alt/text gambar

Sabtu, 18 Januari 2025

Topik Pilihan:

Nasib Dosen

Ariel Heryanto

Oleh: ARIEL HERYANTO


Martabat universitas di Tanah Air disorot publik lebih dari setahun terakhir. Biaya studi melonjak. Gaji dosen sudah kecil, masih terancam dipotong tabungan wajib. Integritas mahasiswa dan dosen tercemar sejak terbongkarnya aneka pelanggaran etik, termasuk maraknya perjokian dan publikasi abal-abal. 

Industrialisasi dan kapitalisme berbuah neoliberalisme sering dituduh sebagai sumber bencana pendidikan. Pemerintah dituduh takluk pada arus global itu. Kaum elite dicurigai menikmati keadaan. Semua kritik itu berdasar. Namun, wawasan kita perlu diperluas dalam dimensi waktu (kapan masalah itu marak) dan dimensi ruang (di mana saja masalah itu marak). 

Dua fakta perlu dicatat. Pertama, masalah akademik itu baru meledak beberapa tahun terakhir walau gejalanya tidak baru. Kedua, ada yang khas di Indonesia. Di banyak negara lain, dampak neoliberalisme pada pendidikan tidak segaduh di sini. 

Industrialisasi dan kapitalisme juga melanda bidang kehidupan lain di Tanah Air. Misalnya kesehatan, jurnalisme, kesenian, keagamaan, atau transportasi. Dampaknya jelas, tetapi tanpa badai skandal sebesar di bidang akademik sehingga terasa gawat darurat. 

Industrialisasi dan kapitalisme sudah marak jauh sebelum negeri ini merdeka. Pemerintah Orde Baru tancap gas pol industri kapitalistik. Namun, di masa itu skandal akademik tidak meluap seperti belakangan hari. Rendahnya kesejahteraan dosen tak menjadi keprihatinan nasional berkelanjutan. Walau hidup pas-pasan, para dosen tidak terus-menerus meratapi nasibnya di muka publik. 

Korporatisme dan neoliberalisme melanda semua kampus di dunia. Dampaknya tidak seheboh di Tanah Air. Neoliberalisme disambut Singapura tanpa liberalisme politik, mirip Indonesia. Namun, beda dari Indonesia, kebijakan pendidikan yang neoliberal mengangkat Singapura ke posisi unggul dalam komunitas akademik global. 

Di banyak negeri liberal, korporatisme dan neoliberalisme kampus juga bermasalah, tetapi tidak sevulgar banjir publikasi abal-abal. Misalnya, publik Australia menyorot gaji rata-rata rektor sebesar dua kali lipat gaji perdana menteri, sedangkan upah sebagian tenaga lepas kampus sering terhambat. Namun, di sana dan banyak negara liberal lain, etika kerja akademik dirawat ketat dengan sanksi berat bagi pelanggarnya. 

Kepekaan etika mendorong sebagian warga kampus merintis gerakan solidaritas global bagi korban perang Gaza dan protes sikap pemerintah mereka dalam perang itu. 

Potensi para dosen Indonesia untuk menghormati etika akademik tidak lebih atau kurang dari rekannya dari negara mana pun. Potensi itu bisa terwujud atau terkubur, bergantung pada kondisi. Jika ada dosen mengerjakan 100 publikasi abal-abal dalam satu semester, bisa diduga ada faktor pendukungnya. Selain imbalan besar yang menggoda, tersedia peluang melakukannya. Apalagi jika didorong kebijakan negara. 

Di berbagai universitas berwibawa yang saya kenal dulu di Indonesia dan kini di luar Indonesia, faktor pendukung itu nyaris tidak ada. Izinkan saya berbagi sekelumit kesaksian suka duka sebagai dosen pada dekade 1980-1990-an di sebuah universitas swasta di Jawa. Dalam sebagian besar masa itu tak ada dosen tetap berstatus profesor di kampus kami. Hal itu tidak terasa sebagai kekurangan. Belum ada peringkat universitas. 

Walau universitasnya kecil, warga kampus ini tak pernah merasa kerdil dalam prestasi akademik. Ketika Arief Budiman lulus program doktor di Universitas Harvard dan berniat pulang ke Tanah Air, ia memilih bergabung dengan kami. Katanya, ia terkesan oleh kegiatan akademik di kampus kami. 

Walau berlokasi di kota kecil, kampus kami tidak terkucil dari komunitas akademik global. Kerja sama dan publikasi internasional berlangsung rutin tanpa ada yang mewajibkan atau menuntut. 

Pertengahan 1990-an universitas ini diguncang konflik internal. Banyak dosen keluar atau dikeluarkan. Yang sudah terbiasa mengglobal relatif cepat mendapat tawaran kerja dari universitas terkemuka di beberapa benua. 

Awal abad ke-21 kebijakan internasionalisasi kampus diluncurkan RI dalam upaya menciptakan world class universities. Sejak itu demam ranking global dan demam Scopus mewabah. Ironisnya, demam Scopus tak terasa di banyak kampus mancanegara. 

Saya termasuk sebagian dosen dari generasi yang mujur menikmati internasionalisasi akademik di Tanah Air sebelum diwajibkan negara. Ketika demam Scopus marak, kami sudah tersebar di beberapa universitas mancanegara tanpa demam Scopus. 

Di berbagai kampus di rantau, saya jumpai lingkungan akademik yang sangat berbeda. Dosen digaji memadai. Tak ada insentif finansial bagi publikasi ilmiah seperti di Tanah Air karena hal itu dianggap sudah menjadi bagian dari tugas rutin dosen. Promosi kepangkatan dosen didasarkan pada sejumlah kriteria, termasuk publikasi ilmiah, tetapi bukan jumlahnya. Kondisi begitu tidak membangkitkan nafsu menerbitkan selusin artikel ilmiah dalam satu semester. 

Di banyak universitas tenar di dunia, para dosennya bukan pegawai negeri. Universitas mereka milik negara. Pemerintah memberi dana, tanpa mencampuri kerja administrasi universitas. Di Australia, kebijakan kepegawaian (kenaikan gaji, beban kerja, hak cuti, rekrutmen, promosi) bukan keputusan sepihak, melainkan hasil kesepakatan berkala dengan serikat pekerja kampus lewat negosiasi alot. 

Dosen universitas swasta di Tanah Air tidak menikmati otonomi akademik, apalagi yang pegawai negeri. Sejak masa kolonial, negara menjadi patron. Para dosen diperlakukan sebagai abdi negara. Ketika membahas solusi dalam krisis, harapan tertinggi banyak dosen hanya perbaikan kebijakan negara. Terbiasa sebagai bawahan, yang mereka tuntut bukan kemerdekaan universitas dari campur tangan negara. 

Kini suka duka kerja dosen Indonesia abad ke-20 hanya tersisa sebagai nostalgia. Sementara world class universities yang didambakan masih jauh dari jangkauan. 

Bagaimana nasib dosen di awal abad ke-21? Andaikan tahun ini ada anak bangsa meraih gelar doktor dari Universitas Harvard dan berniat pulang ke Tanah Air, maukah ia mempertaruhkan masa depannya dengan meniti karier sebagai dosen? 


ARIEL HERYANTO, Profesor Emeritus dari Universitas Monash, Australia


Sumber: arielheryanto.com. Tulisan ini sudah di-publish di Kompas, 08/06/2024



0 komentar:

Posting Komentar