![]() |
Fitzerald Kennedy Sitorus |
Oleh: Fitzerald Kennedy Sitorus
Pengantar
Polemik "Sains, Filsafat, dan Agama” ini menggembirakan, tapi sekaligus juga menyingkapkan sebuah fenomena yang sesungguhnya memprihatinkan, yakni orang berani mengajukan klaim-klaim negatif terhadap sesuatu yang tidak dipahaminya dengan baik. Yang saya maksud di sini adalah Hamid Basyaib yang dalam tulisan-tulisannya dalam polemik ini gencar dan penuh percaya diri meremehkan filsafat tapi tanpa argumentasi yang memadai dan, yang lebih memprihatinkan lagi, kritiknya itu sama sekali keliru.
Dalam tanggapan ini saya akan menjelaskan cara kerja filsafat; yang saya maksud dengan cara kerja di sini adalah bagaimana filsafat mengajukan pertanyaan atas fenomena yang mau diteliti. Saya akan memperlihatkan bahwa filsafat bukanlah sebagaimana dipahami oleh Hamid Basyaib itu.
Filsafat dan para filsuf sama sekali tidak pernah anti-kritik. Filsafat sendiri hidup dan berkembang karena kritik. Kritik justru dianggap bentuk apresiasi dalam filsafat. Sejarah filsafat tidak lain dari rangkaian kritik, dan kritik atas kritik. Plato adalah gurunya Aristoteles, tapi sang murid ini justru mengkritik sang guru dan membangun sistem filsafat yang berbeda dari gurunya. Kant dikritik oleh Fichte, Schelling mengkritik Fichte, lalu Hegel mengkritik ketiga pendahulunya itu. Hegel dikritik Feuerbach. Marx mengkritik Feuerbach. Kaum empiris mengkritik kaum rasionalis. Habermas mengkritik para filsuf Teori Kritis generasi pertama, yang tidak lain dari para professornya sendiri. Axel Honneth mengkritik Habermas, mentornya sendiri. Itu semua adalah rangkaian kritik. Jadi, kritik justru disambut baik dalam filsafat. Yang diharamkan dalam filsafat (dan juga dalam dunia intelektual umumnya) adalah kritik yang ngawur, seperti yang dilakukan Hamid Basyaib dalam tulisan-tulisannya.
Mengapa saya mengatakan kritik Hamid Basyaib itu ngawur? Karena kritik tersebut didasarkan atas ketidakpahaman atas filsafat. Hamid selalu mengatakan bahwa filsafat sudah mati, tidak lagi memiliki daya persuasi yang memadai karena sains jauh lebih meyakinkan. Filsafat sudah ketinggalan zaman karena sains sudah dapat mengajukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan dan persoalan-persoalan umat manusia. Filsafat tidak berguna lagi. Filsafat dalam pandangan Hamid tampaknya hanya mengurusi hal-hal dari masa lalu, yang sudah jauh ditinggalkan sains dengan penemuan-penemuannya yang memang gemilang. Hamid rupanya menganggap filsafat itu seperti sejenis ilmu tentang kepurbakalaan.
Cicak dan sarana transportasi
Sebegitu sempitkah pemahaman Hamid tentang filsafat? Ini bukti-buktinya:
Dalam tulisannya yang berjudul ”Filsafat Perlu Mengajukan Pertanyaan Baru” (5 Juli 2020), Hamid mengajukan analogi demikian (saya kutip lengkap): ”Untuk mengambil analogi sederhana: dulu orang menunggang keledai atau kuda untuk bepergian dan mengangkut barang-barang. Kemudian sains menemukan kendaraan bermotor, lalu pesawat terbang, dan sekarang roket untuk berkelana di luar angkasa. Filosof masih sibuk "meneliti" dan menekankan pentingnya kuda dan keledai sebagai sarana angkutan, yang tentunya tidak relevan karena jenis-jenis kendaraan angkutan sudah begitu banyak ragamnya, lebih efisien dan efektif dalam mempermudah hidup manusia.”
Dalam analogi lainnya (dalam tanggapannya kepada saya di laman facebook-nya pada 6 Juni lalu) Hamid mengibaratkan sains itu sebagai cicak yang sudah berjalan jauh dan terus menumbuhkan ekor baru yang semakin besar dan bermanfaat, sementara filsafat masih tetap berpegang pada potongan ekor cicak yang sudah lama ditinggalkan.
Kedua analogi itu memperlihatkan secara gamblang ketidakmemadaian pemahaman Hamid tentang filsafat, seakan-akan filsafat hanya sibuk dengan hal-hal dari masa lalu. Filsafat sibuk meneliti kuda dan keledai di tengah-tengah kemajuan sarana transportasi modern. Dalam bayangan dia, filsafat itu hanya menyibukkan diri dengan hal-hal primitif, purbakala dan ketinggalan zaman, sementara sains sudah berlari kencang jauh ke depan.
Tentu ini pemahaman yang sama sekali salah kaprah tentang filsafat. Dalam konteks analogi transportasi di atas, filsafat tidak akan meneliti dan menekankan pentingnya kuda dan keledai sebagai sarana transportasi. Penelitian mengenai hal itu mungkin lebih tepat dilakukan dalam bidang sejarah transportasi atau sejarah kebudayaan.
Lalu, apa yang dilakukan filsafat dalam konteks transportasi di atas? Di sini saya mau menunjukkan kepada Hamid bagaimana cara kerja filsafat. Filsafat akan bertanya misalnya bagaimana pemahaman orang mengenai kemajuan. Apa itu kemajuan? Apakah kemajuan itu terletak dalam instrumen teknologis yang digunakan atau dalam mentalitas manusia yang menggunakannya? Bagaimana pengaruh penggunaan teknologi modern itu terhadap mentalitas atau cara berpikir manusia penggunanya? Apakah kemajuan masyarakat itu didorong oleh teknologi yang digunakannya, atau oleh mentalitas yang melahirkan teknologi tersebut? Apa yang mendorong perkembangan sosial? Teknologikah atau mentalitas? Karl Marx, misalnya, memilih kemungkinan pertama, yakni bahwa perkembangan teknologi menentukan perkembangan masyarakat.
Pertanyaan-pertanyaan di atas dibahas dalam tema filsafat sosial atau filsafat teknologi. Nah, sains tidak akan mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Tapi itu bukan kelemahan sains karena memang obyek material sains bukan di situ. Tapi jangan Anda mengatakan bahwa pertanyaan-pertanyaan itu tidak berguna atau tidak bisa diajukan, sebagaimana sering kita temui dalam tulisan-tulisan Hamid Basyaib kalau ia sedang mengkritik filsafat dan menjunjung tinggi sains. Kalau Anda mengatakan bahwa pertanyaan itu tidak penting, itu hanya memperlihatkan kesempitan wawasan berpikir Anda atau ketidakpahaman Anda terhadap filsafat atau sosiologi.
Masih dari analogi kemajuan transportasi di atas: Karena orang sudah dapat bepergian dari satu tempat ke tempat lain dengan kecepatan tinggi, (dengan menggunakan roket, kata Hamid) maka filsafat akan merefleksikan misalnya fenomena ruang dan waktu dalam kedua masyarakat tersebut. Bagaimana orang-orang yang bepergian dengan kecepatan dan intensitas tinggi itu memahami ruang dan waktu? Lalu itu akan memunculkan fenomenologi ruang dan waktu. Filsuf Prancis Maurice Merleau-Ponty misalnya menulis buku bagus mengenai tema ini dalam bukunya Phenomenology of Perception.
Yang dimaksud dengan fenomenologi ruang atau waktu adalah ruang atau waktu sebagaimana dipahami secara subyektif. Ruang dan waktu ini berbeda dari ruang obyektif, sebagaimana dipahami dalam ilmu-ilmu alam. Fenomenologi waktu berbicara tentang waktu sebagaimana dipersepsi, tapi bukan secara kognitif melainkan secara eksistensial. Contohnya: orang yang sedang menunggu seorang kekasih merasa waktu berjalan sangat lambat, sementara orang yang akan menghadapi ujian atau hukuman mati merasa waktu berjalan sangat cepat. Itulah waktu fenomenologis. Kalau Anda memundurkan mobil dan Anda ”merasa” bahwa ekor mobil Anda sudah sangat dekat dengan tembok, itu adalah contoh penghayatan tentang ruang. Dalam kasus seperti itu, badan kita seakan-akan menyatu dengan mobil (kita ”memobil”) sehingga kita bisa ”merasakan” bahwa jarak antara mobil dengan tembok tinggal beberapa inci lagi.
Contoh kemajuan transportasi di atas juga mungkin akan memunculkan pertanyaan antropologi filosofis mengenai makna keberakaran atau keterikatan manusia pada ruang dan waktu tertentu. Juga pertanyaan tentang apa itu ”kampung halaman” (oikos). Simone Weil, misalnya, menulis buku bagus mengenai gagasan yang kurang lebih sama tentang hal ini, yakni The Need for Roots. Kalau orang sering bepergian, bagaimana ia memahami arti ”kampung halaman”? Apa arti ”mudik” baginya? Bagaimana ia memahami identitasnya? Bagaimana ia memahami masyarakat, sementara ia misalnya tidak ”tertanam” dalam sebuah masyarakat tertentu?
Itulah contoh-contoh pertanyaan filosofis yang akan diajukan filsafat dari analogi transportasi di atas. Dan umumnya pertanyaan itu menyangkut makna dalam kehidupan manusia itu sendiri. Dan pertanyaan-pertanyaan makna demikian jelas tidak dapat dijawab oleh sains, betapapun majunya sains tersebut. Jadi, bukan kuda atau keledai yang diteliti, sebagaimana secara polos diasumsikan oleh Hamid.
Dalam analogi cicak dan ekornya, filsafat juga tidak akan memegangi potongan ekor cicak sebagaimana secara mengharukan diasumsikan Hamid. Ilmu yang akan memegangi ekor cicak itu mungkin ilmu sejarah, bukan ilmu filsafat.
Dalam contoh cicak tersebut, filsafat akan bertanya, misalnya, apakah cicak punya tujuan sehingga ia berlari maju terus? Ke mana ia akan berlari? Apa yang mendorong cicak untuk berlari kencang? Apakah lari kencang cicak/sains itu didorong oleh kekuatan yang berasal dari dirinya sendiri atau kekuatan lain dari luar dirinya? Dengan kata lain, apa yang mendorong perkembangan sains? Apakah sains berkembang karena kebutuhan manusia, atau sains berkembang sesuai dengan logikanya sendiri dan manusia kemudian menyesuaikan diri kepada perkembangan tersebut. Ini menjadi tema pembahasan dalam filsafat teknologi atau filsafat sains.
Dalam kapitalisme, misalnya, teknologi dan sains berkolaborasi, lalu kita melihat bahwa produk-produk baru dimunculkan bukan untuk memenuhi kebutuhan manusia, melainkan kebutuhan manusia ditumbuhkan (melalui godaan iklan dan lain-lain) untuk melayani produk-produk yang dihasilkan oleh kapitalisme. Muncullah kebutuhan yang dibutuh-butuhkan. Ini adalah pokok kritik filosofis Mazhab Frankfurt terhadap kapitalisme.
Masalah di atas ini tentu tidak bisa dijawab dengan sains, sebab justru yang dikritik di sini adalah kolaborasi sains dan teknologi dalam sistem kapitalisme. Kolaborasi tersebut sering justru tidak memanusiakan manusia, melainkan merendahkan manusia menjadi sekadar pelayan produk-produk kapitalisme. Oleh karena itulah, dalam tulisan saya sebelumnya saya menegaskan bahwa sains sering berkembang sedemikian rupa sehingga menghasilkan masalah-masalah yang tidak bisa lagi diatasinya. Di situlah kita perlu bersikap kritis (ingat: bersikap kritis, bukan menolak!) terhadap sains dan teknologi.
Untuk mengantisipasi kesalahpahaman atas filsafat inilah maka dalam tulisan sebelumnya (”Tentang Garis Demarkasi antara Sains dan Filsafat dan Kematian Metafisika”) saya memperlihatkan garis demarkasi antara sains dan filsafat sebagai disiplin ilmu. Saya juga memperlihatkan contoh-contoh pertanyaan sains dan filsafat.
Dalam tulisan itu saya menegaskan bahwa betapun majunya sains, ia tidak akan pernah dapat membuat filsafat menjadi tidak relevan. Dengan mengatakan demikian, saya tentu saja tidak hendak meremehkan sains, juga tidak hendak mengunggulkan filsafat. Yang mau saya tegaskan adalah: sains tidak mungkin dapat menggantikan filsafat karena memang tugas dan fungsi serta pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kedua ilmu ini berbeda.
Di sini saya perlu menegaskan bahwa sekalipun berbicara tentang garis demarkasi, tujuan tulisan tersebut bukanlah untuk menyatakan bahwa kedua ilmu tersebut harus dikerangkeng dalam batas-batas mereka. Kalau tulisan saya diperhatikan justru pada akhir tulisan itu saya menegaskan pentingnya kerja sama antarilmu, sebagaimana ilmu-ilmu alam juga maju melalui kolaborasi dengan matematika. Namun pengetahuan mengenai garis demarkasi itu penting agar keduanya dapat dibedakan sebagai disiplin ilmu yang berbeda, dengan obyek material dan obyek formal yang berbeda, apalagi dalam diskusi di ruang publik seperti ini, dengan latar belakang peserta yang beraneka ragam.
Harapan akan kerja sama antarilmu dan penarikan garis demarkasi itu juga bukan sebuah kontradiksi. Justru kerjasama mengandaikan perlunya kejelasan demarkasi sehingga ilmu-ilmu yang bekerja sama itu tahu apa yang boleh diharapkan dari ilmu lainnya, dan apa yang dapat disumbangkannya untuk kemajuan pengetahuan atas obyek yang sedang diteliti bersama. (Kalau ada waktu saya masih akan membuat tulisan mengenai pentingnya kerja sama antar ilmu berdasarkan gagasan-gagasan yang muncul dari fisika kuantum Niels Bohr dan Werner Heisenberg; fisika kuantum menurut saya menyediakan basis teoretis-epistemologis untuk dialog antarilmu).
Tapi rupanya Hamid tidak tertarik membaca tulisan saya tentang demarkasi tersebut. Dan sekalipun ada beberapa penulis dalam polemik ini yang dengan bagus menguraikan apa itu filsafat, saya melihat pemahaman Hamid terhadap filsafat tidaklah menjadi lebih baik. Semoga ia bukan tipe orang yang tidak ingin belajar dari tulisan mitra diskusinya.
Namun, sebenarnya dapat dimaklumi juga kalau Hamid tidak memahami filsafat. Ia sendiri, masih dalam diskusi di laman facebook-nya (6 Juni 2020), mengakui bahwa dia tidak memahami filsafat karena dia merasa tidak perlu memahami sesuatu yang kurang berguna. Dia mengatakan begini (kutipan): ”Well.. tentu saya tdk perlu memahami sesuatu yg nilai-gunanya minimum. Sama spt saya tdk merasa perlu memahami metode adu jangkrik, membuat dodol, memanjat pohon dan masih banyak lagi.”
Sikap Hamid ini mengharukan. Seorang teman yang membaca komentar itu sampai sedikit emosi dan mengirimkan pesan japri, mengatakan: ”Kalau memang tidak memahami, lalu mengapa berkoar-koar tentang filsafat! Bagaimana sih?” Saya hanya tertawa, karena saya menganggap bahwa ketidaktahuan bukanlah sebuah aib. Justru itulah salah satu gunanya diskusi: bisa saling belajar. Tapi rupanya itu tidak terjadi.
Mampu, boleh dan perlu
Sebagai orang yang belajar filsafat, termasuk filsafat sains dan filsafat teknologi, saya menyadari dan tahu bahwa sains tidak akan mampu menggusur filsafat, demikian pula sebaliknya. Justru perkembangan sains sering melahirkan pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dijawab sains itu sendiri. Dan di situlah filsafat menjadi sangat relevan. Saya sudah mengemukakan contoh-contoh tentang hal ini dalam tulisan saya sebelumnya. Pertanyaan-pertanyaan mengenai transplantasi organ dan jual-beli organ tubuh manusia, mengenai cloning, mengenai cyborg, rekayasa genetik, dan lain-lain, semua itu sering memunculkan implikasi-implikasi etis yang tidak dapat dijawab lagi oleh sains.
Bukti atas hal ini adalah munculnya cabang-cabang ilmu baru seperti etika medis (medical ethics), bioetika (bioethics), etika rekayasa (engineering ethics), etika industri (ethics of industry), dan lain-lain. Mengapa disiplin ilmu baru itu muncul? Tidak lain karena perkembangan-perkembangan dalam bidang medis, rekayasa, biologi dan industri berlangsung sedemikian rupa sehingga sering menimbulkan masalah-masalah moral yang tentu tidak dapat lagi dijawab melalui disiplin ilmu tersebut. Dan untuk itulah ilmu-ilmu tersebut perlu didampingi atau ”diawasi” melalui etika. Dan etika tidak lain dari filsafat moral.
Secara ilmiah-teknologis, manusia (mungkin) telah ”mampu” melakukan kloning atas manusia, penciptaan ”manusia” cyborg, rekayasa genetika dalam berbagai bidang, dan berbagai hal lainnya. Itu tentu bagus-bagus saja. Tapi apakah kita ”boleh” (ingat: boleh!) melakukan apa yang ”mampu” kita lakukan? Ini bukan lagi pertanyaan teknis, melainkan pertanyaan etis yang tidak dapat dijawab oleh sains itu sendiri. ”Mampu” dan ”boleh” itu dua kategori yang berbeda. Lain lagi dengan kategori ”perlu”. ”Perlu” itu menyangkut kategori praktis. Mampu itu menyangkut kapasitas ilmiah teknis, sementara boleh menyangkut dimensi etis-moral.
Misalnya reaktor nuklir untuk pembangkit listrik. Manusia memiliki kemampuan teknis untuk membangun reaktor nuklir, dan secara etis itu boleh. Namun, atas nama kelestarian lingkungan, itu dianggap tidak perlu. Lebih bagus kita mencari sumber-sumber energi alternatif. Dan itulah yang dilakukan oleh sejumlah negara Eropa yang peduli terhadap kelestarian ekosistem, yakni menutup secara bertahap reaktor-reaktor nuklir mereka.
Nah, pertanyaan-pertanyaan seperti itu (antara mampu, boleh dan perlu) tidak bisa lagi ditangani secara teknologis, melainkan secara etis. Dan itu adalah bidang filsafat (filsafat manusia, filsafat moral, filsafat teknologi, filsafat lingkungan hidup, dll). Sama halnya, para ilmuwan sekarang mungkin telah mampu ”membuat” manusia melalui teknik kloning, namun apakah itu boleh (secara etis) dan perlu (secara praktis)? Kalau dikatakan perlu, untuk apa? Kalau dikatakan mau memuaskan rasa ingin tahu manusia, apakah kita perlu dan harus memuaskan semua rasa ingin tahu kita? Di mana batas-batas pemuasan rasa ingin tahu manusia? Pertanyaan filosofis lagi, apakah manusia hasil kloning itu masih dapat disebut manusia? Apakah cyborg atau transhuman itu masih dapat disebut manusia? Apa itu manusia? Tentu sains dan teknologi tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan penting ini.
Di tengah-tengah kemajuan sains dan teknologi dewasa ini ada banyak persoalan penting yang justru sangat membutuhkan refleksi filosofis. Ini sekaligus untuk menanggapi pernyataan Hamid yang berkali-kali mengatakan bahwa filsafat tidak berguna lagi. Tentu filsafat tidak dapat menangani masalah itu sendirian. Filsafat harus bekerja dengan disiplin ilmu lainnya untuk mengatasi tantangan umat manusia sekarang. Misalnya, fenomena terorisme global. Itu tidak mungkin diatasi dengan teknologi. Mengapa teroris lintas negara terjadi? Apakah itu dipicu oleh masalah ketidakadilan, atau masalah apa? Apa yang membuat orang dengan mudah dan tanpa rasa bersalah membunuh ratusan orang yang tidak bersalah? Sejauh mana motivasi agama berperan dalam mendorong orang menjadi teroris?
Dalam kasus terorisme lintas negara ini, filsuf Habermas, yang bukan saintis itu, misalnya mengatakan bahwa penggunaan idiom-idiom agama dalam aksi terorisme tidak berarti bahwa teroris itu memiliki motivasi religius. Aksi terorisme itu berakar dari konflik sosial-politik yang memperlihatkan dirinya dalam bahasa-bahasa agama. Filsuf Axel Honneth mengatakan bahwa konflik sosial semacam itu adalah bagian dari perjuangan untuk pengakuan (recognition).
Apakah dengan demikian filsafat dapat secara langsung mengatasi masalah terorisme? Ya, tentu tidak, karena filsafat tidak bertujuan memberikan tips-tips untuk melakukan sesuatu. Sama halnya, mekanika kuantum juga tidak dapat digunakan untuk mengatasi terorisme. Fungsi filsafat dalam hal ini terutama untuk membantu kita mengenali dan memahami masalahnya, sehingga dengan demikian, pihak-pihak terkait diharapkan dapat terbantu untuk mengatasinya. Dan langkah pertama untuk mengatasi masalah adalah dengan lebih memahami duduk perkaranya. Itu antara lain kontribusi yang dapat diberikan filsafat.
Demikian juga tentang fenomena pengungsi dari Timur Tengah yang sekarang merepotkan banyak negara Eropa. Sains jenis apa yang bisa digunakan untuk mengatasi masalah pengungsi? Pertanyaannya adalah: apakah orang memiliki hak untuk mengungsi ke negara lain? Apakah sebuah negara berhak secara moral menolak pengungsi yang datang ke negaranya? Sejauh mana sebuah negara harus bertanggung-jawab untuk menampung pengungsi? Lalu apakah pengungsi berhak untuk tinggal selamanya di negara tempatnya mengungsi, sejauh negara asal mereka belum aman?
Sebagai mahluk rasional kita tentu tidak ingin jawaban kita atas pertanyaan-pertanyaan tersebut didasarkan atas emosi belaka, tanpa basis argumentasi rasional yang kuat. Manusia rasional selalu mencari pendasaran rasional untuk sikap dan keputusan yang mau diambil. Dalam konteks pengungsi ini misalnya, filsuf Immanuel Kant penting dipelajari.
Kant mengatakan, karena wilayah yang dapat didiami umat manusia di bumi ini terbatas, dan tidak bisa dijamin bahwa tidak ada konflik di sebuah daerah atau negara, maka manusia memiliki hak untuk mengungsi, dan sebuah negara memiliki kewajiban moral untuk menampung pengungsi. Tetapi pengungsi tidak berhak untuk tinggal selamanya di sebuah negara tempatnya mengungsi. Bisa jadi, pengetahuan dan kesadaran akan hal inilah yang mendorong para politisi atau pemimpin politik di Jerman atau negara Eropa lainnya untuk membuka pintu bagi para pengungsi dari Timur Tengah yang membanjiri negara mereka.
Dalam kaitan dengan kasus terorisme lintas negara di atas, dewasa ini, misalnya, para ahli filsafat politik, terutama di Eropa dan Amerika, sedang giat memikirkan sebuah konsep tentang global justice dan global democracy atau cosmopolitan democracy karena mereka melihat bahwa aksi-aksi teroris tersebut sedikit banyak juga dipengaruhi oleh absennya keadilan dan demokrasi pada skala global. Oleh karena itu, kalau mau hidup damai maka cepat atau lambat umat manusia harus mengusahakan terciptanya sistem demokrasi atau sistem keadilan global. Dalam hal ini, kembali Kant menjadi pemikir penting untuk dirujuk berdasarkan gagasannya tentang Perpetual Peace. Buku-buku atau tulisan mengenai global justice, global democracy atau kosmopolitanisme ini dengan mudah ditemukan di internet sekarang ini.
(Jadi, sekalipun Immanuel Kant itu berasal dari abad 18, bukan berarti pemikirannya sudah ketinggalan zaman, sebagaimana sering dituduhkan Hamid Basyaib yang mengatakan bahwa filsafat hanya sibuk dengan pemikir(an) dari masa lalu. Hamid perlu tahu bahwa kualitas sebuah pemikiran tidak ditentukan kebaruannya. Tidak berarti juga bahwa pemikiran terbaru membatalkan pemikiran sebelumnya. Filsuf dan matematikawan A.N. Whitehead, misalnya, mengatakan bahwa sejarah filsafat Barat itu tidak lain dari rangkaian cacatan kaki untuk Plato. Sekalipun pernyataan itu bernada hiperbolis, itu memperlihatkan tetap pentingnya gagasan-gagasan filosofis Plato, yang dihasilkan 2500 tahun lampau itu, dalam sejarah pemikiran modern).
Terlalu banyak pertanyaan dalam kehidupan sosial politik yang membutuhkan kehadiran filsafat. Contoh lain: paham moral mana yang paling meyakinkan: liberalisme-kah atau komunitarisme? Apakah kedua paham ini harus bertentangan? Filsafat politik atau filsafat moral merefleksikan hal ini. Filsuf seperti Axel Honneth, misalnya, dengan bertolak dari insight Marx dan Hegel, berhasil secara kreatif mensintesakan kedua paham yang umumnya dianggap bertolak belakang ini. Dan itu membuat kita mampu memahami duduk perkara masalah ini dengan lebih baik. (Saya kebetulan memperkenalkan pemikiran Axel Honneth ini dalam sebuah tulisan bersambung di majalah Basis edisi Juli 2020 ini). Dan cepat atau lambat ide-ide seperti ini akan masuk ke dalam kesadaran publik atau para pemimpin politik (mungkin melalui para penasihat mereka) yang kemudian akan berusaha menata struktur sosial, ekonomi dan politik sesuai dengan gagasan tersebut. Ini untuk memperlihatkan bagaimana gagasan juga bisa berdampak dalam kenyataan.
Jadi, refleksi filsafat itu tidak bertolak dari ruang kosong dan berakhir di ruang kosong pula, sebagaimana diasumsikan Hamid Basyaib. Dalam hal ini kita perlu ingat (hanya sekadar contoh) sosok filsuf sosial Anthony Giddens yang dulu merupakan penasihat penting untuk PM Inggris Tony Blair. Pemikiran dan nasihat-nasihat ekonom sekaligus filsuf Amartya Sen, yang merumuskan pemikirannya capability approach dengan menggali pemikiran Aristoteles dan Adam Smith, juga didengarkan oleh banyak pemimpin politik.
Batas-batas sains
Apakah benar sains akan dapat menjelaskan semua hal mengenai manusia? Hamid sangat yakin mengenai hal ini, dengan mengacu antara lain kepada kemampuan dan kemajuan yang dicapai oleh neurosains. Dia memaparkan banyak data tentang hal ini dalam tulisan-tulisannya sebelumnya. Memang neurosains memperlihatkan prestasi gemilang dalam meneliti struktur otak manusia. Itu harus diakui.
Tapi, yang tidak boleh dilupakan adalah tidak semua fenomena dalam diri manusia itu dapat diteliti secara fisik-empiris. Pikiran dan kesadaran bukanlah fenomena fisik, melainkan fenomena mental, sehingga ia tidak mungkin dapat diteliti secara fisik-empiris. Sebagai fenomena mental, pikiran tidak sama dengan penjumlahan total semua neuron-neuron dalam otak. Pikiran dan kesadaran melampaui neuron-neuron itu sendiri. Kalau pikiran identik dengan neuron-neuron, lalu kalau para ahli meneliti neuron-neuron itu, apakah bisa dikatakan bahwa neuron-neuron meneliti neuron-neuron? Kalau saya berpikir mengenai polemik sains dan filsafat ini, apakah itu berarti neuron-neuron berpikir mengenai polemik sains dan filsafat? Apakah neuron-neuron bisa berpikir? Penyamaan pikiran dan neuron-neuron ini hanya membawa kita ke dalam situasi yang absurd. (By the way: salah satu pertanyaan menarik dalam filsafat adalah: apa itu berpikir?)
Salah satu fenomena kemanusiaan yang tidak mungkin diteliti secara empiris-saintifik adalah ”aku”. Apakah atau siapakah yang disebut ”aku”? Aku yang dimaksud di sini tentu bukan aku empiris, yang sekarang sedang duduk mengetik sebuah artikel untuk polemik. Pengetahuan mengenai aku empiris itu sendiri (artinya: bahwa saya tahu bahwa yang mengetik ini adalah aku) menjadi mungkin tentu bukan lagi berdasarkan aku empiris itu sendiri. Aku empiris tidak dapat mengetahui aku empiris, sebagaimana mata tidak dapat melihat dirinya sendiri. Jadi, mesti ada ”aku” yang lain yang memiliki pengetahuan mengenai aku empiris tersebut. Saya (dengan mengikuti Kant) mengatakan ini aku ”transendental”.
Aku transendental inilah yang merangkum atau mensintesakan semua kegiatan yang dilakukan oleh aku empiris itu, baik dulu, hari ini dan besok, sehingga sekalipun si aku empiris itu melakukan semua kegiatan tersebut dalam waktu dan tempat berbeda-beda, toh semua itu tidak tercerai-berai, melainkan dapat terangkum dalam konsep ”aku”. Karena itulah saya, misalnya, dapat mengatakan pengalaman-ku.
Tapi aku ini siapa? Bagaimana ia terbentuk? Apakah ia dapat dijelaskan semata-mata sebagai hasil memori? Tentu tidak. Memori-memori itu sendiri kalau tidak disintesakan oleh si aku itu akan tetap merupakan memori-memori yang tidak berhubungan satu sama lain.
Apakah asal-usul aku ini bisa dijadikan obyek penelitian? Secara logis tidak mungkin. Berdasarkan filsafat komunikasinya, Habermas menjelaskan asal-usul aku tersebut. Ia mengatakan aku itu muncul dari intersubyektivitas, yakni ketika mitra bicara saya mengatakan ”kau” dan saya tahu bahwa yang dimaksud dengan ”kau” itu adalah ”aku”. Tapi kalau sebelumnya aku tidak memiliki pengetahuan mengenai ”aku”, aku tentu tidak tahu siapa ”kau” yang diacu oleh mitra bicaraku itu. Artinya, ”aku” bukanlah hasil proses intersubyektivitas. Karena itu, jawaban Habermas dalam menjelaskan asal-usul aku inipun tidak memadai.
Mengapa asal-usul ”aku” itu tidak dapat diteliti? Karena aktivitas meneliti itu sendiri sudah mengandaikan adanya ”aku” yang dengan sadar mau meneliti, padahal yang mau aku teliti adalah asal usul ”aku” tersebut. Aku tidak mungkin meneliti proses bagaimana ”aku” terbentuk karena setiap penelitian sudah selalu mengandaikan adanya aku yang mau meneliti. Artinya, aku sudah selalu mengandaikan apa yang justru hendak aku cari. Di sini kita jatuh pada kesulitan petitio principii. Oleh karena itulah, secara logis harus diterima adanya aku transendental yang merangkum dan mensintesakan semua kegiatan yang kita lakukan dalam perjalanan waktu sehingga kemudian kita dapat mengatakan, misalnya, pengalaman-ku.
(Saya tentu tidak bermaksud membahas ini lebih panjang lagi di sini. Ini hanya untuk memperlihatkan bahwa secara logis dalam kedirian manusia terdapat bukan hanya realitas fisik-empiris [neuron-neuron], tapi juga realitas mental [kesadaran, pikiran], dan bahkan realitas transendental. Pembahasan atas kompleksitas masalah ini, dan kritik terhadap pendekatan ilmiah-saintifik atas realitas mental dan transendental, saya lakukan dalam disertasi saya yang kebetulan membahas konsep subyek transendental Immanuel Kant, dan tanpa bermaksud menyombongkan diri, disertasi yang saya kerjakan di Frankfurt, Jerman, ini ternyata lulus dengan predikat magna cum laude).
Masalah-masalah seperti di atas mungkin akan dianggap omong kosong oleh orang tertentu. Itu dapat dipahami. Orang-orang yang jangkauan pandangannya pendek, hanya terbatas pada hal-hal yang empiris, dan tidak memiliki kemampuan refleksi dan asbtrak yang memadai, memang cenderung menganggap diskusi tentang masalah-masalah yang melampau indra sebagai tidak berguna. Orang-orang mengharukan semacam ini banyak ditemukan di masyarakat kita. Itu sama dengan orang yang menganggap pertandingan sepak bola itu tidak masuk akal karena ada 22 pemain memperebutkan bola dan setelah bola dapat dikuasai dengan susah payah bukannya dibawa pulang ke rumah melainkan justru diberikan lagi kepada orang lain.
Isu-isu mengenai keadilan, demokrasi, hak asasi manusia, kesetaraan, dan lain-lain lebih membutuhkan kehadiran filsafat dibandingkan sains dan teknologi. Sekali lagi, ini tentu tidak hendak mengatakan bahwa sains tidak penting. Sains tetap penting untuk dikerjakan sesuai dengan tugas dan fungsinya. Jadi, sebagaimana Hamid Basyaib memaparkan berbagai hal mengenai sains dan teknologi untuk ”membuktikan” ketidakbergunaan filsafat, saya juga dapat di sini memaparkan berbagai hal penting dalam bidang filsafat moral, filsafat politik, filsafat kebudayaan filsafat ekonomi, filsafat sosial, filsafat ketuhanan untuk ”membuktikan” ketidakbergunaan sains. Tapi itu tentu tidak banyak gunanya dalam diskusi.
Pertanyaan lama, jawaban baru
Salah satu keanehan lain dalam tulisan Hamid Basyaib adalah judul tulisannya sendiri. Judulnya demikian: ”Filsafat Perlu Mengajukan Pertanyaan Baru”. Bagi orang yang pernah belajar filsafat dengan serius, judul ini akan mengundang senyum karena orang itu akan tahu bahwa si pembuat judul itu tampaknya tidak memahami filsafat tapi justru mau mengajari apa yang perlu dilakukan oleh filsafat. Mengapa? Karena pertanyaan filsafat dari dulu hingga sekarang sebenarnya sama saja. Pada dasarnya tidak ada pertanyaan baru dalam filsafat. Yang ada adalah jawaban baru. Kok bisa?
Jawabannya adalah: manusia berkembang, berubah. Pengalamannya berkembang. Ilmu pengetahuan berkembang. Sains juga. Lingkungan berkembang. Manusia mengalami banyak hal baru dalam hidupnya. Itu semua membuat jawaban-jawaban lama tidak lagi memadai dan untuk itu ia harus mencari jawaban-jawaban baru yang lebih tepat dan memuaskan sesuai dengan konteks sosio-historisnya. Jadi, orang mencari jawaban-jawaban baru untuk pertanyaan-pertanyaan lama.
Sejak era Yunani Klasik para filsuf telah bertanya dan mengajukan jawaban mengenai: apa itu yang baik, apa itu keadilan, apa yang bermoral, apa itu manusia, bagaimana pendidikan harus dilakukan, bagaimana negara harus ditata, bagaimana manusia memperoleh pengetahuan, mengapa manusia harus membentuk negara, apa itu ekonomi, dan lain-lain. Mereka memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut sesuai dengan konteks sosio-historis mereka.
Misalnya tentang keadilan. Plato mengatakan bahwa keadilan adalah kondisi di mana setiap orang melakukan apa yang menjadi tugas dan tanggung-jawabnya. Namun, zaman berubah dan pemikiran orang berubah. Jawaban atas pertanyaan mengenai keadilan itu dianggap tidak lagi memadai.
Karl Marx, yang hidup pada era awal kapitalisme, misalnya, menilai bahwa kalau setiap orang melakukan tugas dan tanggung-jawabnya, sesuai dengan posisi seseorang dalam struktur sosial, maka itu justru merupakan strategi dominasi dan eksploitasi dari kelas yang berkuasa. Orang yang mengalami penindasan struktural tentu tidak menyetujui definisi Plato itu. Karena itu, Marx mengajukan jawaban baru atas keadilan, yakni melalui penghapusan semua hak milik pribadi yang mempengaruhi kehidupan orang banyak. John Rawls yang hidup dalam masyarakat liberal merasa bahwa teori-teori keadilan yang ada, termasuk Marx, juga tidak memadai. Ia kemudian mendefinisikan keadilan sebagai fairness. Habermas yang merefleksikan kehidupan masyarakat posttradisional menilai bahwa keadilan hanya dapat ditentukan berdasarkan konsensus. Demikianlah jawaban-jawaban baru atas pertanyaan lama ”apa itu keadilan” diajukan.
Etika juga demikian. Etika adalah filsafat moral, refleksi dan argumentasi rasional mengenai apa itu yang baik secara moral. Aristoteles telah memberikan jawaban atas pertanyaan apa itu yang baik. Yang baik menurutnya adalah apa yang membahagiakan, dalam arti eudaimonia. Namun, dalam perkembangan zaman berikutnya, jawaban tersebut juga dinilai tidak memuaskan lagi. Kita kemudian melihat dalam sejarah filsafat muncul berbagai jawaban baru atas pertanyaan lama itu, yakni dalam bentuk berbagai jenis etika, misalnya etika situasi (Joseph Fletcher), etika hedonisme (Epikuros), etika utilitarianisme (J.S. Mill dan Jeremy Bentham), etika deontologi (Kant), etika teonomi (Agustinus, Aquinas), etika diskursus (Habermas), etika komunitarisme (Charles Taylor, Michael Sandel, Alasdair MacIntyre, Michael Walzer, dll) dan lain-lain. Pertanyaan tetap sama, jawabannya yang selalu diperbaharui.
Hamid Basyaib menganjurkan agar filsafat mengajukan pertanyaan baru mengenai ”apa itu manusia” berdasarkan perkembangan teknologi transhuman atau cyborg. Dia tidak tahu bahwa Aristoteles dulu telah bertanya apa itu manusia, dan jawabannya adalah animal rational, makhluk yang berpikir atau berbahasa. Tapi itu hanya salah satu definisi dan sejumlah definisi yang diajukan para filsuf. Ernst Cassirer mendefinisikan manusia sebagai animal symbolicum (mahluk pencipta simbol), ahli fisika dan filsuf Prancis La Mettrie memahami manusia sebagai L`homme machine, Heidegger mendefisikan sebagai Dasein. Dewasa ini, berdasarkan ketidakmungkinan manusia untuk hidup tanpa teknologi digital, sudah muncul pula definisi baru mengenai manusia, yakni homo digitalis. Definisi-definisi ini tentu masih dapat diperpanjang.
Jadi, seandainya Hamid Basyaib mengerti filsafat dengan baik harusnya ia tidak membuat judul tulisannya ”Filsafat Perlu Mengajukan Pertanyaan Baru”, melainkan ”Filsafat Perlu Mengajukan Jawaban Baru”. Itu lebih tepat, Mas Hamid.
Dalam tulisan yang judulnya keliru itu, Hamid juga menganggap filsafat sibuk dengan masa lalu sehingga lupa berpikir mengenai fenomena-fenomena terbaru yang diakibatkan oleh perkembangan sains. Ia menganjurkan agar filsafat bertanya mengenai apa arti manusia bila transhuman atau cyborg telah diciptakan. Saya tidak tahu persis seberapa banyak literatur filsafat yang dijelajahi oleh Hamid sehingga ia mengasumsikan bahwa filsafat lupa mempertanyakan arti manusia dalam era cyborg atau transhuman yang entah kapan akan terjadi itu. Yang jelas, dalam hal ini pun Hamid Basyaib keliru. Ada banyak literatur filsafat, termasuk tulisan-tulisan di jurnal, yang merefleksikan fenomena cyborg dalam rangka filsafat manusia. Filsuf dan tokoh feminis Donna Haraway, misalnya, tahun 1985 sudah menulis tentang A Cyborg Manifesto. Bahkan ada juga Jurnal of Posthuman Studies yang menyoroti masalah ini dari perspektif filsafat, sains, dan media. Sebuah edisi seri filsafat Nietzsche terbitan Cambrigde AS tahun 2017 mengeluarkan terbitan berjudul: Nietzsche and Transhumanism: Precursor or Enemy?
Mungkin Hamid Basyaib akan bertanya, sebagaimana pernah dengan gagah diajukannya dalam diskusi kecil di laman facebook-nya: apa bukti bahwa pemikiran-pemikiran para filsuf itu berguna? Buktinya adalah buku-buku para pemikir itu diterbitkan dan diterjemahkan ke dalam puluhan bahasa asing, mereka diundang memberikan kuliah terhormat di universitas-universitas ternama, diundang memberikan ceramah di mana-mana dan kuliah-kuliah mereka juga dihadiri oleh orang-orang terkemuka dari berbagai kalangan. Ratusan diskusi dan seminar dilakukan serta ribuan buku ditulis dalam berbagai bahasa untuk menafsirkan, menganalisis dan memahami pemikiran mereka. Tidak perlu dikatakan bahwa sampai hari ini pemikiran Plato, Aristotels, Descartes, Aquinas, Kant, Hegel dan semua filsuf besar lainnya tetap dibaca, ditafsirkan dan diperdebatkan. Ribuan buku setiap tahun ditulis mengenai pemikiran mereka. Kalau pemikiran para filsuf ini tidak berguna, tidak mungkin pidato dan kuliah-kuliah mereka didengarkan dan karya-karya mereka dibaca banyak orang.
Kembali, orang yang pandangannya dangkal dan sempit, yang memahami nilai guna hanya dalam arti yang sangat praktis, pasti tidak dapat memahami dan melihat manfaat di balik hal ini.
Apa yang dapat disimpulkan dari kekeliruan-kekeliruan Hamid Basyaib tentang filsafat ini? Ia jatuh dalam situasi tragis. Tragedi Hamid Basyaib adalah ia menciptakan istilah falasi memedi untuk mengkritik Goenawan Mohamad. Namun, falasi memedi itu ternyata lebih tepat ditujukan pertama-tama kepada dirinya sendiri, karena ia merasa telah menghantam filsafat, atau membuktikan ketidakbergunaan filsafat, padahal filsafat yang dihantamnya atau dianggapnya tidak berguna itu adalah filsafat yang dipahaminya secara keliru.
Tabik, Mas Hamid Basyaib *****
Sumber:
https://www.facebook.com/share/p/1CzmJPhR7a/
0 komentar:
Posting Komentar