alt/text gambar

Rabu, 14 Mei 2025

Topik Pilihan:

KIBARAN ORGANISASI POLITIK MAHASISWA



Asal-usul PRD.


PERSATUAN RAKYAT DEMOKRATIK



(DëTIK, No. 061, Tahun XVIII, 11 – 17 Mei 1994)


Lagi, mahasiswa mewarnai atmosfir politik kita. Seratusan mahasiswa dari berbagai kota Senin (2/5) pekan lalu kumpul di kantor YLBHI jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta. Mereka, seperti dilansir koran-koran, tengah mencanangkan pembentukan partai politik. 


Ya, di tengah-tengah ancaman pembubaran terhadap organisasi massa macam SBSI, mereka malah terang-terangan mendirikan organisasi politik. Persatuan Rakyat Demokratik (PRD) namanya. 


Pembangkangan atau sekadar pelembagaan sikap kritis? Entahlah. Yang jelas pro dan kontra mengiringi lahirnya PRD tersebut. Perhatikan saja pernyataan Menko Polkan Soesilo Soedarman sehari setelah pengumuman lahirnya organisasi itu. “PRD tidak sah. Wadah politik yang diakui pemerintah hanya tiga, PPP, Golkar dan PDI. Pemerintah akan bertindak tegas,” kata Menko Polkan usai rakorsus di kantornya. Dirjen Sospol Depdagri Sutoyo NK juga mengingatkan, kalau PRD ngotot mereka akan berhadapan dengan aparat hukum. Artinya, “Polisi akan membubarkan secara paksa organisasi itu,” katanya. 


Tetapi tak semua pejabat satu pendapat. Wakil Ketua DPA, Harsudiono Hartas berpendapat lain. Lihatlah pernyataannya seperti yang dilansir Media Indonesia (5/5). “Terbentuknya PRD karena budaya dan mekanisme politik yang tersumbat,” katanya. Akibatnya, “Pemuda dan mahasiswa mencari jalan lain untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingannya,” tambah mantan Kasospoll ABRI itu. 


Salah satu Ketua DPP Golkar, Jakob Tobing, malah mengingatkan pemerintah agar tidak terlalu cepat menilai liar kehadiran PRD. “Jangan pula menilai pembentukan suatu lembaga hanya berdasarkan legalitas-formal,” katanya. 


Memang, kehadiran PRD secara formal menabrak UU No 3/85. UU ini hanya menolerir tiga orpol yang sah, yakni Golkar, PPP dan PDI. Juga bagi perundangan lain yang hanya mentolerir tiga orsospol. 


Tetapi menurut Ichlasul Amal, pengamat politik dari UGM, walaupun PRD mengaku akan menjadi organisasi politik, hal itu tidak berarti organisasi ini kemudian harus dilarang. Soalnya “Yang dimaksud orpol dalam UU No 3/85 itu adalah organisasi peserta pemilu,” katanya. “Kalau ada yang mencanangkan berdirinya organisasi politik tapi tidak ikut pemilu kenapa harus dilarang?” tambahnya dengan bertanya. 


Keberadaan UU itu sendiri memang sudah lama menjadi perdebatan. Pada waktu pengesahannya saja, menurut sumber DëTIK, sebenarnya FPP dan FPDI hanya terpaksa ikut mengangkat tangan setuju. Apa boleh buat FABRI dan FKP waktu itu sudah sepakat. Peraturan perundangan itu pun disahkan sebagai pengganti UU No 3/75. 


keberadaan UU No 3/85 itu sendiri dimaksudkan sebagai penjabaran dan penafsiran dari Pasal 28 UUD 45. Dimana dinyatakan setiap warga negara mempunyai kebebasan berpendapat dan berserikat. Yang menjadi masalah, siapa yang berhak menafsirkan dan menjabarkan? 


Selama ini ada semacam ksepakatan bahwa yang berhak menafsirkan adalah pemerintah dan DPR. Celakanya, mayoritas anggota DPR berasal dari Golkar. Kecurigaan yang berkembang, penafsiran-penafsiran atas pasal 28 UUD 45 yang tertuang dalam UU No 3/85 kemudian merupakan penafsiran-penafsiran yang akan menguntungkan Golkar. Tak lebih sebagai upaya Golkar untuk mempertahankan hegemoni politiknya. 


Toh bila keadaan stabil, dengan jumlah peserta pemilu yang tetap dan tertutup bagi lahirnya peserta pemilu baru, Golkar memang berkesempatan besar untuk mempertahankan hegemoni politiknya.


Karena alasan inilah mungkin bisa dimengerti kalau ketu DPP Golkar, Agung Laksono menolak keberadaan PRD. “Apa yang dilakukan mahasiswa itu inkonstitusional,” katanya. Tentu saja ucapan Agung kemudian merujuk pada keberadaan UU No 3/85 itu. 


Tapi karena alasan yang sama muncul penyataan yang berbeda. Aberson Sihaloho, anggota FPDI, ketika diminta komentarnya tentang kelahiran PRD langsung menyatakan setuju. Dan menganggap munculnya PRD sebagai perwujudan dari ketidakpuasan terhadap infra struktur politik terutama keberadaan ke tiga orsospol. 


Aberson merujuk pada UU No 3/85. Yang menurutnya tak seharusnya membatasi kelahiran organisasi politik baru. “Undang-undang ini sejak semula mestinya persoalan teknis cara berorganisasi atau berserikat. Bukan malah membatasinya,” tegasnya kepada DëTIK. 


Tapi sementara di luar ribut-ribut soal status kepartaian PRD makin ramai, di dalam PRD sendiri semua tampak tenang-tenang saja. Salah seorang fungsionarisnya, Sugeng Bahagijo, malah mengaku kepada DëTIK, “Organisasi ini bukan partai politik.” Sugeng Bahagijo yang menjadi ketua organisasi ini mengaku jumlah anggotanya saat proklamasi PRD sekitar 150 orang. Dan di beberapa kota, khususnya di Jawa sudah dibuka komisariat organisasi. 


Organisasi ini, masih menurut Sugeng, memang masih menggunakan model-model kerja LSM. Hanya bedanya keanggotaan organisasi ini terbuka pada siapa saja. “Pokoknya siapa saja bisa menjadi anggota, apakah dia itu petani, buruh, mahasiswa, intelektual atau yang lain, asal mereka concern terhadap masalah pengembangan demokrasi di negeri ini,” katanya sambil menjelaskan usahanya untuk memperluas jaringan di luar Jawa. 


Memang seperti diungkapkan dalam deklarasi kelahirannya, PRD terobsesi oleh pengembangan demokrasi, baik dalam bidang politik, ekonomi maupun sosial budaya. Semuanya ini masalah besar dan tidak dengan serentak bisa dilaksanakan. Karenanya untuk sementara ini PRD akan lebih banyak melakukan pengkajian terhadap persoalan politik. “Kami masih percaya, dengan opinion buliding akan bisa menumbuhkembangkan kesadaran berdemokrasi di kalangan masyarakat,” kata Sugeng yakin. 


Semoga saja benar. ●


DIDIK SUPRIYANTO, HENNY T SOLEIMAN, TRI SANTOSA


Sumber: DëTIK, No. 061, Tahun XVIII, 11 – 17 Mei 1994

0 komentar:

Posting Komentar