![]() |
M. Amien Rais |
Oleh: M. Amien Rais
Pada kesempatan ini saya ingin sedikit berkisah tentang pribadi dan keluarga saya. Kemudian tentang latar lingkungan keluarga seperti apa yang telah membesarkan saya. Saya juga akan menyampaikan kesan saya setelah menjadi Ketua PP Muhammadiyah dan citra saya yang lebih sebagai cendekiawan ketimbang ulama. Kemudian saya juga akan mengutarakan obsesi saya dalam membawa Muhammadiyah memasuki abad ke-21, tentang krisis ulama, dan konsep ukhuwah Islamiyah yang harus kita kembangkan.
Saya adalah produk budaya Muhammadiyah. Karena akar saya adalah Muhammadiyah. Saya lahir dan dibesarkan di lingkungan keluarga Muhammadiyah. Ayah saya lulusan Muallimin Muhammadiyah, sedikit banyak ada warna ulama jugalah. Ibu saya lulusan HIK Muhammadiyah (Hogere Inlandsche Kweekschool—Sekolah Menengah Kesejahteraan Keluarga zaman Belanda) Muhammadiyah Batavia. Semacam sekolah guru tingkat atas di Jakarta zaman Batavia dulu. Sebagai lulusan HIK Muhammadiyah, Ibu saya sangat bangga karena kepala sekolahnya Ir. Djuanda. Jadi, dia sering menunjukkan ijazahnya, “Nih, lihat, kepala sekolah saya Pak Djuanda.”
Rumah saya di Kepatihan Solo, satu lingkungan yang sebenarnya waktu dulu dominan dengan Islam “abangan” di mana PNI maupun PKI juga cukup kuat. Jadi, kami yang dari Muhammmadiyah sebenarnya minoritas saja waktu masa kecil saya dulu. Tapi ibu saya itu seorang yang, dalam tanda petik, sangat fanatik terhadap Muhammadiyah sehingga warna sikapnya ikut mempengaruhi sikap anak-anaknya.
Hidup adalah Ibadah
Dengan latar keluarga orang tua saya yang merupakan keluarga pendidik, saya tumbuh dan mereguk masa kanak-kanak saya di kampung Kepatihan Kulon. Saya kira lingkungan itu dalam bahasa awamnya Islam Abangan. Walaupun saya tidak suka dengan istilah itu, tetapi sampai tahun 60-an memang ada istilah itu. Ada istilah Santri Putihan dan Santri Abangan.
Tapi di situ ada juga ranting Muhammadiyah Kepatihan, kira-kira ada 32 keluarga dan empat pengajian. Kami juga berhubungan sangat baik dengan semua orang di lingkungan kami tinggal tersebut. Memang di Kelurahan Kepatihan Kulon itu yang aktif adalah Muhammadiyah.
Ayah dan ibu saya sangat moderat dalam hal mendidik. Hanya setelah saya lulus SMA, ibu saya meminta saya melanjutkan sekolah di Al-Azhar, Mesir.
Sementara ayah cenderung ke Gadjah Mada saja. Waktu itu saya diterima di Fakultas Ekonomi dan Fisipol di Gadjah Mada. Lalu saya tanya ayah, mana yang lebih bagus. Beliau hanya mengatakan, terserah. Akhirnya saya ikut-ikutan teman, memilih jurusan sosial politik.
Seiring dengan pertumbuhan usia ternyata tumbuh pula benih cita-cita dalam diri saya. Sejak kecil sebenarnya saya justru tidak punya cita-cita jadi dokter atau apalah istilahnya. Tetapi yang membekas di dalam pertumbuhan kepribadian saya adalah ajaran ibu sejak kecil hingga kuliah di Gadjah Mada, bahwa hidup adalah ibadah.
Saya masih ingat, ibu berkata, “Ingat Mien, berkemah pun ibadah.” Saya mau latihan pencak silat juga beribadah. Jadi, menurut saya semuanya baik, asalkan ingat tujuan hidup. Tidak pernah ada tuntutan macam-macam, walaupun saya tahu keinginan ibu adalah menjadi ulama.
Ibu saya memproyeksikan saya menjadi seorang ulama. Ketika saya masih di SMA, ibu mengharapkan saya bisa sekolah di Al-Azhar, Mesir, agar kalau pulang bisa menjadi ulama.
Cita-cita ibu itu tak pernah saya tolak. Namun, takdir menentukan lain, saya sekolah di Universitas Gadjah Mada, kemudian menjadi ilmuwan politik. Meskipun harapan ibu untuk sekolah di Al-Azhar terpenuhi juga. Saya kan pernah setahun menjadi mahasiswa luar biasa di Departemen Bahasa Universitas Al-Azhar.
Saya menuruti hidup ini apa adanya saja. Saya pernah belajar di madrasah dengan semangat tinggi. Belajar di SMA juga dengan semangat yang sama. Dan jadilah seperti ini. Memang teman-teman mengatakan bahwa citra intelektual lebih kuat daripada kiai pada diri saya. Mungkin itu betul. Dalam hidup, saya tidak ada target untuk menjadi ini, atau menjadi itu.
Anak Muhammadiyah yang Ideal: Intelektual Kial, Kiai Intelektual
Kalau disimak sepintas, sepertinya ada perbedaan harapan antara Bapak dan Ibu saya. Tapi sebetulnya tidak harus berarti bertentangan. Karena Bapak dan Ibu saya sebagai aktivis Muhammadiyah juga selalu mengingatkan (Ayah Amien Rais adalah Ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah Kotamadya Surakarta, sedangkan ibunya penggerak Aisyiyah, red.), dulu Haji Ahmad Dahlan sering berceramah bahwa anak Muhammadiyah yang ideal itu yang menjadi intelektual kyai atau kyai intelektual.
Jadi, alam pikiran orang tua saya yang aktivis Muhammadiyah dan Aisyiyah itu pokoknya anak sekolah di umum asal mereka berusaha mempelajari agama juga. Dalam keyakinan mereka, kita perlu punya wawasan keagamaan yang luas. Tapi sebaliknya, kalau sekolah ilmu-ilmu agama, hendaknya juga baca pengetahuan umum seluas mungkin. Pokoknya punya wawasan seluas mungkin.
***
Arti Kecendekiawanan bagi Amien Rais
Bagi saya sendiri arti kecendekiawanan seseorang itu kembali kepada referensi yang paling saya sukai yaitu al Quran. Nabi Muhammad atau Rasulullah itu kan panutan, baik sebagai cendekiawan, ulama maupun sebagai negarawan, bahkan sebagai bapak rumah tangga. Maka sebagai orang Islam, Muhammad itu adalah sebua khasanah. Teladan hidup yang tiada tandingan.
Di dalam al Quran dikatakan bahwa, Allah itu membangkitkan rasul dari tengah-tengah massa, rakyat yang banyak. Di tengah-tengah massa itu rasul berjuang untuk mendidik mereka, kemudian mengeluarkan dari kegelapan ke terang benderang. Jadi ciri pokok cendekiawan itu adalah komitmen kerakyatan.
Jika cendekiawan itu hanya ingin menjadi kelompok elitis, kemudian berpikir rumah yang besar dan sedan mengkilap, perabotan mewah, tanah yang luas, dan setiap tahun berbelanja ke Paris dan Hongkong itu cendekiawan gadungan. Cendekiawan itu sesungguhnya punya komitmen kerakyatan. Jadi, ada kesederhanaan, komitmen, kejujuran, juga tidak pernah menengadah ke atas tapi melihat ke bawah. Cendekiawan elitis, atau salon, memang ada dalam masyarakat.
Kalau kita melihat ada istilah budayawan, sastrawan, dan seniman, itu kan pengelompokan profesi, bidang kegiatan, dan lain-lain. Saya setuju, bila cendekiawan menyebut dirinya seperti itu akan-terasa angkuh, terasa agak arogan. Tapi, ketika mereka mengelompokkan diri dalam suatu wadah, mereka harus mencari kata-kata yang bisa menjadi simbol untuk mobilisasi tersebut, untuk rekruitmen.
(Amien Rais, Membangun Politik Adiluhung: Membumikan Tauhid Sosial, Menegakkan Amar Ma'ruf Nahi Munkar, Bandung: Penerbit Zaman Wacana Mulia, 1998, hlm. 45-50 dan 119-120)
0 komentar:
Posting Komentar