alt/text gambar

Kamis, 10 April 2025

Topik Pilihan: , ,

Filsafat sebagai Ilmu Kritis

Franz Magnis-Suseno


Oleh: Franz Magnis-Suseno


Filsafat sering difitnah sebagai sekularistik, ateis dan anarkis karena suka menyobek selubung-selubung ideologis pelbagai kepentingan duniawi, termasuk yang tersembunyi dalam pakaian yang alim. Ia tidak sopan. Ia bagaikan anjing yang menggonggong, mengganggu dan menggigit. Filsafat harus demikian karena ia secara hakiki adalah ilmu kritis. Memperlihatkan sifat kritis filsafat itu adalah maksud karangan ini.[1]

1. Filsuf dan minat politik 

Ada gejala yang cukup mencolok: hampir semua filsuf besar di Barat sangat berminat akan politik. Dari Herakleitos yang menyebutkan perang sebagai bapak dari segala-galanya sampai Andre Glucksman yang mendukung penempatan roket Pershing II di Republik Federal Jerman, kebanyakan mereka mengambil sikap-sikap yang secara politis relevan. 

Saya mau menyebutkan beberapa nama saja. Platon mengembangkan filsafatnya tentang idea-idea antara lain karena ia prihatin dengan keadaan politik di Athena: Idea-idea itu diharapkannya dapat menjadi tolok-ukur bagi suatu tatanan politik yang "adil” atau "selaras”. 

Etika Aristoteles sampai sekarang termasuk pelajaran dasar teori politik di banyak universitas di Jerman. Bukunya Etika Nikomacheia dan Politik merupakan buku klasik filsafat dan sosiologi politik dan bersama dengan "Politeia” Platon merupakan dua paradigma fundamental pendekatan "politis (Aristoteles juga merupakan salah satu argumen yang paling kuat melawan gambaran dangkal bahwa hanya keterlibatan dalam praksis dapat menghasilkan filsafat yang bermutu dan bermakna bagi praksis: Walaupun Aristoteles menjadi pendidik Iskandar Agung dan kemudian dari Athena dapat menyaksikan muridnya mendirikan salah satu kerajaan terbesar yang pernah ada di bumi kita ini, namun perkembangan politik itu tidak meninggalkan jejak apa pun dalam filsafat politik Aristoteles: ia berfilsafat seakan-akan tidak ada bentuk lain daripada polis, negara kota Yunani). 

Aliran Stoa sarat dengan implikasi politis (misalnya melalui paham hukum kodrat) dan beberapa dari antara tokoh-tokoh Stoa, seperti Cicero, Seneca dan Marcus Aurelius juga berperan dalam politik praktis. Traktat teologis-filosofis Augustinus ”De Civitate Dei” tidak mungkin ditulis tanpa latar belakang tentara buas suku Vandal yang dari Spanyol mengancam Afrika Utara (dan setahun sesudah wafat Augustinus berhasil merebutnya). 

Karya kecil Thomas Aguinas De regimine principum termasuk salah satu uraian etika politik yang paling tajam yang sampai hari ini ditulis; diskusinya apakah seorang penguasa yang menyalahgunakan kedudukannya demi kepentingan sendiri boleh dibunuh langsung oleh rakyatnya atau harus dicopot dari kedudukannya dan diadili, 700 tahun kemudian masih menjadi bahan pertimbangan bagi beberapa dari mereka yang akan mencoba untuk membunuh Adolf Hitler pada tanggal 20 Juli 1944. 

Dari 27 nama yang disebut dalam daftar isi buku Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern karangan Harry Hamersma[2] delapan harus disebut "filsuf politik” entah karena sumbangan mereka terutama terletak di bidang filsafat politik, entah karena mereka memberikan sumbangan hakiki bagi pemikiran falsafi tentang politik, seperti misalnya Immanuel Kant yang dalam tulisannya "Zum ewigen Frieden" membicarakan perlunya diciptakan suatu pemerintahan dunia (tujuh filsuf lainnya ialah: Locke, Rousseau, Fichte, Hegel, Comte, Marx dan Spencer). 

Sekurang-kurangnya sembilan filsuf lagi (Spinoza, Leibniz, Hume, Schelling, Feuerbach, Nietzsche, Sartre, dan Russel) mengembangkan pikiran-pikiran yang relevan bagi bidang politik. Padahal, Hamersma tidak menyebutkan filsuf-filsuf seperti Hobbes, John Stuart Mill atau mereka yang beraliran Marxis seperti Lukacs, Adorno, Marcuse, Horkheimer dan Habermas, atau filsuf-filsuf etika sejak tahun 60-an abad ini seperti Rawls atau Nozik. Rasionalisme Kritis Karl Popper dan Hans Albert dipergunakan oleh sayap kanan dalam Partai Sosial-demokrat Jerman untuk melawan sayap kiri. 

Mereka yang tidak saya masukkan di sini, seperti misalnya Pascal atau Heidegger, juga tidak tanpa sentuhan dengan dimensi politik: sikap dan filsafat mereka pun kadang-kadang terkena kritik dari sudut keyakinan politik. Aliran-aliran modern seperti Neokantianisme, Positivisme Logis dan Eksistensialisme juga mempunyai dampak dalam dimensi politik. 


2. Apa kerja filsafat? 

Tinjauan itu tadi bermaksud untuk menunjukkan bahwa berfilsafat, jadi bergulat dengan masalah-masalah dasar manusia, seakan-akan dengan sendirinya membawa sang filsuf ke pertanyaan tentang tatanan masyarakat sebagai keseluruhan. Itulah bidang politik. Dan di situ filsafat biasanya muncul sebagai kritik. 

Akan tetapi kita tidak boleh mempersempit pandangan tentang filsafat. Bahwa filsafat selalu tertarik pada kritik politik tidak berarti bahwa ia terbatas padanya. Filsafat justru cenderung dan diharapkan cenderung mempertanyakan apa saja secara kritis, jadi seluruh realitas, bukan hanya politik. Maka untuk menggali kecenderungan dasar filsafat itu kita sekarang bertanya: Apa sebenarnya kerja filsafat? 

Saya tidak berminat memberikan suatu definisi tentang hakikat filsafat. Salah satu kesibukan para filsuf ialah bertengkar tentang apa itu filsafat, di mana segala macam keyakinan dikemukakan dengan gigih, termasuk pendapat bahwa tidak ada filsafat. Saya bertolak dari pengandaian bahwa filsafat de facto dilakukan dalam masyarakat. 

Bagi saya, kenyataan itu memuat petunjuk bahwa pada hakikatnya filsafat pun membantu masyarakat dalam memecahkan masalah-masalah kehidupan. Kalau tidak, untuk apa masyarakat membiayainya (mengingat filsuf tidak dapat hidup dari ilmunya)? Jadi bantuan apa yang dapat diberikan oleh filsafat kepada hidup masyarakat? 

Ilmu-ilmu pengetahuan pada umumnya membantu manusia dalam mengorientasikan diri dalam dunia. Berbeda dari binatang, manusia tidak dapat menyerahkan pengemudian kelakuannya pada perangkat instingtualnya, karena perangkat itu tidak spesifik, terbuka dan bagaimanapun juga sangat lemah. Untuk mengatasi masalah-masalahnya, manusia membutuhkan orientasi yang sadar, ia harus mengetahui lingkungannya. Ilmu-ilmu mensistematisasikan apa yang diketahui manusia dan mengorganisasikan proses pencahariannya. 

Tetapi ilmu-ilmu pengetahuan itu semua, seperti ilmu pasti, fisika, kimia, fisiologi, sosiologi, atau ekonomi secara hakiki terbatas sifatnya. Untuk menghasilkan pengetahuan yang setepat mungkin, semua ilmu membatasi diri pada tujuan atau bidang tertentu. Untuk meneliti bidang itu secara optimal, ilmu-ilmu semakin mengkhususkan metode-metode mereka, dan justru karena itu ilmu-ilmu khusus tidak memiliki sarana teoretis untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang di luar perspektif pendekatan khusus masing-masing. 

Dengan demikian ilmu-ilmu khusus tidak menggarap pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut manusia sebagai keseluruhan, sebagai suatu kesatuan yang dinamis. Padahal pertanyaan-pertanyaan itu terus menerus dikemukakan manusia dan sangat penting bagi praksis kehidupannya, seperti: Apa arti dan tujuan hidup saya? Apa yang menjadi kewajiban saya yang mutlak, tanggungjawab saya sebagai manusia? Bagaimana saya harus hidup agar menjadi baik sebagai manusia? Apa arti dan implikasi martabat saya dan martabat orang lain sebagai manusia? Dan apa arti transendensi yang saya rasakan dalam diri saya? Begitu pula pertanyaan tentang dasar pengetahuan kita, tentang nilai-nilai yang kita junjung tinggi, tentang keadilan, tetapi juga tentang fungsi ilmu-ilmu pengetahuan khusus, tentang metode-metode ilmu-ilmu itu dan lain sebagainya. 

Pertanyaan-pertanyaan itu semua (kecuali barangkali yang tentang metode-metode ilmu pengetahuan) mempunyai kebersamaan bahwa mereka di satu pihak dianggap "tidak ilmiah”, artinya, ilmu-ilmu khusus tidak mampu untuk menanganinya, di lain pihak jawaban-jawaban yang diberikan secara mendalam mempengaruhi penentuan orientasi dasar kehidupan manusia. 

Justru karena pertanyaan-pertanyaan itu begitu penting, maka manusia berkepentingan agar pertanyaan-pertanyaan itu pun ditangani secara rasional dan bertanggungjawab, sebagaimana menjadi fungsi ilmu-ilmu pengetahuan pada umumnya untuk menangani masalah-masalah teoretis yang dihadapi manusia secara rasional dan bertanggungjawab. Justru itulah fungsi filsafat dalam usaha umat manusia untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya. 

Filsafat dapat dipandang sebagai usaha manusia untuk menangani pertanyaan-pertanyaan fundamental tersebut secara bertanggungjawab. Tanpa usaha ilmiah itu, pertanyaan-pertanyaan itu hanya akan dijawab secara spontan dan dengan demikian senantiasa ada bahaya bahwa jawaban-jawaban didistorsikan oleh selera subjektif, segala macam rasionalisasi dan kepentingan ideologis. 


3. Filsafat mencari jawaban 

Usaha filsafat ini dengan sendirinya mempunyai dua arah: Filsafat harus mengkritik jawaban-jawaban yang tidak memadai. Dan filsafat harus ikut mencari jawaban yang benar. 

Bahwa filsafat juga harus mencari jawaban perlu ditegaskan berhadapan dengan suatu trend modis masa kini, seakan-akan tugas filsafat terbatas pada menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang betul. Seakan-akan bukan tugasnya untuk mencoba memberikan jawaban. ”Kerendahan hati” ini tidak hanya defaitistik melainkan kurang sedap dan berbau ideologis karena tentu saja setiap filsuf bagaimana pun juga mesti mempunyai pandangannya sendiri yang kalau tidak dikemukakan dengan terus terang, diimunisasikan terhadap kritik. 

Jadi filsafat tidak dapat cuci tangan terhadap jawaban-jawabannya. Seperti kata Robert Spaemann: ”Yang baik tidak dapat terletak dalam pertanyaan sendiri, melainkan harus dalam jawaban. Itu sudah menjadi pernyataan Platon. Dialektika, kebiasaan untuk mempersoalkan segala apa secara kritis, terutama dilakukan oleh orang muda. Tetapi kita harus berhati-hati karena apabila hasil usaha itu hanyalah puing-puing maka usaha itu percuma belaka. 

Lalu datanglah sang tiran yang membersihkan puing-puing itu, dan di mana sebelumnya ada banyak rumah kecil, di situ tiran itu mendirikan sebuah penjara yang besar.” Dan Spaemann melanjutkan: "Dari segi itu filsafat kelihatan sebagai hasil tahap puber yang belum diatasi karena skepsis radikal adala khasnya bagi tahap itu seperti dogmatisme fanatik.”[3]

Yang harus membedakan jawaban-jawaban filsafat dari jawaban-jawaban spontan ialah bahwa mereka harus dapat dipertanggungjawabkan secara rasional. Pertanggungjawaban rasional pada hakikatnya berarti bahwa setiap langkah harus terbuka terhadap segala pertanyaan dan sangkalan dan harus dipertahankan secara argumentatif, dengan argumen-argumen yang objektif, artinya yanga dapat dimengerti secara intersubjektif. 


4. Filsafat sebagai ilmu kritis 

Dengan demikian sikap kritis terhadap dirinya sendiri termasuk hakikat filsafat. Filsafat memang harus mencari jawaban-jawaban, tetapi jawaban-jawaban tidak pernah abadi. Karena itu filsafat tak pernah selesai dan tak pernah sampai pada akhir sebuah masalah. Apa yang sering dianggap sebagai kelemahan, yaitu bahwa filsafat dalam abad ke-20 ini masih sibuk dengan problem-problem sama seperti yang sudah dipersoalkan 2500 tahun yang lalu ternyata membuktikan bahwa filsafat tetap setia pada ”metodenya” sendiri. 

Masalah-masalah filsafat tidak pernah dapat selesai, justru karena bersifat filsafat. Masalah-masalah filsafat adalah masalah manusia sebagai manusia, dan karena manusia di satu pihak tetap manusia, tetapi di lain pihak berkembang dan berubah, masalah-masalah baru filsafat adalah masalah-masalah lama manusia. Dalam hal ini secara prinsipiil pemilihan metode tidak penting—asal metode yang dipilih dipertanggungjawabkan dan terbuka bagi kritik. 

Pemutlakan satu metode akan merupakan kematian filsafat sebagai ilmu kritis karena akan mentabukan pertanyaan-pertanyaan yang tidak lewat sensor metode itu. Begitu pula tidak perlu diputuskan apakah filsafat harus lebih dilihat sebagai "ilmu pengetahuan sekunder” atau metascience sebagaimana menjadi metode dalam filsafat Anglosaksonian selama 60 tahun pertama abad ini, atau menjadi "ajaran kebijaksanaan” sebagaimana menjadi tradisi dominan di Eropa kontinental sejak zaman Yunani—asal filsafat itu tetap menantang dan ditantang, menuntut pertanggung jawaban dan dituntut untuk mempertanggungjawabkan diri sendiri mengusahakan pendalaman suatu permasalahan, menggali dasar-dasar masalah yang menjadi kesibukannya, termasuk usahanya sendiri.

Dengan demikian filsafat adalah seni kritik. Bukan seakan-akan ia membatasi diri pada destruksi, atau seakan-akan takut untuk membawa pandangan positifnya sendiri. Melainkan kritis dalam arti bahwa filsafat tidak pernah puas diri, tidak pernah membiarkan sesuatu sebagai sudah selesai, tidak pernah memotong perbincangan, selalu bersedia, bahkan senang, untuk membuka kembali perdebatan, selalu dan secara hakiki bersifat dialektis dalam arti bahwa setiap kebenaran menjadi lebih benar dengan setiap putaran tesis—antitesis dan antitesisnya antitesis. 

Filsafat bersifat kritis juga apabila ia membangun suatu gedung teoretis, seperti misalnya diperlihatkan dengan begitu mengasyikkan oleh Hegel, filsuf pembangun sistem terbesar yang sekaligus berhasil untuk merumuskan sifat dialektis yang hakiki bagi segenap filsafat sejati. Filsafat secara hakiki memerlukan dan menyenangi debat (dan di sini terletak perbedaannya dengan ajaran kebijaksanaan seorang ”guru”: filsafat adalah usaha ratio manusia dan karena itu sikap-sikap semi-religius tidak pada tempatnya di dalamnya, dan dalam merentangkan diri pada masalah-masalah yang paling dasar pun filsafat masih senang bertengkar, bercorak nakal, duniawi dan sering sinis). 


5. Filsafat sebagai kritik ideologi 

Sifat kritis itulah yang membuat filsafat menjadi sarana kritik ideologi par excellence. Tanpa memasuki debat tentang definisi kata ideologi[4] saya sekedar merumuskan dalam arti apa saya memakai kata itu dalam tulisan ini. 

Dengan “ideologi” saya maksud di sini suatu teori menyeluruh tentang makna hidup dan/atau nilai-nilai daripadanya ditarik kesimpulan-kesimpulan mutlak tentang bagaimana manusia harus hidup dan/atau bertindak. Ciri khas sebuah ideologi ialah bahwa selalu dimuat tuntutan-tuntutan mutlak yang tidak boleh dipersoalkan. 

Biasanya suatu ideologi sekaligus menunjukkan pihak yang berhak untuk menjaga kemurniannya.[5] Yang menjadi kain merah ideologi yang menantang filsafat ialah kemutlakan yang melekat pada tuntutannya. Ideologi menuntut sesuatu yang tidak boleh dipertanyakan. Padahal, filsafat secara hakiki menuntut pertanggungjawaban. Maka terhadap segala bentuk ideologi filsafat merupakan ilmu yang tidak sopan, yang tidak mau menunjukkan hormat. 

Filsafat sering difitnah sebagai sekularistik, ateis dan anarkis karena suka menyobek selubung-selubung ideologis pelbagai kepentingan duniawi yang dengan demikian ditelanjangi sebagai dewa-dewa bikinan manusia atau karena membuka penyelewengan ideologis agama. Filsafat adalah bagaikan anjing yang tidak membiarkan sistem-sistem normatif yang sudah mapan menjadi tempat istirahat bagi kepentingan-kepentingan ideologis. Filsafat menggonggong, mengganggu, dan menggigit. 

Objek pertama kritik ideologi filsafat adalah filsafat sendiri. Filsafat sendiri selalu berada dalam bahaya untuk dipergunakan secara ideologis. Terutama perlu ditelanjangi semua strategi imunisasi yang mau meluputkan filsafat dari pemeriksaan kritis. Di situ termasuk misalnya pendapat Positivisme Logis bahwa masalah makna bukanlah masalah rasional. Atau kecondongan filsafat, seperti diketemukan pada Hegel, untuk mencaplok semua pemikiran alternatif sebagai jalan atau "moment” yang justru mendukung kebenaran posisinya sendiri. 

Salah satu strategi imunisasi yang paling buruk tidak jarang dipakai dalam kalangan Marxisme, yaitu untuk mengelak dari pertanyaan tentang kebenaran suatu posisi dengan mempersoalkan keanggotaan kelas pihak yang mengajukannya. Lawan bicara dimasukkan ke dalam salah satu kategori kelas, misalnya kelas borjuis kecil, kemudian pikirannya dicap sebagai khas borjuis kecil, dan dengan demikian tidak perlu dipersoalkan pertanyaan apakah pikiran itu benar atau salah. 

Pada umumnya kecondongan dalam filsafat abad ini untuk mengelak dari pertanyaan tentang kebenaran—kata kebenaran pun dihindari—merupakan usaha imunisasi yang buruk. Dari seorang filsuf harus dituntut, bahwa pandangannya dikemukakan, dan seperlunya dipertanggungjawabkannya, sebagai benar—hal mana dengan sendirinya memuat claim bahwa semua posisi yang secara logis bertentangan dengan pandangannya itu salah. Menghilangkan claim kebenaran berarti menyerahkan pemikiran filosofis pada Beliebigkeit, menjadi lamunan yang seenaknya dikemukakan dan tak perlu dibela dengan argumentasi hal mana dengan sendirinya membuka pintu bagi manipulasi ideologis. 


6. Filsafat politik 

Sesudah bicara tentang fungsi filsafat pada umumnya, saya sekarang mau bicara tentang filsafat sosial, di mana saya membatasi diri pada filsafat politik, filsafat yang mengenai masyarakat sebagai keseluruhan. Secara singkat—dan tanpa pendasaran lebih lanjut—dapat dikatakan, bahwa masalah utama filsafat politik adalah masalah legitimasi, legitimasi dalam arti etis. Terhadap dua lembaga dimensi politis manusia—hukum sebagai lembaga normatif penataan masyarakat, dan kekuasaan politis atau negara sebagai lembaga penataan masyarakat efektif—filsafat mengajukan tuntutan legitimasi. 

Terhadap hukum pada hakikatnya diajukan tuntutan bahwa hukum harus adil, terhadap kekuasaan dituntut baik legitimasi materialnya: untuk apa kekuasaan boleh dipakai? maupun legitimasi subjek kekuasaan: pihak mana, dan berdasarkan apa, boleh memegang kekuasaan? Apa fungsi filsafat politik semacam itu? 

Saya ingin merumuskan pertanyaan itu dengan sedikit tendensius, yaitu: Apakah filsafat politik sekedar merumuskan tuntutan moralistik dari luar dengan sekaligus membiarkan masyarakat berkembang menurut dinamikanya sendiri? Atau filsafat politik menjadi peserta dalam pergumulan masyarakat itu? 

Pertanyaan ini tendensius karena menimbulkan kesan bahwa filsafat, kalau hanya mengemukakan apa yang dianggapnya benar, jadi tanpa pergumulan praktis (apa pun artinya), adalah kurang relevan. Dan dengan demikian pertanyaan ini sebenarnya sudah merupakan langkah pertama ke pengkhianatan diri akal budi. 

Kalau kita mulai dengan mempertanyakan apakah perumusan suatu kebenaran, entah kebenaran kognitif, entah kebenaran normatif, akan mempunyai dampak, bagaimana kedudukannya dalam proses kehidupan masyarakat, apa fungsinya dan sebagainya, maka kita sudah menyetujui bahwa yang benar, tepat dan adil pada dirinya sendiri tidak cukup bernilai untuk dikumandangkan entah berguna entah tidak. 

Dengan demikian kita menjadi oportunis intelektual, pelayan akal budi instrumental, kita mempergantungkan maklumat kebenaran pada pertimbangan oportunistik, manfaat, pengaruh, situasi dan sebagainya. Kebenaran adalah pantas untuk selalu disuarakan. Kalau kebenaran itu memang tidak benar, atau trivial, atau merupakan eskepisme dari pergumulan dengan masalah yang sebenarnya harus digumuli, hendaknya hal ini dikemukakan dalam perdebatan diskursif.

Akan tetapi, sesudah hal itu dikatakan, perlu dikatakan juga bahwa filsafat politik, justru kalau tidak tunduk terhadap tekanan-tekanan ke arah oportunisme, tidak tanpa dampak pada usaha pembangunan masyarakat. Filsafat politik pada hakikatnya menuntut agar segala claim atas hak untuk menata masyarakat dipertanggungjawabkan. 

Dengan demikian tersobeklah tabir kepolosan ideologis. Claim-claim legitimasi segala macam kekuatan, entah bersifat kekuasaan langsung, entah bersembunyi di belakang pembenaran-pembenaran normatif, dipaksa untuk membenarkan diri. Filsafat politik mendestruksikan afirmativitas yang tidak dipertanyakan, mendongkel claim-claim kekuasaan yang naif, sampai mereka membuktikan diri dan dengan demikian menjadi refleksif dan terbuka terhadap kritik, atau memang ditelanjangi sebagai layar asap ideologis bagi kepentingan-kepentingan khusus. 

Jadi adanya filsafat politik berarti adanya suatu kenyataan dalam kehidupan masyarakat yang tidak membiarkan segala macam claim wewenang dan kekuasaan menjadi mapan begitu saja. Tantangan itu memaksa kekuatan-kekuatan itu untuk membenarkan diri, untuk membatasi diri pada bidang wewenangnya yang sebenarnya, untuk menunjukkan fungsinya demi kehidupan dan kesejahteraan masyarakat. 

Filsafat politik meningkatkan tekanan agar kekuasaan-kekuasaan politik mencari legitimasi dan mempersulit merajalelanya legitimasi-legitimasi yang ideologis. Dengan demikian filsafat politik merupakan ragi dalam adonan masyarakat yang mendesak terus-menerus agar segala usaha pembangunan dihadapkan pada tuntutan legitimasi normatif dan demokratis. 


Penutup 

Sebagai penutup perkenankan saya ucapkan suatu harapan. Saya mengharapkan bahwa filsafat di Indonesia tidak berhenti pada uraian tipe pengantar, aforisme sana sini dan lontaran omongan santai. Saya mengharapkan suatu usaha falsafi yang serius dan argumentatif, yang kritis, mendalam dan mendasar (grundlich), yang tidak malas untuk menjalani die Anstrengung des Begriffs, ketekadan untuk memahami pemikiran para filsuf besar betapa pun beratnya. Saya mengharapkan kekuatan bernafas panjang dalam keberanian spekulatif karena tanpa filsafat semacam itu peta bumi ilmu pengetahuan di negara kita abu-abu belaka warnanya. 


Catatan-catatan: 


1. Karangan ini merupakan perpendekan prasaran yang saya berikan dalam seminar "Refleksi atas situasi sosiologi di Indonesia”, menyambut HUT Penerbit PT Gramedia pada tanggal 2 Oktober 1984. Kemudian ia dimuat juga dalam Harian Kompas

2. Harry Hamersma, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern, Jakarta: Gramedia, 1983. 

3. Dalam Baumgartner dst.: Philosophie—Geselleschaft—Planung, Munchen: Bayerisches Staatsinstitut fur Hochschulforschung und Hochschulplanung 1973, hlm. 96 dan 97. 

4. Dapat dilihat dalam karangan nr. 14 jilid ini. 

5. Dapat ditambah bahwa definisi ini menjamin bahwa agama dengan kepercayaan dan norma-normanya bagi kehidupan penganutnya tidak dengan sendirinya termasuk definisi ideologi itu [walaupun agama dapat menjadi ideologi] karena agama (kecuali menjadi ideologis) hanya memutlakkan sikap-sikap dasar, baik terhadap Tuhan, maupun terhadap sesama, maupun terhadap agama itu sendiri, sedangkan tuntutan-tuntutannya yang konkret [kewajiban-kewajiban dan larangan-larangan) diajukan tidak dengan mutlak melainkan dengan relatif karena hanya berlaku atas prasyarat (yang biasanya tidak diungkapkan tetapi selalu disadari) "sejauh Allah tidak menghendaki yang lain”. Jadi dalam agama unsur mutlak ada pada Allah dan tidak pernah dapat diatasnamakan secara langsung oleh manusia, maka tidak satupun dari tuntutan-tuntutan konkret suatu agama bersifat mutlak [begitu misalnya menurut ajaran Katolik sendiri wewenang Sri Paus untuk secara definitif dan mutlak memastikan apa yang menjadi iman Katolik tetap hanya wajib diikuti apabila betul-betul dipercayai sebagai wahyu Allah: apabila orang tidak dapat menerima apa yang dirumuskan oleh Paus sebagai iman kepercayaan Katolik, ia tidak berdosa apabila tidak ikut percaya dan seperlunya meninggalkan Gereja; begitu pula menurut ajaran Katolik ajaran wewenang tertinggi mengenai suatu kewajiban moral tetap hanya mengikat secara mutlak sejauh sesuai dengan suara hati yang bersangkutan]. 

Sumber

Franz Magnis-Suseno, Filsafat sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta: Kanisius, 1992, h. 15-25)



0 komentar:

Posting Komentar