alt/text gambar

Jumat, 10 Januari 2025

Topik Pilihan:

Nasib Sastra di Sekolah

Sapardi Djoko Damono

Oleh: Sapardi Djoko Damono


Dalam Kongres Kebudayaan III di Solo pada tahun 1954, seorang budayawan dan tokoh nasional, Ki Mangoensarkoro, menyampaikan sebuah prasaran berjudul "Pendidikan Kebudayaan dalam Masyarakat Sekolah". Dalam prasaran itu antara lain dikatakan bahwa masyarakat sekolah merupakan tempat pemeliharaan bibit bagi kekuatan hidup masyarakat pada masa mendatang. Oleh karenanya, sekolah merupakan sumber kekuatan baru dalam masyarakat.

Bagi masyarakat, sekolah merupakan pusat daya dinamis in optima forma. Karena itu, katanya, "... pendidikan di sekolah itu ditujukan kepada waktu yang akan datang, dan oleh karenanya pendidikan kebudayaan ditujukan pada keadaan dan kemungkinan kebudayaan di waktu yang akan datang. Kalau tidak, maka pendidikan itu adalah pendidikan yang salah masa dan akhirnya menimbulkan kekuatan anakronisme yang mau tidak mau merupakan kekuatan destruktif atau reaksioner di waktu yang akan datang."

Selanjutnya, Ki Mangoensarkoro memberi gambaran mengenai keadaan sekolah-sekolah pada masa itu. Di samping kurangnya pembentukan pandangan hidup, sekolah kita dibanjiri anak-anak yang berebut ingin masuk. Pemerintah tidak lagi bisa menyediakan cukup guru dan gedung. Ini menyebabkan penyaringan ke sekolah yang lebih tinggi semakin ketat; yang nilai ujiannya tinggi sajalah yang bisa lolos ke sekolah yang lebih tinggi. Akibatnya, katanya, terjadi "balapan" antara guru dan murid; semuanya berkehendak mencapai titik akhir, yakni ujian.

"... bab-bab pengajaran kesenian terdesak hilang dari daftar pengajaran, pimpinan pemberian pandangan hidup ditinggalkan, akhirnya sekolah itu bersifat suatu mesin pengajar beberapa pengetahuan untuk ujian. Anak dimasukkan, mesinnya penuh sesak, diputar sampai megap-megap, dan akhirnya keluar dari mesin itu dengan berisi beban pengetahuan ujian di kepalanya. Ketajaman akan pikiran tidak terlatih, hatinya kosong, perasaannya kering, kemauannya lemah, kesenangan hidupnya kurang, dan matanya silau tetapi tetap memandang sinar matahari keinginannya, yaitu sekolah yang lebih tinggi; seakan-akan itulah satu-satunya kebahagiaan hidup di dunia baginya."

Ki Mangoensarkoro berpendirian bahwa pendidikan kebudayaan sajalah yang dapat menyelamatkan sekolah dari keadaan yang demikian muramnya. Pendidikan semacam itu bisa memberikan kegembiraan hidup dan mampu memberikan keseimbangan bagi pikiran, perasaan, kemauan, dan ilhamnya. Untuk itu kita, katanya, perlu dilakukan perubahan yang radikal.

Pandangan tersebut disampaikan tahun 1954, sekian puluh tahun yang lalu. Akan tetapi, apa yang digambarkan Ki Mangoensarkoro itu rasanya tidak jauh berbeda dari yang kita saksikan di sekitar kita sekarang. Seandainya masih hidup, barangkali tokoh kita itu berpandangan bahwa keadaan kita sekarang ini sudah tidak tertolong lagi. Dalam hal ini, saya ingin menekankan dua gejala yang disebut Ki Mangoensarkoro, yakni terdesak dan hilangnya pengajaran kesenian serta sifat sekolah sebagai mesin pengajar pengetahuan untuk keperluan ujian. 

Kita bicarakan terlebih dahulu yang kedua. Dibandingkan tahun 1954, sekolah kita sekarang ini tentu lebih berdesakan. Jumlah sekolah semakin banyak, namun jumlah murid yang menuntut ilmu juga berlipat ganda. Jika pada awal tahun 1950-an jumlah murid dalam satu kelas sekitar 20 orang, pada tahun 1990-an jumlah 40 orang mungkin masih dianggap wajar. Jumlah lembaga pendidikan yang lebih tinggi juga berlipat ganda, namun murid berkeinginan masuk ke lembaga pendidikan yang murah dan baik, yang jumlahnya relatif sangat terbatas. Dengan demikian, ujian menjadi tujuan utama pendidikan. Jika dalam ujian tersebut sastra dan kesenian tidak mendapat perhatian yang semestinya, maka wajarlah bila guru dan murid tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang perlu dipelajari. Yang saya kemukakan terakhir inilah gejala pertama yang dilihat oleh Ki Mangoensarkoro.

Kita semua memiliki kecenderungan yang sangat kuat untuk menganggap sepele kesenian. Di zaman yang kecenderungan utamanya adalah kemajuan ekonomi dan kemelimpahan duniawi, hal itu wajar sekali. "Tanpa kesenian toh manusia bisa hidup," begitu pikiran sementara orang. Saya justru berpikiran sebaliknya, manusia seperti kita ini sudah telanjur tidak akan bisa tahan menghadapi hidup tanpa kesenian. Saya tidak bisa membayangkan kehidupan kita tanpa seni rupa, seni suara, seni kata, dan seni-seni lain. Pakaian, perabotan, rumah, dan kendaraan kita diciptakan berdasarkan prinsip seni rupa.

Kita tidak akan bisa berkomunikasi dengan baik jika tidak memiliki kemampuan menciptakan dan mengapresiasikan pepatah, metafor, atau idiom yang ada dalam bahasa kita. Bahkan, saya tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika selama seminggu (saja) penduduk negeri ini dilarang berseni suaraartinya, tidak ada lagi musik, singsot, rengeng-rengeng, tambur, gitar, piano, dan lain-lain. Mungkin kita semua akan menjadi gila. Kita pun akan kehilangan akal sehat jika dilarang berbasa-basi, bermain kata, berpepatah-petitih, memakai lambang-lambang dalam berbahasa. Tidak semua kita ini seniman, memang, tetapi seni bukan hanya milik seniman. Seni milik kita semua; kita semua berhak berkesenian, bahkan wajib berkesenian agar tetap beradab. Itu sebabnya kita mengajar anak-anak kitabahkan sejak bayimengenal suara, rupa, dan bahasa yang bagus. Itu sebabnyaentah sejak kapankita sepakat untuk memasukkan berbagai jenis kesenian ke dalam pendidikan formal.

Kita persempit perhatian kita kepada sastra. Sastra adalah jenis kesenian yang merupakan hasil kristalisasi nilai-nilai yang disepakati untuk terus-menerus dibongkar dan dikembangkan dalam suatu masyarakat. Karena sastra adalah seni bahasa, dibandingkan dengan seni lain, di dalamnya terbayang dengan lebih tegas mengatur kehidupan kita dan selalu kita tinjau kembali.

Dengan mempergunakan bahasa sebagai alat, seorang sastrawan berusaha untuk tidak sekadar merekam kehidupan di sekitarnya, tetapi memberikan tanggapan evaluatif terhadapnya. Artinya, karya sastra berusaha untuk menawarkan serangkaian pilihan pengalaman dan penghayatan kehidupan, sehingga kita tidak terkurung dalam dunia pengalaman dan penghayatan sehari-hari saja.

Kita sering mengatakan bahwa bangsa kita berbudaya tinggi. Pernyataan itu tidak lain berarti bahwa kita memiliki kekayaan rohani. Di dalam karya sastralah kekayaan itu antara lain tersimpan dan bisa kita dapatkan setiap saat bila kita inginkan. Karya sastra adalah pengalaman, kekayaan rohani, kehidupan, atau dunia yang portablebisa dijinjing ke mana-mana. Mari kita masuki ruang sekolah.

Pada kebanyakan taman kanak-kanak, kita bisa menyaksikan guru mengajar murid-muridnya menggambar, menyanyi, membaca sajak, dan bercerita. Taman kanak-kanak, kita tahu, bukanlah sekolah kesenian, bukan semacam akademi yang diharapkan bisa menghasilkan seniman kreatif. Namun demikian, tampaknya kegiatan sehari-hari yang sangat menonjol di sekolah itu adalah usaha guru mendorong murid-muridnya agar mau, berani, dan mampu menyatakan dirinya dalam berbagai bentuk kesenian. Tentu saja perlu segera ditambahkan bahwa bagi murid (dan juga kebanyakan guru, mungkin) kegiatan semacam itu dianggap sebagai "permainan" saja, dan tidak pernah dibayangkan sebagai "kesenian", terutama jika aksara "k" dalam "kesenian" itu ditulis dalam huruf kapital.

Kebanyakan guru taman kanak-kanak bukan seniman, bukan pula pakar seni. Namun, sangat perlu kita catat bahwa guru-guru itu sama sekali tidak merasa rendah diri dalam mengajarkan kesenian. Saya yakin hal itu tidak disebabkan murid-muridnya masih kecil dan dengan demikian mudah "dibohongi", tetapi karena berkesenian merupakan salah satu syarat bagi anak-anak agar kelak tidak merasa kikuk menjadi anggota masyarakat dan karena sudah menjadi tugas guru untuk mengajarkan keseniantugas yang tentu saja didasari oleh pendidikan yang diperoleh guru sebelumnya.

Di taman kanak-kanak, murid didorong untuk mengekspresikan diri lewat berbagai cabang kesenian. Sastra, dalam bentuk bercerita, berpidato, atau melisankan puisi, dianggap sebagai alat untuk mengekspresikan diri. Dalam hal ini sastra dianggap sederajat dengan menggambar atau menyanyi. Murid-murid tentu saja tidak pernah diberi tahu nama-nama pengarang lengkap dengan riwayat hidupnya serta daftar karyanya untuk dihafal demi ujian. Sastra, dalam bentuknya yang dasar, dianggap permainansuatu anggapan berdasarkan pendekatan yang menurut saya benar.

Keadaan yang menggembirakan tersebut tampaknya berubah sama sekali ketika anak-anak itu berangkat dewasa dan menjadi murid sekolah menengah. Jelas, bahwa anak-anak itu pergi ke sekolah tidak hanya untuk "bermain-main", yang bagi berbagai pihak merupakan arti terselubung "kesenian". Di sekolah mereka menuntut ilmu. Bercerita di depan kelas atau membaca sajak tentu saja tidak akan pernah dianggap sebagai ilmu. Jika anak-anak itu sudah pandai menulismengarang cerita atau sajakkepandaian itu pun tidak dianggap ilmu.

Kita semua mengetahui bahwa sastra di sekolah merupakan bagian dari bahasa Indonesia. Kita semua menyadari bahwa sebagian besar guru terutama disibukkan pada tugas mengajar agar murid menguasai bahasa Indonesia "yang baik dan benar", suatu tugas yang tidak gampang bagi guru yang penguasaannya atas bahasa nasional masih kurang.

Barangkali karena anggapan bahwa semua yang diajarkan di sekolah harus berupa ilmu, maka buku-buku sastra untuk sekolah menengah penuh dengan istilah, konsep, daftar karya sastra, riwayat hidup sastrawan, dan lain-laintetapi hampir tidak ada karya sastra itu sendiri. Pujangga Baru, Chairil Anwar, soneta, pantun berkait, personifikasi, dan sebagainya adalah serangkaian nama dan istilah yang harus dihafal sebagai syarat lulus ujianyang tidak jarang merupakan satu-satunya tujuan pengajaran sastra. Memang, tidak semua guru beranggapan bahwa ujian merupakan tujuan utama dan terakhir. Di beberapa kota, ada guru bahasa Indonesia yang mempunyai minat terhadap sastra, mengundang sastrawan untuk memberi ceramah kepada murid-muridnya. Beberapa sekolah mungkin pernah juga mengusahakan program "sastrawan masuk kelas", sebagai hasil kerja sama antara sastrawan (atau lembaga kesenian) dan sekolah dalam usaha meningkatkan apresiasi sastra.

Usaha-usaha semacam ini mungkin saja bisa meningkatkan perhatian murid terhadap sastra, namun sayangnya banyak guru yang berpandangan bahwa hanya sastrawan yang bisa membimbing murid-murid mengarang cerita atau puisi. Karena di hampir semua sekolah menengah, guru bahasa Indonesia bukan sastrawan, kegiatan mengarang semacam itu tidak di tawarkanpadahal mungkin sekali murid-murid menyukainya, sebagai "permainan".

Sementara itu, "permainan" yang lain seperti menggambar dan menyanyi (yang tidak jarang disebut sebagai seni lukis dan seni suara) tetap ditawarkan, meskipun guru-gurunya bukan seniman
lukis atau seniman nyanyi. Sebenarnya sebagai permainan menggambar, menyanyi, dan mengarang boleh menjadi kegiatan semua murid, baik bagi yang pintar matematika maupun yang kurang pandai. Tidak diperlakukannya sastra sebagai kesenian antara lain disebabkan oleh karena guru merasa bukan satrawan sehingga tidak sreg mengajar, atau guru beranggapan bahwa kegiatan semacam itu tidak ada manfaatnyabaik bagi ujian maupun dalam kaitannya dengan pengajaran bahasa.

Ada baiknya bila guru tidak perlu merasa tidak mampu membimbing murid-muridnya mengarang cerita, puisi, atau apa saja. Di depan kelas, yang diperlukan adalah kualitas sebagai guru, bukan
sebagai sastrawan. Dalam hal "kesenian" yang juga "permainan", yang penting adalah sikap memberi dorongan.

Kalaupun kita masih beranggapan bahwa sastra sebagai ilmu tetap diperlukan di sekolah, saya yakin kebiasaan menulis tersebut akan membantu murid-murid mengenali berbagai konsep dan istilah yang mungkin masih diperlukan dalam ujian. Dengan lebih mudah mereka akan mengenali metafora atau personifikasi dalam sajak-sajak Chairil Anwar atau Sanusi Pane jika mereka sudah biasa "bermain-main" menulis puisi.

Jika guru bisa meyakinkan murid bahwa mengarang itu sama gampang dan menyenangkan dengan menggambar atau menyanyi, murid tidak akan mempunyai prasangka terhadap sastra sebagai kegiatan yang pelik dan susah. Dalam mengarang, yakni bermain-main dengan bahasa, murid akan lebih akrab dengan bahasanya, lebih menyukainya, dan lebih mudah mempelajarinya. Dengan demikian, penulisan kreatif akan membantu pengajaran bahasa Indonesia. Jika kebiasaan menulis meningkat, diharapkan juga kegiatan membaca mengikutinya karena siapa pun yang suka menulis akan membutuhkan bacaandan seterusnya. Jadi, bagaimana kalau pendekatan sastra sebagai seni mulai diberlakukan di sekolah?

Di atas saya telah mengatakan bahwa dalam karya sastra tersimpan kekayaan rohani bangsa; di dalamnya pengalaman dan hayatan kehidupan tidak hanya terekam tetapi sekaligus ditanggapi dan dinilai untuk dipertimbangkan kembali. Dengan demikian jelas bahwa kegiatan sastra di sekolah tentu tidak terbatas hanya pada mengarang, tetapi juga membaca. Kegiatan ini sering kita sebut sebagai apresiasi sastra, sesuatu yang menurut keyakinan banyak orang sangat perlu dikembangkan di sekolah. Apresiasi berarti penghargaan berdasarkan penghayatan. Dalam istilah itu tersirat hubungan langsung antara pembaca dan karya sastra sebab penghayatan tidak akan tercapai tanpa hubungan langsung.

Seorang memiliki apresiasi sastra apabila ia suka membaca karya sastra, bukan sekadar suka membaca berita yang seru-seru mengenai sastrawan di media massa. Penghargaan terhadap sastrawansebagai sastrawanharus didasarkan pada penghargaan atas karyanya, bukan tindak-tanduknya. Dengan demikian jelas bahwa apresiasi sastra menuntut agar murid membaca karya sastra.

Berkaitan dengan apresiasi sastra, beberapa masalah akan segera tergambar. Saya hanya akan mengungkapkan beberapa saja. Yang pertama adalah masalah bahan bacaan. Memang tidak sepenuhnya merupakan keluhan klise bahwa bahan bacaan sastra cukup langka, terutama di kota kecil. Sangat banyak buku penting yang tidak dicetak ulang lagi sehingga tidak terdapat di pasar. Di samping itu, buku yang ada harganya tidak terjangkau oleh kebanyakan murid dan guru. Namun, sebenarnya masalah yang lebih pelik adalah bahwa sastra kita lebih banyak berkembang di koran dan majalah; sangat sedikit jumlahnya yang kemudian sempat diterbitkan lagi sebagai buku. 

Kenyataan yang disebut terakhir itu mau tidak mau menuntut guru untuk memiliki niat mencari bahan, antara lain di perpustakaan. Sayangnya dan ini merupakan malapetaka bahwa di negeri kita ini perpustakaan belum menjadi syarat utama didirikannya sekolah. Padahal seharusnya perpustakaan merupakan unsur yang harus mendapatkan prioritas utama dalam pendirian dan penyelenggaraan sekolahbahkan, kita boleh bisik-bisik mengatakan bahwa sekolah itu tanpa guru pun jadi, asal ada perpustakaan. Di perpustakaan itulah seharusnya bahan bacaan (bidang apa saja, termasuk sastra) tersedia sehingga guru dan murid tidak perlu mengeluhkan mengenai bahan bacaan.

Apabila di sekolah tidak ada seorang pun, termasuk kepala sekolah, yang memberi perhatian khusus terhadap pengembangan perpustakaan, ada baiknya jika guru bahasa dan sastra menjadi pelopornya. Buku bekas, kliping koran dan majalah, buku hadiah dari murid-murid yang lulus, dan sebagainya bisa mengisi perpustakaan untuk selanjutnya dimanfaatkan sebagai bahan bacaan.

Yang kedua adalah masalah pilihan. Karya sastra apa saja yang sebaiknya dianjurkan dibaca. Karya sastra adalah kekayaan rohani bangsa, dan kekayaan tersebut sudah terekam sejak nenek moyang kita pandai mencatat pengalaman dan penghayatan terhadap kehidupan melalui tulisan. Jadi, kalau mungkin, murid perlu diperkenalkan dengan karya sastra lama maupun masa kini. Karya sastra Indonesia tidak hanya berisi karya Mh. Rusli, Chairil Anwar, Nh. Dini, Marga T., Rendra, Isma Sawitri, Ahmad Tohari, Sutardji Calzoum Bachri, Hilman, Mira W., dan Umar Kayam, tetapi juga karya nenek moyang kita yang berupa babad, tambo, hikayat, serat, maupun syair. Tentu kita semua harus mencari akal bagaimana menawarkan khazanah itu kepada murid tanpa membuat mereka bosan sebab jika kebosanan yang didapat, apresiasi itu tidak akan pernah tercapai. Sastra masa kini memang jauh lebih mudah didapatkan daripada yang lama; oleh karena itu, perhatian khusus harus diberikan kepada usaha pengumpulan karya sastra lama.

Masalah yang ketiga, yang sangat penting, adalah kedudukan dan fungsi guru dalam apresiasi. Kita semua tahu bahwa apresiasi sastra menyangkut tiga unsur, yakni sastrawan, karya sastra, dan pembaca. Kita boleh mengabaikan sastrawan dan menyederhanakannya menjadi dua unsur saja, yakni karya sastra dan pembaca.

Penghayatan bisa dicapai apabila pembaca mengadakan hubungan langsung dengan karya sastra, artinya membacanya. Tidak ada apa pun yang berada di antara bacaan dan yang membaca. Si pembaca berusaha menghayati kandungan yang dibacanya. Tentu saja yang terkandung dalam karya sastra itu tidak ada kaitannya dengan sastrawan yang telah menghasilkannya, entah diketahui atau tidak identitasnya.

Di dalam apresiasi sastra di sekolah, ada unsur "asing" yang muncul, yakni guru. Guru seolah-olah berada di antara bacaan dan yang membaca, berdiri di antara murid dan karya sastra. Di sini tentu saja kita berhak mengajukan pertanyaan: Apa kedudukan guru dalam proses apresiasi itu? Apakah ia mewakili sastrawan? Jelas tidak sebab tidak ada seorang pun yang bisa mewakili sastrawan dalam proses semacam itu. Jawaban yang paling mudah adalah karena dalam apresiasi sastra di sekolah murid dianggap masih memerlukan bimbingan dan guru bertugas untuk membimbing murid.

"Membimbing" adalah kata yang mengandung bermacam-macam makna. Perlu ditegaskan bahwa pelajaran bahasa dan sastra tidak sama dengan pelajaran agama dan budi pekerti. Oleh karena itu, apresiasi sastra tidak membimbing murid ke arah budi pekerti. Dengan demikian, guru sastra tidak sama dengan guru agama atau guru budi pekerti.

Apresiasi sastra tidak bertujuan sekadar menghayati amanat yang tersirat atau tersurat, tetapi juga mengetahui cara-cara khas dalam mengungkapkan amanat tersebut. Cara-cara khas itulah yang erat kaitannya dengan penggunaan bahasa. Hal itu pulalah yang tidak bisa dipisahkan dari permainan. Cara pengungkapan itulah yang menyebabkan amanat sering tidak dirasakan sebagai sekadar amanat, tetapi sebagai semacam permainan yang mengasyikkan.

Cara pengungkapan itulah yang membedakan sastra dari dakwah atau ceramah budi pekerti. Dengan demikian, apresiasi berarti menghayati amanat dan sekaligus cara pengungkapannyadan atas dasar itu kemudian menghargainya.

Terus terang saja, dalam proses apresiasi semacam itu kedudukan guru memang sangat sulit. Ia, tentu saja, dituntut untuk memiliki
pengalaman dan pengetahuan yang jauh lebih luas dari murid-muridnya dalam hal membaca karya sastradan mungkin bahkan dalam hal-hal lain jugasebab penghayatan karya sastra tidak jarang menuntut pengetahuan luas mengenai berbagai bidang. Di samping itu, karena karya sastra pada hakikatnya berprinsip tafsir ganda, guru yang suka memaksakan tafsir atau pandangannya sendiri tentu saja bisa dipandang sebagai penghambat apresiasi. Ia dianggap mengganggu hubungan langsung antara pembaca dan karya sastra. Saya berikan bandingan sederhana: kita suka jengkel jika dalam gedung bioskop ada orang yang terus-menerus berkomentar mengenai film yang sedang diputar, yang sudah lebih dahulu disaksikannya, dengan sikap "sok tahu" mengenai film itu.

Melihat kemungkinan di atas, dalam benak kita bisa muncul pertanyaan: apakah tidak usah ada guru dalam apresiasi sastra di sekolah? Meskipun sebenarnya buku adalah guru yang baik (pengalaman, kata orang Inggris, adalah guru terbaik), namun dalam konsep kita mengenai pendidikan formal guru sangat diperlukan. Oleh karena itu, perlu mendapat perhatian bahwa dalam hal apresiasi sastra, guru sebaiknya berfungsi sebagai "rekan" yang lebih tua, yang lebih berpengalaman, yang bersama-sama dengan murid-muridnya berusaha menghayati karya sastra.

Guru sastra adalah "sekadar" pendamping murid-muridnya dalam usaha mengungkapkan penghayatan, tanggapan, dan penilaian pengarang terhadap kehidupan. Sumbangan kegiatan semacam itu sangat penting. Jika berhasil, ia bisa menciptakan kesadaran kritis terhadap kehidupan itu sendiri, suatu hal yang diperlukan bagi masa depan murid-muridnya.

Sapardi Djoko Damono, sastrawan Indonesia

(Majalah Basis, No. 1-2, Januari-Februari 1998) 


Sumber: Sapardi Djoko Damono, "Nasib Sastra di Sekolah" dalam Sindhunata (ed), Pendidikan: Kegelisahan Sepanjang Zaman, Yogyakarta: Kanisius, 2001

0 komentar:

Posting Komentar