alt/text gambar

Kamis, 10 April 2025

Topik Pilihan:

MEMBACA, MENULIS, DAN TRADISI


Oleh: Wilson Nadeak


Tiga tonggak kecendekiawanan dalam dunia kepengarangan dapatlah dikatakan: membaca, menulis, dan tradisi. Ketiga tonggak itu menjadi tiang utama yang menjadi ujian ketangguhan seseorang dalam karya kepengarangannya dari waktu ke waktu. Kemampuan untuk menegakkan tiang ini dalam berbagai aspek aktivitas kreativitas menjadi modal utama untuk melahirkan karya-karya yang bermakna bagi penikmat karya intelektual itu. Tiang demi tiang, jika ditegakkan dalam pencarian makna hidup dalam perjalanan waktu, dalam proses yang berkesinambungan dan saling mendukung, akan memberi inspirasi dari sumur kehidupan yang terus mengalir. 

Membaca 

Membaca bukan sekadar keterampilan. Lebih dari itu, membaca adalah sebuah kegiatan kreatif. Saat membaca, seseorang berdialog dengan dirinya sendiri dan hal-hal atau tokoh-tokoh yang terkandung di dalam bacaan, saling mengasah intelek dengan pengarang dalam bayang-bayang rasa ingin tahu, sanggahan, dan menjaring gagasan baru. Dengan membaca kata, frasa, klausa, kalimat, dalam tataran gramatis dan mengandung makna paling awal, tidaklah memadai, masih diperlukan kajian pemikiran di balik kalimat dan dalam kesatuannya dengan paragraf menuju wacana yang lebih luas. 

Seseorang secara intelektual berguru kepada warisan pengarang masa lampau untuk membentuk dunianya pada masa mendatang, dengan ungkapan-ungkapan yang baru sejiwa dengan dengan perkembangan zaman. Membaca adalah kegiatan menafsir makna dari kata yang tidak hanya konvensional, tetapi juga belum terkatakan, sesuatu yang tersirat! Sejumlah tanda-tanda pemahaman diperlukan, sebagai sarana untuk menggali makna yang menginti, nanti yang pada gilirannya melahirkan pemahaman yang baru dan menandai simpul-simpul pemikiran. 

Demikianlah kegiatan membaca, sebagai instrumen pencerdasan kecendekiaan, perlu didukung oleh kesadaran inteligensi dan diskriminasi bahwa bacaan itu sendiri terpilih dari segala segi ideologi dan teknik penulisan, pengungkapan suara kesadaran terdalam dari simpul-simpul ruang kehidupan dan pemikiran. Bacaan dengan kadar rendah tidak akan menumbuhkan kesadaran atas makna kehidupan yang dalam. Sehingga, kegiatan membaca ibarat sumber atau sumur inspirasi yang membuat atau mendorong orang terus merindukan kebaruan makna. Seseorang yang berhenti membaca akan berhenti berpikir, seperti sumur yang kehilangan air.   

Menulis

Ujung dari sebuah pencarian tonggak kecendekiaan adalah menulis. Menulis berarti seseorang menyarikan sesuatu yang dicerna ke dalam sebuah wacana yang terseleksi, dapat dipahami, dan mengandung pemikiran yang menantang. Seorang penulis, yang telah mengayakan diri melalu bacaan yang bermutu dari pengarang masa lalu atau yang sezaman (kontemporer), mungkin pada mulanya dalam pencarian jati diri tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh. Pengaruh-memengaruhi dalam dunia kepenulisan bukanlah sesuatu yang asing atau yang patut ditabukan. Setiap pengarang, yang menuliskan pikirannya, yang menuangkannya ke dalam satu bentuk penulisan (sastra: prosa dn puisi, terikat maupun beba), mungkin sulit melepaskan diri dari pengaruh gaya. Penemuan diri melalui perjalanan waktu akan diperoleh. Gaya, diksi akan tumbuh dari dalam, selaras dengan kekayaan kosakata. Pengayaan kosa kata tentulah melalui proses penulisan yang berkesinambungan sehingga secara evolusioner dapat melepaskan diri dari pengaruh pengarang yang dikagumi. 

Agak aneh, ketika seorang penulis muda memberi kesaksian bahwa ia menulis karena dorongan emosi dan keterharuan yang dirasakannya, tanpa mengalami proses pembacaan. Penulis itu dengan terus terang, mengaku bahwa ia jarang membaca karya pengarang sebelumnya. Bahkan, ia tidak mengingat nama pengarang dan karyanya. Ia mengarang semata-mata karena dorongan perasaan yang kuat. Penulis seperti ini baru sampai pada sebuah sisi dari kepengarangan, tanpa tonggak stamina dan kecendekiaan berpikir dengan menyaring dan menimba gagasan dari pendahulunya sehingga apabila dorongan emosi dan keharuan itu pada saatnya berhenti, maka berhentilah ia menulis. 

Sekali lagi, menulis adalah sebuah kegiatan kreativitas pengungkapan diri, pencarian ide yang autentik dengan pengungkapan yang autentik, dari simpul-simpul penemuan para pendahulu, yang telah teruji oleh waktu. Dan dalam hal ini, tema tetap universal, sekadar contoh nyaris semua pengarang dari zaman mana pun tertarik dengan tema cinta, namun dalam pengungkapan yang berbeda, dan unik. 

Tradisi 

Tradisi lahir dari ujian waktu. Tradisi yang berhasil melewati terpaan waktu menjadi tonggak lahirnya tradisi-tradisi baru karena tradisi yang kaku cenderung akan membeku dan ditinggalkan yang baru, dinamis akan mucul dan menciptakan tradisi baru. Akan tetapi, tradisi kepengarangan pengarang-pengarang Indonesia seperti perjalanan yang tidak kunjung usai. Sesaat, sejumlah penulis muda muncul dan berteduh (menjadi epigon atau model?) di bawah bayang-bayang pengarang sebelumnya, dan kemudian seperti butir air dari tetesan embun di atas daun, menghilang waktu matahari menguak pagi. Sebagian pengarang sekarang asyik menulis “di udara” (karena kemajuan teknologi) seperti Rosihan Anwar yang pernah menulis “di air” dalam bentuk karya yang paling mudah dilakukan, yakni “syair” sehingga banyak yang tiba-tiba menjadi penyair! “penyair” global lagi, atau menurut istilah Remi Silado “penyair” global dengan impian yang holistik.  

Sejarah kebersastraan kita masih terlalu sederhana dalam istilah “klasik” alias kuno, karena yang modern belum ada yang menjelma menjadi “klasik” dalam segi kualitas, lalu tiba-iba kita menemukan diri dalam wacana “posmo’. Kita masih bertutur dalam pembagian “Pujangga Lama”, “Pujangga Baru”, dan “Pujangga Modern” tanpa melahirkan “isme” yang menjadi ciri khas dari sebuah generasi bersastra. Tampaknya, tanpa tradisi, predikat “pengarang” sudah memenuhi hasrat berekspresi, tanpa peninggalan jejak yang bermakna. Chairil Anwar telah meninggalkan “jejak” dalam dunia kepenyairan kita, Armiyn Pane telah menapaki kemodernan dengan Belenggu-nya dalam prosa, dan Achdiat Kartamihardja menorehkan jejaknya lewat Atheis atau Idrus dalam pencerpenan Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma dengan benih-benih isme yang tidak sekadar berwacana. Namun, siapa yang meneruskan tradisi bersastra kita dalam pengertian dan kesadaran yang sedalam-dalamnya?

WILSON NADEAK, Budayawan. Tinggal di Bandung


Sumber: Kompas, 10 April 2005

0 komentar:

Posting Komentar