Menyimak Kembali Pikiran-pikiran Sutan Sjahrir
Oleh: Manuel Kaisiepo
“Revolusi kita menang dalam menegakkan negara baru, dalam menghidupkan kepribadian bangsa. Tetapi revolusi kita kalah dalam melaksanakan cita-cita sosialnya”. Ini pernyataan Bung Hatta, seorang founding father republik ini, yang diucapkan dalam suatu pidatonya tahun 1957, tetapi persoalannya jelas masih akan tetap relevan hingga kini.
Tentang “cita-cita sosial” itu, kita telah memberikan sebah rumusan yang sangat bagus, yaitu “masyarakat yang adil dan makmur”. Tetapi ini rumusan yang sangat umum. Dan kesukaran dalam mewujudkan cita-cita ini bukan saja karena rumusan itu begitu interpretable (karena sifatnya yang sangat umum itu), tetapi juga karena perwujudan suatu cita-cita sosial seperti itu membutuhkan seperangkat institusi dan mekanisme tertentu yang membuat cita-cita itu operasional. Kalau tidak, ia hanya berhenti pada himbauan moralistik dan etis dalam nadanya.
Bung Hatta sadar benar akan hal ini, karena itu ia berusaha membuat cita-cita ini semakin operasional dengan memasukkannya dalam pasal 33 UUD 45. Di pihak lain, ia konsisten dengan pemikiran dan anjuran untuk melaksanakan koperasi sebagai tulang punggung perekonomian Indonesia. Jelas dalam pemikiran Bung Hatta, sebagaimana dapat dibaca dari berbagai tulisannya, ia menginginkan suatu masyarakat Indonesia yang dibangun atas prinsip-prinsip sosialis. Sayang bahwa sejarah tidak cukup memberikan kesempatan bagi Bung Hatta untuk merealisir cita-citanya itu.
Dari Kiai Samin ke Sutan Sjahrir
Tetapi tidak saja Hatta, hampir semua tokoh-tokoh pergerakan sejak awal abad ke XX hingga periode kemerdekaan, senantiasa berbicara tentang cita-cita membangun suatu masyarakat Indonesia Indonesia atas prinsip-prinsip sosialis. Bahkan sebelum itu, pada penghabisan abad 19, di Jawa telah ada suatu masyarakat Saminisme yang dipimpin oleh Kiai Samin (alias Soerantiko) yang mengenal sosialisme (komunisme) ssebagai prinsip sosial ekonomi, yang berujud pemilikan bersama atas tanah dan air. Blumberger, seorang sarjana Belanda yang menulis tentang masyarakat Samin ini, menyebutnya sebagai suatu bentuk “komunisme purba”.
Awal abad XX, paham sosialisme semakin dikenal di Indonesia dengan datangnnya Sneevliet, Baars, Bergsma, yaitu orang-orang dari aliran sosial-demokrat Belanda. Pengaruh mereka ini jelas pada diri Semaun dan kawan-kawannya yang membentuk PKI tahun 1920-an. Pengaruh sosialisme ini bahkan terasa juga dalam tubuh Sarekat Islam (SI) yang dipimpin H.O.S Tjokroaminoto. Dalam tahun 1924 Tjokroaminoto menulis suatu risalah tentang “Islam dan Sosialisme.”
Pada akhir tahun 1945 dua partai politik secara resmi menyandang nama Sosialis di belakang namanya, yaitu Partai Sosialis Indonesia (PARSI) yang diketuai Amir Sjarifudin dan Partai Rakyat Sosialis (PARAS) yang diketuai Sutan Sjahrir. Kedua partai ini kemudian berfusi pada tanggal 17 Desember 1945 menjadi Partai Sosialis. Partai inilah yang kemudian menguasai kabinet sejak awal revolusi kemerdekaan mulai dari Kabinet Sjahrir hingga kabinet Amr Sjarifudin. Namun kemudian pertentangan yang terjadi antara “sayap Sjahrir” dan “sayap Amir” telah menyebabkan keretakan dalam tubuh partai ini. Amir Sjarifudin kembali bergabung dengan pihak komunis, sedangkan Sjahrir membentuk suatu partai baru yaitu Partai Sosialis Indonesia (PSI) pada bulan Februari 1948. Partai ini kemudian juga dibubarkan Soekarno tahun 1960. Soekarno sendiri juga senantiasa berbicara tentang “Sosialisme ala Indonesia.”
Namun dari berbagai nama di atas, bisa dipastikan hanya Sjahrir yang paling tegas dan jelas dalam merumuskan pemikirannya tentang paham sosialisme itu dalam masyarakat Indonesia. Pengaruh paham sosialisme Eropa Barat yang diterimanya selama di negeri Belanda dihadapkan dengan realitas sosial masyarakat Indonesia sebelum kemerdekaan, serta ketidaksukaanya terhadap kediktatoran komunisme, ditambah lagi sikapnya sebagai humanis telah melahirkan pemikirannya sendiri tentang paham sosialisme yang sesuai dengan masyarakat Indonesia. Sjahrir menyebutnya sebagai “Sosialisme Kerakyatan.”
Selain “Renungan Indonesia” dan “Perjuangan Kita”, Sjahrir telah membuat begitu banyak tulisan tentang paham sosialisme. Pemikiran Sjahrir tentang hal ini berserakan dalam berbagai publikasi, ceramah, maupun dalam tulisan-tulisan yang belum sempat dipublikasikan. Kini, sebagian dari tulisan-tulisannya itu telah dkumpulkan dan diterbitkan kembali dalam bentuk buku yaitu, Sosialisme, Indonesia, Pembangunan: Kumpulan tulisan sutan Sjahrir (Jakarta: LEPPENAS, 1982) yang terdiri dari dua belas tulisan, sebanyak 309 halaman. Sebagian pikiran Sutan Sjahrir dalam buku ini memang sudah sering kita baca dalam tulisan-tulisan lainnya. Dalam setting sosial dan sejarah yang berbeda, beberapa di antara pikirannya itu mungkin terasa kurang sesuai dengan realitas sekarang.
Namun seperti ditulis ahli sejarah Ben Anderson dalam kata pengantar bagi tejemahan bahasa Inggris dari buku “Pejuangan Kita” (Our Struggle) yang terbit tahun 1968 bahwa buku itu merupakan. “…a humane intellegent exploratioan of Indonesia’s continuing problems, still relevant to our own time.”
Demikian juga beberapa di antara pikiran Sjahrir yang terdapat dalam buku “Sosialisme, Indonesia, Pembangunan” ini, walaupun ditulis pada waktu lampau namun terasa tetap relevan untuk masa kini.
Sosialisme kerakyatan, bahaya komunisme dan soal pimpinan
Sjahrir menulis bahwa bagi orang Asia terpelajar yang hidup di negeri terbelakang dan mengimpikan suatu kemungkinan supaya negerinya memperoleh persamaan yang nyata dengan Barat, akhirnya akan berpikir secara sosialis. Jawaban satu-satunya terhadap masalah keterbelakangan adalah usaha bersama yang terencana. Sosialisme merupakan jawaban yang sewajarnya. Namun segera sesudah menyadari hal ini, maka ia bakal menghadapi pertanyaan, sosialisme macam mana yang hendak ia anut. Dan Sjahrir menjawab sendiri: “….bagi kita perkataan “kerakyatan” sebagai pelengkap sosialisme kita tidaklah lain dari suatu penghayatan dan penegasan bahwa sosialisme yang seperti kita pahami itu, selamanya berpegangan pada dan menjunjung tinggi dasar dan asas persamaan derajat manusia, sehingga kita menolak ajaran yang menyatakan bahwa segolongan kecil manusia boleh merasa dan berlaku sebagai golongan istimewa kedudukan serta haknya, asal saja mereka menamakan dirinya kaum komunis Stalinis.”
Dengan penambahan kata “kerakyatan” pada paham sosialisme yang dianutnya, Sjahrir jelas hendak membedakannya dengan sosialisme awal yang berkembang di Eropa Barat dan terutama lagi untuk membedakannya dengan sosialisme yang ditawarkan pihak komunisme. Ia bahkan berulangkali memperingatkan bahaya komunisme itu yang mudah sekali masuk dalam masyarakat yang miskin dan terbelakang.
Sjahrir memang mengakui bahwa dalam masyarakat seperti itu ada ketidaksabaran yang menginginkan suatu kemajuan yang cepat dan karena itu tidak menolak keinginan kaum komunis untuk mendorong perkembangan secepat mungkin. Namun secara tegas ia menolak cara kediktatoran yang tidak menghargai martabat manusia.
Dalam usaha mewujudkan masyarakat sosialis yang sesuai dengan paham “sosialisme kerakyatan” itu, Sjahrir juga sangat menekankan akan pentingnya aspek kepemimpinan. Dalam “Perjuangan Kita” Sjahrir mengingatkan bahwa pengaruh feodalisme masih amat kuat dalam masyarakat Indonesia. Ditambah dengan pengaruh “modern” yang dibawa Belanda maka timbul kecenderungan ke arah terbentuknya sikap fasistis. Karena itu revolusi Indonesia, menurut Sjahrir, di satu pihak merupakan revolusi kerakyatan yang bertugas mengubah struktur sosial masyarakat seperti itu. Dan syarat untuk itu, revolusi harus dipimpin oleh suatu aparat revolusioner yang berdisiplin, efisien dan mempunyai pengetahuan ideologis yang mendalam. Jumlahnya tidak harus besar asal pengorganisasiannya baik.
Dengan mengemukakan perbedaan latar belakang dan komposisi sosial masyarakat di negara sedang berkembang dengan di negara maju, Sjahrir menekankan betapa pentingnya masalah kepemimpinan pada masyarakat yang pertama. Di situ ada bahaya kecenderingan pembentukan golongan kecil yang akan menggunakan kedudukannya sebagai pimpinan untuk meningkatkan kedudukannya itu dengan menciptakan susunan hirarkis yang feodal, yang memperlakukan rakyat sebagai budaknya. Bahaya munculnya diktatur kaum bangsawan, raja atau militer sangat besar di masyarakat seperti itu.
Kepemimpinan yang didambakan Sjahrir adalah kepemimpinan yang rasional dan efisien. Namun sebagaimana ternyata, usaha-usaha Sjahrir gagal dalam membangun kepemimpinan yang dikehendakinya itu, bahkan juga dalam partainya sendiri, Partai Sosialis Indonesia. Ben Anderson menilai bahwa kegagalannya kemungkinan disebabkan ia (seperti juga Soekarno) tidak berhasil membangun suatu organisasi yang efektif yang didasarkan pada analisa masyarakat Indonesia. Hanya bertumpu pada faktor psikologis dan formalistis, tetapi kurang didasarkan pada aspek sosiologis dan organisasional dari politik.
Elite dan himbauan moral
Terhadap pertanyaan mengapa Sjahrir dan Partai Sosialisnya gagal dalam merealisir paham sosialisme kerakyatan itu, hingga kini masih bisa diperdebatkan. Kita mungkin bisa mengikuti pendapat bahwa sosialisme di Indonesia (seperti juga di negara berkembang lainnya) hanya merupakan reaksi terhadap trauma yang ditinggalkan bekas penjajahnya. Di situ sosialisme dipilih mungkin hanya berdasarkan pengaru psiko-politis dan psiko-ideologis yang dialami pada masa penjajahan. Walaupun ada kemungkinan begitu, namun sosialisme kerakyatan yang dikemukakan Sjahrir ini jelas lahir dari hasil pemikiran rasional yang lama dan mendalam.
Kita mungkin bisa mengajukan pendapat lain bahwa sosialisme gagal karena hanya berhenti pada himbauan-himbauan moral dan etis tanpa menyiapkan perangkat institusi dan mekanisme yang dapat mendukung anjuran sosialisme itu. Komitmen yang sungguh-sungguh terhadap sosialisme menuntut lebih daripada sekadar sikap-sikap moralistik seperti itu.
Di pihak lain, gagasan-gagasan yang terdapat dalam paham sosialisme yang begitu moralistik itu seringkali terasa abstrak bagi masyarakat kebanyakan. Ia hanya bisa dipahami dengan baik oleh kaum intelektual atau elite terdidik. Dengan kata lain, pejuang sosialisme dan ajaran mereka itu terasa bersifat elitis, kurang populis dan karena itu kurang berakar dalam masyarakat.
Gagasan partai kader yang dikembangkan Sjahrir dalam tubuh PSI juga telah mengesankan partai ini sebagai elitis. Padahal diperlukan kontak lebih banyak dengan rakyat untuk mengetahui pikiran dan perasaan mereka. Dan seperti ditulis seorang penulis asing bahwa seandainya PSI telah melakukan itu maka mereka akan menyadari bahwa pada rakyat Indonesia bukan hanya pengertian dan pikiran yang berbicara, melainkan juga hati dan perasaan. ***
Manuel Kaisiepo, staf pada Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Jakarta.
Sumber: Kliping KOMPAS, 22 Agustus 1983
0 komentar:
Posting Komentar