alt/text gambar

Minggu, 27 April 2025

Topik Pilihan:

Mereka Harus Punya Keberanian Moral: Tentang Pembekalan dan Citra Legislatif Kita

M. Amien Rais


Oleh: M. Amien Rais


Meskipun kita sudah cukup lama menyaksikan drama itu, kali ini saya akan menyoroti citra legislatif kita. Beberapa waktu yang lalu yang cukup menarik adalah pengangkatan Harmoko sebagai Menteri Negara Urusan Khusus yang bertugas memberikan pembekalan kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat 1997-1998. Ini adalah fenomena kenegaraan yang tergolong aneh. 

Tentu saja ini sebelum Harmoko menjabat sebagai Ketua DPR/MPR RI. Menteri Negara Urusan Khusus adalah lembaga politik baru. Menteri tanpa portfolio memang wajar atau sering. Yang ganjil, Menteri Urusan Khusus ini tanpa sekjen, dirjen, atau deputi. Rasanya seumur-umur, sepanjang 30 tahun Orde Baru, baru sekarang ada Menteri Kabinet yang notabene anggota eksekutif menggembleng atau memberikan pembekalan kepada calon legislatif. 

Lagipula kita sudah lebih dari cukup mendapatkan penataran P4. Kalau anggota DPR masih perlu ditatar atau dibekali-bekali juga, bukankah sama saja dengan menilai inferior para anggota dewan? Seolah-olah ilmu si penatar itu sudah menyamudra, dan kenegarawanannya hebat sekali. 

Menurut saya, anggota dewan sudah tahu apa makna Pancasila, UUD 45, demokrasi, hak dan kewajiban, dan seterusnya. Kita juga sudah sama-sama dewasa, sama-sama terdidik, sama-sama mempunyai pengalaman bernegara di negara yang kita cintai bersama. Jadi, kalau ada pembekalan atau pengarahan, petunjuk, dan semacamnya, bisa saja nanti akan menjadi preseden buruk. 

Hanya saja, kita masih senang membudayakan hal-hal yang memerosotkan citra kita sendiri. Misalnya, di universitas sebelum pemilu diadakan latihan pencoblosan. Mulai dari karyawan sampai dekan dan rektor dilatih menusuk tanda gambar. Ini kan aneh. Ini merugikan citra kita.

Jika pengangkatan Harmoko dan pembekalan dimaksudkan sebagai pengakuan rendahnya kualitas anggota DPR selama ini, juga tidak cukup beralasan. Tidak benar kualitas anggota DPR lemah atau rendah. Karena, sudah seumur-umur DPR memang begitu. Kalau benar kualitas mereka rendah, tidak mungkin juga secara tiba-tiba ada kesadaran untuk memperbaiki mereka, terlebih lagi dengan cara memberi pembekalan semacam itu. Ini misteri yang harus dijadikan pekerjaan rumah para wartawan dan pengamat. 

Bila kualitas mereka memang rendah, itu pun belum tentu disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan mereka. Tingkat pendidikan tidak terlalu mempengaruhi kualitas seseorang. Yang paling penting, punyakah mereka sikap mental yang betul-betul demokratis? Karena seorang yang bergelar profesor doktor yang sangat pintar pun tak akan berarti apa-apa kalau tidak mempunyai sikap mental demokratis, lantas serba takut, serba gamang, ragu-ragu untuk menggunakan hak. Ini adalah soal integritas, kepribadian, dan sikap mental. 

Satu-satunya penjelasan yang paling mungkin adalah, lembaga legislatif kita semakin tidak mampu duduk sama rendah dan tegak sama tinggi dengan eksekutif. Anggota legislatif tersubordinasikan di bawah lembaga eksekutif. Budget DPR juga ditentukan oleh sekretariat negara. Sehingga, untuk menjadi anggota DPR ada “litsus” dan sejenisnya. Secara kelembagaan ternyata anggota DPR itu telah berada di bawah eksekutif. Sekarang kalau kita bicara kualitas, yang harus diusahakan dulu bagaimana lembaga itu harus setara dengan eksekutif sehingga fungsinya itu benar-benar bermakna. 

Ada dua strategi yang bisa dilakukan untuk itu. Pertama, eksekutif jangan terlalu mendominasi lagi, sehingga memberikan kesempatan yang luas kepada DPR untuk melaksanakan fungsi-fungsinya. Kedua, anggota DPR sendiri yang telah dipilih oleh rakyat itu benar-benar mewakili rakyat. Jadi, bukan menjadi wakil eksekutif, bukan wakil pemerintah. Mereka harus mempunyai keberanian moral untuk melakukan koreksi, interpelasi, bertanya, dan lain-lain. Sehingga dengan pelan-pelan wibawa DPR meningkat. 

(M. Amien Rais, Membangun Politik Adiluhung: Membumikan Tauhid Sosial, Menegakkan Amar Ma'ruf Nahi Munkar, Bandung: Penerbit Zaman Wacana Mulia, 1998, hlm. 250-252) 


0 komentar:

Posting Komentar