Bila metafisika kristiani menunjukkan permusuhannya pada tubuh dan menekankan keunggulan jiwa, Zarathustra justru melihat kinerja manusia-melampaui terletak pada upaya menuju keseimbangan antara dua kekuatan tersebut. Sejauh berat pada satu sisi—entah itu spiritualisme atau materialisme—hanya mengarah pada stagnasi, maka pelampauan kreatif yang muncul dari dalam diri tak mungkin terjadi.
Maka, sebagaimana sang penari yang menari di atas tali perlu menjaga keseimbangan tubuhnya, demikian pula ia yang mengorientasikan dirinya pada ide Ubermensch perlu menemukan jalan tengah antara sumbu-tubuh dan sumbu-jiwa. Sintesis tubuh/jiwa harus diwujudkan oleh setiap individu dengan kekuatannya sendiri—dan pastinya juga risiko gagal, entah cenderung pada sumbu tubuh atau pun jiwa. Dan proses ini, pada prinsipnya, tidak mengenal akhir—sampai pada kematian individu. Maka, tak pernah ada seorang pun yang bisa mengklaim pada suatu waktu: ich “bin” Ubermensch (Saya “adalah” Ubermensch).
Ubermensch hanyalah suatu lompatan, suatu realisasi pelampauan diri. Sebagai konsep, Ubermensch hanya dipahami sebagai selalu-menjadi, bukan sebagai kondisi eksistensi tertentu. Karena itu, Ubermensch tidak bisa dipahami sebagai proses alamiah—dalam arti konstelasi Darwinian mekanis-kausal. Dan bagi Zarathusta, gerakan melampaui-diri ini tidak memiliki tujuan akhir.
Maka, dalam kontestasi 'hari ini', saya menghadirkan Ubermensch-Zarathustra yang secara eksklusif berada dalam tegangan. Barangkali Zarathustra adalah seorang materialis—sekaligus spiritualis. Ia menekankan dimensi kebertubuhan—sekaligus kejiwaan. Zarathustra mengafirmasi keduanya dan memaknainya dalam suatu tegangan situasi konkret, historis, dan manusiawi.
Zarathustra mencari makna bukan di luar dimensi kemanusiaan ataupun di dalam utopia—tapi dalam kreasi-cipta: Das einzige Gluck liegt im Schaffen (bdk. NF-1882 4[76]; NF-1886 7[54]. Individu selalu menjadikan dirinya baru—suatu momen yang mungkin abadi dan berulang kembali (Yulius Tandyanto, "Siapa Nietzsche-nya GM", dalam Ayu Utami [ed], Membaca Goenawan Mohamad, Jakarta: Penerbit KPG, 2022, h. 153-154)
***
Tawaran Nietzsche: Manusia Masa Depan
Apa persisnya tawaran pembebasan Nietzsche? Berkaca dari buku Nietzsche berjudul Genealogi Moral (1887), GM mengutip tentang datangnya “manusia masa depan” yang menebus kita dari ressentiment (rasa dendam pada realitas). “Manusia masa depan” ini cirinya “antinihilis” sekaligus “antikristus”. Ia menolak Tuhan, juga menolak nihilisme, sembari mengatakan “ya” kepada kehidupan.
Menurut GM, Nietzsche menawarkan pembebasan lewat figur Zarathustra yang menawarkan Ubermensch (diterjemahkan di sini sebagai Manusia Utama). Mengikuti tafsiran St. Sunardi, GM mengatakan bahwa Manusia Utama bukan transendensi baru, melainkan “potensi dan kemungkinan yang dimiliki setiap orang.” Manusia Utama ini, menurut GM, adalah sebuah ikhtiar menjadi, figur manusia yang selalu berproses, yang tak henti-hentinya menjadi.
GM merumuskan '“manusia masa depan” Nietzschean menggunakan konsep Jawa yang memandang manusia sebagai dumadi.
"Manusia, dengan demikian, sebegai Obergang dan Ontergang, memang bukan sesuatu yang final; filsafat Jawa mempunyai kata yang cukup kena untuk menggambarkan itu: manusia, makhluk, sebagai dumadi (ada sisipan “um" dalam kata “dadi”: ada sesuatu yang “bergerak” dalam kata yang berarti “jadi”). Dalam proses dan perubahan itu, dalam ketidakkekalan itu, hidup diterima dengan segala kegairahan dan kepedihannya. Nietzsche menyerukan amor fati. Ideal Ubermensch dalam hal itu bisa dilihat bukan sebagai negasi kepada hidup. Ia suar di kaki langit. Manusia menuju ke sana. Mungkin tak kunjung tiba, tapi perjalanan itu sendiri memberikan arti."
(A. Setyo Wibowo, "GM dan Zarathustra-nya Nietzsche: Catatan dan Tawaran Perspektif Lain", dalam Ayu Utami [ed], Membaca Goenawan Mohamad, Jakarta: Penerbit KPG, 2022, h. 162-163)
***
Cara Menggapai Manusia Masa Depan: Analisa Kehendak
Di depan tirani “pasar”, tawaran Nietzsche untuk “membebaskan diri” ditemukan lewat pemahaman baru tentang "manusia sebagai proses yang tak pernah berhenti menjadi". Apa maksudnya? Mengapa manusia dipahami demikian?
GM dengan jitu melihat bahwa manusia sebagai dumadi akan bisa dipahami bila kita masuk ke pokok inti pemikiran Nietzsche tentang kehendak. Inti segala sesuatu, termasuk manusia, adalah kehendak (yang terkenal dalam rumusan der Wille zur Macht, kehendak-untuk-kuasa: suatu tenaga, daya yang membuat kita tumbuh dan sejarah bergerak).
Mengikuti uraian Alphonso Lingis, GM memahami bahwa kehendak-untuk kuasa adalah sebuah beda asali, yang dirinya sendiri tak pernah bisa diidentifikasi. Kalaupun ada identitas, itu hanya sebentuk tanda, sebutan bagi sesuatu yang senantiasa berubah. Kehendak-untuk-kuasa bukanlah kehendak untuk meringkus “yang lain”. Ia bukanlah kekuatan untuk mendominasi orang lain, melainkan untuk membebaskan yang-beda tetap berbeda. (A. Setyo Wibowo, Ibid., h. 163-164)
0 komentar:
Posting Komentar