Oleh: Budhy Munawar-Rachman
“Science is theology for an atheist” ― Munia Khan
Oleh karena masih ramai diskusi tentang sains dalam media sosial dan implikasinya pada pemikiran agama dan filsafat. Saya ingin ikut kontribusi pemikiran dalam hal yang fundamental, yang belum banyak disinggung, yaitu tentang bahasa, atau tepatnya “batas-batas bahasa”. Dalam hal ini, apa perbedaan bahasa agama dan bahasa sains. Perspektif yang akan saya pakai adalah diskursus dalam filsafat bahasa. Saya akan berfilsafat dengan perspektif Ludwig Wittgenstein dan debat yang mengikutinya bersamaan dengan pemikirannya dan setelahnya.
Sedikit tentang Ludwig Wittgenstein
Pada abad 20 ini, hanya sedikit filsuf yang memunyai pengaruh besar dalam bidang studi filsafat, dan sekaligus mempunyai minat yang tinggi terhadap bahasa. Diantara sedikit filsuf itu, Ludwig Wittgenstein (1889-1951) sering dianggap sebagai salah satu tokoh yang terbesar dan kompeten di bidang filsafat bahasa (analytical philosophy). Dalam dialognya dengan Bryan Magee, Anthony Quinton dalam Man of Ideas, 1978, mengungkapkan, “Saya kira tidak ada seorang pun yang akan membantah, bahwa dalam abad ini (abad 20) ada dua filsuf yang sangat berpengaruh besar di negara-negara yang berbahasa Inggris, yakni Bertrand Russell dan Ludwig Wittgenstein.”
Selama hidupnya, Wittgenstein telah mempersembahkan dua buah karya yang bisa disebut sebagai “magnum opus”-nya dan mempunyai pengaruh yang besar dan luas. Kedua buah karya Wittgenstein adalah Tractatus Logico-Philosophicus, 1921, dan Philosophical Investigations, 1953. Meskipun kedua buku ini sama-sama karya Wittgenstein, tetapi keduanya justru mempunyai corak pandangan filosofis yang sangat berbeda. Sehingga, sudah merupakan suatu kebiasaan untuk menyebut “Wittgenstein I”, sebagai representasi atas buku Tractatus Logico-Philosophicus, dan “Wittgenstein II”, sebagai representasi buku Philosophical Investigations, tatkala membicarakan pemikirannya.
Adanya corak pandangan filosofis yang berbeda, ternyata telah menjadi sumber inspirasi bagi dua aliran filsafat yang berkembang di Inggris, yaitu Lingkungan Wina yang mewadahi kecenderungan “positivisme-logis” atau “empirisme-logis”, dan kecenderungan filsafat bahasa (analytical philosophy).
Ketika kita memasuki pembahasan tema filsafat analitik (analytical philosophy), maka tugas filsafat analitik, kata Wittgenstein adalah membersihkan seluruh epistemologi dari ungkapan yang “bagus-bagus,” tetapi kabur pengertiannya dari sudut pandang akal-sehat. Inilah yang disebutnya sebagai kritik bahasa. Misalnya, apa yang dimaksud dengan kata “sains” dan “agama atau moral” dalam khazanah ilmu pengetahuan? Selanjutnya, apa referensi faktualnya? Problem yang ditekankan Wittgenstein dalam seluruh isi buku yang sangat terkenal, Tractatus Logico Philosophicus ini adalah problem the limits of language (“batas-batas bahasa”).
Tesis utama buku Tractatus adalah: setiap hal yang dipikirkan, harus dapat pula diucapkan. Jika kita berbicara tentang bahasa sebagai ekspresi pengucapan pikiran, maka pembatasan bahasa berarti juga pembatasan pikiran. Dengan cara pandang ini, Wittgenstein membuat suatu teori yang ia sebut sebagai picture theory(“teori gambar”). Sebuah teori yang berasal atau mengaktualkan pandangan-pandangan Bertrand Russell. Secara definitif, teori gambar adalah suatu pandangan yang menganggap adanya hubungan mutlak antara bahasa dengan realitasatau dunia fakta, yang bisa ditelusuri melalui bagian yang paling elementer, baik dari bahasa maupun dari realitas. Atau dalam istilah epistemologi, “korespondensi” antara proposisi dan “kedudukan faktual” (state of affairs). Sehingga, dengan cara demikian, bahasa dapat menjadi alat yang dapat menggambarkan realitas dunia fakta. Proposisi, unit terkecil dari Bahasa, adalah gambaran dari suatu realitas faktual (misalnya, proposisi: “Ia sedang berdo’a,” sedang faktanya ia betul memang sedang berdo’a, maka inilah korespondensi).
Kalau kita mampu memahami hakikat proposisi, berarti kita juga bisa mengetahui, mengecek, dan kemudian melakukan “verifikasi”, yaitu pembuktian kebenaran faktual suatu proposisi atas suatu peristiwa atau keadaan faktual yang dihadirkan proposisi itu. Dengan cara serupa, kita juga bisa melakukan, meminjam istilah Karl Popper, “falsifikasi,” yakni pembuktian salah. Sehingga, kita akan lebih mudah memahami arti proposisi tersebut, dengan cara memverifikasi atau memfalsifikasinya, tanpa harus susah-payah menjelaskan lagi pengertian yang ada di dalam proposisi itu (bandingkan dengan kategori-kategori metafisika yang sulit diverifikasi atau difalsifikasi).
Apa yang menarik dari pandangan Wittgenstein ini adalah the limits of my language mean the limits of my world (Tractatus, No. 5.61). Yakni, batas-batas bahasa adalah juga batas-batas pikiran kita. Jadi, yang tidak bisa dikatakan dengan Bahasa, karena tidak ada keadaan faktualnya, maka itu pun tidak bisa dipikirkan.
Akibatnya dalam perspektif Wittgenstein bahwa, semua persoalan epistemologi agama dan mistik muncul karena keinginan untuk mengatakan apa yang sebenarnya tidak dapat dikatakan. Siapa pun, kata Wittgenstein, tidak dapat keluar dari bahasa, dan juga tidak dapat keluar dari dunia. Satu-satunya yang ada, yang dapat diutarakan dalam bahasa adalah, “apa yang ada di dunia ini.” Sehingga, seluruh persoalan epistemologi agama dan mistik bersifat “tak bermakna” alias non-sense.Karena, epistemologi ini, ingin mengatakan apa yang sebenarnya tidak bisa dikatakan melalui bahasanya.
Lantas, bagaimana nasib realitas pengalaman kehadiran seperti pengalaman agama atau pengalaman mistik, yang oleh seluruh filsuf agama dan tokoh-tokoh mistisisme, sering dikatakan sebagai inti dari pengalaman keberagamaan?
Tentang pengalaman moral, agama dan mistik ini, kata Wittgenstein dalam kenyataannya tidak pernah bisa ditunjuk secara langsung, karena ia bukan pengalaman inderawi. Apalagi, bahasa mempunyai keterbatasan, yaitu hanya dapat mengungkapkan apa yang menjadi realitas inderawi. Jadi, ada realitas yang bisa diungkapkan dengan kata-kata, dan ada realitas yang tidak dapat diungkapkan. “Terhadap wilayah yang tak dapat diungkapkan” (the unutterable), kata Wittgenstein “perlulah diberikan perlindungan.” Maksudnya, wilayah yang tak dapat diungkapkan dengan bahasa, yakni wilayah pengalaman kehadiran, pengalaman agama, atau mistik adalah wilayah yang sangat penting untuk dimengerti, tetapi paradoksnya adalah hal itu, tidak bisa dikatakan dengan bahasa. Bila dipaksakan, hanya akan berakibat non-sensesaja, mengenainya.
Oleh karena itu, pengalaman moral, agama dan mistik adalah pengalaman yang hanya bisa “ditunjuk”, dan “dialami,” tetapi kita tidak bisa berbicara tentangnya. Karena bahasa kita sendiri terbatas. “Memang ada hal-hal yang tidak dapat dikatakan. Hal-hal itu menunjukkan diri. Itulah yang mistis” (the mystical), kata Wittgenstein. Dalam akhir buku Tractatus Logico-Philosophicus pada proposisi No. 7 dikatakan bahwa, what we cannot speak about, we must pass over in silence (“Tentang yang tak dapat kita katakan, hendaklah kita berdiam diri”).
Masalah epistemologi kita selanjutnya adalah: Apakah dengan demikian pengalaman moral, agama atau mistik itu merupakan pengalaman yang sama sekali subyektif? Saya kira, Wittgenstein periode ini (Wittgenstein I), akan menjawab “ya.”
Semuanya Adalah “Permainan Bahasa”
Setelah terbit buku Philosophical Investigations, 1953, yang kelak akan menginspirasikan munculnya aliran “filsafat analitik” di Inggris pada pertengahan abad 20, Wittgenstein pun menolak pandangan Tractatus Logico Philosophicus, yang selanjutnya malah dipegang teguh oleh kalangan “Positivisme Logis”, bahwa bahasa hanya mempunyai satu fungsi saja, yaitu menyebut fakta. Fungsi “menyebut fakta” ini, terletak pada kesesuaian antara unsur-unsur gambar dengan sesuatu dalam realitas, sehingga proposisi berfungsi sebagai gambar realitas. Mernurut mereka bahasa hanya dapat dirumuskan dalam bahasa logika yang sempurna, misalnya lewat logika modern atau logika simbolik.
Dalam Philosophical Investigationsini, Wittgenstein menunjukkan bahwa bahasa mempunyai beberapa fungsi, di mana katanya, untuk mengerti fungsi bahasa, perhatian harus dialihkan dari “logika dan penyusunan bahasa yang sempurna” tadi, kepada “logika bahasa sehari-hari,” yaitu bahasa common sense. Atau dalam ungkapan lain, perlulah dijauhi kecenderungan analisa bahasa yang telah dirintis oleh Bertrand Russell dan Rudolf Carnap, yang menekankan soal “atomisme logis,” dan beralih kepada pandangan George Moore yang berfilsafat tentang common sense (akal-sehat), di mana ditekankan bahwa arti ekspresi apa saja sangat tergantung pada penggunaan bahasanya, yang kemudian dikenal dengan istilah “meaning is use”.
Sebagaimana diketahui, terutama oleh mereka yang mengamati perkembangan filsafat di Inggris, Russell dan Moore secara bersama-sama menghimpun diri untuk “meruntuhkan” semua doktrin idealisme Inggris yang dipimpin oleh F.H. Bradley di Oxford dan McTaggart di Cambridge, Inggris. Pada Russell dikenal dalam kaitannya dengan pengembangan “logika baru” (“logika simbolik”), yang di kemudian hari akan dianggapnya sebagai “alat yang tajam,” jika dipakai sebagai analisa filsafat (analytical philosophy). Sedangkan Moore, seorang penulis salah satu uraian penting seputar etika, dan dikenal sebagai seorang musuh yang “kejam” dari semua bentuk spekulasi metafisika, memaklumkan kebenaran dari akal sehat yang terefleksikan dalam penggunaan bahasa sehari-hari dari orang biasa, yaitu bahasa orang biasa, atau ordinary language.
Dalam menganalisa bahasa, keduanya, Russell dan Moore, memiliki perbedaan. Russell dalam teorinya tentang data-data inderawi (sense data), berpendapat bahwa pengalaman inderawi itu “sekadar penting” saja. Tetapi, bagi Moore “jauh lebih penting,” karena ia mau mengasaskan filsafatnya pada penggunaan akal sehat dalam bahasa sehari-hari, atau ordinary language. Yang justru menjadi perhatian Moore adalah pertanyaan seperti what is the meaning, bukan seperti Russell, yang menunjuk sesuatu sebagai it is true.
Perhatian Moore pada bahasa sehari-hari, menjadikannya sebagai perintis analisis filsafat yang dikenal kemudian hari sebagai “filsafat analitik”, yang berdasarkan pada bahasa biasa. Sementara Russell, dengan filsafat logika simboliknya, menjadi perintis tradisi, yang beberapa tahun kemudian dikenal dengan “positivisme logis,” dengan tokohnya yang paling kejam terhadap etika dan bahasa agama, Alfred Julius Anyer.
Dan rupanya, tradisi kedua tokoh di atas, diwarisi oleh Wittgenstein yang tercermin pada kedua buah karyanya, yakni Tractatus Logico Philosophicus yang mengikuti pola pikir Russell, dan Philosophical Investigations (yang lebih mendekati cara berfilsafat Moore).
Kalau kita memasuki tema pembahasan Philosophical Investigations, dalam buku ini, Wittgenstein berpendapat bahwa untuk mengerti fungsi bahasa, ia “menginstruksikan” agar perhatian harus dialihkan: dari logika dan penyusunan bahasa yang sempurna, kepada logika bahasa sehari-hari, yakni bahasa logis, bahasa common sense.
Bahasa logis hanya menempati salah satu saja dalam keseluruhan apa yang bisa dilakukan bahasa. Masih ada pengungkapan bahasa yang lain. Misalnya, “ucapan-ucapan performatif” (performatif utterences), suatu istilah yang tidak berasal dari Wittgenstein, tetapi berasal dari pelanjut pemikirannya, yaitu John L. Austin yang menganggap ucapan ini (performatif utterences), bukan merupakan bahasa deskriptif, melainkan suatu “speech-act,”yakni “suatu tindak bahasa.” Istilah ini menjadi dasar bahasa kehadiran, yakni teori tentang “Aku Performatif”: Aku yang berbicara, merasa, berpikir, berkeinginan, menilai, membuat keputusan, dan memiliki penginderaan, imajinasi serta inteleksi.” Maka, sejak Philosophical Investigations ini, disadari betul bahwa “ucapan performatif” jelas berbeda dengan “ucapan deskriptif” yang berdasarkan fakta (bahasa sains). Atas dasar inilah, selanjutnya, Thomas Ramsey, seorang filsuf Kristen, mengembangkan pemahaman analitik mengenai “bahasa agama” (religious language) dengan mengaktualkan filsafat agama St. Thomas Aquinas.
Inilah tema paling populer Wittgenstein yang disebut dengan language games (“permainan bahasa”), yang mewujud dalam berbagai ragam “bentuk-bentuk kehidupan” (forms of life). Karena language games inilah, maka bahasa mempunyai berbagai macam penggunaan, tergantung dari konteksnya. Istilah populernya: “meaning is context”.Dengan menggunakan bahasa, kita bisa “bermain” dengan beragam permainan, yakni ketika kita beralih dari suatu cara bahasa (discourse) kepada cara lain. Dalam bahasa, permainan kata-kata dapat dipakai untuk melukiskan, memerintah dan mengarahkan seseorang atau benda-benda untuk mengekspresikan sesuatu hal.
“Cobalah tinjau betapa banyak language game dalam contoh-contoh berikut, dan banyak lagi yang lain: memberi perintah dan mentaatinya. Menggambar rupa benda, atau memberi ukuran-ukurannya. Menyusun suatu benda. Menimbang-nimbang suatu kejadian. Menyusun dan menguji suatu hipotesa. Menyajikan hasil-hasil suatu percobaan dalam tabel dan diagram. Mengarang suatu cerita dan membaca cerita. Memainkan sandiwara. Menyanyi. Menebak teka-teki. Membuat lelucon, menceritakan lelucon. Memecahkan soal dalam hitungan praktis. Menerjemahkan dari satu bahasa ke bahasa yang lain. Bertanya. Berterima kasih. Menyumpah-nyumpah. Memberi salam. Berdo’a… (Wittgenstein, Philosophical Investigations, No. 23).
Begitulah, makna bahasa itu bisa diperoleh melalui penyelidikan bagaimana kata-kata dan ekspresi-ekspresinya berfungsi ke dalam bahasa sehari-hari. Bahasa logika, seperti dalam Tractatus, yang menjadi fondasi bahasa sains, tidak dapat memecahkan seluruh persoalan yang timbul dari pemakaian bahasa (karena makna tergantung dari penggunaan, meaning is use). Malahan, bahasa logika akan mengakibatkan suatu distorsi yang serius, jika dipaksakan untuk memahami sesuatu yang memang struktur epistemologisnya ada di luar fakta empiris, seperti bahasa agama, yang tidak bisa “dibaca” dengan bahasa logika yang didasarkan pada pengetahuan-dengan-korespondensi.
Dalam Philosophical Investigations dikatakan bahwa, ada banyak sekali cara untuk menggunakan bahasa, yang tentu saja bertentangan dengan pendapat para ahli logika, sesuai dengan language games dan forms of life-nya. Setiap language games mempunyai berbagai aturan permainan sendiri-sendiri, sesuai dengan “karakter”nya, (maka demikianlah bahasa agama). Sehingga, kata yang sama, bila digunakan ke dalam language games yang berlainan, meskipun memiliki kemiripan keluarga (family-resemblance), pasti mempunyai arti yang berlainan pula. Begitulah jika kita berbicara tentang “penciptaan,” maka kata “penciptaan” yang diterapkan ke dalam kategori manusia (seperti misalnya Didi Kempot “menciptakan” lagu), akan lain artinya jika diterapkan ke dalam kategori Allah, seperti Allahlah yang “menciptakan” langit dan bumi berikut segala isinya.
Tentang Tuhan dan Tujuan Hidup
Dalam catatan harian Wittgenstein, tanggal 11 Juni 1916 (dalam Notebook, h. 72-73) ada pertanyaan berikut, “Apakah yang kuketahui tentang Tuhan dan tujuan hidup? Aku tahu bahwa dunia ini ada. Bahwa aku ditempatkan di dalamnya, bagaikan mata pada lapangan penglihatannya. Bahwa ada sesuatu yang problematis tentang dunia, yang kita sebut makna dunia”.
Dalam usahanya mengetahui tentang Tuhan, tujuan hidup dan makna dunia, akhirnya Wittgenstein dalam Tractatus Logico Philosophicus “hanya berdiam diri”. Dalam Philosophical Investigations, ia tidak memberikan suatu ajaran. Ia hanya memberikan kita kesadaran bahwa ada jalan, atau ada language game dari suatu “bentuk kehidupan” yang bisa menjelaskan kepada kita tentang Tuhan, tujuan hidup dan makna dunia. Tetapi, ia tidak memberi tahu apa itu (isinya). Barangkali, karena ia juga menganggap ini sebagai the mystical. Karena itu, sains janganlah terlalu “sok tahu” atas soal-soal besar. Para saintis harus lebih rendah hati.
Berhadapan dengan sikap Wittgenstein ini, apakah kita juga akan “berdiam diri” saja untuk menjawab masalah besar tentang Tuhan, tujuan hidup dan makna dunia itu, atau bersikap “relativis”, seperti banyak orang menafsirkan Philosophical Investigations? Di sini, tentu perlu sikap yang tidak terjatuh pada keduanya.
Pertama kali tentang, “batas-batas bahasa sebagai batas pikiran dan batas dunia” yang kuat sekali disuarakan oleh Wittgenstein dalam Tractatus Logico Philosophicus. adalah “pengetahuan-dengan-korespondensi” yaitu menerima bahwa dalam pengetahuan-dengan-korespondensi itu, memang ada yang disebut Wittgenstein tadi sebagai “batas-batas bahasa”. Tetapi, kita tidak perlu berhenti di sini, karena melihat bahwa batas-batas bahasa itu terjadi, karena kita hanya membatasi pengetahuan, dengan pengetahuan-dengan-korespondensi, atau “teori gambar”-nya Russell yang dikembangkan oleh Wittgenstein. Kita bisa melanjutkan dengan pemikiran Wittgensten II tentang “permainan Bahasa”. Bahasa agama, bahasa mistik (esoterik) adalah satu kemungkinan permainan bahasa.
Berbicara tentang Tuhan
Sekarang kita bisa masuk ke isu bagaimana kita bisa berbicara tentang Tuhan. Ada satu pendapat yang “mengerikan” untuk orang beragama, “Fakta bahwa orang memiliki pengalaman agama, memang menarik dari sudut pandang psikologi. Tetapi, hal itu sama sekali tidak menunjukkan adanya pengetahuan agama. Seorang teis, misalnya mungkin percaya bahwa pengalamannya adalah pengalaman kognitif. Tetapi, meskipun ia dapat memformulasikan "pengetahuan"nya itu ke dalam proposisi‑proposisi yang dapat diverifikasi, kita boleh yakin bahwa ia sedang menipu dirinya sendiri. Hal itu bisa juga terjadi pada tulisan‑tulisan para filsuf yang menyatakan secara intuitif, “tahu” mengenai “kebenaran agama”. Dalam kenyataannya, ungkapan‑ungkapan itu hanyalah bermakna bagi para psikoanalis”!
Pernyataan “kejam” ini, berasal dari seorang filsuf Inggris, Alfred Julius Ayer, yang juga dikenal sebagai positivis dan sekaligus “musuh” para teolog, dalam bukunya yang sudah dianggap klasik, Language, Truth and Logic, (1946). Ia bahkan menganggap bahwa, seluruh isi kognitif (cognitive content) dari pengalaman agama akan dihapuskan oleh filsafat analitik dan empirisisme yang positivistik‑logis [bahasa sains], sebagai altogether fallacious (kesalahan menyeluruh).
Walaupun pandangan‑pandangan Alfred J. Ayer ini sekarang tidak lagi populer di kalangan para filsuf agama, tetapi ia terus saja membayangi tulisan‑tulisan para agamawan. Tantangan bahwa bahasa dan pengalaman agama dapat dianggap sebagai, istilah tadi, altogether fallaciousatau kesalahan menyeluruh ini, membuat kita perlu mempunyai sebuah argumen yang bisa memberikan tempat yang layak secara filosofis atas pengalaman dan bahasa agama, atau lebih tepat lagi pengalaman atau bahasa iman, supaya kita bisa menyangkal tuduhan tersebut. Pengalaman iman perlu mendapatkan pengertian, atau istilah teknisnya, fides quarens intellectum, “Iman berusaha untuk mengerti,” kata filsuf Anselmus.
Pada dasarnya, setiap pengalaman, seperti juga pengalaman agama, adalah “pertemuan” yang bersifat “konatif,” yaitu pengalaman yang kita alami secara langsung dan murni. Dalam pengalaman “konatif” itu, kita mengalami pertemuan antara “aku” dengan “yang lain” (the other), yang dalam agama disebut dengan “Tuhan”.
Dalam mengalami pengalaman ini, fenomenologi bahasa akan menyebutnya bersifat langsung, murni, dan terjadi pada taraf tidak sadar. Artinya, kita belum menyadari adanya, karena setiap pengalaman “konatif” berlangsung tanpa kata. Ketika kita mulai menyadari, dan mulai berbicara mengenai pengalaman tersebut, masuklah kita dari "aspek konatif" kepada "bahasa yang bersifat reflektif,” yaitu pengalaman yang sudah diabstraksikan ke dalam pola‑pola data inderawi (sense data).
Setiap renungan tentang pengalaman agama, sebenarnya juga berlangsung dari pengalaman yang bersifat “konatif” ini. Artinya, pengalaman “konatif” diusahakan untuk dikenali secara intelektual dari suatu silent experience (“pengalaman diam”) kepada suatu spatio‑temporal pattern experience (“bentuk‑bentuk pengalaman yang bersifat ruang‑waktu”) yang bisa terjadi dalam berbagai macam konteks yang tidak terbatas. Refleksi yang dilakukan, karena itu bersifat indikatif, atau “menunjuk” ke arah tertentu. Fenomena dan problem inilah yang dewasa ini, digarap secara baik dalam fenomenologi agama maupun hermeunetika.
Kata "pengalaman" di sini tidak diartikan secara inderawi, seperti pengalaman empiris dalam bahasa sains. Sebab kata “pengalaman” lebih mengacu kepada suatu pertemuan dan kegiatan antara subyek dan obyek: Suatu pengalaman yang nantinya akan membawa kita kepada kebersamaan. Dalam arti ini, pengalaman agama sebenarnya sebuah pengalaman yang tidak terungkapkan. Tetapi karena ada yang disebut “bahasa agama,” yaitu bahasa yang ada dalam Kitab Suci, atau dalam praktek‑praktek devosional (ibadah), dan ungkapan‑ungkapan yang muncul dalam proses internalisasi, obyektivasi dan sosialisasi kehidupan umat beragama, seperti ditulis Peter L. Berger, dalam bukunya, The Social Reality of Religion, maka bahasa dan pengalaman agama menjadi sesuatu yang bisa direnungkan.
Oleh karena itu, terdapat hubungan antara pengalaman agama dengan bahasa agama. Hubungan itu muncul melalui apa yang disebut sebagai “situasi keagamaan” (religious situation), yaitu kenyataan pengalaman, di mana realitas keagamaan itu terjadi.
Logika Bahasa Agama
Ludwig Wittgenstein, yang sudah kita sebut di atas sebagai filsuf terkemuka pertengahan abad 20, dalam bukunya Philosophical Investigations mengatakan bahwa, kita perlu “membawa kembali kata‑kata dari permainan metafisik kepada permainan bahasa sehari‑hari.” Realitas metafisik memang bisa dihidupkan, tetapi selalu bersifat tentatif dan tidak tuntas untuk dimengerti, karena abstraknya itu. Menghidupkan kembali realitas metafisik tersebut bisa dilakukan melalui analisis bahasa, yang menjadi salah satu kecenderungan filsafat dewasa ini, termasuk dalam wacana bahasa agama.
Para filsuf besar, sejak dari Aristoteles, Immanuel Kant sampai pemikir kontemporer sudah mewacanakan soal bahasa agama ini, yang kalau kita ringkas kira-kira kesimpulannya, bahwa bahasa agama, sebenarnya mempunyai logika tersendiri. Bahasa agama merupakan cara berbicara orang beragama mengenai agamanya. Tetapi bagaimana orang beragama bisa berbicara tentang segala hal yang menyangkut agamanya, khususnya di sini, segala hal yang menyangkut pengalaman transendental? Disinilah lalu muncul problem, yang disebut problem keabsahan bahasa agama. Pertanyaan seperti, “Does Religous Claim Make Sense?” menggambarkan persoalan‑persoalan besar sekitar ini, yang coba diurai dalam buku-buku tentang bahasa agama kontemporer.
Memasuki uraian tema tersebut, kita bisa melihat bagaimana pada masa skolastik (abad pertengahan Kristiani, juga Islam), orang berbicara tentang bahasa Sejak abad pertengahan dimulai, lazim dikenal bahwa jika kita akan berbicara tentang Tuhan (yang disebut “God-talk”), maka kita tidak mungkin akan memakai bahasa yang bersifat “univok” (univocal) maupun bahasa yang bersifat “ekuivok” (equivocal).
Maksud bahasa yang bersifat “univok” adalah bahasa yang memiliki arti yang sama apabila digunakan oleh dua orang atau lebih. Misalnya, bila seorang ahli fisika atau sains di suatu daerah berbicara tentang suatu grafitasi yang dirumuskan dengan persamaan f = m.a, maka ahli lain di tempat lain, yang berbicara tentang tema yang sama, meskipun di daerah yang berbeda, akan menggunakan dan menyepakati pengertian yang sama dari rumus grafitasi itu. Semua itu terjadi, karena adanya konsensus tentang teori grafitasi yang sudah lazim diterima sebagai salah satu “language games” dalam pemahaman mengenai teori fisika.
Sedangkan yang dimaksud dengan bahasa yang bersifat “ekuivok” adalah sebaliknya, yaitu dua kata yang dipakai sama, tetapi mempunyai arti yang berbeda. Jika kita berbicara panjang lebar tentang peranan “raja” dalam permainan catur, maka hal itu lain artinya bila kita berbicara tentang peranan “raja” dalam suatu negara konstitusional. Contoh lain adalah, jika manusia itu “kuasa”, maka Tuhan pun “kuasa.” Tetapi, “kuasa” Allah dan manusia jelas berbeda. Jadi, bahasa yang bersifat “ekuivok” adalah penggunaan bahasa kata yang sama, tetapi maknanya berbeda.
Tetapi, dalam konteks pengalaman keagamaan, maka di sini kita perlu mengemukakan perihal “pengalaman akan Tuhan” Jika seorang beragama, berbicara mengenai Tuhan, sebenarnya dalam kesadaran orang beragama itu, ucapan mereka tentang Tuhan tidak bisa berlaku secara “univok” (“sama”sama sekali) maupun “ekuivok” (“berbeda”sama sekali).
Sudah menjadi postulat jika seorang beragama hendak berbicara mengenai Tuhan, maka kita tidak mau jatuh menyamakannya sama sekali (dalam teologi Islam ini pernah terjadi pada aliran “shifâtîyah”). Tetapi kita juga tidak mau membedakannya sama sekali (seperti yang muncul dalam teologi Mu`tazilah yang mendukung suatu paham allegoris mengenai sifat Tuhan). Sikap yang moderat yang sekarang lebih diterima adalah jalan tengah, yang dalam tradisi skolastik Islam maupun Kristen disebut sebagai jalan ketiga, yaitu “paham analogi” (qiyas). Hanya dengan “paham analogi ini,” kita bisa berbicara tentang Tuhan, yang sama, tetapi sekaligus berbeda dengan sifat-sifat manusia.
Bahasa agama pada dasarnya bersifat analogi (qiyas). Artinya, bahasa agama itu sebagian sama, tetapi sebagian lagi berbeda dengan bahasa dan situasi manusia. Di sini, kita berbicara mengenai bahasa analogi, maka “ada analogi yang berjalan ke bawah,” yaitu berbicara mengenai sesuatu dan menganalogkan dengan yang ada di bawah manusia, seperti binatang. Misalnya, dalam teori anjing Pavlov dibuktikan bahwa tingkah laku anjing distruktur dengan pola “ada-stimulus-maka-ada-respon.” Maka, begitu juga tingkat laku manusia (tetapi tetap dengan perhatian bahwa dalam diri manusia ada kompleksitas yang tidak bisa dibandingkan dengan teori anjing Pavlov).
Dalam konteks ini, jika kita berbicara tentang Tuhan, maka yang dimaksud di sini adalah “analogi yang berjalan ke atas,” yakni dari situasi manusia ke situasi Tuhan. Kita menyebut Socrates dengan sebutan manusia yang “bijaksana,” maka begitulah kira-kira dengan Tuhan. Jadi, Tuhan pun “bijaksana,” tetapi kebijaksanaan-Nya berbeda dengan kebijaksanaan Socrates, meskipun tetap ada persamaannya.
Sampai disini, jika kita berbicara misalnya mengenai makna tentang 99 nama‑nama Tuhan (al‑asmâ' al‑husna), mengambil contoh teologi Islam, Tuhan yang indah seperti "Dia yang Maha Pengasih" (al‑Rahman), "Maha Penyayang" (al‑Rahim), "Maha Raja" (al‑Malik), "Yang Maha Suci" (al‑Quds), "Yang Maha Damai" (al‑Salam), dan seterusnya, melalui paham “qiyas ke arah atas.” Kita pahami bahwa semua sifat tersebut pada dasarnya berbeda dengan sifat yang ada pada manusia (bahwa "Rahman" Tuhan berbeda dengan "rahman" manusia), tetapi toh tetap mempunyai persamaannya juga secara relatif.
Jadi, untuk mendapatkan pengertian yang tepat, mengenai “paham analogi” (qiyas) ini, ada tiga jalan yang bisa dilakukan, yang biasa disebut dengan triplex via, yaitu:
Pertama, melalui “jalan positif” (via positiva). Maksudnya kita mengakui bahwa sifat‑sifat pengasih (rahman) yang ada pada manusia itu sebenarnya ada juga pada Tuhan, bahwa: "Allah itu pengasih" (rahman).
Kedua, melalui “jalan negatif” (via negativa), yaitu apa yang sudah kita “positifkan” itu, sekarang kita "negatifkan" secara terbalik, bahwa Tuhan itu tidak pengasih sesederhana pengasihnya manusia. Sehingga,
Ketiga, kita mendapatkan pemahaman analogis (qiyas) yang merupakan kesatuan dari pemahaman paradoksal dua jalan dalam memahami pengertian bahasa keagamaan di atas.
Bahasa Agama Sebagai Sebuah Pengalaman Ketersingkapan
Membicarakan pengalaman agama, dalam refleksi filsafat dewasa ini, sebenarnya kita dapat membuatkan kategori model mengenai suatu pengalaman agama. Misalnya, kita ingin berfilsafat mengenai penciptaan, maka “penciptaan” itu kita anggap sebagai model. Dalam strukturnya setiap modelmengandung intrisik didalamnya suatu odd("sesuatu yang memanggil, yang menarik‑narik, yang mengherankan,” oddness). Sehingga dengan kata "penciptaan” itu, kita merasa heran terhadap segala penciptaan yang ada.
Jika kita bisa mengalami rasa oddness ini, kita pun menyadari adanya suatu qualifier(yang akan menunjukkan ke arah mana kita harus melanjutkan model yang sudah kita bangun secara teoritis itu). Misalnya, kita mulai berefleksi mengapa ada penciptaan. Aku ada, aku diciptakan oleh siapa? Oleh orangtuaku. Orangtuaku diciptakan siapa? dan seterusnya. Di sini proses penciptaan mempunyai finalitas, yaitu tujuan awal dan akhir dari seluruh proses itu. Tidak ada suatu infinite regress atau asal keberadaan yang terus-menerus tak berhingga, tak habis-habisnya
Ada dua fungsi logis, kalau kita sudah menyadari adanya suatu qualifier, yang tadi kita sebut ke arah mana kita harus melanjutkan model yang sudah kita punyai itu. Pertama, kita diminta meneruskan model itu sampai batas tak terhingga. Kedua, jika kita sudah sampai pada batas akhir (misalnya manusia‑manusia yang ada ini diciptakan oleh siapa?), maka kita diminta agar mau committed untuk mengalami suatu pengalaman yang akan kita alami pada puncak pengalaman (to discern) sebagai sesuatu yang bersifat discernment, membawa kita untuk “melihat.” Proses inilah yang oleh filsuf Denmark, Soren Kierkegaard disebut sebagai "loncatan iman" (leap of faith). Sehingga muncul suatu pengalaman yang menghilangkan semua kategori‑ kategori yang sudah kita buat: Suatu pengalaman baru, yang lain sama sekali. Pengalaman baru itu disebut disclosure(tersingkapnya sesuatu yang baru).
Dalam agama-agama, pengalaman ketersingkapan (disclosure) ini diistilahkan dengan berbagai nama, apa itu enlightenment, satori, moksha, nirvana, atau pengalaman ma`rifah dalam Islam.
Pengalaman agama seperti dikatakan Ian Thomas Ramsey (1915‑1972), seorang filsuf Inggris, pada dasarnya adalah pengalaman akan ketersingkapan (disclosure) yang hanya akan terjadi jika kita menerima‑Nya dalam in a total commitment, artinya kalau kita sepenuhnya komitmen pada apa yang akan terjadi pada pengalaman kita yang baru itu. Komitmen total inilah yang mendasari iman. Sebenarnya komitmen agama (iman) ini merupakan respon terhadap sesuatu yang datang dari luar yaitu wahyu, yang datang dari "alam langit,”
Kesimpulannya, pengalaman tentang Tuhan merupakan suatu pengalaman akan “yang lain” dalam karakternya secara menyeluruh. Suatu pengalaman akan “yang kudus” yang bersifat transenden, tetapi sekaligus imanen. Dalam ungkapan lain, adanya suatu pengalaman akan misteri dalam iman yang tidak bisa dianalisis secara silogistik, tetapi hanya bisa ditunjuk sebagai “kenyataan mistik” yang tak terungkapkan dan samar, yang menjadi jelas dalam menerima seruan wahyu. Inilah suatu pengalaman keagamaan yang dinamakan dengan "kejelasan yang ajaib,” yang hanya dapat dialami oleh mereka yang ada dalam situasi disclosure.
Sehingga, kalau kita mau menganalisis pengalaman akan Tuhan ini, semuanya baru mendapatkan arti yang tepat dalam perspektif cara bahasa dari agama. “God is a key word presiding over the whole of language suited to a total committment“ (Tuhan adalah kata kunci yang mendahului seluruh bahasa yang hanya tepat dalam keyakinan menyeluruh [iman]), begitu kata Thomas Ramsey, yang berusaha menggambarkan usaha para filsuf klasik yang . dalam mengerti bahasa agama.
Dengan uraian ini, maka jelaslah perbedaan bahasa agama dan bahasa sains. Suatu kesalahan besar memakai bahasa sains untuk menilai bahasa agama.
Budhy Munawar-Rachman, menempuh pendidikan tinggi di STF Driyarkara, jurusan filsafat. Salah satu dari penerus pemikir Islam progresif. Seperti gurunya di Paramadina, Nurcholish Madjid, ia juga dikenal sebagai penyeru pluralisme dan kebebasan beragama
(Goenawan Mohamad, dkk, Polemik Sains: Sebuah Diskursus Pemikiran, Yogyakarta: IRCiSoD, 2021, hlm. 279-297)
0 komentar:
Posting Komentar