Oleh: Nirwan Ahmad Arsuka
(Kompas, Rubrik “Bentara”, 7 April 2000)
Jika Teologi Ortodoks ingin mengubah manusia untuk mengubah dunia, dan Teologi Pembebasan ingin mengubah dunia untuk mengubah manusia, maka Teologi Priyayi nrimo mengubah manusia untuk tidak mengubah manusia. Tentang Teologi Ortodoks dan Teologi Pembebasan definisinya datang tentu dari intelektual Peru berdarah Indian: Gustavo Guoterresz. Pembedaan yang kuat itu pernah menjadi salah satu ilham utama pelahiran kembali Amerika Latin, benua yang digenangi tradisi religius yang berkelindan dengan gelora perlawanan dan sejarah penindasan ratusan tahun. Tentang “Teologi Priyayi”, batasannya datang dari pembacaan saya—yang mungkin saja salah—atas novel mutakhir Umar Kayam: Jalan Menikung—Para Priyayi 2.
Memang, tentang Teologi Priyayi, catatan harus segera diberikan. Sejauh ini tampaknya tidak ada yang bisa dengan tegas didefinisikan sebagai Teologi Priyayi. Clifford Geertz betul telah menulis Agama Jawa, dan Franz Magnis-Suseno membabar Etika Jawa, tapi di kedua buku menarik itu Teologi Priyayi hadir bagai suar redup di balik kabut. Namun, jika teologi dipahami sebagai pelaksanaan dari iman dan pengalaman religius yang berkaitan dengan Yang Maha Luhur dan Dunia, maka hal-hal demikian memang bisa ditemui di dua novel priyayi Umar Kayam.
Dari segi literer, Jalan Menikung biasa saja tidak terlalu jelek tapi juga tidak bagus-bagus amat: sak madya-lah. Novel kedua ini bahkan lebih merosot dari novel pertama yang memang sudah mundur itu. Penilaian atas kemerosotan atas mutu sastra Kayam dan kekecewaan karena tidak terpenuhinya harapan yang dijanjikan oleh sebuah nama besar yang telah membawa pembaharuan penulisan cerpen di Indonesia, bukan hal yang baru. Ignas Kleden, misalnya, melihat karya-karya mutakhir Kayam, termasuk Para Priyayi, cenderung bergerak ke arah yang kian sosiologis, tipologis; sebuah kecenderungan yang—meminjam Faruk HT di buku Umar Kayam dan Jaring Semiotik—dianggapnya mengarah kepada kegagalan karya sastra. Dengan menyebut adanya “ke-wagu-an teknis” dan pengulangan sintaksis di sana-sini, Goenawan Mohamad menyebut Para Priyayi sebuah album tanpa tesis yang terang, tanpa emosi yang seperti langit senja memberikan suatu “suasana”, atau emosi yang menggebu dan menggerakkan seperti mesin uap.
Ringkasnya, novel-novel Kayam bukanlah karya sastra gemilang, bukan sebuah jagat alternatif yang dengan kuat menyedot pembacanya menghadapi dunia dengan cara yang memancarkan ilham. Ia bukan karya yang “menyiksa”publiknya dengan membuat mereka kian kaya sekaligus kian miskin: karya besar selalu melambungkan cakrawala pembaca tapi serentak membuat matanya kian hambar melihat sebagian karya sastra lain yang mutunya mungkin cuma sejengkal di atas kompos. Tapi, mungkin memang itu risiko novel yang ditulis untuk menggojlok ilmu-ilmu sosial yang konon tidak lagi mampu menjelaskan banyak hal. Yang terang, kefasihan Kayam menggambarkan hidup Trah Sastrodarsono, kejujurannya menghamparkan kelakuan “Para Yayi” Jawa, membuat novel-novel itu menjadi dokumen etnografis yang memberi terang pada dokumen sosial-budaya lainnya. Novel-novel itu tidak cuma membongkar mitos yang selama ini tidak hanya menjerat masyarakat Jawa; mitos yang disusun oleh sebuah kecanggihan kultural yang akarnya menghujam jauh melampaui abad ke-17 ketika kolonialisme mulai menjamah untuk kemudian menabok dan menyepak kepala priyayi Jawa dan seluruh rakyat jajahan.
Ben Anderson
Seusai membaca Jalan Menikung, saya langsung teringat pada dua surat penting. Pertama, surat seorang bule Amerika kepada para priyayi Jakarta, lebih tepatnya para kelas menengah Indonesia: surat Ben Anderson di Tempo edisi khusus Tahun 2000. Yang kedua adalah surat seorang Jawa konon kepada bule cendekia Belanda yang diungkap Takshi Shiraishi dalam buku Zaman Bergerak: surat Dr Tjipto Mangoenkoesoemo kepada Dr GAJ Hazeu.
Surat Ben dibuka dengan meraba isi hati nurani “kelas menengah” Indonesia. “Setiap kali penindas dan penguasa berganti, dengan sumarah kelas itu menghambakan diri pada rezim baru sambil mengutuk rezim terdahulu yang tadinya mereka topang. Memang, menjemukan dan menjijjikkan, kalau suara perlawanan dan kecaman, terhadap si penindas yang sudah kalah, keluar dari mulut orang lain, tetapi kalau meluncur dari bibir sendiri betapa serius dan meyakinan.”
Pada zaman silam, kelas menengah ini suka disebut sebagai “borjuasi nasional” dan dianggap punya misi historis, baik sebagai borjuasi maupun sebagai nasionalis. Mereka yang mendapatkan dirinya antara segelintir penguasa dengan lautan rakyat yang terjajah, bergaul dengan pemikiran-pemikiran mutakhir di zamannya kemudian menemukan kesadaran diri dan posisinya di tengah dunia. Karena mereka tidak sekadar berpikir, tapi juga bekerja lewat praktik, mereka tidak sekadar “menemukan” tapi terutama “menciptakan” kesadaran diri yang kemudian membesar menjadi kesadaran “bangsa Indonesia”. Dari kesadaran itulah kemudian mereka menemukan misi historisnya: menyelamatkan rakyat dari kemiskinan rohani dan materi, menyiapkan kemerdekaan sebuah tanah air yang satu untuk segala suku, segala keyakinan.
Namun, mereka yang impian dan kesanggupannya menderita telah memungkinkan kemerdekaan Indonesia itu, jumlahnya sangat sedikit. Sebagian besar anggota kelas menengah Indonesia, anggota priyayi dan bangsawan Nusantara, tidak punya misi historis semacam itu. Kepada mereka yang banyak inilah Ben menunjukkan suratnya yang berisi kecaman sengak. Sambil menunjuk tokoh Sastro Kassier dalam novel Anak Semua Bangsa, Ben mengutip Pram, “Tapi Jabatan: dia segala dan semua bagi pribumi bukan tani bukan tukang. Harta benda boleh punah, keluarga boleh hancur, nama boleh rusak, jabatan harus selamat ... Orang berkelahi, berdoa, bertirakat, memfitnah, berbohong, membanting tulang, mencelakai sesama, demi sang jabatan. Orang bersedia kehilangan apa saja untuk dia, karena, juga dengan dialah segalanya bisa ditebus kembali.”
Kalau ada yang bisa disebut sebagai misi historis bagi spesies Sastro Kassier, maka itu adalah menjadi blantik antara penjajah dengan penduduk tanah jajahan, antara kapitalisme internasional dengan rakyat jelata. Para priyayi Sastro itu bukan unsur utama, bahkan tidak jarang jadi penghalang, dari pergerakan panjang berjuang membuat hal yang sebelumnya tidak ada: organisasi politik, perlawanan menyeluruh terhadap penjajah, bangsa yang merdeka dan tegak dengan martabatnya sendiri.
Hampir seabad sebelumnya, sebuah analisis tajam atas moral Jawa, dan karena itu juga para priyayinya, lahir dari Tjipto. Dokter yang mengejek kehidupan priyayi dan mengolok-olok Sunan Surakarta, berbicara tentang “kemerosotan moral orang Jawa” yang telah kehilangan “sikap mandiri dan teguh”. Di surat bertanggal 19 Januari 1916 yang disebut tadi, Tjipto menulis tentang penyakit yang melanda orang Jawa, yaitu kurangnya semangat perlawanan. Bagi Tjipto, satu-satunya obat bagi penyakit itu adalah “pengorganisasian rasa tak puas”.
Pengorganisasian rasa tak puas secara teknis tidaklah sulit. Namun, mengapa lapisan kelas menengah Indonesia yang mayoritas Jawa tak juga bisa berkata “Tidak” pada setiap rezim yang memperhambanya? Mengapa Sastrodarsono tak melawan dan hanya menangis seperti anak kecil ketika tangan si Jepang Sato menempeleng kepala Ndoro Kakung itu? Mengapa Harimurti di Jalan Menikung tak juga menyiapkan perlawanan, yang minimal sekalipun, ketika ia, oleh bosnya yang ketakutan digertak aparat, diminta berhenti dari perusahaan penerbitan tempatnya bekerja? Mengapa perlawanan gigih dan penuh energi seperti yang diteladankan Diponegoro tak juga menjadi karakter para priyayi sepanjang zaman? Biarpun gagal berperang, Diponegoro, seperti kata Tjipto, telah membuktikan bahwa orang Jawa sebetulnya punya “dasar etis yang sehat”.
Bahwa solusi yang diajukan Tjipto ternyata tidak banyak hasilnya, mungkin karena pengorganisasian rasa tak puas adalah hal yang absurd. Pada dasarnya orang Jawa, setidaknya Jawa yang tampil dalam teks-teks Umar Kayam, tidak pernah punya—atau dididik oleh kebudayaannya untuk tidak punya—rasa tak puas. Dengan bercanda saya katakan pada diri saya bahwa jangan-jangan prinsip dasar atau pedoman hidup Jawa Umar Kayam adalah ini: Mangan Ora Mangan Puas; Madhep Naglor Puas, Madhep Ngidul Puas.
Sejarah
Sikap patuh orang Jawa, juga para priyayinya, yang selalu berkata ya dan amin, dan karena itu senantiasa puas, rasanya bukan melulu ekspresi dari “the moral economy of the peasant”; bukan hanya respons rasa cemas mengambil risiko. Sejumlah penjelasan Marxis yang mengasalkan watak patuh itu kepada karakter feodalisme Jawa dan pada modus produksi Asiatik dengan akibat kelas menengah yang selalu tergantung, tentu bisa diajukan di sini. Akan tetapi, kali ini saya ingin melewati gerbang yang sudah ditempuh Tjipto, Ben, atau Shri Ahimsa-Putera.
Pada dasarnya, jagat Jawa—meminjam kategorisasi Claude Levi-Strauss—adalah jagat primitif: dunia di mana ide tentang Sejarah, dengan kesadaran dan misinya, adalah ide yang ganjil. Atau, paling tidak, tak berada di tempat utama. Masyarakat nir-sejarah, dengan lebih sabar, tak percaya Sejarah karena mereka melihat bahwa Sejarah-lah awal mula perceraian manusia dan alam, awal keterbuangan manusia sehingga menjadi asing dan terlunta-lunta, menjadi gelandangan di tengah kosmos.
Masyarakat Sejarah, yakni masyarakat modern, dengan kukuh menyatakan ketiada-duaan dan eksklusivitas spesies manusia sebagai satu-satunya yang punya sejarah sekaligus tahu sejarahnya sendiri. Jika masyarakat primitif merasa dirinya bagian dari alam dan mengungkapkan persaudaraan dan kesatuannya dengan alam tersebut, masyarakat sejarah tahu bahwa baik alam obyektif maupun alam subyektif berupa kemampuan-kemampuan fisik yang diperoleh dari evolusinya, tidaklah secara langsung sesuai dengan hakikat manusia. Dan karena itu, manusia harus mengubah alam, harus mengerjakannya agar sesuai dengan manusia.
Dari kultur ogah-sejarah itu, muncul antara lain ideal raja dan ksatria. Ciri kahas raja itu bukanlah bahwa dia akan mengubah masyarakat yang adalah lingkup hidupnya, melainkan bahwa sebagai seorang ksatria dia belajar hidup di tengah-tengah bermacam struktur dan keadaan, entah baik entah buruk. Seperti ditulis Frans Magnis Suseno, sikap tepat terhadap dunia luar ditata atas kesadaran bahwa manusia harus mempertahankan suatu jarak terhadapnya, bukannya justru menghambur memasukinya. Kobaran semangat untuk mengusahakan tujuan-tujuan tertentu dalam dunia-luar, dorongan untuk mengubah bentuk dunia, keterlibatan penuh passi demi perbaikan masyarakat dinilai kurang bijak.
Setiap manusia dalam sikap indvidualnya hendaknya melakukan apa yang dituntut oleh kewajiban pangkatnya, dan itu berarti menyesuaikan diri dengan masyarakat, berdamai dengan dunia meski carut marut dan menerima tatanannya sekalipun timpang. Pribadi yang patuh saja pada tatanan, kendati dilahirkan di lapis terbawah masyarakat, dapat naik menjadi priyayi ideal, seperti Lantip yang pengabdi dan tanpa kegilaan yang mencekam itu. Melalui kepatuhan dan penyesuaian ini manusia memberi sumbangan paling optimal pada keselarasan dalam masyarakat dan pada kesejahteraan umum, dan bagi dirinya sendiri mencapai ketenangan batin. Itulah cita-cita duniawi mistik kebatinan: tatanan sosial seimbang dan tenang, bercirikan hormat pada hirarki yang baik hati, yang konon sesuai dengan bentuk-bentuk tatanan dalam kosmos.
Niels Mulder sudah menegaskan, dorongan perbaikan dunia tak punya fungsi penting dalam Etika Jawa. Wajar jika Para Priyayi, seperti ditunjuk Daniel Dhakidae, memberi penyelesaian atas krisis kekuasaan bukan dengan berupaya membereskan krisis yang terbentang di dunia-luar, tetapi dengan kembali ke dunia-dalam: nembang, kehalusan budi. Strategi amfibi ordo penyu yang menarik kepalanya masuk ke dalam cangkang batin yang luar biasa elastis dan tebal itu, dan menyerahkan semua masalah ke tangan waktu, bagi nalar Jawa, adalah solusi paling berbudaya bagi setiap konflik.
Sebagaimana nalr nir-sejarah menyusun kaidah nontemporal yang menata kehidupan sosial serta merintangi kelompok yang bersangkutan agar tak terperosok ke arah Sejarah, Jawa pun membentuk keengganan pada gagasan atas arus generasi yang susul-menyusul yang mempostulasikan sebuah rangkaian tunggal yang terbentang jauh ke depan. Bagi masyarakat primitif, gagasan itu bisa berarti bunuh diri: kelompok akan buyar mengalami disintegrasi (dan Sejarah lalu terlihat sebagai teror dan trauma). Maka bukan hal keterlaluan jika ideologi Kemajuan (kemajengan) tak menyentuh Para Priyayi, seperti dikeluhkan Kuntowijoyo. Imunitas terhadap Kemajuan punya benang merah dengan kecenderungan nalar nir-sejarah menghapus singularitas sejarah, menghapus historisitas momennya, “mengosongkan” peristiwa historis hingga “tak mengandung muatan” lagi.
Keengganan pada Perubahan Dunia, keengganan pada Kemajuan, berarti juga keengganan pada Kerja. Konsep borjuasi tentang kerja yang berkeringat dan penuh konflik sebagai jalan untuk membentuk diri dan mengubah jagat, memang tak pernah jadi perhatian teks-teks Kayam. Selain langkah-langkah pendakian dari status ke status dengan jabatan sebagai sarananya, Kayam mempersembahkan cukup banyak halaman untuk gastronomi dan kesenangan kelenjar tubuh lain (untuk mat-matan), dan sangat sedikit untuk hal-hal yang berkaitan dengan dunia kerja: lingkungan dan konfliknya, keringat dan siksaannya. Di Jalan Menikung, satu-satunya tokoh yang sedikit disinggung ruang kantor dan cara kerjanya adalah Alan Bernstein: si Yahudi yang karena patah hati, jadi homo dan gila kerja.
Orang tentu tak harus membaca Hegel atau Gibran untuk tahu bahwa Kerja adalah tindakan manusia yang paling dasar, yang membuat dirinya menjadi nyata. Sebagai suatu proses untuk menghasilkan nilai, kerja adalah sebentuk kutukan yang hanya bisa terhapus oleh keringat dan devosi. Dalam kerja, manusia terdera desakan untuk merdeka dari eksploitasi dan gerusan arus yang rutin, tetapi justru lewat kerja itu, lewat tempaan dan bantingannya, manusia melihat dari tangannya lahir sesuatu yang punya harga. Kerjalah yang membedakan manusia dari binatang (dan dari “Priyayi”) dan menegaskan hakikat manusia yang bebas dan universal, yang memberi bentuk pada dunia, yang melahirkan sejarah dan peradaban.
Watak dasar Jawa yang nir-sejarah secara diametral mengoposisikannya dengan Indonesia. Indonesia jelas adalah proyek sejarah, setidaknya demikian yang disadari para pendirinya. Ia lahir bukan melulu akibat perubahan sejarah dengan berbagai faktor-faktornya yang melanda Bumi. Indonesia adalah perwujudan dari sebuah misi besar mengubah dunia Hindia Belanda. Tanpa sejarah, tanpa kesadaran dan misi historis, takkan pernah ada Indonesia. Yang ada hanyalah Hindia yang dihisap Belanda, rakyat dengan kemiskinan materi dan rohani di tanah jajahan, “Timur” yang tertindas. Indonesia adalah alasan sekaligus panggilan bertindak, sebuah tujuan besar dengan negara merdeka sebagai medianya: ekspresi dan alat dari kedaulatan rakyat, alat paling penting untuk mencapai kebebasan, keadilan sosial dan hak-hak asasi manusia.
Karena itu, jika secara demografis Indonesia dan Jawa bertumpang-tindih, maka secara filosofis indonesia justru lebih dekat ke Dunia ketimbang ke Jawa. Hal ini niscaya sudah dirasakan, sadar atau tidak, oleh generasi pertama orang-orang Indonesia yang telah belajar di Eropa atau yang sudah menyerap kesadaran sejarah yang terbit sejak Aufklaerung. Sebagian besar di antara mereka, terutama yang paling cemerlang dan kelak jadi tonggak dalam sejarah perjalanan bangsanya, memperlihatkan semacam keterasingan dari masyarakat yang melahirkannya. Namun, anak-anak zaman yang terasing di dunia asalnya itu, menunjukkan bahwa dalam Sejarah, hanya para “Malin Kundang” yang bisa menebus dan mengangkat harkat “Ibu Kandungnya”.
Bukan Jawa
Menarik mencermati bahwa tokoh-tokoh terdepan di bidang politik dan kebudayaan yang memperjuangkan kehadiran Indonesia, dengan pemikiran dan sepak terjang yang paling inspiratif, lebih dari separuhnya bukanlah orang Jawa. Tan Malaka, Hatta, dan Sjahrir, kita tahu dari mana asal mereka. Menurut Heather Sutherland dalam artikelnya di jurnal Indonesia no 6 (Cornell University, Oktober 1968), di antara 25 penulis paling aktif majalah penting Poedjangga Baroe yang menghimpun sejumlah besar penulis nasionalis, tidak kurang dari 13 berasal dari Sumatera dan cuma tiga dari Jawa.
Kalaupun ada Jawa yang terlibat dalam pembentukan Indonesia, maka tampaknya ia bukanlah “Jawa yang baik”. Nasionalis awal seperti Tjipto, misalnya. Dengan hangat dan hormat oleh anggota Indische Partij ia dipanggil “Onze Tjip”, atau “Tjip kita”. Oleh cendekiawan Belanda ia disebut sebagai pemimpin yang tegak dengan ukuran moral “yang sangat lebih tinggi dari kebanyakan mereka yang ada di garis depan pergerakan zaman ini”, bahkan “seorang idealis yang punya ciri bukan Indonesia”. Akan tetapi, bagi para priyayi pemimpin Boedi Oetomo, Tjipto adalah si rusak yang “Tidak Bisa Diperbaiki Lagi”.
Maka jika Indonesia tanpa Sejarah adalah bangkai, tanpa sukma, Jawa dengan Sejarah adalah tubuh dengan kanker. Nalar Jawa, khususnya nalar politiknya, vis-à-vis adalah kanker di tubuh Sejarah, di tubuh Indonesia. Wajar jika nalar yang tak kompatibel ini, mencoba saling menaklukkan. Sejak Polemik Kebudayaan pertama antara Tjipto dan Radjiman Wiriodiningrat, disusul oleh polemik Sutan Takdir Alisjahbana yang termashyur itu, pertarungan terus menggelora dan kita tahu ilham mana yang disambut zaman.
Meski secara formal nalar sejarah telah menang atas nir-sejarah, perseteruan itu berlangsung terus, dan bisa mengeras. Bentrokan terbuka meletup dalam pertumpahan darah terbesar yang pernah dialami Indonesia. Di sekitar tahun-tahun menjelang Oktober 1965, PKI yang puber dan mabuk Sejarah, bermutasi jadi monster totaliter yang sebegitu revolusioner ingin mengubah dan memperbarui dunia, sehingga ia mulai menempuh cara merusak dunia itu lebih dahulu. Banyak penjelasan memang yang bisa diajukan tentang apa yang sebenarnya terjadi di balik orgi pembantaian yang meledak sampai ke pedalaman sunyi itu. Saya sendiri, mungkin agak naif, pernah membayangkan bahwa penumpasan PKI yang ludas dalam waktu kurang lebih tiga bulan, bisa juga dilihat sebagai “pelampiasan dendam” nalar nir-sejarah Jawa yang telah lama dibikin goncang.
Tampaknya “dendam” itu bergerak tak cukup di dunia nyata. Dalam fiksinya, khususnya Bawuk dan Para Priyayi, Kayam selalu memilih pribadi-pribadi unggul untuk dimasukkan ke “dunia-sejarah” PKI. Bukan keterlibatan dengan PKI itu benar yang jadi soal. Bahwa pribadi-pribadi unggul seperti Harimurti dan Bawuk, karakter-karakter yang bergerak hidup menjelang Dunia dan Sejarah itu, kenapa mereka yang dipilih ditimpa kalah dan dibuat tak bisa melawan? Mungkin itu memang simpati, mungkin juga pesan bahwa semangat hidup yang menyala-nyala, kegairahan pada perubahan dan kemajuan, adalah jalan menikung menuju keterlunta-luntaan dalam kosmos.
Riwayat Orde Baru, pada sisi tertentu, bisa dilihat sebagai kemenangan nir-sejarah. Jasad Indonesia yang dirasuki Nalar Jawa. Hanya dalam tubuh Indonesia yang seperti itu, yang menurut Parakitri T Simbolon telah menjadi penyakit itu sendiri, seorang Soeharto bisa dengan wajah sumringah memasang dirinya Sang Prabu yang lebih sultan dari sultan, menyiapkan kompleks makam yang kolosal dan tak seorang pun tertawa menjadikannya bahan lucu-lucuan. Priyayisme yang pengertian-pengertian paling halus dan inti sikap dasar serta cita rasa paling fundamental, paling menentukan hidup matinya, ternyata betul cuma mendaki dengan segala cara tangga status sosial setinggi-tingginya itu, sungguh menular luas. Priyayisme yang jadi kanker bangsa itu tak cuma menjangkiti priyayi Jawa, tetapi juga priyayi Bugis-Makassar, priyayi Riau dan segala macam tuan dan nyonya besar yang tersinggung jika babunya tak jongkok di depannya; yang dambaan paling finalnya mungkin membuat silau Sastro Kassier atau Tommy dan Marijan, tetapi yang akan membuat muak Onze Tjip dan membikin Soedjatmoko memalingkan wajah.
Dari sudut “estetik dan artistik”, Jawa—terutama kemampuannya merelatifkan segala sesuatu, menjadikannya lelucon—jelas adalah khazanah yang sangat berharga, mungkin betul yang tercanggih di Nusantara. Namun, dari sudut “budaya-dan-filsafat-politik”, banyak hal dalam Jawa yang harus dibongkar. Dan, tampaknya, kemampuan Jawa merelatifkan sesuatu harus diuji dalam pembongkaran budaya-dan-filsafat-politiknya sendiri. Yang menarik, pada Jalan Menikung adalah adanya benih kesadaran (meski kurang kuat) bahwa banyak hal dalam dunia manusia adalah konstruksi. Kesadaran itu bisa menjadi salah satu pembimbing membongkar Jawa yang beubah; membongkar Indonesia yang ditumpangi Jawa dan mengembalikannya ke “habitat metafisisnya”: Dunia dengan semesta dinamik Gerak-Hidupnya, dengan segenap solidaritasnya pada sesama dan ekspresi positinya atas emansipasi manusia.
Catatan: (Ini hanya terdapat dalam teks artikel dalam buku Semesta Manusia)
Dari semua sastrawan mapan Indonesia, yang paling berpotensi meraih Hadiah Nobel agaknya adalah Umar Kayam, asalkan yang ditakar melulu kepiawaian literer dan erudisi ilmiah, bukan unsur ‘politis’. Sayang bahwa Kayam dirubung oleh sejuta kunang-kunang sepel di Tanah Air.
Nirwan Amad Arsuka, peminat sastra
Sumber: Kompas, 7 April 2000
0 komentar:
Posting Komentar