alt/text gambar

Minggu, 16 Maret 2025

Topik Pilihan:

Ha Em Ie

Fachry Ali

Oleh Fachry Ali


Latar belakang sosial-politik apakah yang menyebabkan lahirnya HMI? Terus-terang, saya tidak tahu. Yang saya tahu, organisasi mahasiswa Islam terbesar di Indonesia—mungkin juga Asia Tenggara—itu didirikan oleh seorang yang kini telah menjadi tua: Lafran Pane.

Di ujung tahun 1984, dalam sebuah diskusi bersama-sama dengan Nurcholish Madjid, saya sempat bertemu dengannya. Tidak terdengar gagasan yang meledak-ledak darinya. Mungkin, jika saya tidak salah, juga tidak gagasan besar dan njlimet. Lalu apakah HMI itu? HMI mungkin lahir untuk menjawab sebuah tantangan besar. Tapi tidak mustahil juga, ia lahir dari pikiran yang sederhana. 

Dan karena itu, tentu pula untuk menjawab persoalan yang tidak terlalu besar—setidak-tidaknya, jika dilihat dalam konteks dewasa ini. Kelahirannya, mungkin mirip dengan kelahiran Jong Islamieten Bond. Gejala ke-Baratan yang melanda kaum terdidik pada dekade 1920-an—yang kemudian melahirkan JIB—masih terus berlanjut pada periode 1940-an. Dan HMI lahir untuk menetralisasikan proses pem-Barat-an itu di kalangan mahasiswa-mahasiswa Islam.

Sangat bisa jadi, karakter dasar HMI adalah kesederhanaan itu. Ia tidak terlalu berpretensi untuk memecahkan masalah-masalah yang besar. Ia mungkin telah menjadi organisasi terbesar, dalam jumlah anggota. Tapi bukan karena ia mampu memecahkan masalah besar, seperti yang kemudian, diidealisasikan belakangan ini. 

Saya kira, besarnya jumlah anggota HMI lebih disebabkan oleh penduduk Indonesia yang mayoritas Islam. Dan karena HMI merupakan organisasi mahasiswa Islam yang pertama—di samping ia bukan under bow dari salah satu organisasi sosial maupun politik Islam—maka ia telah menjadi tumpuan hampir seluruh mahasiswa Islam. 

Maka, HMI bukanlah organisasi yang mencetak para pahlawan. Sekelompok orang-orang yang berani, yang siap melabrak segala macam rintangan demi mempertahankan prinsip—yang dikhayalkan hebat dan ideal, tetapi dengan emosi yang lebih dikedepankan. Ia, tidak lebih dari organisasi yang menelorkan orang-orang biasa, yang berpikir tekun dan teratur. Tidak terlalu terperangkap dengan kekaguman dan lekas percaya. 

Dan ketika HMI bergolak, seperti yang diperlihatkan lima atau empat tahun belakangan ini, kita menyaksikan demikian banyaknya pahlawan dan para pemberani yang tampil ke panggung. Mereka menggebrak dan mengunjukkan dada. Kepada siapakah dada itu dipertunjukkan? Tidaklah terlalu jelas. Mungkin kepada pihak-pihak lain, yang dibayangkan mengancam. Tetapi lebih mungkin, kepada dirinya sendiri—untuk lebih meyakinkan bahwa ia punya peran? 

Yang kemudian gagal muncul adalah anggota-anggota yang tidak luar biasa. Yang berpikir tenang dan tidak terlalu mudah tersentak oleh provokasi dan emosi. Ia mungkin, melihat dirinya lebih dari orang biasa—dan karena itu tidak terlalu terpanggil untuk melakukan sesuatu yang luar biasa. Maka, ia terbuka dan tidak melihat suatu bentuk ide secara final.

Latar belakang apakah yang mendorong lahirnya HMI? Untuk mencegah anggota-anggotanya gagal menjadi orang biasa. Dari organisasi orang-orang biasa inilah latihan demokrasi yang sesungguhnya tidak gagal dilaksanakan. (Fachry Ali, Golongan Agama dan Etika Kekuasaan: Keharusan Demokratisasi dalam IsIam Indonesia, Surabaya: Risalah Gusti, 1996, hlm. 335-336) 


***

Profil Fachry Ali

Alumnus Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Ciputat, ini merupakan intelektual muslim Indonesia. Tulisan-tulisannya tersebar di berbagai media massa, seperti Kompas, Tempo, Pelita, Panji Masyarakat, Prisma, dan lain-lain. 

Di HMI, Fachry mulai bergelut dengan berbagai persoalan kebangsaan dan terlibat langsung dalam gerakan mahasiswa pada zamannya. Karena ia pernah menulis banyak tentang NU, maka Gus Dur pernah guyon menyebut senior KAHMI ini NU Cabang HMI. 

0 komentar:

Posting Komentar