alt/text gambar

Senin, 03 Maret 2025

Topik Pilihan: ,

SENI: MEMAHAMI FILSAFAT SENI SUSANNE K. LANGER



Susanne K. Langer (1895-1985)–filsuf wanita kelahiran Amerika–mendefinisikan seni sebagai "kreasi bentuk-bentuk simbolis dari perasaan manusia. Bentuk simbolis yang dilemparkan seniman dalam kreasi seninya itu tidak berasal dari pikirannya, melainkan dari perasaannya, atau lebih tepat dikatakan sebagai formasi pengalaman emosionalnya."

Kalau bentuk simbolis itu berasal dari pikirannya, maka akan dihasilkan suatu 'insight' filosofis, tetapi karena berasal dari perasaan, maka yang dihasilkan adalah 'insight' estetis. 

MEMAHAMI SIMBOL SENI

Simbol seni bukanlah suatu struktur atau konstruksi, melainkan suatu kreasi utuh. Dengan kata lain, simbol seni bukanlah suatu sistem dari simbol-simbol melainkan satu kesatuan simbol. Karena itu kurang tepat apabila seni dianggap sebagai suatu jenis simbolisme. Kalaupun dalam suatu karya seni—misalnya sebuah sajak—terdapat beberapa simbol, namun simbol-simbol itu tidaklah disusun menurut suatu prinsip konstruktif. Simbol-simbol dalam sajak itu mempunyai maknanya masing-masing tanpa perlu menjadi unsur-unsur tunggal dari keutuhan makna sajak itu, karena makna tersebut tidak bersifat struktural. Bahkan kata "makna" itu sendiri tidak tepat untuk diterapkan dalam simbol seni. 

Secara umum dikatakan bahwa hanya suatu susunan mempunyai makna. Suatu ketak-tersusun-an atau ke-tidak-teratur-an tidaklah mempunyai makna. Sebuah kalimat baru mengatakan sesuatu arti jikalau ia tersusun menurut aturan yang benar. Apabila tidak tersusun secara benar, maka kalimat itu tidak mengutarakan suatu arti atau makna. Akan tetapi simbol seni bukanlah suatu susunan,  jadi tak dapat dikatakan teratur atau tidak teratur. Simbol seni adalah satu dan utuh karena itu ia tidak menyampaikan "makna” (meaning) untuk "dimengerti”, melainkan "pesan” (import) untuk ”diresapkan”. Terhadap " makna” orang hanya dapat mengerti atau tidak mengerti, tetapi terhadap "pesan” dari seni orang dapat tersentuh secara lemah dan secara intensif. Di sini terdapat elastisitas yang luas terhadap peresapan "'pesan” seni itu. 

Satu hal yang perlu ditambahkan pada masalah simbol seni ialah bahwa simbol seni sebagai suatu abstraksi merupakan suatu bentuk perkembangan yang rampung (terminal). Simbol seni bukanlah suatu tahapan simbolisasi yang masih menantikan penyempurnaannya dalam pembentukan simbol yang lain. Hal ini menjadi jelas kalau kita membandingkan simbol seni dengan simbol-simbol lain yang digunakan dalam agama primitif. Mitos dalam agama primitif misalnya, menurut Langer adalah jenis simbolisasi yang belum selesai. Ia berada dalam suatu proses ke arah simbolisasi yang penuh, karena dalam mitos masih tercampur unsur-unsur subyektif dan obyektif, perasaan dan kenyataan, unsur fantasi dan rasionalitas, unsur mimpi dan kesadaran. Jadi, mitos belum merepresentasikan sikap simbolis yang tegas dari manusia primitif. Pada seni, simbol itu sudah menunjuk sikap yang tegas, yakni sikap yang tidak mau kompromi dengan rasionalitas. Simbol seni memang tidak dimaksudkan untuk merepresentasikan realitas obyektif atau fakta, melainkan perasaan atau realitas subyektif seniman. Jadi, simbol seni boleh disejajarkan dengan simbol ilmu dalam arti bahwa keduanya merupakan terminal dari perkembangan dua macam simbol yang berbeda: simbol presentasional dan simbol diskursif. 

KONSEPSI SENI SEBAGAI "LIVING FORM''

Karena realitas yang diangkat ke dalam simbol seni bukan realitas obyektif melainkan realitas subyektif, maka bentuk atau forma simbolis yang dihasilkannya mempunyai ciri yang amat khas. Forma simbolis ini adalah forma yang hidup (living form) menurut istilah Langer.
Tentu saja pengertian living form ini mengundang persoalan yang menggelitik, terutama dari sudut pandangan yang sudah terbiasa dengan tradisi neo-positivis. Bagaimana dimungkinkan abstraksi dari perasaan subyektif? Apakah pernah mungkin suatu perasaan itu diproyeksikan menjadi suatu forma atau suatu konsepsi? Apakah perbedaan forma yang hidup dengan forma lainnya yang mengikut pola abstraksi diskursif? Apakah living form dengan demikian tidak bersifat paradoksal? 

Susanne Langer memang sudah cukup siap dengan berbagai persoalan yang akan timbul ini. Ia mengaku bahwa memang terjadi suatu paradoks dalam prinsip-prinsip simbolisasi seni. Akan tetapi, menurutnya, paradoks ini memang merupakan ciri esensial dari simbol seni itu sendiri. Paradoks tak boleh dihindari dengan menaklukkan seni ke dalam wilayah abstraksi semantik. Seni lantas secara gampangan dianggap sebagai suatu jenis bahasa dengan kode-kode lain. Ia juga menolak usaha yang mau mempolarisir seni seperti dilakukan Nietzsche sekedar untuk menghindari paradoks tersebut. (Dalam bukunya Die Geburt der Tragedie aus dem Geiste der Musik (1872), Nietzsche mempertentangkan seni yang bersumber pada rasionalitas yang nampak dalam seni plastis dengan seni yang bersumber pada emosionalitas yang nampak dalam seni musik. Itulah dua kutub seni Yunani kuno yang nampak dalam perayaan besar untuk menghormati kedua dewa seni Apollo dan Dyonisius). 

Mengapa ada anggapan bahwa “perasaan” (feeling) tak dapat diabstraksikan? Menurut Langer hal ini merupakan ekses dari anggapan neo-positivis yang mempertentangkan "'perasaan” (feeling) dan "forma” (form). Perasaan diasosiasikan dengan spontanitas, spontanitas dengan ketidak-teraturan, jadi juga dengan informalitas atau ke-tiada-nya bentuk. Di lain pihak forma dianggap menjadi inti formalitas, keteraturan, represi dari perasaan dan spontanitas, jadi dianggap tidak mengandung perasaan. Menurut Langer anggapan seperti ini merupakan bentuk pemikiran yang tergelincir.

Menurut Langer pengalaman subyektif bisa menjadi isi suatu forma simbolis. Jikalau pengalaman ini adalah suatu perasaan yang kuat, maka pembentukan forma ini akan menunjukkan ekspresivitas yang sedemikian kuat memancar sehingga forma itu seolah-olah hidup. Forma yang hidup ini misalnya paling nampak dalam bentuk dekorasi yang menuruti pola tertentu yang disebut "design”. Pola ini menunjukkan garis-garis secara dinamis, misalnya bentuk yang menunjukkan berombak-ombak”, "bergulung-gulung”, ”melingkar-lingkar” sehingga seolah-olah menampakkan suatu gerakan atau perkembangan.

Tentu saja prinsip 'ke-hidup-an” dari forma simbolis pada seni ini bisa dilihat pada semua jenis kesenian. Tebal-tipisnya cat dan jenis warna mempengaruhi penampilan suatu lukisan, sehingga lukisan itu nampak "hidup”; keras-lemahnya bunyi, halus-kasarnya timbre menurut jenis instrumen dan cepat pelannya irama akan menampilkan "kehidupan” tertentu pula di dalam musik. Jelaslah bahwa perasaan yang dikatakan atau diformulasikan dalam simbol yang logis akan sangat berbeda dengan perasaan yang diungkapkan atau diformulasikan dalam simbol seni. Formulasi simbol logis itu hanya akan membuat orang lain "'mengetahui” perasaan macam apa yang diutarakan, sedang simbol seni membawa orang lain pada pengalaman perasaan itu sendiri, karena simbol seni sungguh-sungguh hidup. 

EKSPRESI DAN PERSENTUHAN SENI

Akhirnya ekspresi merupakan hal yang tak boleh dilupakan dalan memahami simbolisasi seni. Simbol seni itu adalah simbol ekspresif, dan berkat ekspresivitas inilah simbol seni itu nampak hidup. Ekspresi itu bagaikan roh yang menjiwai simbol seni, sehingga simbol seni sungguh-sungguh menghadirkan subyektivitas seniman. Berkat ekspresi, simbol seni tidak tinggal beku dan bisu tetapi berbicara kepada orang lain, pengamat seni. 

Jadi, ekspresi boleh dikata mengundang persentuhan dengan pihak lain. Seni bukanlah suatu imajinasi yang menutup diri, melainkan yang justru membuka diri. Seorang pelukis tidak bermaksud menyimpan lukisan-lukisannya di dalam gudang, tetapi untuk memamerkannya. Seorang penyair tidak ingin membaca syair-syairnya di kamar sendirian, melainkan untuk membacakannya di muka umum atau menerbitkannya. Demikian juga seorang penulis drama ingin mementaskan lakonnya. Arah keluar inilah yang menjadi pokok tujuan ekspresi. Ekspresi menuntut adanya suatu perwujudan material, supaya seni tidak hanya berhenti sebagai imajinasi belaka.

Tetapi dengan persentuhan seni dalam rangka penjelasan mengenai ekspresi di dalam seni, orang harus hati-hati. Langer tentu saja tidak memaksudkannya sebagai suatu bentuk komunikasi berkutub dua, seperti kalau dua orang subyek mengadakan pembicaraan. Ekspresi itu memang menunjukkan arah keluar, tetapi tidak menentukan ke tujuan "tertentu”. Langer pernah menyebutkan bahwa karya seni sering merupakan ekspresi yang spontan dari perasaan, dan dengan itu ditunjukkan juga unsur ketidak-sadaran dalam seni. Seni dengan demikian boleh digolongkan dalam jenis mimpi, karena ciri ilusinya yang tanpa sadar, spontan dan bebas; hanya saja pada seni berkat adanya ekspresi, ilusi itu bisa disaksikan oleh orang lain, sedang pada mimpi tidak. 

Ekspresi seni juga berbeda dengan ungkapan emosional atau perasaan yang menggejala. Ungkapan emosional dapat dilihat langsung pada diri seseorang yang marah, yang sedih atau gembira, baik dari air mukanya maupun dari tingkah lakunya. Ekspresi seni menurut Langer bukanlah ekspresi diri (self-expression). Kalau demikian seni lantas akan berupa kecengengan belaka. Ia tidak akan menawarkan suatu nilai keindahan tetapi justru merangsang emosi orang lain, baik untuk ikut marah, sedih atau gembira, maupun untuk menjadi jengkel terhadapnya. Keistimewaan seni dalam ekspresivitas ini ialah memperhalus ciri komunikasi menjadi suatu persentuhan rasa yang kental, yakni dengan menularkan kesan dan pengalaman subyektif—dalam hal ini kesan dan pengalaman seniman—kepada publik. 

Jadi seni mempunyai nilai edukatif, karena seni menyimpan konsepsi keindahan dan menanamkan konsepsi ini ke dalam perasaan masyarakat. Namun pola pendidikan ini tidak langsung atau terang-terangan. Dengan kehalusan dan ciri simbolisnya yang khas itu, seni mengajak publik untuk mengalami nilai-nilai keindahan yang sudah dihayati si seniman.


(A. Sudiarja, "Susanne K. Langer: Pendekatan Baru dalam Estetika", dalam M. Sastrapratedja [ed], Manusia Multi Dimensional: Sebuah Renungan Filsafat, Jakarta: PT Gramedia, 1983, hlm. 74-81).

Catatan:

Seni itu sangat penting dalam hidup manusia. "Tanpa seni, manusia itu tak utuh," kata Gus Dur.

0 komentar:

Posting Komentar