Oleh MARTIN SURYAJAYA
(...).
Humanisme bekerja dengan asumsi bahwa "manusia bernilai pada-dirinya". Manusia dipandang memiliki nilai intrinsik karena keseluruhan dirinya tidak dapat ditakar melalui suatu ukuran-ukuran eksternal. Manusia tidak bisa direduksi menjadi sekadar fungsi sosial, fungsi keagamaan, fungsi ekonomi, dan sebagainya. Inilah, dengan demikian, postulat humanisme:
H1: Setiap manusia memiliki nilai intrinsik yang tidak dapat direduksi ke ukuran-ukuran eksternal
Dengan kata lain, manusia memiliki martabat pada dirinya, suatu “nilai” tanpa “nilai-tukar” jika kita menggunakan kosakata Marx. Lalu apa yang dapat mengukur nilai seorang manusia? Tidak lain adalah diri sang manusia sendiri. Inilah tesis dasar humanisme:
H2: Tidak ada yang berhak menentukan makna hidup seseorang kecuali dirinya sendiri
Mengakui martabat manusia berarti mengakui kewenangan setiap pribadi untuk membentuk makna dan nilai hidupnya.
Inilah pengakuan hak paling asasi yang melandasi keyakinan humanisme.
De omnibus dubitandum: kenapa setiap manusia berhak menentukan makna dan nilai hidupnya? Dalam konteks politik, keyakinan tentang kewenangan maknawi setiap pribadi ini diungkapkan secara paradigmatik pada ide dasar demokrasi:
D: Tidak ada yang berhak memerintah diri seseorang kecuali dirinya sendiri
Tesis D adalah perwujudan politik dari tesis H1 dan H2. Tesis inilah yang melandasi kemungkinan pertukaran politik atau fenomena yang kita sebut representasi: setiap orang berhak mengalihkan kewenangannya untuk memerintah diri kepada pihak ketiga yang kemudian dikenal sebagai pemerintah. Karena asumsi self-governance inilah maka kita mendengarkan suara setiap orang dalam demokrasi.
De omnibus dubitandum: kenapa setiap orang berhak memerintah dirinya sendiri? Kewenangan apa yang melandasi klaim kepemerintahan-diri ini? Libertarian seperti Robert Nozick memasok jawabannya, sebuah jawaban yang kemudian dikenal sebagai tesis kepemilikan-diri:.
M: Setiap orang memiliki hak atas dirinya sendiri
Ini adalah sebuah tesis yang dianut tidak hanya bagi kaum libertarian seperti Nozick, tetapi juga kaum Marxis analitik seperti Gerald Cohen. Tesis ini, dengan demikian, adalah titik temu sebelum persimpangan jalan yang memisahkan Marxisme dari libertarianisme. Hanya dengan mengakui tesis inilah, menurut Cohen, tesis eksploitasi Marxian dapat diterangkan.
Kelas kapitalis mengeksploitasi kelas pekerja karena ada hak atas kerja (selisih antara nilai hasil kerja dan nilai tenagakerja) yang tidak diberikan kepada kelas pekerja. Kenapa ini bermasalah? Masuklah tesis M di muka: karena setiap orang memiliki hak atas dirinya sendiri, termasuk terhadap hasil kerjanya, maka perampasan kelas kapitalis atas kelas pekerja dapat dianggap tidak adil. Tanpa tesis M, eksploitasi tidak masuk akal untuk dipersoalkan, seperti halnya gempa bumi atau hujan meteor tidak bisa kita persoalkan adil/tidaknya. Cohen bahkan mengatakan bahwa penolakan atas M sama dengan penerimaan atas keabsahan tatanan politik perbudakan dan otoritarianisme. Tanpa M, dengan kata lain, tidak akan ada D dan, implikasinya, tidak ada H1 dan H2.
De omnibus dubitandum: kenapa setiap orang memiliki hak milik atas diri sendiri? Pertanyaan ini mengusik suatu wilayah keyakinan politik yang nyaris tidak pernah ditanyakan orang karena dianggap jelas dengan sendirinya (self-evident). Namun motto Marx menantang kita untuk berani menanyakan hal yang taktertanyakan ini. Dan sejarah pemikiran politik memperlihatkan bahwa pertanyaan yang tidak berperasaan ini pun pernah ditanyakan. Liberal seperti John Locke mendasarkannya pada tesis pengetahuan-diri:
P: Tidak ada yang lebih tahu tentang diri dan kepentingan seseorang kecuali orang itu sendiri.
Tesis M bisa bekerja karena kita mengandaikan keberlakuan tesis P. Setiap orang memiliki hak milik atas dirinya sendiri karena tidak ada yang lebih tahu tentang kepentingan seseorang kecuali orang yang bersangkutan. Orang lain dikecualikan dari klaim kepemilikan atas diri kita karena orang lain dikecualikan dari akses transparan terhadap fenomenologi diri sendiri. Inilah pengecualian pertama yang melandasi segala rezim pengecualian, presentasi pertama sebagai representasi-diri, kedaulatan pribadi yang merupakan tulang punggung humanisme. Inilah batuan dasar (bedrock) yang tidak pernah dibongkar oleh para humanis dan antihumanis hingga hari ini. Sampai di sini kita dapat merekapitulasi alur argumentasi kita. Setiap manusia memiliki nilai intrinsik yang hanya bisa ditetapkan oleh dirinya sendiri. Keyakinan ini diungkapkan secara politik sebagai pengakuan bahwa tidak ada yang berhak memerintah diri seseorang kecuali dirinya sendiri. Keyakinan ini, pada gilirannya, dimungkinkan karena setiap orang memiliki hak milik atas dirinya sendiri. Klaim kepemilikan-diri ini, pada akhirnya, bergantung pada keyakinan bahwa tidak ada yang lebih tahu tentang kepentingan seseorang kecuali orang itu sendiri. Dengan demikian, berlakulah rantai penyimpulan berikut:
P- M-D-H2&H2
Potonglah P, maka semua tesis yang diturunkan darinya akan luluh-lantak seperti rumah kertas. Hingga hari ini para pemikir antihumanis sekalipun tidak (sampai hati) mempertanyakan P; apa yang mereka persoalkan hanyalah cara untuk mewujudkan tata politik yang setia pada P. Namun motto Marx mengimbau kita untuk terus: kritisisme tanpa ampun terhadap segala.
De omnibus dubitandum: kenapa tidak ada yang lebih tahu tentang diri dan kepentingan seseorang kecuali orang itu sendiri? Sungguhkah ini suatu dasar yang pasti dan taktergoyahkan (fundamentum certum et inconcussum) dari segala pemikiran politik emansipatoris? Di sini, tidak lain dari Locke yang memberikan tilikan berharga. Locke menyatakan keberadaan syarat tertentu yang mesti dipenuhi agar seseorang dapat dikatakan berhak atas dirinya sendiri. Anak kecil dan orang dengan difabilitas mental, misalnya, tidak bisa dianggap memiliki dirinya sendiri dan tidak memiliki kendali atas kehendak bebasnya menurut Locke dan harus berada dalam perintah orang lain. Sebabnya karena mereka yang memiliki difabilitas mental dipandang tidak memiliki kapasitas epistemik untuk mengetahui kepentingan-dirinya sendiri ataupun mengetahui hukum yang mengatur hubungan antara kepentingan-dirinya dan kepentingan-diri orang lain. Artinya, ada suatu keadaan tertentu yang membatalkan tesis P. Pengetahuan-diri, dengan kata lain, bukanlah fakta universal. Ada celah di sini.
Mari kita mulai dengan argumen difabilitas Lockean untuk mendongkel humanisme keluar dan melihat tata politik seperti apa yang akan mengemuka.
Difabilitas dan Datakrasi: Sebuah Ancangan Politik Antihumanis
Fondasi aneka visi politik humanis mengandung sebuah celah, sebuah inti kosong. Aneka visi itu dibangun dengan pengandaian bahwa setiap orang tahu tentang dirinya sendiri, kecuali sejumlah kasus minor seperti anak kecil dan orang gila. Namun pengandaian ini tidak lagi berlaku hari ini. Kegagalan pengetahuan-diri bukan lagi eksepsi, melainkan merupakan norma hidup zaman digital.
Hari ini kita hidup dalam sebuah era ketika algoritma dan dataraya (big data) dapat dikatakan tahu tentang diri kita lebih daripada diri kita sendiri. Yuval Noah Harari menguraikan ini dalam bukunya, Homo Deus. Dari rekaman pilihan kita, durasi interaksi dan jejak metadata yang kita tinggalkan ketika kita berinteraksi dengan berbagai gawai, algoritma dalam aplikasi yang biasa kita pakai akan bisa mendeskripsikan seluruh kebiasaan kita, entah secara sadar maupun tidak. Dari situ algoritma tersebut dapat membangun profil tentang watak kita, pilihan politik kita, gairah terpendam kita. Dengan demikian, tesis pengetahuan-diri jelas keliru. Algoritma lebih tahu tentang diri kita lebih daripada diri kita sendiri.
Apple Watch merekam denyut nadi dan detak jantung kita untuk kemudian membangun profil kesehatan kita, intensitas berolahraga dan sebagainya. Google mengenali kebiasaan browsing kita hingga dapat menyuguhkan sejumlah informasi yang relevan dengan minat kita. Berbagai aplikasi di ponsel kita merekam dengan rinci kebiasaan-kebiasaan kita. Ketika data dan metadata dari seluruh gawai dan aplikasi tempat kita berinteraksi itu dipersatukan dalam sebuah platform dataraya, maka seluruh informasi terperinci tentang diri kita yang ada di platform itu tentulah lebih besar daripada pengetahuan kita tentang diri sendiri yang didapat melalui introspeksi.
Kemungkinan pengetahuan sudut pandang ketiga yang lebih mendalam ketimbang sudut pandang pertama ini tidak pernah dianggap serius sebelum era digital karena kita terbiasa mengandalkan sebuah algoritma tua yang bisa diandalkan selama lima abad terakhir. Algoritma itu ialah algoritma humanis yang mengajarkan bahwa di hadapan sembarang dilema, kita hanya perlu mendengarkan suara hati sendiri: membaca Goethe, menulis buku harian, merenungi langit senja, berbicara dari hati ke hati dengan sahabat terdekat, atau mengutarakan pendapat politik lewat pemilu. Sayangnya, algoritma itu sudah usang karena menurut Harari perkembangan teknologi digital telah menghasilkan algoritma yang lebih andal untuk mengetahui diri sendiri:
Pada abad ke-21, perasaan bukan lagi algoritma terbaik di dunia. Kita telah mengembangkan algoritma yang lebih perkasa yang memberdayakan daya komputasional yang belum ada presedennya dan basis data raksasa. Algoritma Google dan Facebook tidak hanya tahu secara persis apa yang Anda rasakan, tetapi juga jutaan hal lain yang Anda sendiri tidak sadari. Karenanya, Anda mesti berhenti mendengarkan perasaan Anda dan mulai mendengarkan algoritma eksternal itu. Buat apa menyelenggarakan pemilu demokratis apabila algoritma tahu bagaimana setiap orang akan menyalurkan suara mereka (Yuval Noah Harari, Homo Deus: A Brief History of Tomorrow, London: Harvill Secker, 2016, h. 391-392)
Seseorang tidak bisa dikatakan mengetahui dirinya sendiri apabila dibandingkan dengan algoritma yang muncul di era digital dewasa ini: berdasarkan dataraya (big data) yang diperoleh mengenai keseluruhan tindakan kita dan data biometrik kita, andaikan kita dihubungkan ke alat pemindai secara non-stop, Google dapat membangun sebuah penafsiran yang lebih akurat tentang kepentingan-diri kita lebih daripada diri kita sendiri.
Jika Locke berargumen bahwa kaum yang memiliki difabilitas mental tidak memiliki dirinya sendiri dan tidak berhak memerintah-dirinya sendiri, maka dengan adanya algoritma digital di muka yang lebih tahu tentang diri kita lebih daripada diri kita sendiri, kita semua tidak berhak memerintah diri kita sendiri di hadapan algoritma digital, kita semua adalah kaum difabel. Eksepsi telah menjadi norma dan dengan itu, andaian yang mutlak perlu bagi bekerjanya demokrasi dan humanisme tidak lagi terpenuhi. Mungkin ini adalah saat pertama dalam sejarah manusia di mana kita bisa dengan jelas menyatakan bahwa demokrasi dan humanisme salah. Ketika kenyataan telah berkembang meninggalkan Teori di belakang maka kita perlu dengan lapang dada mengakui bahwa Teori itu salah. Lalu apa yang tersisa setelah humanisme? Suatu sosialisme datakratis mungkin jadi sebuah alternatif.
Dahulu kala Lenin pernah berkata: “Komunisme adalah Soviet + elektrifikasi.” Dengan kata lain, suatu partisipasi rakyat banyak yang didukung dengan teknologi yang memadai untuk menunjang hajat hidup orang banyak. Hari ini, “Soviet” telah menjadi “elektrifikasi” dan “elektrifikasi” telah menjadi “soviet”. Teknologi informasi hari ini dibentuk oleh urundaya (crowdsourcing): tidak ada Facebook dan Google tanpa partisipasi penggunanya. Teknologi telah menjadi rakyat dan rakyat telah menjadi teknologi. Salah satu prasyarat pokok bagi visi Lenin sudah terpenuhi. Apa yang belum terpenuhi adalah bagaimana kesatuan antara “Soviet” dan “elektrifikasi” itu ditopang oleh perombakan relasi kepemilikan atas sarana produksi. Beberapa waktu lalu Yanis Varoufakis mengajukan sebuah pertanyaan yang sangat penting: “Jika hari ini kekayaan diproduksi secara kolektif, kenapa hal itu diapropriasi secara privat?” Nilai produk informasi hari ini diciptakan oleh penggunanya; tanpa orang yang mengetikkan sesuatu di mesin pencari Google tidak akan ada pertambahan nilai Google. Jadi kekayaan hari ini betul-betul diproduksi secara kolektif oleh semua orang. Akan tetapi, laba dari aktivitas produksi itu diapropriasi secara privat oleh perusahaan besar seperti Google dan Facebook.
Sosialisme datakratis terjadi manakala seluruh platform informatika diambil-alih oleh pemerintah dan digunakan untuk menghapuskan manusia dari pemerintah itu sendiri. Ini dapat dideskripsikan sebagai sebuah “teknokrasi partisipatoris".
Bagaimana mungkin ada teknokrasi tanpa teknokrat, sebuah teknokrasi yang berbasis pada keterlibatan publik? Datakrasi adalah sebuah tata pemerintahan yang dikelola secara impersonal, tanpa individu ataupun kelompok pemimpin, sepenuhnya berdasarkan kecerdasan buatan (AI) dengan berbasiskan dataraya yang terhimpun dari seluruh aktivitas warga negara. Ada dua sifat dasar yang membentuknya. Di satu sisi, datakrasi bersifat teknokratis sejauh seluruh kebijakan publik diselenggarakan berdasarkan keputusan Al yang impersonal dan imparsial sehingga tidak memungkinkan adanya korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Di sisi lain, datakrasi bersifat partisipatoris sejauh seluruh kebijakan publik diambil berdasarkan dataraya yang mencerminkan totalitas kehidupan warga negara sehingga kepentingan warga dengan sendirinya terwakili dalam keputusan Al tersebut. Datakrasi mungkin dapat disebut sebagai “pemerintahan tanpa pemerintah”—sebuah penggambaran yang mungkin dapat memuaskan berbagai pihak, mulai dari libertarian-kanan hingga anarko-libertarian. Datakrasi bekerja tanpa birokrasi dan karenanya menghapuskan korupsi dan pemburu rente (dengan itu menyenangkan kaum libertarian dan liberal di ujung kanan spektrum). Sekalipun memantau seluruh aktivitas warganya secara non-stop melalui penggunaan gawai atau alat pelacak lainnya secara wajib (mandatory) dan menarik data pribadi secara massif, tidak ada seorang pun selain AI itu yang menarik manfaat dari peretasan privasi itu, mirip seperti arsitektur data blockchain atau enkripsi end-to-end dewasa ini yang sejatinya merupakan anonymous surveillance (pemantauan tanpa seorang pun yang memantau). Dalam arti itu, tidak ada privasi yang terlanggar sebenarnya dan karenanya para anarko-libertarian bisa bernafas lega. Di satu sisi, masih ada privasi di tingkat antarpengguna, tetapi di sisi lain, ada transparansi mutlak dalam hubungan antara pengguna dan sistem.
Demokrasi adalah sebuah rights-based politics, sebuah politik yang bertumpu pada hak, sebuah konsep yang mengandaikan aparatus konseptual humanisme yang terbukti usang hari ini. Sosialisme datakratis, sebaliknya, sebuah tata politik yang batu fondasinya bukanlah hak, melainkan kebenaran. Datakrasi adalah sebuah truth-based politics. Dalam skema ini, pemerintahan diselenggarakan berbasis kebenaran tentang seluruh aktivitas, watak dan hasrat setiap warganya—suatu kebenaran yang dengan sendirinya bersifat partisipatoris. Berdasarkan kebenaran tentang apa yang ada dalam kehidupan warga (das Sein), termasuk hasrat setiap warga tentang apa yang seharusnya ada (das Sollen), Al akan dapat mengkalkulasi kebijakan publik paling efisien yang dapat menyelenggarakan kondisi ideal yang diidamkan setiap orang. Logikanya mirip seperti Google Map yang memetakan jarak terdekat untuk sampai ke tujuan. Di sana orang tidak perlu bicara lagi soal hak dan representasi hak dalam sistem kepartaian. Kebenaran adalah unit yang lebih elementer dari hak; lewat kebenaran-kebenaran yang tersambung dalam dataraya kita dapat mensintesiskan hak seperti daging wagyu yang disintesiskan di laboratorium atau wortel yang difabrikasi dalam pertanian vertikal. Dengan demikian, hak adalah konsep turunan yang dirakit dari kebenaran sebagai konsep yang lebih primitif.
Apakah sosialisme datakratis adalah sebuah totalitarianisme? Tentu saja. Datakrasi, menyadur penulis Hongaria terkenal itu, akan terdengar sebagai sebuah epik dari suatu zaman ketika totalitas ekstensif kehidupan tidak lagi merupakan misteri, ketika imanensi makna dalam hidup tidak lagi menjadi suatu soal, tetapi masih memikirkan segala sesuatunya dalam kerangka kekhawatiran akan totalitas. Mungkin ini risiko yang harus kita terima begitu kita meninggalkan untuk selama-lamanya tasik hijau hening humanisme itu, yakni bahwa suatu kali nanti kita akan sampai hati juga untuk bertanya: mana totalitarianisme yang baik dan mana totalitarianisme yang buruk? (Martin Suryajaya, "Marxisme Tanpa Humanisme: Sebuah Tawaran untuk Bertualang", dalam Ayu Utami [ed], Membaca Goenawan Mohamad, Jakarta: Penerbit KPG, 2022, hlm. 318-328).
0 komentar:
Posting Komentar