alt/text gambar

Jumat, 14 Februari 2025

Topik Pilihan:

FEBRUARI-MARET 56 TAHUN YANG LALU


Oleh: YB Mangunwijaya

(Kompas, 14 Februari 1998)


Tanggal 15 Februari—56 tahun yang lalu—Letjen AE Percival, panglima benteng Inggris terbesar di Asia, Singapura, menyerah kepada Jenderal Yamashita. Dua minggu kemudian, 1 Maret, Jepang mendarat di Banten, Indramayu,dan Tuban. Dan 8 Maret Hindia Belanda terhapus dari peta bumi. 


Semua kejadian itu disambut gembira  oleh penduduk Indonesia yang ternganga takjub melihat sang tuan besar Belanda yang sudah sekian abad bersimaharaja di negeri mereka, akhirnya ditaklukkan oleh sesama orang Asia yang kecil-kecil pendek, berpakaian blaco tipis kumal murahan tetapi aduhai senapan yang terlalu panjang berat untuk ukurannya, apalagi dengan tombak ujung bedil putih mengkilat mengerikan, dan ya begitulah, selalu berbau taoco kedelai kecut. 


Ternyata, Febuari-Maret 1942 adalah titik-balik amat penting bagi bangsa Indonesia. Memang kemudian ternyata mengecewakan, keluarlah perangai penjarah amat kejamnya, tetapi paling tidak Belanda sudah dikalahkan mereka. Walau kita tidak perlu meniru salah seorang jenderal TNI kita yang mengujar bangsa Indonesia harus merasa berutang budi kepada Jepang, tetapi memang tanpa Jepang kita masih Hindia Belanda. Paling pol Republik Indonesia Belanda. 


Jepang mengalami sejarah lainlag dari kita punya. Satu suku homogen jalan hidupnya, tidak pernah dijajah orang asing lagi bermentalitas lain sama sekali. Toh penuh pelajaran berharga. Terutama dalam proses amat penting, bagaimana menjadi nasion modern tanpa Jiwa Barat. Ahli sejarah Toynbee mengatakan itu tidak mungkin. Siapa mengambil kulit, pasti akan mengambil jantungnya juga. 


Jelasnya (ini bukan contoh yang diberikan pakar Inggris itu), putri Solo lamban halus lemah gemulai sekalipun, bila sudah memakai blue jeans dan T-shirt, apalagi bikini, lama-lama gerak sikap jiwanya akan lain, mengambil filsafat hidup Amerika juga. Nama (penunjuk kepribadian) mereka saja sudah menjadi Winny, Linda, Suzy. Tanpa sadar. 


Tetapi Jepang berkata: Mungkin! Kami buktikan! Dan rupa-rupanya pembuktian Jepang sejak datangnya Commodore Mathew C Perry (1853) dan Jenderal Mac Arthur (1945) cukup meyakinkan. Meskipun tidak pernah tanpa problema yang sering lebih membenarkan Toynbee. Misalnya yang terungkap dalam pertanyaan sekolompok pakar bioteknologi Jepang yang dalam suatu konferensi internasional bertanya kesal kepada Prof Eric Houwink dari Universitas Groningen, Belanda, mengapa penerima hadiah Nobel untuk fisika/kimia berbangsa Jepang amat sedikit dibanding dengan dunia pakar Barat? Apa karena kurangnya intuisi dan daya-eksplorasi prinsipal yang menjadi awal aktivitas ilmiah murni terletak pada sumber yang terdalam, karena tidak beragama Kristen atau Yahudi? Prof Houwink tidak tahu jawaban obyektifnya. Namun kita semua tahu bahwa bangsa Jepang bukan bangsa bodoh (seperti....). 


Reformasi total

Kita tahu, bahwa modernisasi Jepang lebih dari satu abad yang lalu dirintis oleh para samurai (jago berkelahi profesional) tingkat rendah, khususnya dari daerah Chosu yang diam-diam melawat ke Inggris untuk melihat sendiri mengapa Barat itu kok bisa begitu kuat. Dengan metode Barat mereka mengalahkan rezim feodalisme para daimyo (gubernur militer) dan shogun (pangeran diktator) Tokugawa dan memulihkan pengakuan Tenno (Kaisar) selalu otoritas tertinggi magis keagamaan demi kesatuan dan persatuan agar mampu mengahdapi dunia Barat. 


Tetapi kekuasaan riil ada pada oligarki mereka. Tata negara dipilih amat cermat (oleh kepercayaan Kaisar Meiji, Itu Hirobumi) dari model Kemaharajaan Jerman bad ke-19 yang dianggap ‘seimbang’ (nyatanya tidak) antara kekuasaan kaisar dan rakyat. 


Para pembaharu sadar bahwa bidang-bidang politik ekonomi, sosial, budaya, pendek kata ipoleksosbudaghankam yang feodal tidak mungkin menjadi modern alias manusiawi, adil, dan beradab, jika saling diisolasi dan berjalan sendirian, celakanya diramu dengan unsur-unsur yang saling bertentangan. Maka pembaharuan Meji berjalan secara total komprehensif, meski bertahap dalam segala bidang. Sosial, feodalisme yang rumit diganti struktur sederhana yang teoritik mengakui hak-hak kaum rakyat lainnya, termasuk yang dulu terbuang (heimin); ekonomi, reformasi pemilikan tanah, sistem pajak, perbankan, liberalisasi dunia niaga swasta dan sebagainya, industrialisasi strategis di samping perhimpunan petani yang kuat, modernisasi transportasi dan komunikasi; perombakan hukum lama dan administrasi negara; pengembangan sains dan teknologi, namun juga segala wujud seni, susastra bahkan pakaian pun diperbaharui. 


Yang mengacu ke contoh Barat atas dasar logika: Barat hanya dapat ditandingi oleh Jepang yang barat juga. Berkumandanglah slogan brunme kika (peradaban dan cerah budi). Namun reaksi kuat nasionalisme tetap menjaga agar nilai-nilai Jepang, jelasnya nilai-nilai samurai, terpelihara, dan ini terutama lwat dunia pendidikan model perpaduan Barat-Jepang. 


Raja sewenang-wenang cerah budi 

Namun yang bagi kita paling menarik ialah proklamasi Gokajo no Goseimon, Lima Pasal Sumpah Kaisar, diterjemahkan bebas ‘pancasila’ Kaisar Meiji 1868: 1) Dewan-dewan musyawarah harus diwujudkan pada skala luas, dan semua persoalan pemerintahan harus ditentukan oleh diskusi publik. 2) Semua lapisan, tinggi maupun rendah, harus bersatu untuk penuh semangat melaksanakan rencana pemerintah. 3) Semua lapisan harus diizinkan untuk memenuhi aspirasi-aspirasi adil mereka sehingga ketidakpuasan tidak timbul. 4) Adat-istiadat jahat masa lampau tidak boleh diteruskan, dan adat-istiadat baru harus didasarkan pada hukum-hukum alam yang benar dan adil. 5) Pengetahuan harus dicari dari seluruh pelosok bumi untuk memajukan kesejahteraan kemaharajaan. 


Sumpah Kaisar Lima Pasal itu sungguh menakjubkan kearifannya. Nama Meiji dari Kaisar yang masih muda itu artinya: Pemerintahan Cerah Budi (Enligtened Rule), lawan dari Pemerintahan Feodal. Itulah jiwa program-programnya, yang kemudian terekspresi antara lain pada Konstitusi 1889 selaku anugerah Kaisar kepada rakyatnya, sesuai dengan jiwa politik magis religius zaman itu. 


Sungguh arif, karena tanpa cerah budi (rasional, humanis, sesuai hukum-hukum alam; sejajar sila kita: kemanusiaan yang adil dan beradab) yang menjadi jiwa modernisasi tata negara tata masyarakat, suatu nasion selalu akan melorot kembali ke dalam feodalisme alias nepotisme, kolusi dan korupsi lama tradisonal. Perhatikanlah pasal 4 dan 5. Tetapi seperti evolusi di Eropa Kontonental juga, faktual proses demokrasi berawal dari otokrasi elightened despotes, raja-raja sewenang-wenang tetapi yang diresapi mental cerah budi, fajar budi (Aufklarung) tadi yang berpusat pada rasionalitas, humanisme, dan hukum alam. Selaku fase histroris transisi antara kerajaan mutlak dan republik atau monarki konstitusional demokrasi. 


Demikianlah feodalime toh masih dihidupkan terus dalam bentuk baru, bersendi pada lapisan-lapisan elite kreasi modern fungsional yang mengakui hak-hak kaum petani kaya, pengusaha dan keluarga-keluarga bankir kapitalis (zaibatsu) yang boleh bersuara. Tetapi gerakan kiri pembelaan kaum buruh dan rayat kecil ditindas. 


Khususnya kasta samurai baru dalam tubuh tentara tidak pernah meninggalkan pengaruh mental kanannya. Yang kemdian mendominasi Jepang pasca-Meiji. Dengan akibat-akibat penderitaan bagi Cina, seluruh Asia Tenggara dan lain-lain khususnya Indonesia selama “ordo baru Asia Timur Raya” (demi Jepang) selama Perang Pasifik. Juga yang berakibat runtuhnya Jepang sendiri pada tahun 1945, beberapa hari sebelum kemerdekaan Indonesia diproklamasikan. 


Faktual sejarah Indonesia tidak tanpa kesejajaran dengan sejarah Jepang dan sudah terjalin erat dengannya. Nun waktu itu dalam rintih tangis penderitaan perang, dan kini dalam iklim ilberlisme kapitalisme yen. Ambisi lama “ordo baru Asia Timur Raya” yang pernah hancur ternyata menjadi realita pasca-1945 lewat ekonomi dan hubungan sukarela. Sampai lunglainya para harimau Asia 1997. Yang mengajak kita refleksi, mau ke mana kita sebenarnya? 


Sila dan marga 

Tentulah proses bagaimana Jepang menghadapi Barat sampai menjadi kuat tidak dapat/perlu ditiru oleh kita, tetapi itu tetap sumber refleksi berharga. ‘Pancasila’ Jepang tadi misalnya amat menarik karena ‘Sumpah Kaisar’  1868 tadi adalah (salah satu) strategi modernisasi suatu bangsa yang pernah kalah menghadapai hegemoni Barat, tetapi kemudian jaya efektif berhasil. 


Gokajo no goseimon tadi sebenarnya tidak tepat disebut ‘Pancasila’ Jepang. Yang tepat: Pancamarga, lima jalan strategi praktis menuju ke kemajuan dan ketahanan bangsa. Kita sudah punya Pancasila , prinsip-prinsip atau lebih nyata cita-cita ke mana kita harus pergi. Tinggal jalan praktisnya. Bila kita tak mau terkutuk mengulang-ulangi terus segala kesalahan yang pernah dilakukan bangsa-bangsa lain dan bangsa sendiri, maka sejarah adalah guru besar bagi jalan kehidupan kita. 


Apakah di dalam sejarah Jepang ada satu dua butir hikmah agar proses modernisasi Indonesia dapat berjalan benar? Apakah ada satu dua kesimpulan yang dapat kita tarik dari proses pembaruan oleh para samurai itu? Juga pelajaran dari posisi transisi enlightened despotes Eropa maupun Asia dengan ‘Pancamarga Meiji’? Di samping belajar dari sejarah kita sendiri, misalnya riwayat Ken Arok atau Susuhunan Amangkurat I, kedudukan para ningrat, ambatenaars, kaum elite ataupun fenomena serdadu pribumi KNIL, dalam kolonialisme Hindia Belanda? Misalnya. 


* YB Mangunwijaya, budayawan, tinggal di Yogyakarta


Sumber: Kompas, 14 Februari 1998

0 komentar:

Posting Komentar