alt/text gambar

Sabtu, 15 Februari 2025

Topik Pilihan:

KRISIS EKONOMI DAN DAMPAK POLITIK


Oleh: Suryadi A Radjab


(Kompas, Senin, 16 Februari 1998)


Anjloknya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS telah membawa dampak yang luas dalam kehidupan masyarakat. Harga barang-barang impor naik, sehingga mendorong lonjakan harga barang-barang lain. Sebagian masyarakat menyerbu pasar swalayan untuk memborong barang kebutuhan pokok. Ini memicu penimbunan barang di kalangan distributor dan pedagang.


Sebagian masyarakat mulai mengalami kelangkaan barang. Beberapa tempat telah diwarnai oleh antrean panjang untuk membeli barang kebutuhan pokok. Lonjakan harga merembet pada kertas koran, dengan kenaikan mencapai 325 persen. Pemerintah menaikkan tarif penerbangan domestik sebesar 35 persen sejak 23 Januari


Dampak terhadap perusahaan sangat jelas Banyak di antaranya menghentikan produksi dan bangkrut. Sesudah likuidasi bank, disusul merger, dan kemudían penegasan untuk menjamin simpanan nasabah di semua bank. Utang swasta yang jatuh tempo bulan Maret adalah 30 milyar dollar atau Rp 300 trilyun. Tekanan atas perekonomian ditunjukkan belum stabilnya nilai tukar rupiah.


Namun berhubung luasnya dampak krisis moneter, jelas berkait dengan politik. Ada yang bilang, momentum perubahan sudah datang. Bahkan tidak sedikit pula yang berani menyatakan perlunya reformasi politik, termasuk yang dilontarkan pimpinan Golkar dan ABRI.


Untuk mengenali bagaimana dampak politik dari krisis ekonomi, terlebih dulu dikemukakan keterkaitan bisnis dengan politik. Dan apa signifikansi reformasi ekonomi yang segera digulirkan?


Pola bisnis

Tiap pembentukan pola bisnis senantiasa berkait erat dengan politik. Ada politik yang men- jauhkan pemerintah untuk campur tangan, disebut sistem liberal dan politiknya demokratis. Ada pula yang bersifat intervensionis, namun dengan topangan pemerintahan yang bersih Lainnya, pemerintah justru terlibat (involve) serta kehidupan politiknya bersifat eksklusif. Indonesia lebih mengacu pada pola terakhir, yakni pemerintah terlibat dalam bisnis. Persoalan ini perlu dijelaskan berikut ini.

Pertama, ketika awal Orde Baru berkuasa, dicanangkan pembangunan ekonomi dan industri, posisi pengusaha domestik masih dalam keadaan lemah. Akibatnya, pemerintah (negara) jadi dominan dalam perekonomian. Pengusaha tergantung pada pemerintah. Konsekuensinya, pemerintah jadi "mesin pertumbuhan ekonomi"—sumber penggerak investasi dan pengalokasian kekayaan nasional--terutama di masa oil boom.


Kedua, sebagai penggerak investasi, pemerintah tidak hanya menyediakan kontrak, proyek, konsesi pengeboran minyak dan eksploitasi hutan, serta lisensi agen tunggal, melainkan juga kredit besar dan subsidi. Lebih menguntungkan lagi, pemerintah menunjangnya dengan kebijakan proteksi serta pemberian hak monopoli impor dan pasar.


Ketiga, sebagai "mesin pertumbuhan ekonomi", pemerintah berhasil melahirkan dua lapisan ekonomi-politik utama, yaitu birokrat-politik yang melibatkan keluarganya dalam bisnis, serta pengusaha yang mengembangkan dirinya berkat sokongan pemerintah. Kedua lapisan ini mendominasi perekonomian dan politik.


Keempat, dalam perkembangan sistem ekonomi, pemerintah sebagai "mesin pertumbuhan ekonomi"—sumber penggerak investasi dan pengalokasian kekayaan nasional—hanyalah bersifat jangka pendek. Kemampuan pemerintah menyediakan segalanya dibatasi oleh gerak sistem ekonomi, sehingga tuntutan bagi pengembangan sektor swasta jadi tidak terelakkan Pada titik ini rawan krisis.


Kelima, pengoperasian pola bisnis itu tergolong memberatkan ekonomi nasional. Biaya produksi yang mahal mengakibatkan konsumen harus membayar lebih mahal lagi. Kondisi ini sering disebut ekonomi biaya tinggi (high cost economy).


Keenam, pola bisnis itu jelas memerlukan sebuah regim politik yang mampu mengendalikan reaksi kaum buruh dan gerakan demokratisasi. Untuk keperluan ini rakyat berhasil dijauhkan dari partisipasi politik. Dan bentuk partisipasinya cukup hanya pemilihan umum anggota DPR dan DPRD.


Terlihat betapa kuatnya kaitan politik dan birokratik dalam pola bisnis. Pemerintah sudah sejak awal jadi "mesin pertumbuhan ekonomi", yang menyebabkan para birokrat-politik terlibat bisnis yang bersifat jangka pendek. Pola ini tidak mendorong tumbuhnya kepercayaan dunia usaha (business confidence) untuk jangka panjang.


Dampak politik

Sistem ekonomi Indonesia cukup rawan krisis, terutama krisis fiskal dan krisis keuangan. Ketika harga minyak anjlok di pasar internasional, pemerintah terpaksa harus mengeluarkan sejumlah kebijakan deregulasi. Secara politik, kebijakan ini memacu pertumbuhan sektor swasta, termasuk swastanisasi BUMN.


Tujuh tahun silam, sejumlah bank pemerintah mengalirkan dana ke proyek-proyek yang meragukan dan dipakai untuk urusan yang tidak ada kaitannya de ngan tujuan semula. Skandal kredit macet yang menghebohkan adalah Golden Key Group yang diperoleh dari Bapindo. Sejak itu, pemerintah melakukan pembenahan, meniadakan sumber-sumber kebocoran dan ketentuannya menjadi lebih jelas seperti kewenangan dan transparansi para pejabat.


Krisis rupiah dan berbagai dampaknya, sudah menuntut pemerintah untuk melakukan pembenahan besar-besaran. Pemerintah terpaksa menerima tawaran IMF untuk menyetujui Nota Kesepakatan (Letter of Intent) menuju reformasi ekonomi. Pemerintah—lewat revisi RAPBN—dituntut untuk mengurangi keterlibatannya sebagai sumber penggerak investasi. Bahkan pemerintah mulai bersikap untuk tidak membantu utang swasta.


Krisis ekonomi sekarang ini memang menimbulkan dampak politik yang lebih kuat. Pertama, pemerintah kian didesak untuk melepaskan keterlibatannya dari bisnis dan untuk lebih menjalankan fungsi sebagai perlengkapan politik supaya dapat bertugas menyehatkan sistem ekonomi—bukan untuk membangkrutkannya.


Kedua, dengan disetujuinya reformasi ekonomi, pihak swasta yang selama ini tergantung pada pemerintah, didesak untuk segera membenahi diri supaya mampu mandiri dan meningkatkan daya saing. Mereka juga dituntut untuk bisa melunasi utang-utangnya secara mandiri.     


Ketiga, sekarang bank-bank swasta mulai mengalami peralihan dari usaha untuk memperoleh dana murah bagi keperluan bisnis kelompok perusahaannya, menuju bank yang berorientasi komersial. Sejumlah bank swasta maupun bank pemerintah telah melakukan penggabungan (merger).


Keempat, pemulihan krisis ekonomi ini menuntut peningkatan ekspor manufaktur. Pemerintah dan kelompok usaha yang menikmati ekonomi biaya tinggi, kian didesak untuk mengurangi beban biaya produksi. Desakan untuk menghapuskan "birokrasi pungutan” juga kian menguat;


Kelima, belum stabilnya nilai tukar rupiah bisa diartikan sebagai masih sangsinya kalangan dunia usaha terhadap program reformasi ekonomi secara konkret. Pada 22 Januari, nilai tukar rupiah di valuta Singapura sempat terpuruk Rp 16.500 per dollar AS. Mereka menuntut kepastian politik, terutama kelanjutan reformasi ekonomi.


Keenam, sistem peraturan yang kuat sudah sangat dibutuhkan untuk menopang kinerja reformasi ekonomi. Kalangan dunia usaha kian menuntut kepastian hukum.


Ketujuh, mendalamnya krisis rupiah sampai menggerogoti sistem ekonomi, telah memperlemah posisi birokrat-politik. Banyak dari mereka yang mulai terbuka terhadap reformasi politik. Sedikitnya, mereka telah menyatakan perlunya reformasi. Hasil kemajuan ekonomi secara internal telah menghasilkan sebagian lapisan yang menghendaki reformasi politik.


Sesungguhnya, kalangan bisnis menghendaki tumbuhnya kepercayaan dunia usaha untuk jangka panjang. Semua ini hanya dapat dicapai dengan program reformasi ekonomi dan diperkuat dengan reformasi politik. 


* Suryadi A Radjab, pengamat ekonomi-politik, tinggal di Bandung.


Sumber: Kompas, 16 Febuari 1998

0 komentar:

Posting Komentar