alt/text gambar

Kamis, 23 Januari 2025

Topik Pilihan:

Wawancara Pram

Pramoedya Ananta Toer


Di bawah ini ada sejumlah hasil wawancara dengan Pramoedya Ananta Toer yang pernah dimuat di beberapa media massa.


Telah kami tulis kembali. Selamat membaca, saudaraku yang baik...!


Pandasurya, Wawancara Pramoedya Ananta Toer dalam Optimis.

Optimis, 24 Juli 1981:

Optimis: Anda pernah menyebut diri Anda sebagai penulis. Apa artinya?

PAT: Menulis adalah panggilan hidup saya. Panggilan untuk mempersembahkan segala sesuatu yang baik kepada nation saya. Jadi, bukan untuk mengejar popularitas atau kekayaan. Bahwa nation memberi penghidupan pada saya atas karya yang saya persembahkan, ya saya berterima kasih banyak. Tapi tanpa itu pun, saya akan tetap menulis sepanjang saya masih bisa melakukannya. Pekerjaan saya memang menulis. Saya hanya bisa menulis, maka saya hanya menulis....

O: Sejak kapan Anda menulis?

PAT: Mulai dari masa kanak-kanak. Ayah saya, Toer, kebetulan juga seorang pengarang.

O: Bagaimana Anda memandang tanggapan-tanggapan yang ditujukan terhadap karya tulis Anda?

PAT: Saya menghargai tanggapan-tanggapan ataupun kritik-kritik dari siapapun dan dari manapun datangnya. Yang menyetujui tulisan saya ataupun yang tidak menyetujui. Yang menyenangi ataupun tidak menyenangi. Semua itu saya anggap sebagai nilai sosial dalam kehidupan. Jadi tanggapan-tanggapan itu bukan merupakan tanggung jawab saya pribadi. Tanggung jawab saya adalah menulis. Komitmen saya terhadap nation Indonesia adalah tulisan. Apakah jawaban ini bisa memuaskan Anda? Barangkali tidak memuaskan....

O: Belum memuaskan. Tolonglah Anda sampaikan pandangan Anda terhadap kasus pelarangan buku Anda, Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa.

PAT: Baiklah, saya bertolak dari sikap bahwa menulis itu adalah hak setiap manusia. Tak ada yang dapat melarang dan tak ada yang dapat merampas hak itu, kecuali dengan force majeure. Karena itu walaupun di dalam tahanan—dan tidak diberi ijin—saya tetap menulis. Dan setelah Jenderal Soemitro (ketika itu Pangkopkamtib) berkunjung ke Pulau Buru dan memberi lampu hijau, saya menulis secara terbuka. Tulisan itu saya berikan kepada Komandan Inrehab di sana. Entah bagaimana kebijaksanaan komandan, saya kurang tahu. Begitulah ketika dibebaskan tahun 1979, saya membawa beberapa naskah dan yang kemudian diterbitkan. Setahu saya di Indonesia berlaku sensor represif dan bukan sensor preventif. Jadi setiap orang berhak menerbitkan buku. Bahwa kemudian buku-buku itu dilarang, saya pikir demikianlah konsekuensi sensor represif. Soal pelarangan ini, tidak mengherankan bagi saya. Saya telah menyaksikannya sejak masih kanak-kanak, ketika buku-buku karangan ayah saya dilarang dan dirampas di tahun 35-an. Kemudian saya mengalaminya sendiri ketika tahun 60-an, salah satu buku saya [Hoakiau di Indonesia] dilarang dan saya ditahan selama setahun. Selanjutnya semua buku-buku saya dilarang karena "katanya" saya terlibat peristiwa G.30.S PKI. Larangan itu sampai sekarang belum dicabut. Saya sebut "katanya" sebab ternyata setelah ditahan selama belasan tahun saya dibebaskan dengan sepucuk surat resmi yang menegaskan bahwa secara hukum saya tidak terbukti terlibat G.30.S PKI. Bagi saya semuanya itu merupakan suatu deretan. Saya telah berkali-kali mengalaminya. Karena itu tidak lagi mengherankan.

O: Anda tidak heran. Apakah sebelumnya memang telah ada perasaan bahwa Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa akan dilarang?

PAT: Bukan karena ada perasaan. Tetapi larangan di tahun 1966 kan belum dicabut. Artinya, besar kemungkinan setiap buku saya yang diterbitkan akan dilarang.

O: Lantas perasaan Anda sendiri bagaimana?

PAT: Tentu tidak senang. Larangan itu sangat tidak menyenangkan. Tetapi persoalannya, apakah ada hukum di Indonesia yang bisa memberi kepada saya basis untuk naik banding. Saya tidak tahu. Saya belum berhubungan dengan ahli-ahli hukum. Kepada pemerintah saya ingin memohon untuk meninjau keputusannya kembali. Apakah sesungguhnya larangan itu telah adil dan benar? Masalah keadilan dan kebenaran selalu mempunyai impact yang panjang bagi perkembangan nation....

O: Mengenai alasan pelarangan itu....

PAT: Itu merupakan tuduhan yang saya pikir haruslah dibuktikan. Apa benar buku itu mengajarkan Marxisme, Leninisme ataupun Komunisme? di Indonesia kan sudah banyak sarjana Sosial Politiknya yang bisa dimintakan penilaiannya. Saya sendiri tidak pernah mempelajari filsafat tersebut. Saya merasa tidak melakukan apa yang dituduhkan. Tuduhan itu langsung menyangkut pribadi saya, dituduh bertentangan dengan TAP MPR adalah amat berat. Itu bisa diartikan bahwa saya ini pengkhianat bangsa. Karena itulah saya mempertanyakan apakah keputusan itu telah adil dan benar?

O: Status hukum Anda bagaimana?

PAT: Saya masih wajib lapor sekali sebulan. Apakah itu tahanan atau tidak, saya kurang tahu. Ya, saya tidak tahu status juridisnya. Dulu saya juga ditahan tanpa surat perintah.

O: Dapatkah Anda membandingkan buku Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa itu dengan karya Anda yang lain?

PAT: Tidak dapat. Mungkin saya berbeda dengan penulis lainnya. Kalau saya telah menulis dan tulisan itu dicetak, saya tidak akan membacanya lagi. Itulah kesatuan komitmen saya dengan nation pada suatu waktu. Maka selesai. Saya tidak memegangnya lagi. Saya tidak membacanya lagi.

O: Dari dulu memang demikian?

PAT: Dari dulu memang begitu. Pertanggungjawaban saya telah selesai. Kalau pun harus ada perbaikan karena ada kesalahan cetak dan sebagainya, orang lain-lah yang melakukannya. Bukan saya.

O: Kalau begitu kami ingin mendengar penilaian Anda tentang karya kesusastraan dari penulis lain.

PAT: Saya tidak lagi mengikuti kesusastraan. Perkembangan kebudayaan lainnya juga kurang saya ikuti. Saya sedang menarik diri. Melihat televisi pun saya hanya kadang-kadang saja. Begitu pula membaca dan tidak membaca kesusastraan.

O: Mengapa?

PAT: Tidak tahu.... Saya sungguh tidak tertarik. Saya hanya sesekali membaca koran. Itu pun tidak berlangganan. Begitu banyak buku dan majalah yang dikirimkan orang kepada saya. Sudah menumpuk. Tapi saya tak dapat membacanya. Tidak sanggup. Secara praktis saya memang belum mengikuti kehidupan aktif. Saya masih belajar menyesuaikan diri. Pengalaman empat belas tahun ditahan masih menekan saya sampai sekarang. Masih ada sindrom tahanan pada diri saya. Tertekan. Merasa tertekan. Dan sekarang saya tak bisa menulis. Ya, untuk menuliskan satu kalimat pun sangat sukar. Empat hari belum tentu cukup bagi saya untuk menyelesaikan satu kalimat.

O: Jadi, Anda sedang tidak menulis?

PAT: Tidak bisa menulis. Saya mau menulis. Tetapi tidak bisa.

O: Tidak juga mengisi catatan harian?

PAT: Saya sungguh tidak bisa menulis! Waktu baru bebas dulu, saya sedikit demi sedikit masih bisa menulis. Tetapi sekarang sudah tidak bisa. Saya terpaksa harus minta maaf karena begitu banyak surat-surat yang memang tak dapat saya jawab.

O: Persisnya, kapan Anda terakhir menulis?

PAT: Ketika di Pulau Buru.

O: Sampai tahun berapa?

PAT: Oh, sampai saat dibebaskan--tahun 1979--saya masih tetap menulis. Juga masih mengisi buku harian.

O: Apakah Anda menarik diri karena tidak lagi percaya pada budaya sekeliling Anda?

PAT: Saya menarik diri karena merasa asing. Dan makin lama makin merasa asing. Mungkin perasaan ini tidak baik. Tetapi demikianlah perasaan saya.

O: Tadi Anda mengatakan tetap berhasrat untuk kembali menulis. Usaha apa yang Anda lakukan?

PAT: Apa maksudnya?

O: Apa yang Anda lakukan sekarang agar bisa kembali menulis? Atau Anda tidak melakukan apa-apa?

PAT: Soalnya lebih banyak berkaitan dengan lingkungan. Lingkungan di sini terlampau bising dan udaranya pun sangat kotor. Sepuluh tahun saya telah terbiasa hidup dalam kesunyian. Tiba-tiba jadi begini. Setiap kali saya mendengar motor melintas dengan meraung-raung, saraf saya terganggu....

O: Kalau hanya itu masalahnya, mengapa tidak berusaha pindah ke tempat lain yang lebih cocok buat Anda?

PAT: Syaratnya belum ada. Dan lagi saya memang masih merasa belum aman. Empat belas tahun merasa tidak aman, tidak mudah menghilangkannya....

O: Atau mungkin pindah ke luar negeri. Pernah terpikirkan?

PAT: Ya, samar-samar ada. Tetapi seperti saya katakan tadi, saya dalam keadaan menarik diri. Dan apakah mungkin saya ke luar negeri? Saya memang telah banyak mendapat undangan dari sana.

O: Pernahkah terbayangkan sebelumnya bahwa Anda akan mengalami saat-saat seperti ini, tidak mampu menulis...?

PAT: Dulu, dulu saya juga mengalaminya. Mungkin inilah masa-masa kelelahan. Tentang ini ada tulisan pendek saya yang telah banyak diterjemahkan, "Sunyi Senyap di Siang Hidup," yang saya karang sekitar tahun 54-55-an. Tapi saya selalu percaya—dan ini lebih merupakan sesuatu yang mistis—bahwa hari esok akan lebih baik dari hari sekarang. Dan untuk itu sebelum tidur saya menyerahkan diri sepenuhnya.

O: Menyerahkan diri kepada siapa?

PAT: Ya, kalau saya katakan secara mistis, kan sudah jelas. Mistik itu kesatuan manusia dengan Tuhan. Yang saya maksud adalah mistik dalam pengertian yang sesungguhnya. Jangan dikacaukan pengertian-pengertian mistik, religi, magi dan sebagainya.

O: Hikmah apa yang Anda peroleh dari masa penahanan?

PAT: Saya hidup di tengah-tengah orang Indonesia yang menderita. Saya bersama mereka dan merupakan bagian dari mereka. Setiap pengalaman bagi pengarang bukan hanya materi tetapi sekaligus juga fondasi kulturil. Tapi kalau dia tidak kuat menderitakannya, tentu dia collapse. Bagi yang kuat, orbitnya menjadi lebih luas.

O: Bagaimana proses kreativitas Anda berlangsung?

PAT: Pertama kali saya tidak begitu mendasarkan diri pada ilham. Kalau toh ada suatu pengertian tentang ilham, maka ilham itu lebih tepat dikatakan sebagai produk kerja keras. Tanpa kerja keras tidak ada sesuatu yang bisa dinamakan ilham.

Tentang kuartenarius yang terakhir, saya memang telah lama berkeinginan untuk menulis sejarah Indonesia. Bukan sejarah fisiknya. Tetapi pergulatan jiwa Indonesia itu menjadi manusia Indonesia sampai sekarang ini. Saya ingin menuliskannya dalam bentuk roman, karena buku sejarah biasanya kurang dibaca orang. Dengan meromankan histori, saya ingin mengajak setiap orang mulai dari lulusan SD hingga Profesor untuk hidup di dalam histori. Sebelum tahun '65 saya sudah mulai mempelajari sejarah Indonesia modern. Proses penulisannya begini. Materi historis yang statis—yang telah saya peroleh—saya hidupkan dengan tetesan-tetesan elemen baru. Itulah yang berproses, antara data yang statis dengan tetesan kimia baru. Itu pulalah yang terjadi dalam otak saya. Saya hanya mencatat proses yang terjadi. Saya mengikutinya dan tidak memaksakan. Saya hanya melukiskan perkembangan. Perkembangan ini akan sampai kepada klimaks atau kesimpulan. Terhadap klimaks atau kesimpulan inilah biasanya orang bersikap suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju, senang atau tidak senang. Begitu...


*[Pramoedya Ananta Toer dalam Optimis].

#pram

#seabadpram

#100tahunpram

Puisi lentera merah. 

#puisi #lentera #merah

#pemulung #cerita #jalanan

@penggemar berat


Sumber: https://www.facebook.com/share/p/18ZoZiUMpc/

=======


Wawancara Pramoedya Ananta Toer, sosok pengarang besar bangsa ini, Indonesia.


Suara Independen.


Selamat Membaca..!


****

Pram lahir di Blora, 6 Februari 1925. Pernah belajar radio, stenograf dan kuliah si Sekolah Tinggi Islam Jakarta (1945), ia sempat bekerja sebagai juru ketik di kantor berita Jepang Domei (1942-45). Ia tercatat sebagai letnan dua di Resimen 6 Divisi Siliwangi. Dia juga pernah jadi redaktur (a.l. di Balai Pustaka dan The Voice of Free Indonesia), dosen serta anggota Pimpinan Pusat Lekra (1958). Keterlibatannya di Lekra, membuat Pram meringkuk di beberapa bui, termasuk P. Buru, pasca G30S/PKI. Namun, apakah sesungguhnya dia komunis? "Buktikan saja," tantangnya.


S: Anda bergabung dengan Lekra, dan semangat sekali menghadapi Manifesto Kebudayaan (Manikebu). Sehingga Anda digolongkan dalam seniman yang berubah fungsi menjadi semacam ideolog?


P.A.T: Saya itu praktis mandiri. Biar pun menjadi anggota Lekra. Saya menjadi anggota Lekra bukan mendaftarkan diri. Pada Kongres Lekra di Solo tahun 1959, saya diundang hadir. Sambil jalan-jalan saya datang saja. Sampai di sana, saya diminta memberi sambutan, saya kasih. Di akhir Kongres, saya diangkat menjadi anggota pleno. Tidak pernah merangkak dari bawah, tahu-tahu terus nangkring. Itu dalam kesulitan lagi, karena orang-orang lama di organisasi itu tak senang melihat saya.


S: Tapi Anda terima pengangkatannya...


P.A.T: Saya terima. Itu kan bukan organisasi jahat. Dituduh itu onderbow PKI, tak soal. PKI kan salah satu pemenang pemilihan umum waktu itu. Punya wakil-wakil di parlemen. Terakhir beberapa menteri, malah. Itu kan legal.


S: Apa yang Anda dapat dari Lekra?


P.A.T: Nggak ada, kok. Saya ini solo flight. Nggak bisa memerintah dan tak mau diperintah. Tidak ada apa-apa. Malah bentrokan saja yang terjadi.


S: Mengapa Anda tidak keluar saja?


P.A.T: Tidak perlu keluar toh? Saya itu kerjanya di rumah saja. Kalau ada undangan, saya datang. Diminta ceramah tentang sesuatu yang saya setujui, ya saya kasih. Misalnya, tentang Kartini, sejarah sastra Indonesia. Tetapi sebagai penentu, tentu saja tidak. Saya itu orang yang dicomot dari jalanan dan ditangkringkan.


S: Tapi Anda kan jadinya dituduh komunis...


P.A.T: Tahun 1956 saya diundang ke Tiongkok untuk menghadiri peringatan sekian tahun meninggalnya Lu Sin, pengarang besar yang dianggap Gorky-nya Cina. Di sana tugas saya terutama menyampaikan pidato menteri PDK. Jadi resmi. Saya memakai service pasport. Pulang dari Tiongkok, saya sudah dituduh komunis. Penerbit-penerbit bonafit menampik tulisan saya. Sampai saat ini, orang menuduh begini begitu. Ini sudah berapa puluh tahun lewat. Buktikan dong. Jangan tuduh saja. Buktikan dimana kekomunisan saya?


S: Bahkan Anda juga sering dituduh anti agama?


P.A.T: Itu orang-orang paranoid kan, yang ingin melindungi periuk nasinya saja. Memojok-mojokkan orang. Saya ini memang tidak religius, cuma saya ini sebelum tidur berkontemplasi mengoreksi diri, diiringi dengan atur pernafasan. Itu dalam suasana, dalam semangat penyerahan diri. Kalau itu dianggap anti religi, silakan saja, jangan haruskan saya begini begitu. Saya saja tidak mengharuskan orang begini begitu.


S: Ngomong-ngomong apakah Anda tertarik dengan agama.?


P.A.T: Saya ini mengambil materi-materi agama dari banyak tempat, ada yang dari Islam, Katolik, Budha, Hindu, ya pokoknya yang membuat diri ini kuat. Tapi ini bukan soal agamanya, agama ini sebagai suatu keseluruhan. Kalau soal hidup itu sendiri, saya percaya adanya Tuhan, dan Tuhan itu maha kuasa. Ribuan tahun sebelum Masehi sekalipun, kemahatahuan-Nya itu sudah tahu bahwa saya akan seperti ini.


Puisi lentera merah. 

#puisi #lentera #merah

#pemulung #cerita #jalanan

#semuaorang @penggemar berat

Sumber: https://www.facebook.com/share/p/1A99Cj6WBp/

0 komentar:

Posting Komentar