alt/text gambar

Sabtu, 01 Maret 2025

Topik Pilihan:

Seputar Pemikiran Ranciere tentang Politik dan Demokrasi

Jacques Ranciere, filsuf Prancis kontemporer


Dalam Caping “Lee", GM menulis: Lee: “Bila orang mengatakan, 'Ah, tanya saja pendapat rakyat!' itu ocehan kekanak-kanakan". Lee tak percaya seorang penjual es paham konsekuensi dari suara yang diberikannya ketika pemilu. Di masyarakat, orang lebih mendengarkan bujukan berlezat-lezat ketimbang seruan untuk bekerja berat (“more to the carrot than to the stick”). (...) Dengan kata lain: demokrasi adalah jalan ke kebangkrutan.

***

Kata skandal berasal dari bahasa Yunani scandalon yang artinya "to trigger a trap or snare, to cause someone to stumble and fall". Skandal artinya batu sandungan yang membuat orang jatuh. Di depan skandal, orang berhati-hati, takut tergoda, dan lebih baik menghindarinya. Demokrasi menjadi skandal bagi kebanyakan orang persis karena kebanyakan orang berpikir “mana mungkin rakyat kok berkuasa, apa yang bisa diharapkan dari rakyat jelata yang tidak tahu apa-apa?”

***

Di Caping 2015 berjudul “Polisi”, GM menulis: “Revolusi 1945 itu sederhana tapi ajaib. Mao Zedong pernah mengatakan bahwa kekuasaan datang dari laras bedil, tapi hari 17 Agustus itu tak ada bedil yang dipakai untuk mendirikan kedaulatan. Yang kedengaran hanya sebuah pernyataan 'atas nama bangsa Indonesia'. Dengan suara Bung Karno yang agak menggeletar membaca paragraf-paragraf pendek yang diketik tergesa-gesa, sebuah nation dinyatakan ada. Serentak dengan itu, juga sebuah Negara. Begitu saja: dari imajinasi. Baru kemudian, Negara itu berubah dari imajinasi menjadi sebuah administrasi. Dengan kata lain, dari sebuah antusiasme menjadi sebuah rasionalitas. Dalam proses itulah polisi datang. (...) Namun berbeda dari yang digambarkan Foucault, tak pernah terjadi pemerintahan, apalagi di Indonesia, yang mirip Panoptikon: sistem politik yang mampu membuat penduduk merasa kehidupan mereka sedang terus-menerus diawasi. (...) Itu sebabnya di Indonesia Polisi tak datang.” Dalam artikel ini GM menunjukkan keniscayaan revolusi bertransformasi menjadi polisi (la police: tatanan). GM juga sedikit bergurau menunjukkan bahwa “tatanan administrasi rasional" pun tidak sepenuhnya berhasil di Indonesia. Jadi, selain bahwa tatanan selalu luput menata, menutur GM, di Indonesia tatanan yang ada hanya setengah matang sehingga tak pernah benar-benar menata. Untuk itu, peluang untuk mengubah selalu ada. 

***

Di Caping tertanggal 2 Oktober 2011 berjudul “Representasi”, GM merumuskan tawarannya sbb. “Lembaga menegakkan tata. Lembaga, dalam istilah Jacgues Ranciere, adalah 'Polisi'. Di sana politik diambil alih, tapi juga dibekukan. Tapi ada yang mustahil. Tiap rezim mengandung ketegangan. Di satu pihak ia bertolak dari asumsi kesetaraan: antara yang mengatur dan yang diatur tak ada celah dalam kapasitas, hingga kebijakan diharapkan akan dipahami dan diikuti. Tapi di lain pihak tiap rezim bertolak dari hierarki. Dengan kata lain, Polisi akan selalu ada, tapi selalu ada juga sikap yang menampung asumsi kesetaraan yang mendasari sistem politik modern. Pada gilirannya sikap itu bertahan, bahkan akan selalu jadi gerak yang melawan hierarki. Gerak itulah politik. Politik, kata Ranciere, 'tak dapat didefinisikan semata-mata sebagai pengorganisasian sebuah komunitas'. Politik juga tak bisa disamakan dengan 'pengisian tempat pemerintahan'. Politik selamanya adalah 'alternatif bagi tata Polisi yang mana pun'."

Di Caping tertanggal 5 Februari 2012 berjudul “Kemudian”, GM menulis dengan gamblang tawaran pemikirannya (dengan memakai Ranciere): “Sebab demokrasi punya dua makna dan dua gerak. Demokrasi sering diterjemahkan sebagai lembaga dan prosedur. Partai-partai politik. Majelis perwakilan rakyat. Perundang-undangan. Lembaga hukum. Pemilihan umum untuk menyeleksi wakil-wakil. Dalam proses itu, Negara terjadi. Tapi Negara, seperti kata Stuart Hall, adalah 'the instance of the performance of a condensation'. Pelbagai kepentingan, aliran, dan kekuatan sosial tak akan bisa tertampung dan tersalur sekaligus. 'Peringkasan', condensation, pun tak terelakkan. Tak terelakkan pula di satu saat dan satu kasus tertentu ada elemen yang 'masuk' dan ada yang 'tak masuk' hitungan. Lalu tiba masa ketika kaum yang 'masuk' mampu mengawetkan posisinya dengan daya dan dana yang mereka peroleh. Sebuah oligarki pun terbangun. Di masa itulah ketaksetaraan, yang sering berarti ketidakadilan, terjadi. Terutama dirasakan oleh mereka yang disebut Ranciere "les incomptes'. Dengan mengidentifikasi mereka yang 'tak masuk hitungan' itu Ranciere menunjukkan makna lain dari demokrasi. Demokrasi bukan bentuk, melainkan laku. Lebih tepat lagi, 'tindakan yang terus-menerus merebut monopoli atas kehidupan publik dari pemerintahan yang oligarkis'”.

***

Iman GM pada demokrasi tampak dalam penutupnya untuk Caping “Lee" (2015): "Juga bukan takdir sebuah kaum untuk melahirkan kelas pemimpin. Tak ada yang ulung yang kekal. Demokrasi, apapun cacatnya, tak punya nujum bahwa kekuasaan akan seutuhnya baik dan tak berubah. Di sini memang ada ilusi, tapi tak banyak. Demokrasi bergerak karena tiap kali seorang besar meninggal akan tampak ia hanya penghuni sementara kursi yang kosong."

***

Di Caping “Subaltern" (kemungkinan tahun 2016) GM menulis: “Pada 16 Oktober 2012, di Universitas San Martin di ibukota Argentina, Ranciere mengemukakan teorinya tentang demokrasi—dan keyakinannya bahwa asas perwakilan yang kini dipraktekkan di negeri-negeri demokrasi 'sepenuhnya berintegrasi dengan mekanisme oligarki'. Yang diperlukan sekarang, katanya, adalah 'sebuah gerakan aksi yang kuat yang merupakan wujud kekuasaan, yang merupakan kekuasaan setiap orang dan siapa saja'."

***

GM menulis di "Politik”: Pada mulanya memang ada kebutuhan akan sebuah tata ketika manusia hidup bersama-sama. Pada mulanya keniscayaan politik. Politik lahir dari proses menyusun distribusi posisi dan kekuasaan. Dalam sebuah ruang dan waktu, dua hal itu tersedia terbatas. Tak semua orang mendapatkannya, atau mendapatkannya dengan kepuasan yang tetap. Mau tak mau berkecamuk persaingan, desak-mendesak, konflik. Sejarah mengajarkan proses itu penuh risiko: sebuah negeri bisa dirundung sengketa tak berkesudahan ketika benturan 354 Catatan Pinggir 13 untuk posisi dan kekuasaan itu tak dikelola dengan baik. Dalam sejarah Jawa, peperangan tak henti-hentinya berkobar karena masalah suksesi.

***

GM menulis di “Politik”: Terutama ketika politik berubah jadi apa yang oleh Ranciere disebut la police: kuasa yang akhirnya memberi batasan ke dalam hidup sosial, kepada ketentuan peran dan posisi warga, kepada penegakan tata. Jelas bahwa tata itu sebenarnya bukan sesuatu yang alamiah. Ia tak punya fondasi dan tak akan bisa memadai. Selalu ada celah yang kosong, ada unsur-unsur sosial yang tak masuk hitungan, terkucil, dan tak puas. Dalam keadaan itu, politik adalah “disensus", bukan "konsensus".

***

Menurut Ranciere, pemikiran Hobbes dan Rousseau masuk dalam kategori para-politik ini. Mereka mengajukan sebuah sistem kontrak sosial, di mana individu-individu soliter akhirnya berhadap-hadapan dengan sebuah 'kekuasaan' (entah itu Leviathan atau Kekuasaan Republik). Di satu sisi, Hobbes maupun Rousseau sebenarnya sudah memiliki intuisi tentang 'kesetaraan radikal' di antara umat manusia, namun akhirnya 'kesetaraan' itu dilumerkan dalam pendirian sebuah tatanan politik. Bila saja kesetaraan radikal itu dipertahankan, maka tak perlu adanya tatanan. Risiko hidup dalam kesetaraan semua dengan semua adalah munculnya kekerasan. Problem ini yang hendak diatasi Hobbes maupun Rousseau lewat kontrak sosial yang mereka teorikan. Sejauh saya tahu, Ranciere malah tidak pernah mengelaborasi soal risika kekerasan. Apakah karena di matanya tatanan itu sendiri sebentuk kekerasan? Bila tatanan sebentuk kekerasan, apakah proses verifikasi 'subjek' untuk masuk ke tatanan mengandaikan adanya kekerasan? Ranciere hanya berbicara tentang 'gangguan, ketidaksepakatan, atau dissensus', namun tak pernah eksplisit berpendapat mengenai kekerasan. 

***

Menurut Anders Field, Jacques Ranciere: Pratiquer I'egalite, hlm 54-55, dissensus-nya Ranciere tidak pernah berujud dalam 'pure opposition'. Politik demokratis bagi Ranciere bukanlah soal bagaimana menciptakan harmoni di masyarakat (menaklukkan opisisi), bukan soal bagaimana meredam oposisi mengikuti mekanisme kelembagaan yang sudah ada. Politik demokratis bukan soal saling meredam atau memimpikan utopia harmoni. Di mata Ranciere politik muncul saat le tort (le part-sans-part) muncul. Mereka muncul bukan karena perlakukan “injustice". Mengapa? Karena kalau soalnya adalah soal “injustice" tentu sudah ada mekanisme, aturan dan struktur yang akan membantu mengoreksi dan mereparasi ketidakadilan itu. Mereka muncul dan menimbulkan Ia politique karena mereka adalah kaum yang sebelumnya tak pernah dilihat, tak pernah diperhitungkan, tak pernah dianggap ada. 

Sumber: A. Setyo Wibowo, "Menjaga Gairah Emansipasi: GM Membaca Politik dan Seni Jacques Ranciere", dalam Ayu Utami [ed], Membaca Goenawan Mohamad, Jakarta: Penerbit KPG, 2022 h. 432-444).


0 komentar:

Posting Komentar