaan mengenai keadilan itu dianggap tidak lagi memadai. 

Karl Marx, yang hidup pada era awal kapitalisme, misalnya menilai bahwa kalau setiap orang melakukan tugas dan tanggung-jawabnya, sesuai dengan posisi seseorang dalam struktur sosial, maka itu justru merupakan strategi dominasi dan eksploitasi dari kelas yang berkuasa. Orang yang mengalami penindasan struktural tentu tidak menyetujui definisi Plato itu. Karena itu Marx mengajukan jawaban baru atas keadilan, yakni melalui penghapusan semua hak milik pribadi yang mempengaruhi kehidupan orang banyak. John Rawls yang hidup dalam masyarakat liberal merasa bahwa teori-teori keadilan yang ada, termasuk Marx, juga  tidak memadai. Ia kemudian mendefinisikan keadilan sebagai fairness. Habermas yang merefleksikan kehidupan masyarakat posttradisional menilai bahwa keadilan hanya dapat ditentukan berdasarkan konsensus. Demikianlah jawaban-jawaban baru atas pertanyaan lama ”apa itu keadilan” diajukan.

Etika juga demikian. Etika adalah filsafat moral, refleksi dan argumentasi rasional mengenai apa itu yang baik secara moral. Aristoteles telah memberikan jawaban atas pertanyaan apa itu yang baik. Yang baik menurutnya adalah apa yang membahagiakan, dalam arti eudaimonia. Namun, dalam perkembangan zaman berikutnya, jawaban tersebut juga dinilai tidak memuaskan lagi. Kita kemudian melihat dalam sejarah filsafat muncul berbagai jawaban baru atas pertanyaan lama itu, yakni dalam bentuk berbagai jenis etika, misalnya etika situasi (Joseph Fletcher), etika hedonisme (Epikuros), etika utilitarianisme (J.S. Mill dan Jeremy Bentham), etika deontologi (Kant), etika teonomi (Agustinus, Aquinas), etika diskursus (Habermas), etika komunitarisme (Charles Taylor, Michael Sandel, Alasdair MacIntyre, Michael Walzer, dll) dan lain-lain. Pertanyaan tetap sama, jawabannya yang selalu diperbaharui. 

Hamid Basyaib menganjurkan agar filsafat mengajukan pertanyaan baru mengenai ”apa itu manusia” berdasarkan perkembangan teknologi transhuman atau cyborg. Dia tidak tahu bahwa Aristoteles dulu telah bertanya apa itu manusia, dan jawabannya adalah animal rational, mahluk yang berpikir atau berbahasa. Tapi itu hanya salah satu definisi dan sejumlah definisi yang diajukan para filsuf. Ernst Cassirer mendefinisikan manusia sebagai animal symbolicum (mahluk pencipta simbol),  ahli fisika dan filsuf Prancis La Mettrie memahami manusia sebagai L`homme machine, Heidegger mendefisikan sebagai Dasein. Dewasa ini, berdasarkan ketidakmungkinan manusia untuk hidup tanpa teknologi digital, sudah muncul pula definisi baru mengenai manusia, yakni homo digitalis. Definisi-definisi ini tentu masih dapat diperpanjang.

Jadi, seandainya Hamid Basyaib mengerti filsafat dengan baik harusnya ia tidak membuat judul  tulisannya ”Filsafat Perlu Mengajukan Pertanyaan Baru”, melainkan ”Filsafat Perlu Mengajukan Jawaban Baru”. Itu lebih tepat, Mas Hamid.

Dalam tulisan yang judulnya keliru itu, Hamid juga menganggap filsafat sibuk dengan masa lalu sehingga lupa berpikir mengenai fenomena-fenomena terbaru yang diakibatkan oleh perkembangan sains. Ia menganjurkan agar filsafat bertanya mengenai apa arti manusia bila transhuman atau cyborg telah diciptakan. Saya tidak tahu persis seberapa banyak literatur filsafat yang dijelajahi oleh Hamid sehingga ia mengasumsikan bahwa filsafat lupa mempertanyakan arti manusia dalam era cyborg atau transhuman yang entah kapan akan terjadi itu. Yang jelas, dalam hal ini pun Hamid Basyaib keliru. Ada banyak literatur filsafat, termasuk tulisan-tulisan di jurnal,  yang merefleksikan fenomena cyborg dalam rangka filsafat manusia. Filsuf dan tokoh feminis Donna Haraway misalnya tahun 1985 sudah menulis tentang A Cyborg Manifesto. Bahkan ada juga Jurnal of Posthuman Studies yang menyoroti masalah ini dari perspektif filsafat, sains dan media. Sebuah edisi seri filsafat Nietzsche terbitan Cambrigde AS tahun 2017 mengeluarkan terbitan berjudul: Nietzsche and Transhumanism: Precursor or Enemy?

Mungkin Hamid Basyaib akan bertanya, sebagaimana pernah dengan gagah diajukannya dalam diskusi kecil di laman facebooknya: apa bukti bahwa pemikiran-pemikiran para filsuf itu berguna? Buktinya adalah buku-buku para pemikir itu diterbitkan dan diterjemahkan ke dalam puluhan bahasa asing, mereka diundang memberikan kuliah terhormat di universitas-universitas ternama, diundang memberikan ceramah di mana-mana dan kuliah-kuliah mereka juga dihadiri oleh orang-orang terkemuka dari berbagai kalangan. Ratusan diskusi dan seminar dilakukan serta ribuan buku ditulis dalam berbagai bahasa untuk menafsirkan, menganalisi dan memahami pemikiran mereka. Tidak perlu dikatakan bahwa sampai hari ini pemikiran Plato, Aristotels, Descartes, Aquinas, Kant, Hegel dan semua filsuf besar lainnya tetap dibaca, ditafsirkan dan diperdebatkan. Ribuan buku setiap tahun ditulis mengenai pemikiran mereka. Kalau pemikiran para filsuf ini tidak berguna, tidak mungkin pidato dan kuliah-kuliah mereka didengarkan dan karya-karya mereka dibaca banyak orang. 

Kembali, orang yang pandangannya dangkal dan sempit, yang memahami nilai guna hanya dalam arti yang sangat praktis, pasti tidak dapat memahami dan melihat manfaat di balik hal ini.

Apa yang dapat disimpulkan dari kekeliruan-kekeliruan Hamid Basyaib tentang filsafat ini? Ia jatuh dalam situasi tragis. Tragedi Hamid Basyaib adalah ia menciptakan istilah falasi memedi untuk mengkritik Goenawan Mohamad. Namun, falasi memedi itu ternyata lebih tepat ditujukan pertama-tama kepada dirinya sendiri, karena ia merasa telah menghantam filsafat, atau membuktikan ketidakbergunaan filsafat, padahal filsafat yang dihantamnya atau dianggapnya tidak berguna itu adalah filsafat yang dipahaminya secara keliru. 

Tabik, Mas Hamid Basyaib ***** 

(Sumber: https://www.facebook.com/share/p/1CzmJPhR7a/) 

========================


Polemik Sains vs Filsafat: 

Siapa yang Tidak Jujur? 

Oleh Hamid Basyaib


Dari Glasgow yang jauh, S.T Waworuntu berani memastikan bahwa “Hamid Basyaib Tidak Jujur Tentang Kematian Filsafat” — begitulah judul tulisannya yang dimuat di wall Fitzerald Kennedy Sitorus. 

Tuduhan ini pasti didasarkan pada ketakcermatan dia membaca tanggapan saya atas tulisan Sitorus (berjudul “Sains, Filsafat dan Pemikiran Filosofis”). Jadi, Waworuntu salah, meski kesalahannya tak sejauh lokasi tempat tinggalnya — setidaknya ada beberapa tetes elemen kebenaran dalam kritiknya terhadap tulisan saya.

Pertama, saya tidak menyatakan bahwa saya membaca karya-karya Heidegger dll yang judulnya saya kutip. Ini secara logis dan intuitif mestinya dimengerti oleh Waworuntu. Saya sedang berkampanye untuk mengembangkan scientific temper (misalnya bersama kawan-kawan di kelompok ForSains); saya tidak sedang mengampanyekan philosophic temper. 

Jadi, buat apa saya membaca buku-buku yang justeru saya ragukan kebenaran dan manfaatnya? Saya justeru menyatakan bahwa filsafat telah mati setelah kedatangan sains. Maksudnya: daya eksplanasi filsafat untuk menjelaskan alam semesta dan kehidupan di dalamnya tidak lagi andal; observasi, kontemplasi dan klaim-klaim filsafat tak lagi bisa dipercaya. 

Dulu, dulu sekali, spekulasi-spekulasi mereka masih layak disimak; mungkin bisa dijadikan rujukan, bukan karena mereka benar, tapi semata-mata karena tidak ada ide pembanding; sebab sains modern belum muncul. Jadi, kaum filosof di jaman dulu itu, yang jumlahnya sedikit saja karena masing-masing bersikap eksklusif, bagaikan pendekar bermata satu di tengah kaum tunanetra. 

Alasannya terlalu jelas: filsafat semata-mata mengandalkan spekulasi; semua ide para filosof adalah pikiran spekulatif mereka. Itu tinjauan epistemologisnya. Dan dalam kenyataannya memang tiap hari klaim-klaim filsafat yang cuma ngarang itu dipatahkan oleh temuan-temuan sains yang didapat melalui metode empiris yang sangat ketat dan terus disempurnakan. 

Bahkan, kalaupun ada satu — satu saja — klaim filosof yang benar secara faktual (tapi saya sulit sekali menemukan contohnya), itu pun tidak menggugurkan fakta bahwa disiplin filsafat sudah mati. Sebab klaim filosof semacam itu benar hanya secara kebetulan; kita tahu ia benar hanya setelah tebakan itu dikonfirmasi oleh riset empiris sains.  Sang filosof sendiri tidak akan mampu menjelaskan kepada orang lain metodologi atau tahap-tahap proses pemikirannya hingga ia tiba pada suatu kesimpulan. 

Artinya konfirmasi sains justeru lebih terinci dan kaya, yang tidak mungkin ditandingi oleh sekadar spekulasi filsafat, bahkan kalaupun seorang filosoflah yang pertama kali mengajukan gagasan yang kemudian diriset oleh sains itu. 

Jika Waworuntu masih juga kesulitan memahami fakta yang sangat jelas ini, silakan ajukan satu saja contoh klaim filsafat yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah/empiris, misalnya tentang ruang angkasa, tentang “jiwa” manusia, tentang gizi, atau apa saja.

***

Itu tidak berarti semua ide filosofis tidak berguna. Sebagai pre-science (Karl Popper) beberapa ide filosofis sejauh ini masih bermanfaat, bahkan penting untuk membangun kehidupan bersama umat manusia; untuk menjalin hubungan internasional yang sehat, untuk perumusan ketentuan undang-undang, dll. 

Contohnya: pengakuan tentang martabat manusia, yang bisa dijabarkan menjadi prinsip-prinsip HAM, yang terus diperluas cakupannya. Filsafat bertolak dari ide bahwa manusia adalah mahluk termulia di muka bumi dan konsekuensinya ia wajib dihormati; ia memiliki hak-hak dasar pemberian Tuhan, dst. Kepercayaan tentang adanya martabat manusia ini tidak ilmiah; ia sepenuhnya konstruksi filosofis. 

Posisinya di bumi hanya anggota biasa dari animal kingdom; struktur genetiknya hanya berbeda sedikit sekali dari hewan senior terdekatnya (simpanse), juga dengan yang lebih tua (gorila). Biologi sudah menerangkan hal ini sejelas-jelasnya. Dan semua dokter pun bisa mengecek: di dalam diri manusia hanya ada jantung, ginjal, usus dll. Tidak ada martabat. 

Konstruksi-konstruksi filsafat semacam itu tidak akan mampu bertahan dari pertanyaan saintifik. Pelajar biologi dan kedokteran, misalnya, bisa bertanya: mana yang disebut martabat manusia itu; bagaimana wujudnya; seperti apa bentuknya; besarkah atau kecil, dsb. Fiksi tentang martabat manusia itu bisa bertahan semata-mata karena keputusan politik dan perlindungan hukum; bukan karena bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah, bukan karena eksistensinya bisa dibuktikan secara empiris. 

Tapi apakah semua itu harus dibuang, dan umat manusia kembali ke situasi biologis sediakala, seperti sebelum ia mengenal kebudayaan (situasi yang memungkinkan terbentuknya konstruksi filsafat)? 

Pertanyaan ini perlu juga dijadikan agenda riset sains, yaitu untuk menemukan landasan humanisme baru yang solid secara ilmiah; bukan untuk agenda penyelidikan filsafat, sebab ia tak akan mampu melakukannya, dan yang akan disumbangkan oleh filsafat hanyalah spekulasi-spekulasi baru (kecuali ia bertolak dari temuan-temuan sains).

Kedua, saya harus menyebut judul buku-buku itu agar lawan debat saya mengerti bahwa yang menyatakan “filsafat wafat” itu bukan hanya saya; para filosof yang dianggap besar pun sudah lama menyatakannya, seperti tecermin persis dari judul buku-buku mereka. 

Lawan-lawan saya adalah orang-orang yang terbiasa mengandalkan appeal to authority. Mereka tak gampang percaya bahwa orang seperti saya, yang tidak terdidik dalam studi filsafat, bisa berpikir sendiri (mungkin mereka menganalogikan dengan diri sendiri), tanpa mentah-mentah merujuk otoritas. 

Sedangkan mereka yang sudah puluhan tahun suntuk menekuni pikiran para filosof besar saja tidak sanggup berpikir sendiri, apalagi orang yang tak terdidik dalam filsafat — begitu tampaknya cara pikir mereka. Setidaknya inilah tema penting dari pembelaan Sitorus untuk posisi yang diambilnya; ia terus menerus menekankan betapa awamnya lawannya dalam kajian filsafat dan betapa pahamnya dirinya sendiri.

Mereka, seperti dengan mudah kita lihat, tak mengajukan pikiran apapun yang otentik milik mereka sendiri. Mereka hanya membanjiri tulisan dengan curahan kutipan para filosof dari abad-abad lampau, yang pada umumnya serampangan juga; mengutip sekenanya sambil melepaskan kalimat-kalimat yang mungkin indah dan cerdas dari konteks yang dimaksud oleh si otoritas. 

Di Indonesia, contoh terbaik tentang gejala gandrung mengutip ini terlihat jelas pada Goenawan Mohamad, yang tiap minggu melakukannya tanpa putus selama 45 tahun (alias 9 periode kepresidenan; mengalahkan masa dinas Presiden Suharto), dalam esai tetap di majalahnya sendiri, Tempo, dan dengan demikian terjamin pemuatannya. 

Dengan pertimbangan itu saya merasa perlu menyebut judul- judul yang lazimnya merupakan perpadatan atau tema pokok sebuah buku. 

Jika ternyata isi buku-buku Heidegger atau Isabelle Thomas-Fogiel itu meleset dari judulnya seperti dikatakan Waworuntu, tentu yang selayaknya ia salahkan adalah para penulis buku-buku itu. Mengapa mereka menyesatkan pembaca dengan menampilkan isi buku yang berbeda atau berlawanan dengan judulnya? Mereka tidak sejujur Arthur Miller, penulis drama mashur “The Death of the Salesman.” Dalam drama Miller, si salesman memang mati sungguhan, sesuai judulnya; Miller tidak ingkar janji. 

Para pelaku itulah yang sepatutnya digugat oleh Waworuntu, sedangkan saya hanya korban dari penyesatan mereka.

Apakah ini problem lain kaum filosof, yang tak mampu menyelaraskan apa yang mereka maksud dan apa yang mereka tulis? Lain yang gatal, lain pula yang digaruk, kata pepatah. 

Jika benar, ini memperparah kelemahan klasik mereka yaitu ketidakmampuan menjelaskan pikiran dengan gamblang, tanpa keruwetan yang mubazir. Studi-studi dalam cognitive science sudah lama mengidentifikasi hal ini: jika orang tak mampu menuangkan pikirannya dengan jelas dalam tulisan, itu pertanda pikirannya sendiri tidak beres. 

Salah satu ciri penting kecerdasan adalah: menyederhanakan isu rumit, bukan memperumit urusan sederhana. Jika kau tidak mampu menjelaskan gagasanmu kepada anak kelas 3 SD, begitu kira-kira kata Albert Einstein dan Richard Feynman, berarti kau belum paham tentang gagasanmu itu. 

***

Waworuntu mengutip penggalan pengantar Thomas-Fogiel dalam karyanya, “The Death of Philosophy”, yang dia pastikan saya tidak membacanya. Tapi dari pengutipan Waworuntu sendiri justeru terlihat bahwa memang ada masalah serius dalam eksistensi filsafat sebagai disiplin.

Saya ulangi pengutipan Waworuntu: “I will simply return to the source of the thesis of the death of philosophy. If, following the example of Mark Twain, who, upon reading his own obituary in a poorly informed newspaper, protested of “the reports of my death are greatly exaggerated,” we must likewise declare the reports of philosophy’s death to be in error..”. 

Tanpa bermaksud “adu kutipan” — biarlah urusan kutip-kutipan ini kita serahkan pada ahlinya — dari situ terlihat bahwa memang banyak orang, termasuk kalangan filosof sendiri, yang menyatakan filsafat sudah mati, yang disebut Thomas-Fogiel “the thesis of the death of philosophy” dengan berbagai argumen masing-masing; dan Thomas-Fogiel merasa harus menulis buku semacam itu untuk menyanggah argumen kalangan “pro-death”. Jadi, memang bukan dia sendiri yang menyatakan filsafat sudah wafat. 

Apakah ikhtiarnya, sebagai guru filsafat di Prancis — artinya filsafat dan pengajarannya adalah core business-nya — berhasil untuk menyelamatkan filsafat? Sangat diragukan. Tampaknya yang terjadi adalah: Isabelle Thomas-Fogiel menggonggong, kafilah The Death of Philosophy berlalu. 

Jika filsafat beres belaka, buat apa Thomas-Fogiel sampai membuat buku khusus pembelaan yang penyajiannya susah dipahami itu? Hal yang sama tidak terjadi pada sains. Tidak ada ilmuwan yang merasa perlu menulis buku “The Death of Science” karena sains bukan hanya tetap sehat tapi juga semakin afiat. 

Memang, John Horgan dulu menulis “The End of Science” (saya punya beneran, lho, bukunya), tapi yang dia maksud dengan tamatnya sains adalah dalam pengertian ahli biologi Stanislav Grof (tentang ini sudah saya paparkan panjang-lebar dalam polemik sains dan filsafat tahun lalu). 

Dan Horgan bukan ilmuwan; ia wartawan sains. Tampaknya dia dan sejumlah orang lain juga memanfaatkan mode “endism” yang sedang trendy kala itu, berkat munculnya karya mashur Francis Fukuyama “The End of History” (awal 1990an) dan sejak itu “tamatisme” jadi frasa yang seksi dan diharap bisa memanen sukses komersial bagi buku apapun yang judulnya “The End/Death of…..”.

Jika Waworuntu menyusuri sedikit lebih jauh pengantar Thomas-Fogiel, ia akan berjumpa dengan panorama yang lebih kaya daripada sekadar sanggahan penulis yang menganalogikan kematian filsafat dengan obituari Mark Twain yang menurut Twain “dibesar-besarkan” itu. 

Beberapa filosof kontemporer yang dikutip Thomas-Fogiel berpendapat sebaiknya filosof meleburkan diri ke dalam disiplin lain. Gejala spesialisasi filsafat dianggap sering sekali mengarah ke peleburan tersebut, sehingga disiplin induk filsafat sendiri ditinggalkan. Gejala peleburan ini begitu mencolok, sampai dianggap Thomas-Fogiel seakan memenuhi harapan seorang filosof agar epistemologi menjadi “a branch of engineering”. 

Inti semangat Thomas-Fogiel adalah: bagaimana memulihkan atau menghidupkan lagi filsafat lama (yang implisit dia akui memang dalam keadaan sekarat), agar filsafat kembali bugar. Sebagai ikhtiar dari seorang guru filsafat yang bisnis pokoknya adalah pengajaran filsafat di sekolah-sekolah, tentu saja upaya Thomas-Fogiel melalui bukunya wajar belaka, tanpa kita harus setuju.

Ringkasnya: pembelaan-pembelaan ala Thomas-Fogiel itu justeru merupakan indikasi bahwa apa yang dia kuatirkan memang sedang terjadi, dan karena itu ia mencoba mempertahankannya. 

***

Fakta bahwa filsafat sudah mati juga ditunjukkan oleh semakin langkanya kemunculan filosof-filosof baru. Setiap abad jumlah mereka berkurang. Makanya para penggandrungnya hanya bisa memamah ide-ide kuno dari para filosof baheula — bahkan sampai ke masa paling awal di Yunani.

Yang masih banyak muncul adalah para sejarawan filsafat, atau komentator dan apresiator filsafat lama. Jadi yang berkembang adalah sejarah filsafat, bukan filsafat (seorang sumber Thomas-Fogiel bahkan berpendapat seiring matinya filsafat, sejarah filsafat pun tamat). Sekali lagi: hal ini memang niscaya; tidak mungkin ada filosof kontemporer yang berani main klaim (misalnya tentang alam semesta, sifat manusia dll), di tengah arus deras temuan sains yang tanpa ampun, yang sangat meyakinkan karena penjelasan empirisnya sangat terinci.

Kelangkaan filosof baru itu dengan mudah bisa kita lihat dari kajian-kajian di sekolah filsafat. Tipikal judul buku atau skripsi/disertasi mereka adalah: “Filsafat Keindahan Menurut si Anu”, “Kuasa Totaliter dalam Pandangan Tuan Fulan”; atau “Estetika Peteng Pak Surono”, dsb. Tidak ada karya yang menyajikan filsafat orisinal mereka sendiri.

Para pelajar filsafat lazimnya hapal riwayat pemikiran dan aliran-aliran para filosof kuno itu. Si Anu termasuk penganut filsafat metafisik, si Badu tergolong filsafat analitik, Pak Fulan jagoan filsafat ketuhanan dll dst, lalu diuraikanlah pokok-pokok pikiran mereka sesuai aliran masing-masing. Mana filsafat si penulis buku sendiri? Ning alias hening. 

Padahal mereka, sebagai kaum terpelajar, selayaknya mencontoh orang-orang seperti Heidegger dll itu, yang sejak usia muda berani berpikir sendiri, dan berani menyajikan pikirannya sendiri — terlepas apakah sajiannya gampang dipahami atau tidak; terlepas apakah kita setuju atau tidak. Sapere aude! teriak Kant. Tapi tidak banyak yang berani mengamalkan nasihat suportif ini. Kita respek pada keberanian intelektual generasi Immanuel Kant dll itu.

***

Dalam penjelasan tentang pemuatan tulisan Waworuntu di wall FB-nya, Sitorus mengemukakan nasihat-nasihat berpretensi bijak agar “orang” (tentu maksudnya adalah saya, HB) lebih jujur, lebih hati-hati dalam mengutip, dan agar saya menyadari bahwa pengetahuan saya tidak memadai. 

Sitorus sendiri tidak hati-hati dalam membaca tulisan orang lain. Ia telan tulisan Waworuntu itu mentah-mentah dan mengasumsikan isinya kebenaran  belaka — seolah-olah “isinya daging semua”, kata netizen — lalu rombongan sorak segera membagikannya di laman masing-masing. Sitorus kontan menelan tulisan itu, tampaknya semata-mata dengan pertimbangan isinya mendukung posisinya sendiri dan mencela posisi saya. 

Penulis yang jujur semestinya tidak berperilaku begitu. Siapapun penulis suatu tulisan dan apapun isinya, kejujuran intelektual mengajarkan supaya kita tetap kritis menghadapinya — ini kearifan akademis sangat standar. Jangan seperti sindiran sebuah pepatah Minang: tiba di mata dipicingkan, tiba di perut dikempiskan. Hanya karena suatu tulisan mendukung posisinya, seraya mencela posisi saya, Sitorus serta-merta meyakini kebenaran faktual dan ketepatan argumen di dalamnya.

Tapi saya harap polemik semacam ini terus berlanjut. Masih ada agenda lain, misalnya pembahasan tentang dampak sosial-budaya sains; inilah yang saya harapkan dibicarakan dalam polemik berikutnya. 

Saya harap Goenawan Mohamad mau turun lagi ke gelanggang secara terbuka. Itu pasti lebih berfaedah daripada sekadar nyeletuk-nyeletuk atau bahkan, lebih buruk, menyebarkan cercaan-cercaan personal dari para nobodies terhadap saya. 

Debat semacam ini mestinya berlangsung biasa saja, dan sebisa-bisanya fokus pada substansi masalah. Tidak perlu diperlakukan sebagai pertarungan menang-kalah. Kepengecutan sikap dan kebiasaan politicking lama, meski telah berurat berakar puluhan tahun, mestinya bisa diatasi, setidaknya karena alasan pertambahan usia. 

Serangan-serangan personal, selain tak bermutu dan hanya memamerkan childishness, juga potensial untuk membuat pelakunya malu besar, jika orang membalasnya dengan serangan personal pula. Apalagi jika yang diserang itu lebih dari mampu untuk melakukan pembalasan setimpal berkat penguasaan infonya. 

Marilah kita kembali ke tema pokok diskusi, sambil tetap menjaga kehormatan diri dan orang lain, yang bagi saya adalah untuk mempromosikan perangai ilmiah di kalangan warganegara, bukan supaya mereka jadi ilmuwan. 

Perangai ini mudah-mudahan meluas menjadi budaya ilmiah. Kebutuhan akan hal ini makin besar di tengah dominasi budaya religius sekarang ini, yang tidak akan membawa kita ke mana-mana. — dan pasti tidak akan menuntun kita ke kemajuan peradaban dan kemakmuran. *** (Sumber: https://www.facebook.com/share/p/1FoFnYJK1X/) 



0 komentar:

Posting Komentar