Oleh: Ariel Heryanto
Terbentuknya kelas menengah di Indonesia tidak terlepas dari sejarah terbentuknya bangsa-negara dan kolonialisme, yang pada gilirannya bersumber dari revolusi industri kapitalisme Eropa. Nasib kelas menengah Indonesia pada abad mendatang sedikit banyak ditentukan oleh perkembangan industri di republik dan dinamika kapitalisme global. Maka, sebuah peta besar sejarah abad ini amat penting untuk memahami sosok sama abad mendatang.
Hampir satu abad yang lalu sosok negara Indonesia terbentuk, yakni sebuah lembaga formal yang berdaulat atas wilayah yang kira-kira sama dengan yang sekarang disebut teritori Republik Indonesia, dan diatur oleh sebuah pemerintahan pusat yang berkedudukan di kota yang sekarang disebut Jakarta. Hampir satu abad yang lampau juga Indonesia mulai disebut-sebut dan diangan-angankan oleh sejumlah penduduk jajahan sebagai sebuah “nasion”. Awalnya sangat sedikit yang punya bayangan seperti itu. Yang sedikit itu berasal dari keluarga istimewa yang sekarang dapat disebut “kelas menengah baru”.
Berabad-abad sebelumnya, hidup di bawah tata kerajaan menjadi satu-satunya realita rakyat. Betapapun kaya nuansa dan tinggi peradban mereka, tata kehidupan yang lain tidak terbayangkan, jangankan diidamkan apalagi diperjuangkan. Tak terbayangkan bisa ada sebuah masyarakat yang berdaulat dan duduk sama tinggi di depan hukum. Jangankan upacara pembacaan proklamasi kemerdekaan oleh bangsa sendiri!
Mungkin itu kedengarannya lucu atau picik bagi telinga sekarang. Tapi tidak berbeda jauh dari wawasan banyak orang zaman sekarang, yang menganggap bangsa dan negara merupakan sesuatu yang wajar dan alamiah. Bahkan, niscaya dan universal. Sulit bagi kebanyakan orang membayangkan dan merindukan sebuah masa depan bila semua bangsa dan negara dibubarkan atau digantikan oleh identitas dan organisasi yang lain sama sekali.
Perubahan dari satu tata dunia lama ke tata dunia yang baru itu relatif berjalan cepat pada abad ke-20. Maka, dapat dibayangkan betapa dahsyat dampaknya bagi yang mengalami. Perubahan itu terjadi hampir di semua bidang. Sebagian tampak kasatmata, sebagian tidak. Misalnya bangunan kota dan lalu lintas. Perubahan gaya hidup. Juga hal seperti bahasa, tata pergaulan, selera makan, harga diri, kesadaran waktu dan ruang, makna keadilan, kepantasan, kegagahan, kemesraan, kekuasaan, kesucian, keindahan, kerja, wibawa, ataupun harta.
Wajar jika perubahan itu jauh dari tuntas hingga akhir abad ke-20 ini. Berbagai semangat dan praktek prasejarah dan barbarisme terus bertahan dan menyusup ke abad ke-21. Tidak ada jaminan bahwa proses perubahan sejarah itu masih akan berlanjut secara lurus, lancar, hingga tuntas ke titik kemungkinan terjauh.
Para ilmuwan sosial dan budaya mencoba menjelaskan perubahan sejarah luar biasa itu. Jerih payah mereka telah mengakibatkan populernya istilah seperti modernitas, modernisasi, industri, dan kapitalisme. Semuanya berskala global, walau punya variasi pada tingkat lokal, nasional, dan regional. Yang dinamakan kelas menengah tidak bisa tidak dipahami dalam konteks peta pemikiran besar itu.
Dapat diduga, para ahli itu tidak bersepakat dalam berbagai hal, termasuk penyebab utama perubahan sejarah itu, percepatan dan tingkat keseragaman perubahan itu, serta akibatnya pada masa depan. Perdebatan mereka diperparah oleh pengalaman dan penafsiran mutakhir yang memopulerkan konsep seperti pasca-industri dan pasca-modernitas.
Kelas menengah merupakan sebagian dari perdebatan mereka tetapi bukan yang terpenting. Hal ini agak berbeda di negara bekas jajahan atau para ahli yang meneliti khusus masyarakat-masyarakat tersebut. Kisah revolusi industri kapitalisme yang merombak dunia apada abad ke-20 tadinya dianggap hanya punya dua tokoh utama. Yang satu adalah para pemilik modal alias kapitalis. Yang lain adalah kaum buruh. Keduanya sama penting dan saling membutuhkan, tapi kepentingan nasib mereka bertolak belakang.
Dalam kehidupan pribadi, para pemilik modal mungkin adalah ayah atau ibu yang teramat sayang pada anak-anak. Mereka mungkin pemeluk agama yang taat. Atau sahabat dan tetangga yang sangat cerdas, kocak, dan santun. Tapi, dalam sistem kapitalisme, mereka adalah sebagian dari tenaga perubahan sejarah yang giat dan galak.
Berkat modal dan kaum kaptalis, jutaan kampung, dusun, dan hutan dirombak habis-habisan. Anak-anak dicerabut dari dusunnya dan digiring masuk kota yang penuh lampu neon, informasi global, kejahatan, dan kemungkinan. Tanah mereka tidak hanya dijadikan lapangan golf seperti ejekan karikatur Indonesia, tapi juga rumah sakit, sekolah, atau jalur kereta api yang memboyong mereka ke zaman baru.
Anak-anak dusun tidak hanya dijadikan buruh murahan atau pelacur. Mereka juga dididik, baik di sekolah maupun di jalan-jalan raya dan pergaulan kosmopolitan. Di layar televesi di etalase toko mereka menyaksikan pertarungan Liga Eropa, demonstrasi anti-WTO di Seattle, gempa di Taiwan, atau pentas musik Ricky Martin. Tanpa kapitalisme, anak-anak itu mungkin terus mencangkul sawah bersama dengan kerbau pada peralihan milenium.
Dari gambaran makro seperti itu, “kelas menengah” tak punya peran penting. Mereka biasanya dianggap sisa-sisa bagian masyarakat yang belum sempat tergarap proses industri kapitalisme. Cepat atau lambat proses ini membelah seluruh masyarakat menjadi dua kelas yang bermusuhan: borjuasi (pemodal) dan prolear (buruh). Paling tidak, begitulah salah satu teori paling berpengaruh dalam ilmu sosial abad ke-20. Perumusnya seorang jenius pemerhati kapitalisme kapitalisme abad lamapu bernama Karl Marx.
Kelas menegah baru menarik perhatian besar pada paruh kedua abad ke-20 karena beberapa alasan. Pertama, ternyata revolusi kaum proletar untuk menumbangkan kapitalisme dunia tidak kunjung tiba, seperti yang dinanti-nanti pengagum marxisme. Kedua, beberapa negara yang mengaku komunis dan menjalankan revolusi sosialis menurut resep marxisme ternyata terbentur berbagai masalah yang memilukan dan memalukan pengagum marxisme.
Ketiga, jumlah orang yang secara longgar digolongkan sebagai kelas menengah ternyata terus bertambah dari tahun ke tahun. Mereka menjadi “kelas menengah tidak hanya untuk sementara waktu dan tidak segera terbelah menjadi buruh atau majikan. Mereka punya watak yang bermacam-macam. Ada yang sangat konservatif dan oportunistis. Ada juga yang radikal, ideal, dan progresif.
Kelas menengah ini bukan majikan, juga bukan buruh. Mereka bukan pemilik perusahaan, tetapi juga bukan tenaga kasaran yang menangani pekerjaan serba kotor, berbahaya, dan susah. Mereka ini berdazi dan blazer, selain berijazah. Mereka bekerja dan digaji sebagai pegawai, tetapi tidak dapat dan tidak mau diperintah sembarangan.
Singkatnya, kelas menengah naik pamornya sedikit banyak karena kekecewaan terhadap teori-teori besar seperti marxisme dan berbagai ramalan revolusioner kiri. Ada sebab lain yang membangkitkan gairah dan sekaligus masalah perbincangan tentang kelas menengah. Ini khusus menyangkut masyarakat bekas jajahan. Kelas menengah di negara bekas jajahan punya kedudukan yang jauh lebih istimewa ketimbang rekan-rekannya di negara yang lebih jauh berindustri kapitalis. Mereka ini minoritas yang punya wibawa besar, dianggap dan menganggap diri sendiri serba hebat.
Hal ini dapat dianggap sebagai pertanda “tidak” atau “belum” mantapnya pertumbuhan kapitalisme di masyarakat bekas jajahan. Di situ kapitalisme mungkin sudah bertumbuh secara ekonomi, tetapi belum secara etis, budaya, dan ideologis. Kapitalisme masih dianggap barang asing, kalau bukannya najis dan haram. Kaum kapitalis menjadi dominan tapi tidak hegemonis. Mereka kuat dan berkuasa tapi tidak menjadi idola dan pahlawan.
Dalam situasi seperti itu tumbuh subur semangat anti-kapitalisme, anti-pasar, anti-materialisme, anti-industri. Bentuknya bisa bermacam-macam. Ada yang berupa nostalgia dan romantisme terhadap masyarakat kampung masa lampau. Gejala ini tampak kuat di kalangan sastrawan dan teaterwan. Ada yang menggugat keadilan sosial dengan bendera rasial. Ada yang berbentuk kebangkitan baru semangat beragama lintas bangsa-negara. Ada pula yang berbentuk aktivisme politik populis sekuler. Ini melanda berbagai kelompok mahasiswa, organisasi nonpemerintah, wartawan, dan akademisi di berbagai negara bekas jajahan.
Berbagai kelompok kelas menengah itu tidak seragam dan tidak selalu rukun. Tetapi mereka punya musuh bersama: proyek industrialisasi yang ambisius bernama pembangunan dan dijalankan dengan tangan besi oleh negara otoriter dan militeristis. Walau punya minat dan latar belakang berbeda-beda, para aktivis itu bukan golongan rakyat yang paling menderita. Banyak dari mereka yang diuntungkan oleh status quo, tetapi tidak merasa tenteram menghadapi proses industrialisasi kapitalisme.
Sebagian kelas menengah yang patuh penguasa telah dimanjakan. Yang menentang ditindas oleh rezim dan sekaligus dipahlawankan oleh mitos publik. Memang tidak semua kelas menengah mau atau suka menjadi aktivis politik. Dan aktivisme politik tidak sepenuhnya dimonopoli kelas menengah. Tetapi bukan itu yang dipersoalkan di sini, melainkan kelas menengah di masyarakat yang baru mulai hangat-hangatnya menjadi kapitalistik punya peran yang jauh lebih penting ketimbang rekan-rekannya di negeri yang sudah suntuk industrial kapitalis.
Ironisnya, keistimewaan kelas menengah pasca-kolonial itu sedikit banyak disahkan oleh penindasan rezim di sana. Penyair dipenjara gara-gara puisi yang ditulisnya. Buku dilarang dan dibakar. Sensor membungkam pers dan ulama. Demonstrasi damai dihadapi pasukan perang dan ditembaki.
Aktivis kelas menengah itu mengisi sebuah ruang kosong dalam kehidupan publik yang dinamakan wilayah ideologi. Wilayah itu tidak atau belum dapat dikuasai kaum borjuasi (di negara Dunia Kedua), atau oleh pimpinan partai komunis (di Dunia Kedua) yang lebih sering mengandalkan teror dan pelor untuk berkuasa.
Di Indonesia, sejumlah pengusaha besar pernah mencoba menduduki wilayah publik itu lewat acara konglomerat baca puisi atau main musik. Mereka juga masuk kampus-kampus menjadi pembicara dalam seminar. Yang lain lagi tampil dengan aneka kegiatan sosial, bahkan keagamaan. Tapi semua usaha itu berusia pendek dan tidak mencapai banyak hal. Malahan kekuasaan ekonomi mereka terburu ikut rontok bersamaan dengan ambruknya patron politik mereka.
Demonstrasi mahasiswa dan kelas menengah Jakarta jelas punya peran menumbangkan rezim Soeharto. Tapi mereka tidak sendirian. Bahkan sumbangan mereka mungkin bukan yang terpenting. Orde Baru, kepresidenan Soeharto, dan dwifungsi ABRI ambruk bersamaan dengan Perang Dingin, sebagai sebuah medan pertempuran kapitalisme global. Kelas menengah, baik yang oportunistis maupun radikal, dibentuk dan mungkin akan disingkirkan oleh proses sejarah yang sama.
Peran politik kelas menengah Indonesia pada tahun-tahun mendatang sangat ditentukan oleh nasib industrialisasi di negara ini, dan nasib kapitalisme global. Bila revolusi kapitalisme yang telah dipacu rezim Orde Baru berlanjut lebih lancar dan mantap, aktivisme kelas menengah akan semakin sulit bergerak apalagi menyengat.
Bayangkan jika korupsi, kolusi, dan nepotisme dapat ditekan serendah-rendahnya. Atau disembunyikan super-rapi. Bayangkan jika polisi menjadi tertib dan ramah, sedangkan tentara masuk barak. Bayangkan jika tidak ada lagi bredel media. Bayangkan jika DPR menjadi medan perdebatan yang seru dan tidak hanya menyanyi “setuju”. Apakah masih perlu demonstrasi? Apakah demonstrasi perlu ditembaki?
Tidka berarti semua akan menjadi makmur dan sejahtera. Kemiskinan dan penderitaan pasti berlanjut. Kejahatan dan kecelakaan tetap merebak, tetapi musuh masyarakat menjadi samar. Bayangkan jika rakyat sibuk perang saudara gara-gara berlainan agama atau keturunan. Kepahlawanan hanya ada dalam komik, video, dan film laga. Demonstrasi di pusat kota menjadi lucu, seperti becak di sebuah jalan layang yang mendaki menuju bandara internasional.
Gambaran itu mungkin terlalu optimistis (atau terlalu pesimistis, tergantung sudut pandangnya). Gambaran itu terlalu banyak mengandaikan penyempurnaan kapitalisme. Jangan-jangan kapitalisme Indonesia pada abad ke-21 tidak akan menjadi lebih rapi, rasional, lancar, dan terlembaga daripada ketika Soeharto dan tentara berjaya. Atau bahkan tidak jauh berbeda ketika kumpeni Belanda berdagang. Sejarah tidak bergerak hanya lurus ke depan. Di situ mungkin kelas menengah masih bisa cerewet dan menjengkelkan penguasa.
Ariel Heryanto, pengamat masalah sosial politik
Sumber:
TEMPO, Edisi Khusus Tahun 2000, 16 Januari 2000
0 komentar:
Posting Komentar