Oleh : BRE REDANA
Mungkin karena saya pernah jadi wartawan dan dikira cuma bisa menulis meski hanya ala kadarnya (secara ala kadarnya pula sebenarnya saya bisa masak, setrika, bahkan bikin bir), setiap kali ketemu teman sering saya mendapat pertanyaan sedang nulis apa?
Mengikuti ungkapan novelis dan penyair David Malouf, saya akan jawab tidak nulis apa-apa. Sebab, menurut Malouf, seperti dikutip Salman Rushdie dalam Step Across this line (2003), musuh terbesar penulis adalah omong. Malouf memperingatkan bahaya ungkapan “karya tengah dibikin” (work in progress). Biarlah mulut terkatup dan jari-jari saja yang mengalirkan sungai kata-kata.
Lalu, tentang dunia literasi itu apa sebaiknya yang dibicarakan? Secara pribadi saya memilih membicarakan buku orang lain, seperti saat ini saya sedang membaca Tuhan Menangis Terluka (Martin Aleida Martin Aleida), FX Harsono: Sebuah Monogarfi (Hendro Wiyanto), People, Power and Profits (Joseph E. Stiglitz), G30S dan Kejahatan Negara (Siauw Fiok Tjhan), dan beberapa lagi, termasuk novel-novel yang kalau saya sebut judulnya bakal kelewat makan tempat.
Terus terang, kian jarang saya baca berita. Selain sumpek dengan berita mengenai sepak terjang pihak yang berpunya dan berkuasa, dalam banjir bandang informasi sekarang ini tanpa membaca pun kita akan tahu dengan sendirinya apa saja yang tengah terjadi. Ibarat puasa, menahan diri tidak tergoda lapak-lapak berita di sekliling kita dengan etalase judul berita yang disebut clickbait.
Kini dikenal dan diakrabi banyak orang istilah post truth. Betapapun sejumlah teman tetap optimistis, pemberitaan yang baik, berdasar fakta, terlebih kalau faktanya kredibel, tetap dibutuhkan banyak orang untuk mengimbangi hoax.
Minggu lalu saya berbincang dengan teman warga negara Amerika yang kini tinggal di Hongkong, sesama murid di Persatuan Gerak Badan Bangau Putih. Ngobrol ngalor ngidul, ia mengatakan pengertian trust di Amerika dan di Asia berbeda. Menurut pengalamannya, di Amerika pengertian trust lebih kasual. Di Asia, trust adalah sesuatu yang harus kita tabung sedikit demi sedikit, sampai kepercayaan tumbuh. Sekali kepercayaan koyak, sulit direparasi.
Itulah kompleksitas bahasa. Dari dulu saya sendiri merasa kesulitan mencari padanan kata truth dalam bahasa Indonesia. Diterjemahkan sebagai “kebenaran”, membawa konsekuensi seolah lawan berita/pernyataan yang benar adalah berita/pernyataan yang keliru atau salah.
Sejauh ini saya memilih memadankan truth dengn kasunyatan. Lawan kata dari kasunyatan bukanlah keliru, salah, atau bahkan sama sekali bukan persoalan benar salah. Lawan kata kasunyatan adalah kasunyatan yang lain lagi, di mana kita dimungkinkan untuk melihat dunia secara berbeda dari sebelumnya.
Yang memungkinkan seseorang bisa melihat dunia dengan cara baru antara lain dengan membaca: membaca buku. Dengan membaca buku orang terlatih untuk berpikir secara koheren, kalau beruntung menemukan perspektif baru dalam melihat kehidupan. Bahasa tidak cuma berfungsi sebagai alat ekspresi dan komunikasi, melainkan juga kognisi dan imajinasi. Dengan membaca kita memelihara dan mengembangkan nalar kita. Orang tidak perlu pintar-pintar amat, cukup memiliki nalar sehat dan wisdom.
Saya menyukai novel. Dalam novel jarang sekali pejabat dijadikan protagonis. Para penulis agaknya tahu belaka bahwa penguasa/pejabat—meski tidak semuanya—umumnya adalah psikopat/sosiopat.
Orang yang jujur dan baik di negeri ini tidak dapat penghasilan yang baik. Sebaliknya para pejabat, bobrok pun penghasilannya baik. Jabatan dipertahankan mati-matian, sampai pada tingkat desa para kepala desa ingin masa jabatan diperpanjang, meski tak terucap, andai kata mungkin sampai kiamat. Salah satu kiat mempertahankan kekuasaan dan jabatan adalah mengonstruksi kebohongan. Banyak pejabat tukang bohong.
Dengan jabatan, jadi keluarga pejabat, punya backing pejabat, seseorang bisa semena-mena di jalan raya, kebal hukum, tidak pernah bersalah. Menghadapi mereka rakyat tak berdaya, learned helpessness, secara moril jadi merosot, tidak punya lagi energi untuk ikut membangun bangsa.
Untuk membangkitkan kembali energi berbangsa perlu ditabung kepercayaan, sedikit demi sedikit, antara lain dengan penegakan hukum.
Rechsstaat (negara hukum), bukan machstaat (negara kekuasaan). Jangan biarkan negeri ini jadi negeri pejabat. Mereka bikin runyam dari masa dpan bangsa sampai keadaan jalanan. ***
Sumber foto: Rubrik Udar Rasa, KOMPAS 19 Februari 2023.
0 komentar:
Posting Komentar